Selasa, 24 November 2020

Mohammad Natsir; Simbol Perekat NKRI


“Selalulah meminta kepada Tuhan dan teruslah berbuat, sehingga hidup ini menjadi lebih berarti.”
Pesan monumental ini meluncur dari politisi sejati, seorang pejuang, negarawan, ulama intelektual, Dr. Mohammad Natsir saat berpidato di depan Mahasiswa Medan tanggal 2 Desember 1953.

Pesan paling dalam yang ditanamkan seorang Natsir bukanlah tulisan berbunga-bunga apalagi retorika mengangkasa tak bertepi. Melainkan lebih banyak pesan ini berwujud dalam tindakan. Dalam masa krisis, kata-kata mesti diisi dengan makna nyata. Sebuah kata harus dapat menemukan tenaga kreatif dan kemampuannya untuk menyatukan dan membebaskan manusia. Kata dan perbuatan harus selaras dan menyatu. Bagai api dan udara, dalam perbuatan pada umumnya.

Setidaknya itulah yang ditulis Natsir sepanjang hidupnya dengan pena keikhlasan dan tinta pengorbanan. Masa-masa hidupnya adalah masa pengabdian dan pelayanannya kepada negeri tercinta. Prestasi spektakuler Natsir terekam dalam sejarah. Ketika Indonesia menjadi negara serikat sebagai produk dari KMB (Konferensi Meja Bundar) −melalui sidang RIS tahun 1950, Natsir tampil dengan melontarkan pernyataannya yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”.

Implikasi dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah ke dalam 17 negara bagian dapat bersatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas jasanya ini, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI. Kedudukan ini merupakan karier politik tertinggi yang pernah dicapainya. Pada saat itu, usianya baru 42 tahun.

Terhitung sejak menyatakan merdeka, Indonesia masih terpuruk dalam kesulitan karena Belanda tetap bertahan untuk tidak mengakui kemerdekaan RI. Tidak seperti negara bekas penjajah lain yang mengakui kemerdekaan bekas koloninya, yaitu Filipina pada 1946, India pada 1947, Burma dan Srilanka pada 1948.

Upaya mempertahankan kedaulatan dari ofensif Belanda dan pergolakan-pergolakan politik tahun 1945-1950, telah menyebabkan langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat tidak optimal. Tantangan dan bahkan ancaman yang maha berat segera menghadang negara yang baru mendapatkan kedaulatannya setelah hampir empat tahun melalui revolusi kemerdekaan yang dibasahi darah dan air mata.

Secara hukum negara yang berdaulat ialah negara Republik Indonesia Serikat −sebuah negara hasil kompromi, bukan negara yang diproklamasikan pada tahun 1945. RIS yang diakui sebagai “pewaris” Hindia Belanda harus membayar pula utang yang dibuat negara kolonial yang digantikannya itu. Padahal utang itu diperbuat untuk membiayai usaha penghancuran Republik Indonesia. Betapa ironis. Tetapi begitulah keadaannya. Irian Barat pun masih di tangan Belanda. De Javasche Bank tetap berperan sebagai bank sentral. Big Five tetap menjadi urat nadi perekonomian.

Rasionalisasi TNI harus dijalankan, dengan perwira Belanda menjadi penasihat. Jika ini saja belum cukup, maka negara yang masih teramat muda ini pun masih harus pula menghadapi masalah bekas pejuang yang dikembalikan ke masyarakat. Sedangkan KNIL −yang terlatih baik dan sesuai dengan perjanjian KMB− diintegrasikan ke dalam TNI. Luka-luka Revolusi di mana-mana masih jauh mencekam ke dalam lubuk kesadaran dan kehidupan rakyat. Dan, siapakah yang bisa melupakan sekian banyak “bom waktu” kolonial yang meletus di sana dan di sini −di Bandung, di Makassar, di Ambon? Hanya saja, di atas segala-galanya kedaulatan negara −apakah itu berarti “pengakuan” seperti kata Bung Karno atau “penyerahan” sebagaimana teks resmi mengatakannya− telah berada di tangan bangsa kita. Dan itu rupanya adalah modal yang sangat berharga.

Peristiwa-peristiwa politik segera terjadi setelah RIS berdiri. Baru beberapa pekan memasuki tahun 1950, parlemen jalanan bermunculan di setiap negara-bagian atau daerah istimewa yang disponsori Belanda. Kesemuanya menuntut pembubaran negara atau daerah istimewa itu atau segera bergabung kembali ke dalam sebuah negara bagian lain. Tetapi cikal bakal dari RIS, yaitu R.I., yang berpusat di Yogyakarta dan yang telah “meminjamkan” Presiden dan Wakil Presidennya ke RIS, yang berpusat di Jakarta.

Begitulah dalam empat bulan saja negara bagian yang masih tertinggal tidak lebih dari tiga saja, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatera Timur (NST), dan Republik Indonesia (RI). NST dan NIT inipun menyerahkan masa depan mereka pada wibawa seorang pemimpin yang menjadi Perdana Menteri RIS; Mohammad Hatta; dalam perundingan dengan RI mengenai masa depan negara federal itu.

Negara Republik Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) − yang waktu itu pecah menjadi 17 Negara Bagian, RIS diterima sebagai suatu kenyataan. Walaupun di daerah-daerah Negara Bagian itu sendiri muncul berbagai gejolak politik (political anrest) yang menuntut untuk mengakhiri atau membubarkan RIS.

Dalam suasana dorongan terwujudnya kembali negara kesatuan seperti  itu −sebagaimana yang diproklamasikan pada tahun 1945− demikian kuat, gagasan brilian pun muncul dari seorang anak bangsa; Mohammad Natsir.

Beliau berpendapat, masalah pokok yang harus dipecahkan adalah bagaimana membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apakah itu dengan cara penggabungan negara-negara bagian ke RI Yogyakarta atau langsung semua negara-negara bagian ke NKRI, itu menurutnya adalah masalah teknis. Yang penting menurut beliau, ‘pembentukan NKRI itu harus tanpa menimbulkan konflik antar negara-negara bagian dan golongan dalam masyarakat’ (Noer 1986: 261).

Ketika mosi integral Natsir diterima parlemen, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 negara kesatuan pun kembali berdiri −meskipun Irian Barat masih merupakan wilayah sengketa. Barangkali terabaikan dalam ingatan kolektif bangsa, tetapi ini adalah peristiwa yang kedua Negara kita dipersatukan oleh tekad yang kuat.

Keseluruhan isi ‘Mosi Integral Natsir’ tertuang dalam sebuah naskah otentik DPR Sementara RIS. Pada tanggal 2 April, Mohammad Natsir menyampaikan pidato ‘mosi integral’ yang bersejarah tersebut dengan beberapa butir latar pemikiran yang penting (1) Semua negara-negara bahagian mendirikan NKRI melalui prosedur parlementer; (2) Tidak ada satu negara bahagian menelan negara bahagian lainnya; dan (3) Masing-masing negara bahagian merupakan bahagian integral dari NKRI yang akan dibentuk.

Mohammad Natsir adalah tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan Negara Kesatuan RI. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik ini dari ancaman perpecahan. Dialah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara −yang bersama Soedirman− merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Royen untuk kembali ke Yogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh; Daud Beureuh; yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950. Terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesholihan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.

Natsir dilahirkan dari pasangan suami-isteri Idris Sutan Saripado – Khadijah di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Dibesarkan di tengah-tengah keluarga Muslim yang taat. Ayah seorang juru tulis kontrolir, banyak mendorongnya agar mendalami agama. Di mana pada waktu itu letak rumahnya berdekatan dengan masjid.

Demikianlah, sejak kecil mengaji jadi makanannya sehari-hari. Sejak di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dia sudah rajin mengaji di surau. Menginjak kelas dua, tinggal di rumah seorang saudagar; Haji Musa; di Solok. Selepas maghrib, malam hari Natsir kecil biasa mengaji. Mencari guru, tempat untuk berdialog. Guru mengaji tamatan sekolah di Sumatera Thawalib.

Dorongan untuk belajar agama dari orangtua begitu kuat. Pagi sekolah umum, sore masuk madrasah diniyyah dengan belajar bahasa Arab, dan malam hari mengaji. Di situ, guru-gurunya sangat aktif berdakwah. Melihat Natsir kecil bersungguh-sungguh, guru itu tertarik. Lalu diberikan pelajaran ekstra. Lama-lama Natsir bisa mengaji kitab kuning, sementara teman-teman lain belum bisa membacanya.

Waktu itu, seorang meester in de rechten adalah seorang yang luar biasa. Jadi, cita-citanya sejak kecil menjadi Meester −sekarang disebut sarjana hukum. Sampai di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), semuanya dilalui dengan nilai baik. Malah dapat beasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain.

Padahal dia sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu NATIPIJ (Nationale Islamitische Padvindrij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Akhirnya, Natsir lolos dan masuk AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan.

Di Bandung itulah pikirannya berubah. Ternyata yang bagus itu tak hanya meester. AMS (A-II), bahasa Belandanya tidak fasih. Natsir sering diejek. Soalnya sewaktu sekolah di Padang, yang dipakai sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia. Sedangkan di Bandung, dia bertemu dengan anak-anak dari Jawa yang kemampuan bahasa Belandanya jauh lebih tinggi. Natsir kebingungan juga. Makanya dia belajar sungguh-sungguh. Sehingga dapat angka tinggi untuk bahasa Latin yang begitu sulit.

Di Bandung, sejak kelas satu, dia tetap belajar agama tanpa mengurangi ketekunan belajar di sekolah. Malah Natsir sempat jadi anggota perpustakaan museum dengan membayar iuran tiga rupiah sebulan. Dia selalu dikirimi buku-buku baru dari perpustakaan itu. Membaca jadi tabiatnya waktu di Bandung.

Kejujurannya dalam berjuang telah membawa dirinya dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kejujuran itu pula yang mengundang seorang Indonesianis; George McTurnan Kahin. Ia berkomentar untuk Natsir, “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri. Namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran. Jadi, kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.”

Ya, Natsir tak pernah berpenampilan seperti seorang menteri dalam pengertian modern. Ia selalu tampil dalam balutan busana sederhana, lengkap dengan peci dan sorban putih yang selalu ia lilitkan di lehernya.

Sejak 1932 sampai 1942, M. Natsir diangkat sabagai direktur Pendidikan Islam di Bandung sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo). Dari 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kebinet Hatta-1) ia menjadi Menteri Penerangan Rl. Dari 1949 sampai 1958, ia diangkat menjadi Ketua Umum Masyumi. Dalam Pemilu 1956, ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota Konstituante Rl.

Pada 1950-1951, tokoh kita ini mendapat amanah menjadi Perdana Menteri. Hubungannya dengan Presiden Soekarno sempat merenggang selama penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi setelah peristiwa Cikini, November 1957. Waktu itu, sebuah granat diledakkan untuk membunuh Soekarno. Namun tidak berhasil dan menewaskan anak-anak sekolah. Meski Natsir tidak ada kaitan sama sekali dengan rencana itu, Soekarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut. Dalam situasi negara yang tidak menentu, Ketua Dewan Banteng; Achmad Husein; mengultimatum pemerintah: Djuanda agar mengundurkan diri. Pemerintah justru memecat Husein, Simbolon, dan beberapa perwira AD lainnya. Tak lama kemudian, Kolonel Acmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dengan M. Natsir sebagai Perdana Menteri.

Setelah peristiwa Cikini, Natsir memang tidak hanya diisolasi, tapi juga terus diganggu bersama koleganya yang lain; Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Akhirnya mereka hengkang ke Sumatera Barat. Ketika operasi Angkatan Darat terhadap PRRI pada 25 September 1961, Natsir ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan ikut terlibat PRRI. Sejak 1962 sampai 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta.

Di awal rezim Orde Baru, Natsir dibebaskan, tapi ia tetap dilarang berpolitik. Walau demikian, aktifitasnya tidak terhenti. Sejak 1967 sampai dengan masa tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Di mana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.

Dalam percaturan dunia Islam −khususnya di negara-negara Arab, Natsir sangat dikenal, dihormati, dan disegani. Beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional. Tahun 1967, diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami) di Karachi (Pakistan), tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League di Mekah (Saudi Arabia), tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid di Mekah (Saudi Arabia), tahun 1980 menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal (Saudi Arabia), tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation di Kuwait, tahun 1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies di London (Inggris), dan anggota Majelis Ulama’ International Islamic Univesity di Islamabad (Pakistan).

Pada Februari 1989, redaktur majalah “Al-Wa’yul Islami” Kuwait; Muhammad Yasir Al-Qadhami; pernah bershilaturrahim ke rumahnya dan bertanya tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh pada dirinya dan mempengaruhi perjuangannya. Natsir menjawab, “Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Sedang tokoh-tokoh Indonesia adalah Syekh Agus Salim dan Syekh Ahmad Surkati.”

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, Natsir adalah manusia multi dimensi. Ia tak hanya sekadar tokoh politik Islam dan seorang ulama. Namun dalam dirinya melekat beragam dimensi lainnya. Ia adalah seorang intelektual Muslim par excellent yang menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman dengan amat luas. Ia memahami tafsir, hadis, fikih, sejarah, dan syariah. Ia paham bahasa Arab, Belanda, Prancis, Latin pada usia 21 tahun.

Kemampuannya ini menjadikan Natsir bisa memahami agama secara lebih holistik dan komprehensif. Agama tak hanya dipahami sebagai persoalan keakhiratan. Namun juga bagaimana mengatur dunia sehingga menjadi lebih baik dan memberikan kemaslahatan.

Beliau tumbuh dari bawah, mandiri, berkarakter, punya sikap, berprinsip, punya loyalitas, dan berintegritas; bukan oportunis alias penjilat. Hidupnya sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab, dan tidak memanfaatkan jabatan. Senantiasa berbicara sejuk dan menentramkan umat. Jauh dari kalimat-kalimat yang menghasut, provokatif. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menghujat sekalipun dihadapi dengan senyuman, dengan wajah yang penuh makna. Tidak pernah membesar-besarkan perbedaan. Karena membesar-besarkan perbedaan hanya akan mengakibatkan perpecahan.

Mohammad Natsir ketika menjabat perdana Menteri pada 1950-1951, tidak alergi melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi dari Partai Katholik, J.Leimena dan ATM Tambunan dari Parkindo dan tokoh-tokoh sosialis menjadi menteri dalam kabinetnya. Bagi Natsir, bangsa ini harus diurus bersama walau dalam perbedaan politik yang tajam kala itu antara Masyumi, partai Kristen, Katholik, Nasionalis, dan Komunis. Namun hal tersebut tidak membuat tali shilaturrohim tokoh-tokohnya putus. Karena menurut beliau, yang bertengkar itu pikiran-pikirannya, bukan personal-personalnya.

Lebih dari itu, Natsir juga akrab dengan produk-produk kebudayaan Barat dan Islam. Mungkin sedikit sekali yang tahu, Natsir ternyata juga amat menggemari dan memiliki apresiasi yang baik tentang musik. Saat bersekolah di AMS Bandung, ia pernah memimpin orkestra. Natsir cukup piawai dalam memainkan beragam alat musik. Natsir juga amat menyukai karya-karya komponis asal Austria seperti Wolfgang Amadeus Mozart, komponis Jerman Ludwig van Bethoven, dan konon Natsir juga amat menikmati lagu-lagu Ummi Kaltsum; legenda musik asal Mesir.

Natsir adalah tipe manusia pembelajar yang haus akan banyak ilmu dan pengetahuan. Semuanya ia pelajari dengan sungguh-sungguh baik melalui pendidikan formal maupun yang ia dapatkan secara otodidak. Ia adalah manusia yang identik dengan buku dan khazanah ilmu. Kemampuannya ini menjadikan Natsir sebagai penulis banyak menghasilkan buku dan karya tulis lainnya.

Kalau Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Qur`an. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmu’ul Fatawa, Hassan Al Banna menghasilkan Majmu’atul Rosa-il, HAMKA menghasilkan Tafsir Al-Azhar, maka Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta yang terdiri dari dua jilid yang amat tebal. Inilah sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan mulai dari fikh, kebudayaan, politik kebangsaan, ideologi, hubungan antaragama, kebudayaan, peradaban dan banyak pikiran pentingnya lainnya.

Natsir tak hanya paham tentang segala sesuatu yang besar-besar, tapi ia juga mengerti hal-hal yang kecil dan detail. Natsir tak meremehkan hal-hal kecil dan sepele, tapi ia juga tak menganggap berat hal-hal yang besar. Natsir sering menyampaikan, masalah-masalah kecil kalau dibiarkan, suatu saat akan menjadi besar. Tapi masalah-masalah besar kalau segera dikerjakan, suatu saat akan menjadi kecil.

Natsir adalah sosok pemimpin yang sederhana namun berkharisma. Sebagaimana banyak tokoh-tokoh bangsa pada periode sejarah sebelumnya, penampilan, keseharian dan gaya hidup Natsir jauh dari aroma kemewahan. Yang dipikirkan Natsir bukanlah dirinya, tetapi selalu umat dan bangsanya. Bagaimana kediaman Natsir?. Kursi yang diduduki adalah kursi tua. Ruang tamu Mohammad Natsir dihiasi sebuah lampu baca di pojok ruangan. Ruang tamu sedemikian kusamnya tidak memperlihatkan cita rasa interior modern seperti yang ditunjukan oleh ruang tamu tokoh masyarakat lainnya yang bagaikan istana.

Dari keseluruhan diri Natsir, banyak hal yang telah dia wariskan. Natsir merupakan warisan ilmu dan teladan kepemimpinan, pribadi yang memiliki integritas. Pengabdiannya kepada umat telah meninggalkan goresan yang indah dalam sejarah Islam, sejarah bangsa Indonesia. Sebahagian perjalanan hidupnya telah banyak dihabiskan untuk dunia politik, terutama modernisme Islam, kenegaraan, dan demokrasi.

 

Mohammad Natsir melihat kemajuan dan kemunduran umat tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan umat akan doktrin tauhid serta bagaimana pula mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sistem tauhid menurutnya terletak pada kesadaran batin yang menjelma menjadi etika pribadi dan melahirkan kesatuan yang universal berdasarkan persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran.

Kemuliaan hatinya adalah kemuliaan seorang pemimpin betapa ia dapat mengalahkan bahkan melampaui kepentingan pribadi sebagai nilai ketokohan instrinsiknya. Ketokohan atau kenegarawanan seorang Mohammad Natsir sebagai sudah jadi pahlawan sebelum kemudian kita menyebutnya sebagai pahlawan. Karena perannya amat menentukan kelanjutan dan keberlangsungan tanah tumpah darah warisan ibu pertiwi ini.

Buya, sungguh jika hilangmu tanpa pusara

...jika pusaramu tanpa nama

...jika namamu tanpa bunga

...maka biarkan kami mengucap namamu di dalam doa.

Yaa ayyatuhan nafsul muthma’innah ‘irji’i ilaa robbiki roodhiyatam-mardhiyyah, fad khulii fi ‘ibaadi wadkhulii jannati.

 


Senin, 16 November 2020

Gatholoco dan Darmogandhul; Serat Pelecehan terhadap Islam

Dallikal, yen turu nyengkal wadine nyengkal. Tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi. Tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur. Hudan lil muttakina, yen wis wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala.”

(Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit). Kitabulla, kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa. Raiba fihi: perempuan yang pakai kain. Hudan: telanjang (wuda), lil muttaqien: sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita). Diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam “Islam dan Kebatinan”, hal. 17

 

Kalimat di atas adalah penggalan isi Serat Darmogandhul. Menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan adalah ciri utama dalam Serat Darmogandhul tersebut. Sebuah sastra anonim yang ditulis abad Misi; sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik Kristenisasi berjalan sangat intens. Istilah-istilah kunci dalam agama Islam diputarbalikkan maknanya oleh Darmogandhul dengan metode othak-athik gathuk (mengait-ngaitkan) seperti istilah “sadat sarengat” (syahadat dan syari’at) diartikan dengan “yen sare wadine njengat; kalau tidur kemaluannya berdiri”, “tarekat iku taren kang estri; mengajak istri bersetubuh”, sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah Arab.

Selain Darmogandhul, juga ada serat Gatholoco. Dimana dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah diartikan “ala; yang rupanya jelek” (yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki), sedangkan naik haji ke Makkah diartikan sebagai proses persetubuhan di mana posisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967: hal. 9-39).

Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya. Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam paksa mengharuskan para pemilik lahan menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda. Untuk menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati menjadi ningrat. Dengan syarat, para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013: 12). Belanda menangguk untung yang besar dengan politik tanam paksa ini. Utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.

Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial, tetapi juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995: 56).

Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam adalah sebuah kesalahan peradaban. Dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje. Di mana menurut Snouck, dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi. Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu, posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab, 1998: 86)

Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut; Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an, para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan; Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012: 53-54).

Pemilihan Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya; kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat banyak. Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan “londo wurung, jowo tanggung; belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa”, “lali jawane; orang Jawa yang lupa akan kejawaannya”, dan sebagainya. Mereka juga sering dijuluki “toewan gendjah; tuan yang belum matang” (Aritonang, 2006: 99). Agar tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs;

“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, “Bilakah ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen?” Bupati tersebut menjawab, “Ah, sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan daripada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012: 52)

Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupakan ketua di Nederland Bijbelgenootschap. Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007: 127). Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa, dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda-lah yang “menemukan”, “mengembalikan”, dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997: 7-9).

Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum; pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Edward Said dalam magnum opusnya; Orientalisme.

Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum; si pelacur; tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert. Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya (Said, 2010: 8). Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di Eropa.

“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halus, mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998: 96).

Dan arah dari sastra anonim seperti Darmogandhul ini, oleh Susiyanto, dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmogandhul menunjukkan beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.

“Serat ‘Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo. Resah sija adil lan kukume. Ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi Isa Rahu’llahu; Serat Arab zaman sekarang sudah tidak terpakai. Hukumnya meresahkan dan tidak adil. Yang digunakan untuk memutusi perkara, Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah.” (Anonim, 1955: 6)

”Wong Djawa ganti agama. Akeh tinggal agama Islam bendjing,  aganti agama kawruh; Orang Jawa ganti agama. Besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, Nasrani).” (Anonim, 1955: 93)

Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad– oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge; gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan dengan hukuman tubuhnya terus-menerus di belah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek (Said, 2010: 101-102).

Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmogandhul maupun Gatholoco masih terus di reproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak.

Perbenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith, dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ, dan Harun Hadiwiyono. Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa. Mengikuti argumen William Roff; guru besar Emiritus Columbia University; bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure), tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995: xxii).

Namun sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin. Sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen. Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg. Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.


Arif Wibowo

Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo

 

Jumat, 30 Oktober 2020

Sejarah Islam di Nusantara

Oleh: Dr. Purwadi, SS., M.Hum

Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, FBS, UNY

Kemegahan peradaban Islam di Nusantara merupakan manifestasi konsep rahmatan lil 'alamin. Kewibawaan kemuliaan kejayaan kemakmuran itu terwariskan secara nak tumanak run tumurun. Muncullah istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

Pada jaman keemasan Kraton Demak Bintara, hubungan diplomasi maju sekali. Raden Patah Syah Alam Akbar menjalin kekerabatan dengan Kasultanan Palembang, Siak, Deli Serdang, Samudra Pasai, Banjar, Goa, Talo, Tamasek, Ternate, Tidore. Kanjeng Ratu Kalinyamat menikah dengan Sunan Hadirin, bangsawan Aceh yang menjadi pengusaha kaya raya. Pada tahun 1507 Pangeran Hadirin mendirikan perusahaan ekspor yang meliputi bidang kayu jati, ukir ukiran, gamping, pelayaran, perahu, minyak tanah, burung perkutut dan padi Gaga. Keuntungan besar ini disumbangkan buat penyebaran Islam di tanah Jawa. Sunan Hadirin dan Ratu Kalinyamat sponsor dakwah Islamiyah yang dilakukan Wali Sanga.

Penyebaran Islam masuk di perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Kader Wali Sanga giat berdakwah. Sebut saja Ki Ageng Tarub, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Piring Ngapus, Ki Ageng Pandhanaran. Para guru besar Islam ini berjasa dalam mendirikan kerajaan Islam Pajang. Rajanya bernama Joko Tingkir atau Mas Karebet. Kelak bergelar Sultan Hadiwijaya. Dari garis Pangeran Benowo lantas berkembang pengajaran ala Pesantren.

Kraton Mataram sebagai kerajaan Islam tampil sebagai negara pertanian yang makmur. Kesusasteraan tampil sebagai sarana untuk membentuk karakter yang berbudi luhur. Kitab susastra Mataram senantiasa mengandung pendidikan akhlakul karimah. Taaruf, tafahum  dan taawun menjadi ciri khas pengajaran humaniora Mataram. Ajaran manunggaling kawula gusti memuat doktrin teologis, sosiologi, dan antropologis. Hasilnya adalah keselarasan sosial.

Pasca Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, masyarakat Jawa tambah aktif dan produktif. Perkembangan bangunan material spiritual memang mengagumkan. Pemimpin politik sosial dan budaya berhasil merumuskan gagasan agung. Jarak antar Kabupaten sejauh 30 km. Jarak antar pasar sejauh 5 km. Tiap kota terdapat alun-alun, Masjid, kantor Kabupaten, dan pasar. Keteraturan ini membuahkan kemuliaan. Di pulau Jawa banyak investor hebat dan pro rakyat. Sebut saja perkebunan teh, kopi, sawit, karet, cengkeh, dan tembakau. Lapangan kerja terbuka lebar. Karier mudah dirintis. Semua elemen masyarakat sejahtera. Malah berdiri pabrik gula sebanyak 176 buah. Subhanallah. Prestasi gemilang orang Jawa ini perlu disyukuri.

Dalam bidang kebudayaan tampil membuat batik, gamelan, kuliner, gendhing, tari yang memukau bangsa di seluruh dunia. Masyarakat Jawa menunjukkan jatidiri sebagai insan kamil. Rum kuncaraning bangsa, dumunung ing luhuring budaya.

___________________

Ditulis oleh Purwadi, Jl Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta.  Kamis, 20 Februari 2020.
Sebagai bahan diskusi buku dengan judul Sejarah Islam di Nusantara, yang diselenggarakan Yayasan Abdurrahman Baswedan, Jum’at, 21 Fenriari 2020, di Sekretariat Yayasan, Perumahan Timoho Asri IV, No. B9C Yogyakarta.

 

Sabtu, 09 Mei 2020

Robohnya Surau Kami


Kalau beberapa tahun jang lalu tuan datang kekota kelahiranku dengan menompang bis, tuan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menjusuri djalanraja arah kebarat. Maka kirakira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan didjalan kampungku. Pada simpangketjil kekanan, simpang jang kelima, membeloklah kedjalan sempit itu. Dan diudjung djalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Didepannja ada kolam ikan, jang airnja mengalir melalui empat buah pantjuran mandi.
Dan dipelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua jang biasanja duduk disana dengan segala tingkah ketuaannja dan keta’atannja beribadat. Sudah bertahuntahun ia sebagai garin, pendjaga surau itu. Orangorang memanggilnja kakek.
Sebagai pendjaga surau, kakek tidak mendapat apaapa. Ia hidup dari sedekah jang dipungutnja sekali sedjumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikanmas dari kolam itu. Dan sekali setahun orangorang mengantarkan fitrah Id kepadanja. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerdjaannja itu. Orangorang suka minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinja sambal sebagai imbalan. Orang lakilaki jang minta tolong, memberinja imbalan rokok, kadangkadang wang. Tapi jang paling sering diterimanja ialah utjapan terimakasih dan sedikit senjum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa pendjaganja. Hingga anakanak menggunakannja sebagai tempat bermain, memainkan segala apa jang disukai mereka. Perempuan jang kehabisan kajubakar, sering suka mentjopoti papan dinding atau lantai dimalam hari.
Djika tuan datang sekarang, hanja akan mendjumpai suatu gambaran jang mengesankan suatu kesutjian jang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian tjepat berlangsungnja. Setjepat anakanak berlari didalamnja, setjepat perempuan mentjopoti pekajuannja. Dan jang terutama ialah sipat masabodoh manusia sekarang jang tak hendak memelihara apa jang tak didjaga lagi.
Dan barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan jang tak dapat disangkal kebenarannja. Begitu kisahnja.
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanja kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinja wang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Disudut benar ia duduk dengan lututnja menegak menopang tangan dan dagunja. Pandanganja saju kedepan, seolaholah ada sesuatu jang mengamuk pikirannja. Sebuah beleksusu jang berisi minjakkelapa, sebuah asahan halus, kulit sol pandjang dan pisautjukur tua berserakan disekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durdja dan belum pernah salamku tak disahutinja seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnja dan aku djamah pisau itu. Dan aku tanja kakek : — Pisau siapa, kek ?—
— Adjo Sidi —
— Adjo Sidi ?—
Kakek tak menjahut. Maka aku ingat Adjo Sidi, sipembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannja. Adjo Sidi bisa mengikat orangorang dengan bualannja jang anehaneh sepandjang hari. Tapi itu djarang terdjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerdjaannja. Sebagai pembual, sukses terbesar baginja ialah karena semua pelakupelaku jang ditjeritakannja mendjadi model orang untuk diedjek dan tjeritanja mendjadi pameo achirnja. Adaada sadja orangorang sekitar kampungku jang mentjotjoki watak dari pelakupelaku tjeritanja. Ketika sekali ia mentjeritakan bagaimana sipat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang jang ketagihan djadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selandjutnja pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tibatiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Adjo Sidi kepadanja. Apakah Adjo Sidi telah membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah jang mendurdjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanja kakek lagi :
— Apa tjeritanja, kek ? —
— Siapa ? —
— Adjo Sidi —
— Kurang adjar dia — kakek mendjawab lesu.
— Kenapa ? —
— Mudahmudahan pisau tjukur ini, jang kuasah tadjamtadjam ini menggoroh tenggorokannja —
— Kakek marah ? —
— Marah ? Ja, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orangtua menahan ragam. Sudah lama aku tak marahmarah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanja, ibadatku, rusak karenanja. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menjerahkan diriku kepadaNja. Dan Tuhan akan mengasihi orang jang sabar dan tawakal.
Ingin tahuku dengan tjerita Adjo Sidi jang memurungkan kakek djadi memuntjak. Aku tanja lagi kakek : — Bagaimana katanja, kek ? —
Tapi kakek diam sadja. Berat hatinja bertjerita barangkali. Karena aku telah berulangulang bertanja, lalu ia jang bertanja kepadaku. — Kau kenal padaku, bukan ? Sedari kau ketjil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan ? Kautahu apa jang kulakukan semua, bukan ? Terkutukkah perbuatanku ? Dikutuki Tuhankah semua pekerdjaanku ? —
Tapi aku tak perlu mendjawabnja lagi. Sebab aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnja, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanjaannja sendiri  — Sedari mudaku aku disini, bukan ? Tak kuingat punja isteri, punja anak, punja keluarga seperti orangorang lain, tahu ? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin tjari kaja, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Tak pernah aku menjusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnja. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu jang kulakukan, sangkamu ? Akan dikutukiNja aku kalau selama hidupku akan mengabdi kepadanja ? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku jakin Tuhan itu ada dan pengasih penjajang kepada umatNja jang tawakal. Aku bangun pagipagi. Aku bersutji. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnja, supaja bersudjut kepadaNja. Aku sembahjang setiap waktu, siang malam, pagi sore. Aku sebutsebut namaNja selalu. Aku pudjipudji Dia. Aku batja kitabNja. Alhamdulillah, kataku bila aku menerima kurniaNja. Astaghfirullah, kataku bila terkedjut. Masjaallah, kataku bila aku kagum. Apakah salahnja pekerdjaanku itu ? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk —
Ketika kakek terdiam agak lama, aku menjelakan tanjaku : — Ia katakan kakek begitu, kek ?
— Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kirakiranja.
Dan aku melihat mata kakek berlinang. Aku djadi belas kepadanja. Dalam hatiku aku mengumpati Adjo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa tjerita Adjo Sidi jang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku mendjadikan aku njinjir bertanja. Dan akirnja kakek bertjerita djuga.
— Pada suatu waktu, — kata Adjo Sidi memulai — diakirat Tuhan Allah memeriksa orangorang jang sudah berpulang. Para malaikat bertugas disampingNya. Ditangan mereka tergenggam daptar dosa dan pahala manusia. Begitu banjaknja orang jang diperiksa. Maklumlah dimanamana ada perang. Dan diantara orangorang jang diperiksa itu ada seorang jang didunia dinamai Hadji Saleh. Hadji Saleh itu tersenjumsenjum sadja karena ia sudah begitu jakin akan dimasukkan kesorga. Kedua tangannja ditopangkannja dipinggang sambil dibusungkan dada dan menekurkan kepala kekuduk. Ketika dilihatnja orangorang jang masuk neraka, bibirnja menjunggingkan senjum edjekan. Dan ketika ia melihat orang jang masuk sorga ia melambaikan tangannja, seolah hendak mengatakan ,,selamat ketemu nanti”. Bagai tak habishabisnja orang jang berantri, begitu pandjangnja. Susut jang dimuka, bertambah jang dibelakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sipatNya.
Akirnja sampailah giliran Hadji Saleh. Sambil senjum bangga ia menjembah Tuhan. Lalu Tuhan mengadjukan pertanjaan pertama.
— Engkau ? —
— Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Hadji Saleh namaku —
— Aku tidak tanja nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanja buat engkau didunia —
— Ja, Tuhanku —
— Apa kerdjamu didunia ? —
— Aku menjembah Engkau selalu, Tuhanku. —
— Lain ?
— Segala tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat djahat, walaupun dunia seluruhnja penuh oleh dosadosa jang dihumbalangkan iblis laknat itu.
— Lain ?—
— Ja, Tuhanku, tak ada pekerdjaanku selain daripada beribadat menjembahMu, menjebutnjebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, namaMu mendjadi buah bibirku djuga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan hatiMu untuk mengisapkan umatMu —
— Lain ? —
Hadji Saleh tak dapat mendjawab lagi. Ia telah mentjeritakan segala jang ia kerdjakan. Tapi ia insap, bahwa pertanjaan Tuhan bukan asal bertanja sadja, tentu ada lagi jang belum dikatakannja. Tapi menurut pendapatnja, ia telah mentjeritakan segalanja. Ia tak tahu lagi apa jang harus dikatakannja. Ia termenung dan menekurkan kepalanja. Api neraka tibatiba menghawakan kehangatannja ketubuh Hadji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap airmatanja mengalir, dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
— Lain lagi ? — tanja Tuhan.
— Sudah hambaMu tjeritakan semuanja, o Tuhan jang Maha Besar, lagi pengasih dan penjajang, adil dan maha tahu. — Hadji Saleh jang sudah kuju mentjobakan siasat merendahkan diri dan memudji Tuhan dengan mengharapkan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnja dan tidak salah tanja kepadanja.
Tapi Tuhan bertanja lagi : — Tak ada lagi ? —
— O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membatja KitabMu —
— Lain ? —
— Sudah kutjeritakan semuanja, o, Tuhanku. Tapi kalau ada jang aku lupa mengatakannja, akupun bersukur karena Engkaulah jang Maha Tahu —
— Sungguh tidak ada lagi jang kau kerdjakan didunia selain jang kau tjeritakan tadi ? —
— Ja, itulah semuanja, Tuhanku —
— Masuk kamu —
Dan malaikat dengan sigap mendjewer Hadji Saleh keneraka. Hadji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa keneraka. Ia tak mengerti apa jang dikehendaki Tuhan daripadanja dan ia pertjaja Tuhan tidak silap.
Alangkah tertjengangnja Hadji Saleh, karena dineraka itu banjak temantemannja didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinja, karena semua orangorang jang dilihatnja dineraka tak kurang ibadatnja dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang jang telah sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar Sjech pula. Lalu Hadji Saleh mendekati mereka, lalu bertanja kenapa mereka dineraka semuanja. Tapi sebagaimana Hadji Saleh, orangorang itupun tak mengerti djuga.
— Bagaimana Tuhan kita ini ? — kata Hadji Saleh kemudian, — Bukankah kita disuruhNja taat beribadat, teguh beriman ? Dan itu semua sudah kita kerdjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan keneraka —
— Ja. Kami djuga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orangorang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannja beribadat —
— Ini sungguh tidak adil —
— Memang tidak adil — kata orangorang itu mengulangi utjapan Hadji Saleh.
— Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita.
Kita harus mengingatkan Tuhan, kalaukalau Ia silap memasukkan kita keneraka ini —
— Benar. Benar. Benar — sorakan jang lain membenarkan Hadji Saleh.
— Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNja, bagaimana ? — suatu suara melengking didalam kelompok orang banjak itu.
— Kita protes. Kita resolusikan — Kata Hadji Saleh.
— Apa kita repolusikan djuga ? — tanja suara jang lain, jang rupanja didunia mendjadi pemimpin gerakan repolusioner.
— Itu tergantung pada keadaan — kata Hadji Saleh. Jang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan —
— Tjotjok sekali. Didunia dulu dengan demonstrasi sadja, banjak jang kita peroleh — sebuah suara menjela.
— Setudju. Setudju. Setudju — mereka bersorak beramairamai.
Lalu mereka berangkatlah bersamasama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanja : — Kalian mau apa ? —
Hadji Saleh jang djadi pemimpin dan djurubitjara tampil kedepan. Dan dengan suara jang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonja : O, Tuhan kami jang Maha Besar. Kami jang menghadapMu ini adalah umatMu jang paling taat beribadat, jang paling taat menjembahMu. Kamilah orangorang jang selalu menjebut namaMu, memudjimudji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lainlainnja. KitabMu kami apal diluar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membatjanja. Akan tetapi Tuhanku jang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami keneraka. Maka sebelum terdjadi halhal jang tak diingini, maka disini, atas nama orangorang jang tjinta padaMu, kami menuntut agar hukuman jang Kau djatuhkan kepada kami ditindjau kembali dan memasukkan kami kesorga sebagaimana jang Engkau djandjikan dalam kitabMu.
— Kalian didunia tinggal dimana ? — tanja Tuhan.
— Kami ini adalah umatMu jang tinggal di Indonesia, Tuhanku —
O, dinegeri jang tanahnja subur itu ? —
— Ja. Benarlah itu, Tuhanku —
— Tanahnja jang mahakajanja, penuh oleh logam, minjak dan berbagai bahan tambang lainnja, bukan ? —
— Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami — mereka mulai mendjawab serentak. Karena padjar kegembiraan telah membajang diwadjahnja kembali. Dan jakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap mendjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
— Dinegeri, dimana tanahnja begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam ? —
— Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami —
— Dinegeri, dimana penduduknja sendiri melarat itu ? —
— Ja. Ja. Ja. Itulah dia negeri kami —
— Negeri jang lama diperbudak orang lain itu —
— Ja, Tuhanku. Sungguh laknat pendjadjah itu, Tuhanku —
— Dan hasil tanahmu, mereka jang mengeruknja dan diangkutnja kenegerinja, bukan ? —
— Benar, Tuhanku, hingga kami tak mendapat apaapa lagi. Sungguh laknat mereka itu —
— Dinegeri jang selalu katjau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain djuga jang mengambilnja, bukan ? —
— Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal hartabenda itu, kami takmau tahu. Jang penting bagi kami ialah menjembah dan memudji Engkau —
— Engkau rela tetap melarat, bukan ? —
— Benar. Kami rela sekali, Tuhanku —
— Karena kerelaanmu itu, anaktjutjumu tetap djuga melarat bukan ? —
— Sungguhpun anaktjutju kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengadji. KitabMu mereka hapal diluar kepala belaka —
— Tapi seperti kamu djuga, apa jang disebutnja tidak dimasukkan kehatinja, bukan ? —
— Ada, Tuhanku —
— Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anaktjutjumu teraniaja semua. Sedang hartabendamu kau biarkan orang lain mengambilnja untuk anaktjutju mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri jang kajaraja, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat sadja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menjuruh engkau semuanja beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pudjian, mabuk disembah sadja, hingga kerdjamu lain tidak memudjimudji dan menjembahku sadja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali keneraka. Letakkan dikeraknja —
Semuanja djadi putjatpasi tak berani berkata apaapa lagi. Tahulah mereka sekarang apa djalan jang diridai Allah didunia.
Tapi Hadji Saleh ingin djuga kepastian apakah jang dikerdjakannja didunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanja kepada Tuhan, ia bertanja sadja pada malaikat jang mengiring mereka itu.
— Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menjembah Tuhan didunia ? — tanja Hadji Saleh.
— Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahjang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, hingga mereka itu kutjarkatjir selamanja. Itulah kesalahanmu jang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanja, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun —
Demikianlah tjerita Adjo Sidi jang kudengar dari kakek. Tjerita jang memurungkan kakek.
Dan besoknja, ketika aku mau turun rumah pagipagi, isteriku berkata apa aku tak pergi mendjenguk.
— Siapa jang meninggal — tanjaku kaget.
— Kakek —
— Kakek ? —
— Ja. Tadi subuh kakek kedapatan mati disuraunja dalam keadaan jang ngeri sekali. Ia menggoroh lehernja dengan pisau tjukur —
— Astaga. Adjo Sidi punja garagara — kataku seraja melangkah setjepatnja meninggalkan isteriku jang tertjengangtjengang.
Aku tjari Adjo Sidi kerumahnja. Tapi aku berdjumpa sama isterinja sadja. Lalu aku tanja dia.
— Ia sudah pergi — djawab isteri Adjo Sidi.
— Tidak ia tahu kakek meninggal ? —
— Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat kakek tudjuh lapis —
— Dan sekarang — tanjaku kehilangan akal sungguh mendengar peristiwa oleh perbuatan Adjo Sidi jang tidak sedikitpun bertanggungdjawab — dan sekarang kemana dia ? —
— Kerdja—
— Kerdja ? — tanjaku mengulangi hampa.
— Ja. Dia pergi kerdja —

A.A. Navis
Bukittinggi, Maret 1955

***
Kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, tuan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang di pungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terimakasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai suatu gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang tak dijaga lagi.
Dan barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Begitu kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandanganya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya kakek: “Pisau siapa, kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi itu jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnja. Ada-ada saja orang-orang sekitar kampungku yang mencocoki watak dari pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya kakek lagi:
“Apa ceritanja, kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” kakek menjawab lesu.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orangtua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku, rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepadaNya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek, “Bagaimana katanya, kek?”
Tapi kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku. “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kautahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanyaannya sendiri. “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukiNya aku kalau selama hidupku akan mengabdi kepadanya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaja bersujud kepadaNya. Aku sembahyang setiap waktu, siang malam, pagi sore. Aku sebut-sebut namaNya selalu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitabNya. Alhamdulillah, kataku bila aku menerima kurniaNya. Astaghfirullah, kataku bila terkejut. Masya Allah, kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan kakek begitu, kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya kakek bercerita juga.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di sampingNya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan diantara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenjum-senjum saja karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkannya di pinggang sambil dibusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan, “Selamat ketemu nanti.” Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri, begitu panjangnya. Susut yang di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifatNya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil senyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
“Engkau?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
“Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”
“Ya, Tuhanku.”
“Apa kerjamu di dunia?”
“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”
“Lain?”
“Segala tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.
“Lain?”
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembahMu, menyebut-nyebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, namaMu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan hatiMu untuk mengisapkan umatMu.”
“Lain?”
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insyaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
“Lain lagi?” tanja Tuhan.
“Sudah hambaMu ceritakan semuanya, o Tuhan yang Maha Besar, lagi Pengasih dan Penyayang, adil dan Maha Tahu.” Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan mengharapkan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi, “Tak ada lagi?”
“O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca KitabMu.”
“Lain?”
“Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Maha Tahu.”
“Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi?”
“Ya, itulah semuanya, Tuhanku.”
“Masuk kamu.”
Dan malaikat dengan sigap menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar Syech pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “Bukankah kita disuruhNya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”
“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNya, bagaimana?” suatu suara melengking didalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.
“Apa kita revolusikan juga?” tanja suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju,” mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, “Kalian mau apa?”
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya, “O, Tuhan kami yang Maha Besar. Kami yang menghadapMu ini adalah umatMu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahMu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut namaMu, memuji-muji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lain-lainnya. KitabMu kami apal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi Tuhanku yang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka disini, atas nama orang-orang yang cinta padaMu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitabMu.
“Kalian di dunia tinggal dimana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umatMu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakayanya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, dimana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, dimana penduduknya sendiri melarat itu?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu.”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku, hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat bukan?”
“Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. KitabMu mereka hapal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan dikeraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridhai Allah di dunia.
Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang mengiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari kakek. Cerita yang memurungkan kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, isteriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal,” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan isteriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama isterinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab isteri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab. “Dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”