Senin, 08 Juni 2015

Memilih Sikap Selembut Nurani

‘Utsman hanya akan menunduk hening jika disebut tentang neraka
tapi tangisnya menggugu mengguncang bahu saat “kubur” diperdengarkan
“andaipun disiksa,” ujarnya, “di Jahannam kita akan punya banyak kawan”
“adapun di alam barzakh, kesendirian itu saja pasti sudah sangat mengerikan”



DALAM tradisi Arab, selain ism, kuniyah, dan laqob, ada kebiasaan untuk memanggil orang yang disayang dan memiliki tempat khusus di hati dengan ism tashghir. Secara bahasa, tashghir artinya mengecilkan. Dalam istilah bahasa, ia bermakna mengubah bentuk kata untuk suatu maksud tertentu dengan cara memberikan baris dhommah di awal huruf, mem-fathah huruf kedua, dan menambahkan huruf ya’ yang di-sukun setelahnya.

Pada tsulatsi, yakni kata benda yang tersusun atas tiga huruf, wazan pola katanya adalah “Fu’ail”. Pada kata empat huruf atau ruba’i, wazan pola katanya ialah “Fu’ai-‘il”, dan untuk yang selebihnya berpola “Fu’ai-‘iil”. Contoh sederhana untuk tsulatsi; Jabal (gunung) menjadi Jubail (gunung kecil). Untuk yang ruba’i, ada kata Masjid yang berubah menjadi Musaijid (masjid kecil). Dalam pola “Fu’ai-‘iil” kita mendapati contoh Mishbaah (lampu) yang berubah menjadi Mushoibiih (lampu kecil).

Ada banyak maksud dari pembentukan ism tashghir. Utamanya memang mengecilkan ukuran sebagaimana telah kita perlihatkan dalam contoh. Tetapi bisa juga digunakan untuk mengabaikan, mengurangi, menunjukkan kedekatan, mengagungkan, dan sindiran. Dalam konteks panggilan terhadap seseorang, ia menunjukkan kedekatan hubungan dan ungkapan sayang.

Untuk lelaki istimewa yang kita bicarakan kali ini, ism-nya adalah ‘Utsman ibn ‘Affan. Kuniyah-nya Abu ‘Abdillah. Dia memiliki gelar Dzun Nuroin wal Hijrotain, pemilik dua cahaya yang berhijrah dua kali, sebagai laqob-nya. Nah, lalu adakah ism tashghir untuk ‘Utsman? Ya, ada. ‘Utsaim, begitu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sering memanggilnya.

“Beliau seorang yang rupawan,” kata Ibnu Sa’d dalam ath-Thobaqotul Kubro tentang ciri-ciri ‘Utsman. “Wajahnya teduh dan lembur, janggutnya banyak dan halus, perawakannya sedang, tulang persendiannya besar, bahunya bidang, serta rambutnya lebat. Beliau memiliki bentuk mulut bagus berwarna kecoklatan. Ada yang mengatakan bahwa pada wajah beliau ada beberapa bekar cacar.”

‘Utsman dipanggil ‘Utsaim oleh Sang Nabi. Rasa sayang dan kelembutan beliau kepada ‘Utsman begitu tampak dan terasa. Semua orang yang mengenal kemuliaan akhlaknya, kesucian batinnya, keringanan jiwanya menginfaqkan harta, dan keagungan pengorbanannya. Dan makin dalamlah kasih Sang Nabi kepada menantunya ini. Satu hari, ketika ‘Utsman si pemalu menyelubungi wajahnya dengan kain, Rosululloh memandang ke arahnya dengan sendu dan bersabda kepada para shohabat, “Kabarkan kepadanya bahwa dia masuk surga disertai dengan fitnah dan pembunuhan yang menzholiminya.”

‘Utsman seorang yang sangat mencintai kebersamaan dan shilaturrohim. Bahkan ajaibnya, dari yang terkutip di awal tulisan, kita tahu bahwa sampai-sampai dia lebih menkhawatirkan kesendirian dalam kubur dibandingkan kerasnya siksa neraka. Tentu itu mungkin tersebab bahwa dia sudah diberikan kabar gembira untuk masuk surga. Tetapi bagaimanapun, ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu ‘Anhu, memang pribadi yang unik.

Sesungguhnya, takdir para pahlawan besar adalah mendapatkan nikmat yang besar, meraih keberuntungan besar, memiliki peran besar, juga mendapatkan nama besar dan penghargaan besar. Di balik itu, mereka juga akan menghadapi masalah besar, musibah besar, dan kenestapaan besar. Terhubung dengan kepribadiannya yang unik, semua ujian yang dihadapi ‘Utsman di akhir masa jabatannya sebagai kholifah sungguh besar sekaligus rumit dan pelik.

Dan bagi sahabat-sahabat ‘Utsman, tentu saja kadang tak mudah menyikapi itu semua.

***

“Aqidah salaf dalam menyikapi perselisihan para shohabat adalah tidak memperbincangkannya,” tulis Muhammad ibn ‘Abdillah al-Ghoban dalam al-Fitaan fii Qotli ‘Utsman ibn ‘Affan, “Kecuali jika muncul ahli bid’ah yang mencela dan merendahkan mereka. Maka ketika itu wajib untuk membela mereka dengan kebenaran dan keadilan.”

Sesungguhnya kita memang tidak ingin bicara tentang berbagai fitnah yang terjadi di masa ‘Utsman ibn ‘Affan. Hanya saja pangkal soalnya memang perlu diangkat sebagai sebuah sudut pandang untuk memahami sikap para shohabat pada masa itu sekedar agar kita bisa mengambil ibroh dan meneladani kebaikan-kebaikan mereka yang bagai pelita zaman nan tak pernah redup. Kemuliaan nama mereka di hati kita selalu terjaga insya Alloh, berkat ridho Alloh yang telah tercurah pada diri-diri mereka.

Saif ibn ‘Umar at-Tamimi, yang keterangannya banyak dikutip Imam ath-Thobari dalam Tarikh-nya, menyebut nama ‘Abdulloh ibn Saba’, si Yahudi yang berpura-pura masuk Islam sebagai pangkal utama berbagai fitnah. “Dia,” ungkap Imam Abu Bakr al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah yang ditulisnya, “Menyusup ke dalam tubuh kaum Muslimin seperti dilakukan oleh paulus ke dalam agama Nasrani hingga dia dapat menyesatkan dan memecah belah mereka menjadi berbagai firqoh.”

Ahli fitnah inilah yang membesar-besarkan perbedaan pendapat di kalangan para shohabat semisal antara ‘Utsman dengan Abu Dzar al-Ghiffari tentang kepemilikan harta kekayaan; antara ‘Utsman dengan ‘Abdulloh ibn Mas’ud tentang sholat ‘qoshor di Mina serta pemusnahan mushhaf selain yang sesuai tepat dengan mushhaf al-Imam untuk menghindari perselisihan ummat; antara ‘Utsman dengan ‘Ali terkait pengangkatan beberapa pejabat, dan berbagai-bagai yang selain itu. Kabar ikhtilaf itu dibawa ke mana-mana disertai bermacam tiupan dengki dan penambahan yang mengarahkan kebencian masyarakat kepada ‘Utsman Rodhoyallohu ‘Anhu.

Inilah ‘Abdulloh ibn Saba’, penyebab yang jahat.

Simpul persoalan yang kedua, sorot Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wal Mulk, adalah kerabat-kerabat ‘Utsman dari kalangan Bani ‘Umayyah. Nama bermasalah yang paling sering disebut dalam sejarah adalah Marwan ibn al-Hakam. Marwan, sepupu ‘Utsman yang menjabat sekretaris pribadi sekaligus penasehatnya ini, bahkan dipersaksikan sendiri oleh Nailah binti al-Farafishoh, istri ‘Utsman, sebagai pangkal keruwetan. “Bila engkau terus-menerus mengikuti Marwan,” ujar Nailah sebagaimana dicatat oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah, “Maka dia akan menjadi sebab kematianmu. Dia sungguh tak berharga di sisi Alloh. Dia tak memiliki wibawa dan nihil pula kecintaan manusia pada dirinya.”

Para ahli sejarah mencatat bahwa Nailah bisa saja benar. Kelak, ada surat mengatasnamakan Kholifah yang dibawa budak ‘Utsman dengan untanya berisi perintah kepada ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq yang baru saja diangkat menjadi Gubernur Mesir. Surat itu diduga ditulis oleh Marwan. Ada kemungkinan lain bahwa surat itu dipalsukan oleh pembuat fitnah di kalangan para pemberontak sebagaimana mereka pernah memalsukan surat atas nama ‘Ali, az-Zubair, Tholhah, Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan ‘Aisyah untuk mengobarkan pembangkangan terhadap ‘Utsman. Wallohu a’lam.

Yang jelas, surat itulah yang makin mengobarkan amarah kaum pemberontak hingga ‘Utsman mereka bunuh di rumahnya setelah dikepung empatpuluh hari lamanya. Subhanalloh!

Nama lain yang kadang disebut adalah Walid ibn ‘Uqbah, kerabat ‘Utsman yang diangkat menjadi Gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Walid berjasa besar dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Tapi masyarakat umumnya menaruh hormat yang sangat dalam pada Sa’d, dan mereka segera tak menyukai Walid yang diketahui beberapa kali meminum khomr. Dia pernah mengimami sholat Shubuh empat roka’at dan seusai salam bertanya, “Apa kalian mau kutambah lagi?” Syukurlah, ‘Utsman kemudian menegakkan had atasnya.

Inilah kerabat ‘Utsman lainnya yang diangkat sebagai pejabat dan masyhur namanya; Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (Gubernur Syam Raya), Sa’d ibn al-‘Ash (Gubernur Kufah pengganti Walid), ‘Amr ibn al-‘Ash (Gubernur Mesir Raya), ‘Abdulloh ibn Amir (Gubernur Bashroh), serta ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh (Gubernur Maghrib).

Sebagai perbandingan, di masa ‘Umar, pengawasan terhadap para pemangku tugas begitu ketat dan nyaris sama sekali tak ada kerabat ‘Umar yang menjadi pejabat. Agaknya kebijakan ‘Umar itu telah dianggap sebagai kebaikan mutlak oleh masyarakat sehingga ketika ‘Utsman mengangkat orang-orang yang dipercayainya dari kalangan Bani ‘Umayyah untuk menjadi gubernur, hal itu terlihat seakan tercela di mata orang-orang. Meski memang tak sepenuhnya salah, cara dan gaya hidup mereka memang berbeda dari apa yang berjalan di masa ‘Umar. Itu lagi-lagi menjadi bahan bakar tambahan pemicu firnah.

Para kerabat ini adalah penyebab firnah yang bisa saja salah, namun tentu tak sepenuhnya.

Yang ketiga adalah semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam di masa ‘Utsman. Afrika, kawasan Maghrib, Andalusia, Ciprus, dan seluruh wilayah kekuasaan Romawi di benua Asia takluk. Ke utara dan timur, penaklukan mencapai Armenia, Azerbaijan, Thobaristan, Kirman, Sijistan, dan seluruh Khurosan. Perluasan ini membawa konsekuensi makin bertimbun dan berlimpahnya kekayaan Baitul Maal. Terkisah bahwa Khumus Afrika saja senilai 5 juta dinar.

“Angin perubahan,” demikian ditulis Kholid Muhammad Kholid dalam Khulafaa-ur Rosuul, “Dan perkembangannya yang makin menampakkan kegelapnya dunia bertiup amat derasnya memasuki negara yang mahaluas itu dari keempat penjuru bumi. Ummat pun sudah terdiri atas berbagai bangsa yang membawa adat-istiadat dan tatacara hidup yang menggejolak bagai gelombang setinggi gunung.” Sebagaimana hukum sejarah yang dirumuskan Ibnu Kholdun, keberlimpahan itu menumpulkan semangat juang ummat secara perlahan dan membuat mereka kurang peka pada hal-hal kecil yang sedemikian rentan memicu perpecahan.

‘Utsman memang bukan ‘Umar yang sedemikian garang dalam mengekang nafsu serakah rakyat dan pegawai-pegawainya. Andaipun ‘Utsman ingin berlaku sama, masihkah itu mungkin sementara keadaan telah jauh berubah? Maka ‘Utsman memandang kenikmatan hidup bagi mereka itu tak ada salahnya, selama mereka memperolehnya dari jalan halal, menunaikan hak zakatnya, dan tak membelanjakannya untuk kemaksiatan. Catatan terpenting, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman satu hari berkhuthbah dengan surban dan gamis yang tambalannya ada di tigapuluhdua tempat! Oh, sungguh dia tetap suci dan meneladankan kezuhudan.

Walhasil, keadaan makmur yang rawan konflik ini juga menjadi sebab fitnah yang tak terhindarkan, tapi juga tak bisa disalahkan.

Yang keempat, adalah bahwa ‘Utsman ibn ‘Affan memang berkarakter lembut hati, menjaga sebaik-baik shilaturrohim dengan mereka yang karib, dan pemaaf atas kekhilafan orang. ‘Umar di masanya dulu seakan memegang hidung semua pejabatnya, mencurigai setiap yang janggal, menyemburnya dengan hardikan keras jika menyimpang, dan melecutnya dengan cemeti jika kedapatan bersalah. Adapun ‘Utsman, dia penuh prasangka baik, tak suka keributan dan onar, dan memilih mengorbankan harta―bahkan nanti jiwanya―untuk menyelesaikan masalah agar tak ada seorang pun yang tersakiti atau dirugikan selain dirinya.

Inilah akhlak ‘Utsman ibn ‘Affan, penyebab terpuji yang sama sekali tak bisa dicela.

***

Dalam dekapan ukhuwah, dengan kelembutan nurani mereka, ada beberapa pilihan sikap yang diambil oleh para shohabat terhadap Amirul Mukminin, ‘Utsman ibn ‘Affan.

Sikap pertama adalah senantiasa memberi masukan terbuka dan tetap menaati ‘Utsman atas segala perintahnya. Dengan penuh keberanian, atas dasar ijtihadnya mereka menentang para pejabat ‘Utsman yang dianggap tak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rosululloh, dan jalan hidup dua Syaikhoin; Abu Bakar serta ‘Umar.

Sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang paling lurus ucapannya, Abu Dzar al-Ghiffari melakukannya di Syam dengan begitu istiqomah. Adalah Mu’awiyah, Rodhiyallohu ‘Anhu yang kemudian merasa bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar lebih banyak madhorotnya bagi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Bagaimana tidak, pikir Mu’awiyah, jika kemudian ada yang menafsirkan bahwa khuthbah Abu Dzar membolehkan orang-orang miskin untuk mendatangi rumah orang kaya dan merampas apa yang dianggap hak kaum papa dari mereka?

“Alloh telah berfirman dan firman-Nya takkan berubah, hukum-Nya juga takkan berganti,” ujar Abu Dzar dalam khuthbahnya. “Inilah Dia ‘Azza wa Jalla mengancamkan di surat at-Taubah ayat tigapuluh empat: ‘Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.’

Atas laporan Mu’awiyah yang risau, ‘Utsman memanggil Abu Dzar agar membersamainya tinggal di Madinah.

Dan Abu Dzar pun pindah ke Madinah tanpa mengubah ijtihad dan sikapnya. ‘Utsman terus berusaha menjinakkan hatinya dengan akhlak dan kedermawanannya. Hingga satu hari, dalam sebuah pembahasan di depan ‘Utsman ibn ‘Affan, Ka’b al-Ahbar, seorang bekas rahib Yahudi yang masuk Islam mendebat Abu Dzar. “Orang yang telah berzakat,” ujar Ka’b, “Telah terbebas dari kewajiban lain atas hartanya.” Abu Dzar Rodhiyallohu ‘Anhu, tersinggung dan marah.

“Hai anak Yahudi!” hardik Abu Dzar saat itu sebagaimana dikisahkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi dalam ‘Ali Imamul Muttaqin, “Ada apa kau di sini dan mau apa?” Berkata begitu, tangan Abu Dzar juga melayang ke kepala Ka’b al-Ahbar. Saking kerasnya hantaman Abu Dzar, Ka’b tersungkur; kepalanya luka dan berdarah.

Melihat itu, ‘Utsman menangis. “Wahai Abu Dzar, Saudaraku,” tegurnya, “Takutlah engkau kepada Alloh. Jagalah manusia dari lisan dan tanganmu.”

Abu Dzar pun tak kalah menyesal. Dia ingat sekali apa yang disabdakan Rosululloh ketika dulu dihardiknya Bilal sebagai anak budak hitam. “Hai Abu Dzar,” kata Sang Nabi saat itu, “Sungguh engkau, di dalam dirimu masih terdapat jahiliyah.” Maka dia pun undur, meminta hukuman kepada ‘Utsman.

“Agaknya engkau memang tak merasa nyaman bersama kami, hai Abu Dzar?”

“Engkau benar, hai Amirul Mukminin,” kata Abu Dzar dengan mata berkaca-kaca.

“Apa yang harus kami lakukan untukmu?”

“Tempatkanlah aku di manapun engkau suka.”

“Bagaimana jika di Robdzah, agar engkau dekat dengan orang-orang yang mencintaimu?”

“Aku mendengar dan taat.”

Maka Abu Dzar pun menuju Robdzah dan tinggal di sana. ‘Utsman melepasnya dengan kemuliaan, membekalinya dengan biaya untuk membangun tempat tinggal dan masjid. ‘Utsman menambahinya harta, serta beberapa perkakas dan hak milik lengkap dengan pembantunya. Pahit memang dirasa masing-masing. Tetapi, “Seandainya ‘Utsman memerintahkan aku agar berlaku sebagaimana budak hitam Habasyah,” kata Abu Dzar, “Aku pasti akan mendengar dan taat. Bahkan jikapun ‘Utsman menyalibku di atas batang kayu, aku juga pasti menaatinya dan kuanggap hal itu sebagai kebaikan bagi diriku.”

Inilah Abu Dzar, sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang paling lempang kata-katanya. Dalam dekapan ukhuwah, dia berani menyuarakan kebenaran yang diyakininya, tetapi tetap berlembut nurani untuk mendengar dan taat kepada ‘Utsman, sang Kholifah, sang Ulil Amri. Bagi kita yang dikaruniai Alloh sikap kritis, mari belajar pada Abu Dzar agar ia tak berubah menjadi sinis. Sebab banyak orang yang berlaku sinis merasa dirinya kritis. Padahal keduanya tak sama. Keduanya sungguh berbeda.

Inilah Abu Dzar al-Ghiffari, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Sikap yang sama agungnya ditunjukkan oleh ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn Yassir. Tersebab perselisihannya dengan Amirul Mukminin, ‘Abdulloh ibn Mas’ud pernah dihentikan tunjangannya dari Baitul Maal. ‘Ammar juga pernah disiksa oleh seorang pengawal kekholifahan hingga sekarat tanpa sepengetahuan ‘Utsman gara-gara ingin menemuinya untuk menyampaikan masukan.

Mereka mengalami kenestapaan dan rasa sakit dalam dekapan ukhuwahnya bersama ‘Utsman. Tetapi ketika para penebar kekejian beraksi, ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn Yassir adalah pembela Kholifah yang penuh kesetiaan dan cinta.

***

Sikap kedua yang diambil sebagian shohabat adalah mendengar, taat, dan sejenak menghindarkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan di seputar pemerintahan. Mereka bersabar dan yakin, mereka bertawakal, dan menyerahkan pada Alloh keadaan yang terjadi. Mereka optimis dan percaya, syi’ar Islam yang benderang di bawah kekhilafahan ini milik Alloh, maka biarlah Alloh yang membersihkannya dari segala kemelut dan kerusakan yang mengancam.

Inilah Sa’d ibn Abi Waqqosh, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Adalah Sa’d tersentak ketika membaca surat pemecatan ‘Utsman untuknya dari jabatan Gubernur Kufah. Apalagi pembawa surat itu adalah al-Walid ibn ‘Uqbah yang kemudian akan menggantikannya. Seingat Sa’d, al-Walid ibn ‘Uqbah inilah orang yang oleh Alloh disebut sebagai “fasiq” dalam al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman,” demikian firman-Nya dalam surat al-Hujuroot ayat keenam, “Jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana disepakati oleh para mufassirin tanpa keraguan, adalah kisah tentang pribadi al-Walid ibn ‘Uqbah.

Setelah keislamannya dalam Fathul Makkah, suatu hari al-Walid diperintahkan Rosululloh untuk mengumpulkan dan mengambil zakat dari Bani Mustholiq. Entah karena apa, sebelum sampai di perkampungan kabilah ini, al-Walid berbalik pulang dan melapor ke Bani Mustholiq tak sudi membayar zakat dan hampir-hampir membunuhnya. Mendengar itu, Rosululloh segera menyiapkan pasukan untuk memerangi Bani Mustholiq. Untunglah, para pembesar kaum itu segera datang menghadap dan bersaksi bahwa justru mereka menunggu-nunggu utusan Rosululloh untuk mengambil zakat sementara al-Walid tak pernah sampai ke tempat mereka.

Kini al-Walid ibn Abi Waqqosh yang mulia, shohabat yang dijaminkan surga, paman kebanggaan Rosululloh, pemanah yang ayah dan Ibunda Nabi jadi tebusannya, dan lelaki sholih yang do’anya mustajabah, dipecat dan hendak digantikan oleh seorang yang “fasiq”?

Tetapi Sa’d menaati ‘Utsman. Dia berkemas. Dipandangnya al-Walid dengan masygul sambil menyindir, “Entah, kaliankah yang jadi terlalu pintar atau kamilah yang kian hari makin bodoh?” Dia tak sedih karena dipecat. Dia sedih mengapa harus al-Walid ibn ‘Uqbah yang menempati amanah itu? Bukankah masih banyak shohabat Rosululloh yang bertaqwa, sholih, dan berkemampuan?

Maka sejak saat itu Sa’d ibn Abi Waqqosh lebih banyak menghindarkan diri dari tampil di depan umum. Dia mengembara ke berbagai wilayah untuk mengajarkan Kitabulloh dan Sunnah, berjihad, serta melatih para prajurit sembali mengisahkan untuk mereka peperangan-peperangan Rosululloh untuk membina jiwa para muda.

Ketika akhirnya ‘Utsman wafat terzholimi, Sa’d begitu sedih. Dia berdo’a semoga Alloh mengampuni dan merohmati ‘Utsman. Untuk para pembunuhnya, Sa’d berdo’a, “Ya Alloh, jadikanlah mereka orang-orang yang menyesal, setelah itu azablah mereka.”

Sebagian salaf bersumpah, demikian dicatat Imam al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, bahwa tak satu pun yang terlibat dalam pembunuhan ‘Utsman kecuali mereka meninggal dalam keadaan gila. Ibnu Katsir menggarisbawahi, bahwa di antara penyebabnya adalah karomah do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh yang terkenal mustajabah.

Sa’d ibn Abi Waqqosh terus istiqomah dengan sikapnya ini. Ketika ‘Ali ibn Abi Tholib dan putranya al-Hassan wafat, lalu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan mengambil bai’at untuk dirinya sebagai raja, Sa’d didatangi oleh keponakannya. “Wahai Paman,” ujar sang keponakan, “Sesungguhnya di belakangku terhunus seratus ribu pedang. Mereka semua bersumpah atas nama Alloh bahwa engkaulah, Sa’d ibn Abi Waqqosh, satu-satunya shohabat Rosululloh terjamin surga dan anggota syuro ‘Umar yang masih hidup, adalah orang yang paling berhak atas khilafah ini!”

Sa’d tersenyum, “Duhai putra saudaraku,” jawabnya lembut, “Yang kuinginkan hanyalah sebilah pedang saja, tak lebih. Yang kukehendaki adalah sebilah pedang yang mampu menebas tanpa ampun membelah tubuh orang kafir, namun luluh lembut tak berdaya di hadapan orang Mukmin. Demi Alloh, jangan sampai ada darah insan beriman tertumpah atas nama diriku.”

Dalam dekapan ukhuwah, Sa’d ibn Abi Waqqosh telah memilih sikapnya dengan kelembutan nurani.

***

Sikap ketiga dalam dekapan ukhuwah, adalah senantiasa mendampingi ‘Utsman dan menjadi penasehat yang tulus hati baginya meski kadang harus menahan kekecewaan yang bertubi-tubi. Itulah selembut-lembut nurani dan sebaik-baik akhlak terpuji.

Maka inilah dia, ‘Ali ibn Abi Tholib, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Satu hari ditemuinya ‘Utsman. Perbincangan di antara mereka diabadikan oleh Ibnu Katsir dalam karya agungnya, al-Bidayah wan Nihayah. Kata-kata ‘Ali sungguh terlihat sebagai ungkapan tulus, demi kebaikan kekholifahan dan kemashlahatan ummat. Inilah ‘Ali berbagi tentang segala keluhan yang selama ini dititipkan kepadanya. Lalu apa jawab ‘Utsman?

“Duhai Abal Hassan,” kata ‘Utsman, “Seandainya engkau berada di tempatku, demi Alloh aku takkan menyalahkan atau mencelamu, dan aku takkan menjelek-jelekkanmu.”

“Aku tahu,” kata ‘Ali sambil mengangguk, “Demikianlah akhlakmu dihiaskan.”

“Menurutmu,” lanjut ‘Utsman, “Apakah termasuk kemungkaran jika aku menghubungkan shilaturrohim, menutupi celah, mengisi kekosongan, melindungi orang yang sesat jalan, dan mengangkat orang seperti yang telah diangkat oleh ‘Umar? Atas nama Alloh, hai Saudaraku, bukankah engkau tahu bahwa al-Mughiroh ibn Syu’bah dari bani Makhzum juga menjadi gubernur ‘Umar?”

“Ya,” jawab ‘Ali.

“’Umar tidak disalahkan atas hal itu, tetapi mengapa orang-orang menyalahkan aku ketika mengangkat ‘Abdulloh ibn ‘Amir? Sungguh tak banyak kelebihan al-Mughiroh ibn Syu’bah atasnya.”

“Izinkan aku menjelaskan perbedaannya, ya ‘Utsman. Adalah ‘Umar, jika mengangkat seorang pejabat maka dia memegang batang hidungnya dengan kencang. Jika terdengar oleh ‘Umar dia berlaku menyimpang, maka ditariknya hidung itu keras-keras dan dibentaknya sejadi-jadinya sampai pucat. Adapun engkau, engkau tidak melakukan itu. Engkau terlalu berlembut hati dan berlapang dada atas penyelewengan yang mereka lakukan!”

“bagaimana dengan Mu’awiyah? Bukankah dia juga pejabat ‘Umat? Salahkah jika kini aku menetapkannya sebagai gubernurku?”

“Bukankah rasa takut Mu’awiyah kepada ‘Umar lebih besar daripada budak ‘Umar? Adapun kini, dia memutuskan urusannya sendiri tanpa membicarakannya denganmu dan engkau tak pernah mencegahnya!”

“Ya,” kata ‘Utsman sembari menghela nafas panjang, “Engkau benar, hai Abal Hassan. Engkau benar. Memang demikian.”

***

‘Ali terus menjaga ketulusan hatinya untuk mendampingi ‘Utsman dan menasehatinya dengan petuah-petuah berharga. Sayang sekali, ‘Utsman kadang lebih mudah menerima masukan Marwan ibn al-Hakam daripada pendapat ‘Ali. Ketika Madinah semakin terasa menyesakkan dada oleh kehadiran rombongan-rombongan pembangkang dari Mesir, bashroh, dan Kufah, ‘Utsman mengunjungi ‘Ali ibn Abi Tholib dan memohon bantuan untuk bicara dengan mereka.

“Temuilah mereka, wahai Amirul Mukminin,” ujar ‘Ali.

“Tidak,” kata ‘Utsman, “Engkau saja. Sesungguhnya aku malu.”

“Dengan apa aku harus bicara kepada mereka?”

“Katakanlah bahwa aku akan mengikuti masukan, pendapat, dan petunjukmu.”

Untuk kesekian kali, ‘Ali menemui para utusan wilayah itu. Sekali lagi diyakinkannya bahwa Amirul Mukminin adalah orang terbaik yang insya Alloh akan mengambil langkah-langkah terbaik. Mereka mengajukan tuntutan kepada Kholifah untuk memecat Marwan, dan mengganti para pejabat yang menyimpang. ‘Ali meminta mereka pulang dengan keyakinan bahwa ‘Utsman akan mengambil langkah yang diridhoi Alloh dan orang-orang Mukmin.

Mendengar hasil pembicaraan ‘Ali dengan para utusan yang membangkang itu, ‘Utsman lega. Dia berjanji untuk memenuhi tuntutan itu, meski berat.

“Wahai Amirul Mukminin,” sambut ‘Ali sambl menggandeng tangan ‘Utsman ke masjid, “Perkataanmu telah didengar dan disaksikan penghuni langit dan bumi. Janjimu untuk mengganti mereka yang zholim dan sewenang-wenang dengan yang adil lagi amanah telah tertulis. Kini semua orang menanti perintahmu!”

‘Utsman mengangguk mantap. Dia menuju mimbar lalu berkhuthbah dengan untaian kata yang sungguh membesarkan hati para shohabat Rosululloh. Mereka semua menangis. Inilah Dzun Nuroin. Inilah lelaki yang tua dan waro’, yang terdahulu masuk Islam, yang pemalu, yang dermawan dan berakhlak mulia. ‘Utsman juga tak kuasa menahan air matanya. Janggutnya basah.

Sayang, begitu sampai di rumahnya, ‘Utsman telah disambut dengan wajah tak menyenangkan Marwan ibn al-Hakam dan para pembesar Bani ‘Umayyah. Dengan menyentil hati ‘Utsman yang lembut dan sensitif, dengan menyebut beberapa hal tak mengenakkan serta mengancamnya terkait hubungan kekeluargaan di antara mereka, Marwan berhasil membuat ‘Utsman terpaksa menarik kembali janjinya.

“Apakah tiap kali ada yang tak menyukai pegawaimu, lalu engkau akan memecatnya?” ujar Marwan berhujjah, “Demi Alloh ia akan menjadi sunnah yang buruk, hai Amirul Mukminin. Dan demi Alloh, ini adalah sebuah penghinaan terhadap kedudukan kholifah yang sedikit-sedikit harus tunduk kepada para pembangkang. Maka aku ataukah engkau yang akan bicara pada manusia, hai Amirul Mukminin?”

Mata ‘Utsman berkaca-kaca. Dia menutup muka dengan telapak tangannya. “Sungguh aku malu kepada Alloh dan orang-orang Mukmin.”

Maka Marwan ibn al-Hakam keluar dan berkhuthbah. “Ada apa dengan kalian ini?” hardiknya kepada jama’ah. “Kalian berhimpun-himpun seakan hendak melakukan kejahatan dan perampasan. Pulanglah kembali ke rumah-rumah kalian. Jika Amirul Mukminin ada keperluan terhadap kalian, dia pasti akan mengirimkan utusan. Jika tidak, dia akan diam di rumahnya. Apakah maksud kedatangan kalian adalah untuk mengambil kekuasaan dari mereka yang telah diangkat secara sah oleh Amirul Mukminin? Demi Alloh, setiap pembangkangan pasti akan dibalas dengan hal yang tidak menyenangkan dan tak sempat disesali. Kembalilah kalian!”

Demikianlah semua orang terperangah dan kembali kecewa. Alangkah sulitnya di hari-hari itu menjadi ‘Utsman maupun ‘Ali, sebagaimana dituturkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi dalam karyanya, ‘Ali Imamul Muttaqin. Berulangkali ‘Ali mendampingi ‘Utsman dalam berurusan baik dengan para pembangkang maupun dengan Marwan dan para pejabat Bani ‘Umayyah. Rombongan dari Mesir, Bashroh, dan Kufah akhirnya pulang dengan jaminan ‘Ali dan keputusan ‘Utsman untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan mereka.

Sayang, beberapa makar jahat sedang bekerja.

***

“’Utsman bukanlah musuh Alloh! Demi Alloh, tak ada yang lebih bertaqwa dibanding dia di muka bumi ini!” teriak ‘Ali kepada para pemberontak yang kembali lagi ke Madinah sambil menyebut nama ‘Utsman dengan panggilan-panggilan buruk.

Ya, mereka kembali karena merasa ditipu. Mereka pulang dengan surat perintah ‘Utsman untuk mengangkat Muhammad ibn Abi Bakar sebagai Gubernur Mesir menggantikan ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh. Tetapi di perjalanan mereka menemukan sahaya ‘Utsman menunggangi untanya sambil membawa surat yang berisi perintah ‘Utsman kepada ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar dan menyalib semua anggota kafilah yang pulang dari Madinah.

Tanpa mempedulikan kedudukan dan kehormatan ‘Utsman, mereka menghardiknya di majelis, menyuruhnya turun dari mimbar, dan mengucapkan ancaman-ancaman keji disertai tuduhan bahwa ‘Utsman berdusta. Dengan sedih, ‘Utsman sampai-sampai harus menyebut berbagai keutamaan yang telah disumbangkannya kepada islam dan kaum Muslimin untuk menanggapi mereka.

“Demi Alloh, ‘Utsman tak berdusta!” teriak ‘Ali dengan marah, “Dia itu Dzun Nuroin. Demi Alloh ‘Utsman jujur!”

Tetapi hari-hari itu Madinah makin kelam. Para pemberontak bahkan semakin lancang. Suatu hari mereka memukul ‘Utsman yang sedang berkhuthbah hingga pingsan dan dia pun diusung ke rumah. Sejak hari itu hingga empatpuluh malam lamanya, ‘Utsman dikurung di dalam kediamannya, terhalang ke masjid, terhalang dari sahabat-sahabatnya, terhalang dari air dan pemenuhan kebutuhannya.

‘Ali, sahabat ‘Utsman yang tulus dan setia itu, memerintahkan kedua buah hatinya, al-Hassan dan al-Husain untuk berjaga bersama para putra shohabat yang lain di rumah ‘Utsman. Maka terkumpullah sekitar tujuhratus orang di bawah pimpinan ‘Abdulloh ibn az-Zubair dan ‘Abdulloh ibn ‘Umar bersiaga membela ‘Utsman.

Kita telah tahu akhir fitnah ini. Sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rosululloh yang telah diwasiatkan kepadanya, ‘Utsman tak hendak menumpahkan setitik darah pun. Tapi dia juga tak hendak melepas pakaian kekholifahan yang telah Alloh kenakan kepadanya demi memenuhi tuntutan para pemberontak. Diperintahkannya putra-putra shohabat itu bubar. Al-Hassan ibn ‘Ali yang masih bersikeras berkata, “Demi Alloh, hai Amirul Mukminin, perintahkanlah kami untuk bertindak!”

“Pulanglah wahai penghulu pemuda surga,” tukas ‘Utsman lembut sekali, “Setelah ini ayahmu akan menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik daripada apa yang aku hadapi. Pulanglah dan dampingi dia. Demi Alloh dia telah berbuat baik.” ‘Utsman telah bermimpi. Dia melihat Sang Nabi yang sedang bersama Abu Bakar dan ‘Umar memanggilnya. “Hai ‘Utsman,” sabda beliau, “Engkau akan berbuka bersama kami hari ini, insya Alloh.”
Itulah hari terakhir Kholifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu ‘Anhu.

‘Ali sungguh menyesali kepulangan al-Hassan dan al-Husain di hari terbunuhnya ‘Utsman itu. Mengapa mereka tak berjaga lebih lama lagi? Tetapi agunglah kalian berdua wahai para menantu Rosululloh. ‘Ali telah memilih sikap terbaiknya ketika mendampingi ‘Utsman dalam dekapan ukhuwah baik di waktu hidup maupun setelah wafatnya. Selembut-lembut nurani mengajarkannya untuk menjadi kawan yang paling tulus, penasehat yang paling jujur, dan sahabat yang paling setia.

Demikianlah dalam dekapan ukhuwah, seperti Abu Dzar, seperti Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan seperti ‘Ali, kita memilih sikap terindah dengan kelembutan nurani.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Godaan Kesempatan

tak mudah untuk mengatakan hal yang benar di waktu yang tepat
namun agaknya yang lebih sulit adalah,
tidak menyampaikan hal yang salah
ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya



HAMNAH BINTI JAHSY, Hasan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah.

Kita membaca nama-nama ini dengan penuh ta’zhim sebab mereka adalah sahabat-sahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshor. Mereka mengalami kepahitan dan derita dalam menegakkan Islam di sisi Sang Nabi.

Hamnah, misalnya. Adalah istri dari Mush’ab ibn ‘Umair dan adik dari ‘Abdulloh ibn Jahsy. Dari hari Uhud, dia kehilangan paman, kakek, dan juga suaminya yang menjadi syuhada. Hassan adalah penyair Anshor yang begitu besar pembelaannya terhadap Islam. Sedang Misthoh, kita tahu termasuk Muhajirin miskin yang mengalami lara-lapa siksaan Quroisy di Makkah. Sungguh mereka bagi Islam adalah bintang yang berpendar terang di langit sejarah. Semoga Alloh meridhoi mereka semua.

Tetapi nama mereka juga menjadi pelajaran bagi kita agar berhati-hati ketika mendengar kabar tak baik tentang sesama Mukmin, lalu menjaga hati dan lisan kita agar tak menyakiti orang beriman dalam dekapan ukhuwah. Ya, ini tentang haditsul ifki, kabar dusta yang menimpa ‘Aisyah dan Shofwan ibn al-Mu’aththol sepulang Rosululloh dari Perang Bani Mustholiq.

Hari-hari itu adalah hari-hari terberat dalam hidup ‘Aisyah. Dia tak mengira bahwa kalung yang dipinjam dari kakaknya Asma’ akan menjadi sebuah cerita besar.

Jadi, dalam Perang Bani Mustholiq itu, Sang Nabi mengundi istri-istrinya. ‘Aisyah yang terpilih untuk mendampingi beliau. Dan ‘Aisyah, yang masih berusia 14 tahun, begitu sukacita menghiaskan diri dengan kalung Asma’ di sepanjang perjalanan. Hingga ketika rombongan Sang Nabi beristirahat dalam perjalanan pulang, seusai menunaikan hajat, ‘Aisyah baru menyadari bahwa kalung itu hilang.

Dari kalung yang hilang inilah, segala kisah bermula.

Apa yang sebenarnya terjadi pada ‘Aisyah ketika itu? Inilah dia Rodhiyallohu ‘Anha bercerita. “Dalam perjalanan,” ujarnya, “Ada beberapa orang yang ditugaskan Rosululloh menjagaku dan mengawal sekedup untaku. Ketika aku sedang sibuk menelusur ke sana kemari mencari kalungku, orang-orang itu datang dan bersiap mengangkat sekedupku. Mereka mengira aku berada di dalamnya, sebab pada umumnya para wanita ketika itu bertubuh langsing dan berbobot ringan. Maka, dengan yakin mereka meletakkan sekedup itu di atas unta tungganganku dan memberangkatkan kafilah.”

“Beberapa jenak kemudian,” lanjut ‘Aisyah, “Aku berhasil menemukan kalungku, tetapi rombongan kaum Muslimin telah berangkat. Aku mendatangi tempat mereka, tapi tak kutemui seorang pun di sana. Aku mencoba mengejar, tapi kafilah Rosululloh telah sama sekali tak terlihat. Lalu aku kembali ke tempat sekedupku semula dengan harapan agar kaum Muslimin sadar bahwa aku tertinggal lalu ada yang pergi mencariku.”

“Tetapi sayang,” tuturnya lagi, “Aku tertidur. Ketika itulah Shofwan ibn al-Mu’aththol as-Sulami yang memang bertugas jaga di barisan paling belakang memacu untanya mendekatiku. Dia melihat sesosok bayangan hitam yang setelah didekatinya ternyata adalah aku. Ketika itu belum turun perintah hijab, dan dia langsung mengenaliku. Dia berseru kaget, ‘Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun!’ Aku terbangun oleh teriakannya dan segera menutup wajah dengan ujung kain kerudungku. Demi Alloh kami sama sekali tak saling berbicara. Tak kudengar sepatah kata pun keluar dari lisannya kecuali teriakan keterkejutannya tadi.”

“Shofwan lalu turun,” begitu ‘Aisyah melanjutkan kisah, “Kemudian dia mendudukkan untanya. Dia memberi isyarat agar aku naik. Aku bersegera mendatangi unta itu dan menaikinya, lalu kami pun berangkat. Shofwan berjalan di depan menuntun unta dengan penuh hormat. Begitulah, hingga kami tiba di tempat perhentian kaum Muslimin yang beristirahat dalam cuaca siang yang sangat terik.”

‘Aisyah tak menyadari bahwa kedatangannya bersama Shofwan di tengah hari itu diendus oleh para munafikin sehingga mereka menemukan celah untuk menyakiti Rosululloh, menjatuhkan nama baik ahli bait dan keluarga ash-Shiddiq, serta menyemai perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Adalah ‘Abdulloh ibn Ubay sang kampiun munafik yang kemudian mengarang sebuah cerita menjijikkan tentang ‘Aisyah dan Shofwan.

Pada umumnya kaum Muslimin yang jernih hati langsung menyangkal berita dusta itu. Abu Ayyub dan Ummu Ayyub, misalnya. Di rumah besar yang pernah menjadi tempat tinggal Sang Nabi di awal hijrah, sekaligus menjadi tampungan yang memadai bagi puluhan Muhajirin miskin itu, sepasang suami-istri itu saling bertukar suara hati.

“Hai Ummu Ayyub,” ujar sang suami, “Andai engkau adalah ‘Aisyah, meungkinkah engkau melakukan hal itu?”

“Aku berlindung kepada Alloh dari yang sedemikian. Sesungguhnya aku memandang zina sebagai sesuatu yang hina dan keji. Ia adalah seburuk-buruk jalan, sesuatu yang takkan terpikir untuk kulakukan meski datang kesempatan untuk itu.”

“Demikian pun aku,” sahut Abu Ayyub, “Aku juga berlindung kepada Alloh dari hal sedemikian. Padahal sungguh, ‘Aisyah jauh lebih baik daripada dirimu dan Shofwan ibn al-Mu’aththol lebih baik daripada diriku. Maka lebih tak mungkin lagi mereka melakukannya. Sungguh berita ini adalah sebuah kedustaan yang nyata!”

Sikap sepasang suami-istri yang penuh baik sangka ini dipuji oleh Alloh. Bagi selain mereka, sikap ini dijadikan teladan sekaligus teguran. “Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu, orang-orang Mukmin lelaki dan perempuan tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri?” demikian firman-Nya tertulis dalam surat an-Nuur ayat kedua belas, “Dan mengapa mereka tak berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’”

Seperti Abu Ayyub dan Ummu Ayyub, dalam dekapan ukhuwah, kita belajar berprasangka baik pada diri kita sendiri. Semua kecurigaan dan tuduhan kita pada sesama saudara, bisa jadi tersebab kita merasa bahwa diri kita akan melakukan hal-hal yang buruk andai Alloh menguji kita dengan cobaan seberat yang Alloh timpakan pada mereka. Jika hati kita berisi kebaikan, pastilah kita akan mengatakan bahwa tak mungkin mereka bertindak demikian. Sebab, kita pun jijik dan tak sudi untuk melakukannya jika berada dalam keadaan yang mereka alami.

***

Sayang sekali, Hamnah binti Jahsy, Hassan ibn Tsabit, dan Misthoh ibn Utsatsah terlibat penyebaran berita itu.

Tetapi mengapa?

“Hamnah adalah saudari Zainab binti Jahsy,” ujar ‘Aisyah di kemudian hari. “Mungkin dia berharap dengan ikut serta menyebarkan berita bohong itu dan menjatuhkan namaku, maka Zainab-lah yang akan menggantikan kedudukanku sebagai istri tercinta yang paling disayangi oleh Rosululloh. Adapun Zainab sendiri, sungguh aku tak mengetahui orang yang lebih menjaga pendengaran, penglihatan, dan ucapannya daripada dia. Dia hanya mengatakan yang baik-baik saja tentang diriku.”

Ya, jikapun Hamnah terlibat, itu sungguh ketergelinciran yang disebabkan semangat untuk menjadikan keluarganya sebagai bagian kehidupan Rosululloh yang paling beliau cintai. Bukankah Hamnah tak tahu apa-apa sebab dia tetap tinggal di Madinah dan tak ikut dalam Perang Bani Mustholiq? Maka dia percaya saja pada kabar itu, sebab beritanya insya Alloh akan membawa keuntungan bagi keluarganya. Semangat Hamnah itu telah menggusur tabayyun dan baik sangkanya pada sesama saudara.

Dan ‘Aisyah benar tentang Zainab. Sebab inilah jawabannya ketika Rosululloh meminta tanggapan atas kabar miring itu. “Adapun aku, ya Rosululloh,” ujarnya, “Selalu berupaya menjaga penglihatan dan pendengaranku. Demi Alloh, tak ada yang kulihat pada ‘Aisyah selain kebaikan.” Maka sungguh pantas, tersebab kecantikan dan kemuliaan akhlaknya, ‘Aisyah pernah berkata di lain kesempatan, “Sungguh yang paling bisa membuatku cemburu adalah Zainab. Aku cemburu oleh ibadahnya, sedekahnya, dan perangainya yang terpuji.”

Lalu ada apa dengan Hassan ibn Tsabit? Mengapa dia turut serta menjatuhkan diri dalam fitnah ini padahal dia juga tak melihat langsung bagaimana ‘Aisyah datang bersama Shofwan―sebab dia juga tak ikut serta dalam perang itu? Bahkan dia pun mengubah syair ejekan untuk Shofwan yang sangat menyakitkan.

semakin banyak jilbab dibutuhkan di sini, sore ini
ketika Shofwan, putra seorang ibu yang muli
 tiba-tiba menjadi pemuka kaumnya.

Walloohu a’lam. “Tampaknya,” tulis Sulaiman an-Nadawi dalam Siroh as-Sayyidah  ‘Aisyah Ummil Mukminin, “Hassan memiliki permusuhan pribadi dengan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Konon, Hassan pun terjangkit cemburu sebab kaum Muhajirin beroleh tampat dan kedudukan yang lebih mulia dibanding kaum Anshor di kota mereka, Madinah.”

Begitulah, sebagaimana Hamnah, tampaknya Hassan juga gagal menjaga dirinya dari tak mengatakan yang salah ketika tiba saat yang paling menggoda untuk menyampaikannya. Kepentingan, terkadang, amat lebih menarik dibanding kebenaran.

Adapun Misthoh ibn Utsatsah, bahkan sang ibu pun, Ummu Misthoh―yang tidak lain adalah pelayan ‘Aisyah―tak habis pikir bagaimana bisa dia sampai ikut-ikutan menyebarkan haditsul ifki. Apalagi jika mengingat bahwa keluarga Misthoh hidup dari tanggungan nafkah yang diberikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, ayah ‘Aisyah. Sungguh mengherankan. Tetapi hikmahnya, dari Ummu Misthoh-lah ‘Aisyah tahu apa yang sedang terjadi.

“Aku keluar bersama Ummu Misthoh menuju tempat untuk menunaikan hajat,” kata ‘Aisyah mengisahkan, “Kami hanya melakukan hal itu di malam hari.” Ketika itu Ummi Misthoh terserimpat oleh pakaiannya sendiri dan nyaris jatuh. Dia pun mengumpat, “Celakalah Misthoh!”

“Sungguh buruk ucapanmu pada seorang sahabat yang ikut Perang Badar, hai Ummu Misthoh!” tegur ‘Aisyah.

“Aduhai putri Abu Bakar,” tukas Ummu Misthoh, “Belumkah engkau mendengar kabar dusta yang beredar luas itu, yang Misthoh ikut-ikutan menyebarkannya?”

“Kabar apa?”

Maka Ummu Misthoh pun menceritakan apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tentang diri ‘Aisyah dan Shofwan ibn al-Mu’aththol. Berulangkali ‘Aisyah meminta peyakinan dari Ummu Misthoh, “Benarkah mereka menuduhku begitu?” Ketika Ummu Misthoh mengiyakan, wajah ‘Aisyah memerah, matanya berlinang, dan tubuhnya jadi lemas. Dia langsung pulang. “Demi Alloh,” kata ‘Aisyah, “Aku tak dapat menunaikan hajatku dengan perasaan seperti malam itu.”

Sejak hari itu, setelah yakin bahwa desas-desus tentangnya beredar luas di penjuru Madinah, ‘Aisyah kembali ke rumah orangtuanya dan tinggal di sana. Dia terus mengurung diri di kamar dan menangis. Dia jatuh sakit. Bahkan ketika Rosululloh menjenguknya, ‘Aisyah merasa sikap beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam padanya sungguh berubah. “Rosululloh menemuiku,” ujar ‘Aisyah, “Tapi aku tak melihat kelembutan yang biasanya beliau tunjukkan ketika aku sakit. Beliau hanya mengucap salam, masuk, menanyakan keadaanku, lalu pergi. Sungguh aku mulai menyangsikan beliau!”

***

Sebenarnya, kesedihan dan rasa terluka Sang Nabi sangatlah dalam.

Beliau pernah mencoba menyampaikan keluhannya di mimbar. “Siapakah di antara kalian,” ujar Rosululloh, “Yang bisa membelaku dari seorang laki-laki yang melontarkan tuduhan kepada keluargaku. Demi Alloh, yang kuketahui tentang keluargaku adalah kebaikan. Orang-orang juga menuduh Shofwan. Padahal sungguh tak ada yang aku ketahui tentangnya kecuali kebaikan!”

Sa’d ibn Mu’adz, pemimpin Aus bangkit berdiri. “Ya Rosulalloh,” katanya dengan penuh wibawa, “Demi Alloh, kamilah yang akan membelamu dari lelaki itu. Jika dia dari kabilah Aus, aku sendiri yang akan memenggal lehernya. Dan jika dia berasal dari kabilah saudara-saudara kami Khozroj, lalu engkau perintahkan kami untuk membunuhnya, maka niscaya kami juga akan membunuhnya!”

Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin Khozroj tersulut ghirohnya mendengar hal itu. Baginya, ini adalah tantangan sekaligus ejekan. Sebab siapapun tahu, ‘Abdulloh ibn Ubay berasal dari Khozroj. Maka Sa’d ibn ‘Ubadah dengan penuh rasa tersinggung berdiri membalas. “Dusta engkau, hai Sa’d!” teriaknya, “Engkau hanya menggunakan masalah ini untuk membalas Khozroj atas dendam lama di masa jahiliyah! Demi Alloh, engkau tidak akan membunuhnya! Engkau tidak akan mampu melakukannya!”

“Engkau yang dusta!” potong ‘Usaid ibn Hudhoir. “Dia sesepuh Aus, paman dari Sa’d ibn Mu’adz. “Demi Alloh, kami pasti membunuhnya! Engkau munafik, dan mencoba melindungi kawan-kawan munafikmu!”

Rosululloh segera turun dari mimbar. Beliau nyaris menangis ketika melerai mereka. Duka beliau makin dalam. Persoalan keluarga beliau ini telah nyaris membuat persatuan kaum Muslimin yang dibangun bertahun-tahun dengan darah dan air mata hancur berkeping-keping. Dendam lama antara Aus dan Khozroj diungkit ulang dan hampir-hampir menghancurkan ikatan persaudaraan dalam dekapan ukhuwah.

Sekali lagi, kita belajar pada Sa’d ibn Mu’adz, Sa’d ibn ‘Ubadah, dan Usaid ibn Hudhoir. Bahkan dalam dekapan ukhuwah, tak mudah untuk tidak menyampaikan hal yang kurang tepat, ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya.

***

Satu waktu, dalam kesedihan dan beban berat yang menghimpit, Sang Nabi memanggil dua orang muda yang dicintainya. Usamah ibn Zaid dan ‘Ali ibn Abi Tholib. Kepada mereka beliau adukan kegelisahan hatinya. Dimintanya mereka memberi pendapat.

“Ya Rosulalloh,” begitu Usamah berkata sambil menghela nafas dan menatap sendu wajah kekasihnya. “Siapakah yang menikahkanmu dengan ‘Aisyah?”

Sang Nabi menunduk. “Alloh,” jawabnya.

“Subhanalloh! Maka apakah mungkin Alloh menipumu, ya Rosulalloh?” hentak Usamah. “Demi Alloh, aku mempersaksikan bahwa ‘Aisyah seorang wanita yang suci lagi menjaga kesuciannya. Janganlah engkau hiraukan fitnah-fitnah.”

Adapun ‘Ali, mendengar pendapat Usamah, dia berusaha menjadi penyeimbang. Inilah kata-katanya yang merupakan pendapat khas kaum lelaki. “Wahai Rosululloh,” demikian ‘Ali menjawab, “Sungguh Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara ini. Sungguh masih banyak perempuan selain ‘Aisyah untuk kau nikahi. Adapun jika engkau benar-benar ingin tahu tentang ‘Aisyah, bertanyalah pada pelayanmu!”

Kemudian Sang Nabi pun memanggil Bariroh. “Wahai Bariroh,” ujar beliau, “Tidakkah engkau melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang ‘Aisyah?”

Agaknya Bariroh kurang mengerti maksud dan arah pertanyaan Rosululloh. Dia mengira, Sang Nabi dan kedua sahabat beliau ini hanya ingin tahu tentang hal-ihwal ‘Aisyah dalam rumah tangga sehari-hari. Dengan polos, dia menjawab, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran. Satu-satunya kekurangan ‘Aisyah adalah bahwa dia masih muda dan pernah lena tertidur hingga kambing memakan adonan roti yang sedang dibuatnya.”

Rosululloh mengulang pertanyaannya. Menurut sebagian riwayat, bajkan ‘Ali pun memukul dan menghardik Bariroh, “Bicaralah jujur kepada Rosululloh!”

“Demi Alloh,” ujar Bariroh ketakutan, “Aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Alloh, ‘Aisyah sungguh lebih baik daripada emas yang baik.”

***

Sebagian orang dari kalangan Syi’ah maupun pembela Bani ‘Umayyah yang membenci ‘Ali telah berlebihan dalam menjadikan kisah ini seolah sebagai bibit pertikaian antara ‘Ali dengan ‘Aisyah hingga berujung pada Waq’atul Jamal.

Tentu saja memang, andai ‘Aisyah mendengar kata-kata ‘Ali di hadapan Rosululloh itu, dia pasti sedih dan kecewa. Apalagi ‘Aisyah seorang wanita, yang sungguh akan tak mudah baginya memahami sudut pandang kata-kata ‘Ali.

Sungguh, niat ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu adalah baik semata. ‘Ali mengatakan itu semua agar Sang Nabi tak terlalu berat menanggung bebannya sehingga menyita energi beliau dari urusan ummat yang lebih penting. Seperti pernah kita ulas, salah satu karakter ‘Ali adalah periang dan senantiasa berupaya meringankan serta menyederhanakan persoalan. Maka kita maklum, mengapa ‘Ali bicara demikian. Baginya, pikiran, tenaga, dan ruhiyah Sang Nabi terlalu berharga jika harus terkuras untuk berdalam-dalam pada masalah ini. Maka kata ‘Ali, “Ya Rosulalloh, Alloh tak hendak menyulitkanmu dalam perkara ini.”

Jika dinilai dari sisi ‘Aisyah, kalimat ‘Ali yang berbunyi “Sungguh masih banyak perempuan selain ‘Aisyah untuk kau nikahi”, memang sungguh memojokkannya. Tetapi apakah ini menjadi bukti langsung bahwa mereka berseteru sejak hari itu? Tentu saja tidak.

Ada lagi riwayat unik yang dibawakan untuk mendukung praduga itu. Yakni bahwa ketika Rosululloh sakit keras menjelang wafatnya, ‘Abbas dan ‘Ali-lah yang memapah beliau untuk berjalan ke masjid menemui khalayak. Tetapi riwayat ‘Aisyah atas hal ini menyebutkan, “Rosululloh dipapah oleh ‘Abbas dan seorang lelaki yang lain.” Benarkah ini penanda bahwa ‘Aisyah begitu marah hingga tak sudi menyebut nama ‘Ali?

“Sungguh tuduhan yang mengada-ada!” ujar Imam az-Zuhri mengomentari berbagai riwayat tentang tak disebutnya nama ‘Ali dalam banyak riwayat yang dibawakan ‘Aisyah. Termasuk ketika suatu hari ‘Ali datang bersama ‘Utsman menemui Sang Nabi, lalu ‘Aisyah hanya berkata, “Telah datang ‘Utsman, dan seorang lelaki yang lain.” Ini semua, menurut az-Zuhri, bukanlah kesengajaan ‘Aisyah. Kemungkinan besar, ‘Aisyah memang tak bisa melihat dengan jelas sosok ‘Ali ketika itu. Demikianlah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

Wallohu a’lam bish showwab.

Yang jelas, di saat Waq’atul Jamal kita menyaksikan bertapa besar penghargaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh ‘Ali Rodhiyallohu ‘Anhu kepada ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. Ketika mereka masih berhadapan dengan pasukan yang saling mengayunkan pedang, inilah ‘Ammar ibn Yassir, orang terdekat ‘Ali bicara pada seorang prajurit yang mencela ‘Aisyah. “Diamlah engkau, hai si buruk laku!” gertak ‘Ammar. “Akankah engkau sakiti kecintaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam? Demi Alloh aku bersaksi, bahwa ‘Aisyah adalah putri beliau di dunia dan akhirat! Hanya saja… hanya saja, saat ini Alloh sedang menguji kita, apakah kepada-Nya kita taat, atau kepadanya!”

Dengan penuh penghormatan, ‘Ali menyambut ‘Aisyah begitu perdamaian dicapai. Diutusnya Muhammad ibn Abi Bakar, saudara ‘Aisyah untuk memeriksa keadaannya dan memenuhi keperluannya. Dengan tangannya sendiri, ‘Ali menyiapkan segala keperluan, termasuk binatang tunggangan dan perbekalan untuk perjalanan ‘Aisyah kembali ke Madinah lewat Makkah. ‘Ali juga menyertakan 40 wanita bashroh sebagai pendamping perjalanan sekaligus mengizinkan para pengikut ‘Aisyah untuk mengawalnya. Sesudah itu, dia menemui ‘Aisyah.

Assalaamu ‘alaiki, duhai Ibunda,” kata ‘Ali di depan sekedup ‘Aisyah.

’Alaikassalaam wa rohmatulloh, wahai Putraku!”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik.”

“Semoga Alloh mengampunimu…”

“Dan mengampunimu juga…”

Akhir yang baik, Alhamdulillah. Sekali lagi, tentang persoalan di antara mereka, wallohu a’lam bish showwab. Yang jelas, kita belajar dari kisah mereka bahwa alangkah tajamnya kata-kata jika ia tak dijaga. Alangkah pandai syaithon meruyakkan dendam lama yang sebenarnya telah dihapus dengan maaf ketika sedang muncul persoalan baru di tengah dekapan ukhuwah kita.

Ketika berangkat, ‘Aisyah menyampaikan khuthbah perpisahan yang sangat agung. “Wahai anak-anakku,” ujarnya, “Kalian telah berselisih. Jangan sampai hal ini berlanjut. Setelah hari ini, tak boleh ada lagi seseorang yang memusuhi saudaranya sesama Muslim akibat perang yang telah berlalu ini.”

“Demi Alloh,” lanjutnya, “Tak pernah ada permusuhan antara aku dan ‘Ali, kecuali sekedar berselisihnya seorang ibu mertua dengan menantunya. Aku memang pernah mencelanya, tetapi demi Alloh, bagiku dia tetaplah seorang lelaki yang terbaik di antara kalian!”

***

Begitulah. Dalam dekapan ukhuwah, kita berlatih melembutkan nurani dengan mewaspadai godaan kesempatan, untuk mengatakan apa yang tak seharusnya diucapkan.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media