Jumat, 28 Oktober 2016

Mata yang Tersita

Suatu kala, ada seorang yang cukup terkenal kepintarannya dalam membantu orang mengatasi masalah. Meskipun usianya sudah cukup tua, namun kebijaksanaannya luar biasa luas. Karena itulah, orang berbondong-bondong ingin bertemu dengannya dengan harapan agar masalah mereka bisa diselesaikan.

Setiap hari, ada saja orang yang datang bertemu dengannya. Mereka sangat mengharapkan jawaban yang kiranya dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dan hebatnya, rata-rata dari mereka puas akan jawaban yang diberikan. Tidak heran, kepiawaiannya dalam mengatasi masalah membuat namanya begitu tersohor.

Suatu hari, seorang pemuda mendengar pembicaraan orang-orang di sekitar yang bercerita tentang orang tua tersebut. Ia pun menjadi penasaran dan berusaha mencari tahu keberadaannya. Ia juga ingin bertemu dengannya. Ada sesuatu yang sedang mengganjal di hatinya dan ia masih belum mendapatkan jawaban. Ia berharap mendapatkan jawaban dari orang tua tersebut.

Setelah berhasil mendapatkan lokasi tempat tinggal orang tua itu, ia bergegas menuju ke sana. Tempat tinggal orang tua tersebut dari luar terlihat sangat luas bagai istana.

Setelah masuk ke dalam rumah, ia akhirnya bertemu dengan orang tua bijaksana tersebut. Ia bertanya, "Apakah Anda orang yang terkenal yang sering dibicarakan orang-orang mampu mengatasi berbagai masalah?"

Orang tua itu menjawab dengan rendah hati, "Ah, orang-orang terlalu melebih-lebihkan. Saya hanya berusaha sebaik mungkin membantu mereka. Ada yang bisa saya bantu, anak muda? Kalau memang memungkinkan, saya akan membantu kamu dengan senang hati."

"Mudah saja. Saya hanya ingin tahu apa rahasia hidup bahagia? Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Jika Anda mampu memberi jawaban yang memuaskan, saya akan memberi hormat dan dua jempol kepada Anda serta menceritakan kehebatan Anda pada orang-orang," balas pemuda itu.

Orang tua itu berkata, "Saya tidak bisa menjawab sekarang."

Pemuda itu merengut, berkata, "Kenapa? Apakah Anda juga tidak tahu jawabannya?"

"Bukan tidak bisa. Saya ada sedikit urusan mendadak," balas orang tua itu. Setelah berpikir sebentar, ia melanjutkan, "Begini saja, kamu tunggu sebentar."

Orang tua itu pergi ke ruangan lain mengambil sesuatu. Sesaat kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah sendok dan sebotol tinta. Sambil menuangkan tinta ke sendok, ia berkata, "Saya ada urusan yang harus diselesaikan. Tidak lama. Hanya setengah jam. Selagi menunggu, saya ingin kamu berjalan dan melihat-lihat keindahan rumah dan halaman di luar sambil membawa sendok ini."

"Untuk apa?" tanya pemuda itu dengan penasaran.

"Sudah, jangan banyak tanya. Lakukan saja. Saya akan kembali setengah jam lagi," kata orang tua itu seraya menyodorkan sendok pada pemuda itu dan kemudian pergi.

Setengah jam berlalu, dan orang tua bijak itu pun kembali dan segera menemui pemuda itu.

Ia bertanya pada pemuda itu, "Kamu sudah mengelilingi seisi rumah dan halaman di luar?"

Pemuda itu menganggukkan kepala sambil berkata, "Sudah."

Orang tua itu lanjut bertanya, "Kalau begitu, apa yang sudah kamu lihat? Tolong beritahu saya."

Pemuda itu hanya diam tanpa menjawab.

Orang tua itu bertanya lagi, "Kenapa diam? Rumah dan halaman begitu luas, banyak sekali yang bisa dilihat. Apa saja yang telah kamu lihat?"

Pemuda itu mulai bicara, "Saya tidak melihat apa pun. Kalau pun melihat, itu hanya sekilas saja. Saya tidak bisa ingat sepenuhnya."

"Mengapa bisa begitu?" tanya orang tua itu.

Sang pemuda dengan malu menjawab, "Karena saat berjalan, saya terus memperhatikan sendok ini. Takut tinta jatuh dan mengotori rumah Anda."

Dengan senyum, orang tua bijak itu berseru, "Nah, itulah jawaban yang kamu cari-cari selama ini. Kamu telah mengorbankan keindahan rumah yang seharusnya bisa kamu nikmati hanya untuk memerhatikan sendok berisi tinta ini. Karena terus mengkhawatirkan tinta ini, kamu tidak sempat melihat rumah dan halaman yang begitu indah. Rumah ini ada begitu banyak patung, ukiran, lukisan, hiasan, dan ornamen yang cantik. Begitu juga dengan halaman rumah yang berhiaskan bunga-bunga warna-warni yang bermekaran. Kamu tidak bisa melihatnya karena kamu terus melihat sendok ini."

Ia melanjutkan, "Jika kamu selalu melihat kejelekan di balik tumpukan keindahan, hidup kamu akan dipenuhi penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya, jika kamu selalu mampu melihat keindahan di balik tumpukan kejelekan, maka hidup kamu akan lebih indah. Itulah rahasia dari kebahagiaan. Apakah sekarang sudah mengerti, anak muda?"

Pemuda itu benar-benar salut atas kebijaksanaan dari orang tua itu. Ia sungguh puas dengan jawabannya. Akhirnya ia menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Sebelum pergi, ia menepati janjinya dengan memberi hormat dan dua jempol kepada orang tua tersebut.

Renungan:
Dalam hidup ini, alangkah baiknya kita tidak menjerumuskan diri kita ke dalam keterpurukan. Selalu ada hal positif yang bisa kita ambil. Jangan mengorbankan keindahan hidup hanya untuk melihat sisi jeleknya. Jadilah orang yang senantiasa melihat setitik terang di dalam gelap.

Rabu, 26 Oktober 2016

Kaos Kontingen SDIT Al Husna

Kaos Pramuka ikhwan (Putra) sisi depan

Kaos Pramuka ikhwan (Putra) sisi belakang

Kaos Pramuka akhwat (Putri) sisi depan

Kaos Pramuka akhwat (Putri) sisi belakang








#Kemnas3
#kaos_pramuka
#desain_kaos

Minggu, 16 Oktober 2016

Keberkahan Gaji

Seseorang datang kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham[1]. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafi’i justru menyuruh dia untuk menemui orang yang mengupahnya supaya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya untuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta untuk mengurangi lagi gajinya menjadi 3 dirham.

Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran. Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercampur dengannya.

Lalu Imam Syafi’i membacakan sebuah sya’ir:

جمع الحرام على الحلال ليكثره
دخل الحرام على الحلال فبعثره

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak.
Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.

Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima.

Bila gaji yang kita terima tidak seimbang dengan kerja, artinya kita sudah menerima harta yang bukan hak kita. Itu semua akan menjadi penghalang keberkahan harta yang ada, dan mengakibatkan hisab yang berat di akhirat kelak.

[1] kurs 1 dirham= Rp.3.550,-.

Kepahlawanan Al-Barro' bin Malik Melawan Nabi Palsu

"Jangan mengangkat al-Barro sebagai panglima tentara kaum muslimin, karena dikhawatirkan dia akan mencelakakan bala tentaranya karena keberaniannya." (‘Umar bin al-Khoththob)

Seorang laki-laki dengan rambut kusut, badan berdebu, berperawakan kurus, tulang tubuhnya berbalur daging tipis, mata para pemandangnya melihat kepadanya dengan sulit, kemudian langsung berpaling darinya.

Sekalipun demikian, laki-laki ini pernah membunuh seratus orang musyrik sendirian duel di medan laga satu lawan satu. Jumlah ini belum termasuk orang-orang yang dia habisi di medan perang.

Dia adalah laki-laki pemberani, bernyali besar, dan bertekad baja, di mana al-Faruq menulis kepada para gubernurnya di seluruh wilayah kekuasaannya, "Jangan menyerahkan pasukan kaum muslimin kepadanya. Aku khawatir dia akan mencelakakan mereka karena keberaniannya."

Dia adalah al-Barro bin Malik al-Anshori, saudara Anas bin Malik, pelayan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.

Kalau aku menyebutkan berita-berita kepahlawanan al-Barro bin Malik, niscaya pembicaraan menjadi panjang dan kesempatan menjadi sempit. Oleh karena itu, aku memilih untuk menurunkan satu kisah dari kisah-kisah kepahlawananya. Satu kisah yang mengabarkan kisah-kisah yang lain kepada Anda.

Kisah ini berawal sejak saat-saat pertama dari wafatnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam  yang mulia dan kepergian beliau menghadap Robbnya, di mana kabilah-kabilah Arab mulai keluar berbondong-bondong meninggalkan agama Alloh setelah sebelumnya mereka masuk berbondong-bondong ke dalamnya. Mereka yang tetap teguh di atas Islam hanyalah orang-orang Makkah, Madinah, Thoif, dan beberapa kabilah yang tersebar di sana-sini dari kalangan orang-orang yang Alloh teguhkan hatinya di atas Islam.

Ash-Shiddiq tetap tegak menghadapi fitnah yang merusak ini layaknya gunung yang berdiri kokoh, dia menyiapkan sebelas pasukan dari orang-orang Muhajirin dan Anshor, dia mengibarkan sebelas panji komando untuk memimpin pasukan tersebut, lalu dia mengirimkan semuanya ke segala penjuru Jaziroh Arabia untuk mengembalikan orang-orang murtad ke jalan petunjuk dan kebenaran, untuk membawa orang-orang yang menyimpang dari jalan yang benar dengan tajamnya pedang.

Orang-orang murtad yang paling besar kekuatannya, paling banyak anggotanya adalah Bani Hanifah, para pengikutnya Musailamah al-Kadzdzab.

Musailamah didukung oleh empat puluh ribu orang dari kabilahnya dan para sekutunya, mereka termasuk para petarung yang tangguh.

Kebanyakan dari pengikutnya adalah orang-orang yang mengikutinya karena fanatisme kesukuan bukan karena beriman atau percaya kepadanya, sebagian dari mereka berkata, "Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah pembual besar dan Muhammad adalah orang yang benar. Namun pembual (dari kabilah) Robiah[1] lebih kami cintai daripada orang yang jujur dari (kabilah) Mudhor."[2]

Musailamah mengalahkan pasukan kaum muslimin yang keluar memerangi mereka dengan kepemimpinan Ikrimah bin Abu Jahal, Musailamah berhasil memukul mundur tentara Islam itu.

Maka ash-Shiddiq mengirim pasukan kedua dengan dipimpin oleh Kholid bin al-Walid yang beranggotakan para shahabat besar dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshor, di barisan depan pasukan ini adalah al-Barro bin Malik al-Anshori dan beberapa pahlawan pemberani kaum muslimin.

Dua pasukan bertemu di bumi Yamamah di Najd, perang belum berlangsung lama, tetapi sudah terlihat keunggulan pasukan Musailamah, bumi yang diinjak oleh pasukan kaum muslimin mulai bergoncang, mereka mulai melangkah mundur sehingga pasukan Musailamah mampu menerobos markas panglima Kholid bin al-Walid dan membongkar tiang-tiangnya dan hampir saja membunuh istrinya kalau tidak ada seorang muslim yang menyelamatkannya.

Pada saat itu kaum muslimin merasakan sebuah bahaya yang sangat besar, mereka menyadari bahwa jika mereka kalah di depan Musailamah niscaya Islam tidak akan pernah berdiri tegak setelah hari itu, Alloh yang tiada sekutu bagi-Nya tidak akan pernah lagi disembah di bumi Jazirah Arab.

Kholid maju menghampiri pasukannya, dia mulai menata ulang, memisahkan orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshor, dia juga memisahkan orang-orang pedalaman dari pasukan-pasukan yang lain.

Kholid mengumpulkan anak dengan bapaknya di bawah panji salah seorang dari (suku) mereka, agar masing-masing dari mereka menunjukkan kepahlawanannya di medan perang, agar diketahui di mana titik kelemahan kaum muslimin.

Genderang perang kembali di tabuh di antara kedua kubu yang memakan korban besar. Kaum muslimin belum pernah mengenal perang sedahsyat itu dalam sejarah mereka sebelumnya. Pasukan Musailamah berperang dengan teguh di medan perang layaknya gunung yang tegak menjulang tinggi. Mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya jumlah korban yang berjatuhan.

Kaum muslimin memperlihatkan kepahlawanan mereka yang sangat mengagumkan. Seandainya ia disusun menjadi satu, niscaya akan menjadi sebuah kisah kepahlawanan yang tergolong sangat mencengangkan.

Tsabit bin Qois -pembawa panji orang-orang Anshor- mengambil kain kafannya, membuat galian di tanah sedalam setengah betis, lalu dia masuk ke dalam. Dia tetap berdiri teguh di tempatnya, berperang membela panji kaumnya sampai dia tersungkur sebagai seorang syahid.

Zahid bin al-Khoththob saudara ‘Umar bin al-Khoththob, memanggil kaum muslimin, "Wahai pasukan Islam, gigitlah gigi geraham kalian. Tebaslah musuh kalian dan majulah tanpa mengenal rasa takut. Wahai tentara Alloh. Demi Alloh, aku tidak akan berbicara setelah kalimatku ini selama-lamanya sampai Musailamah dikalahkan atau aku mati untuk bertemu Alloh, lalu aku akan menyampaikan alasanku kepada-Nya."

Kemudian dia maju berperang melawan musuh sampai dia gugur sebagai syahid.

Salim mantan hamba sahaya Abu Hudzaifah, pembawa panji orang-orang Muhajirin. Kaumnya khawatir dia akan goyah sehingga tidak kuat memegang panji, maka mereka berkata kepadanya, "Kami takut diserang melalui dirimu." Maka dia menjawab, "Jika kalian sampai kalah karena aku, maka aku akan seburuk-buruk penghafal Alquran."

Kemudian dia maju untuk melawan musuh dengan gagah berani sampai dia gugur syahid.

Puncak kepahlawanan mereka semuanya tampak pada kepahlawanan al-Barro bin Malik.

Kholid melihat bahwa peperangan semakin sengit dan mencapai puncaknya. Pada saat itu Kholid menoleh ke arah al-Barro dan berkata, "Majulah, wahai pemuda Anshor."

Maka al-Barro melihat kepada kaumnya dan berkata, "Wahai orang-orang Anshor, jangan ada salah seorang dari kalian yang berpikir untuk pulang ke Madinah. Tidak ada Madinah bagi kalian setelah hari ini. Yang ada hanyalah Alloh semata dan mati syahid."

Kemudian dia melangkah maju menyerang orang-orang musyrik dan kaumnya mengikutinya. Dia menerjang membelah barisan musuh, menebaskan pedangnya ke leher musuh-musuh Alloh sehingga bumi yang dipijak oleh Musailamah dengan pasukannya bergoncang, maka mereka pun mundur berlindung ke dalam benteng yang kemudian dikenal setelah itu dalam sejarah dengan benteng kematian karena banyaknya korban yang terbunuh di dalamnya.

Benteng kematian ini sangat luas, dindingnya tinggi, Musailamah dengan ribuan pendukungnya masuk dan mengunci pintu benteng dari dalam. Mereka melindungi diri mereka dengan ketinggian bentengnya. Selanjutnya mereka menghujani kaum muslimin dengan anak panah dari dalam benteng, maka anak panah turun kepada kaum muslimin layaknya hujan yang turun dari langit.

Pada saat itulah pahlawan kaum muslimin yang pemberani al-Barro bin Malik melangkah ke depan. Dia berkata, "Wahai kaum muslimin, letakkan aku di sebuah tameng. Angkatlah tameng itu di ujung tombak, kemudian lemparkan aku ke dalam benteng dekat pintu gerbangnya. Kalau aku tidak gugur maka aku akan membuka gerbangnya untuk kalian."

Dalam sekejap al-Barro sudah duduk di sebuah tameng, berbadan kurus dan kerempeng, puluhan tombak mengangkatnya dan melemparkannya ke dalam benteng kematian di antara ribuan tentara Musailamah, maka al-Barro turun di antara mereka layaknya sebuah halilintar. Al-Barro melawan mereka sendirian di dekat gerbang benteng, menebaskan pedangnya sehingga dia berhasil menyudahi perlawanan sepuluh orang dari mereka dan membuka benteng sekalipun dia harus menerima delapan puluh lebih luka di tubuhnya berupa tusukan anak panah atau tebasan pedang.

Maka kaum muslimin berhamburan masuk ke dalam benteng kematian. Dari dinding-dindingnya dan pintu-pintunya, mereka menebaskan pedang-pedang mereka ke leher orang-orang yang murtad yang berlindung di dalam benteng. Kaum muslimin bisa membunuh sekitar dua puluh ribu orang dari mereka. Kaum muslimin sampai kepada Musailamah dan mengirimnya ke pintu kematian.

Al-Barro dibawa ke tendanya untuk diobati. Kholid bin al-Walid menyempatkan diri untuk tinggal selama satu bulan di bumi Yamamah dalam rangka mengobati luka-lukanya sehingga Alloh memberinya kesembuhan dan menetapkan kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya.

Al-Barro terus mencari syahadah yang menjauhinya di perang Yamamah. Dia terus menerjuni perang demi perang. Dia sangat inign mewujudkan impian besarnya, rindu ingin bertemu dengan Nabi yang Mulia.

Tibalah saat penaklukan kota Tustar[3] di negari Persia. Orang-orang Persia bersembunyi di salah satu bentengnya yang sangat tinggi, maka kaum muslimin mengepung mereka dari segala penjuru seperti gelang mengelilingi pergelangan tangan. Pengepungan berlangsung lama. Orang-orang Persia merasakan beratnya pengepungan, maka mereka mulai mengulurkan rantai-rantai besi dari atas dinding benteng. Padanya tergantung kait-kait yang telah dibakar dengan api sehingga keadaannya lebih panas daripada bara. Kait-kait panas ini menyambar kaum muslimin dan menjepit mereka. Yang terjepit akan terangkat ke atas, selanjutnya dia akan mati atau mendekat kematian.

Salah satu pengait besi itu menyambar Anas bin Malik saudara al-Barro bin Malik, al-Barro langsung memanjat dinding benteng, memegang rantai besi yang menyambar saudaranya. Dia melawan kait dan berusaha untuk melepaskan saudaranya darinya. Tangan al-Barro terbakar dan mengeluarkan asap. Namun dia tidak memperdulikannya sehingga dia berhasil menyelamatkan saudaranya. Al-Barro turun ke bumi setelah tangannya hanya tinggal tulang tanpa daging.

Dalam perang ini al-Barro bin Malik al-Anshori berdoa kepada-Nya agar melimpahkan syahadah kepadanya, maka Alloh mengabulkan doanya di mana dia gugur sebagai syahid yang bangga bisa bertemu Alloh.

Semoga Alloh menjadikan wajah al-Barro bin Malik berseri-seri di dalam surga, membuatnya tenang karena bisa menyusul Nabinya Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Semoga Alloh meridhoinya dan menjadikannya ridho.[4]

Dari buku “Mereka Adalah Para Sahabat; Penulis DR. Abdurrahman Rafat Basya; Penerbit At-Tibyan

[1] Kabilah besar di mana Musailamah berasal darinya.
[2] Mudhor adalah Kabilah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
[3] Kota terbesar di Khuzastan di hari ini.
[4] Untuk menambah wawasan tentang al-Barro bin Malik al-Anshori silakan merujuk:
Al-Ishabah, (I/143) atau (at-Tarjamah), 620; Al-Istiab dengan catatan kaki al-ishobah, (I/137); Ath-Thobaqot al-Kubro, (III/441. VII/17 dan 121); Tarikh ath-Thobari, lihat daftar isi juz sepuluh; Al-Kamil fi at-Tarikh lihat daftar isi; As-Siroh an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam. Lihat daftar isi; Hayah ash-Shahabah lihat daftar isi dalam juz empat; Qodah Fath Faris, Syait Khoththob.

Fitnah Tiga Do'a Ahli Zuhud

Sekarang kita berada di tahun 14 H. Saat dimana para pembimbing generasi dan guru utama di kalangan para shahabat dan senior tabiin membuat perbatasan kota Bashroh atas perintah kholifah muslimin 'Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu wa ardhoh.

Mereka bertekad untuk membangun kota baru sebagai markas bagi pasukan kaum muslimin untuk berperang di negeri Persia. Sekaligus sebagai titik tolak untuk berdakwah ilalloh, serta sebagai menara untuk meninggikan kalimat Alloh di muka bumi.

Di kota ini kaum muslimin dari segala penjuru Jazirah Arab, ada yang dari Najd, Hijaz, dan Yaman berkumpul untuk menjaga perbatasan daerah kaum muslimin. Di antara yang turut berhijrah tersebut terdapat pemuda Najd dari Bani Tamim yang dipanggil dengan nama Amir bin ‘Abdillah at-Tamimi al-Anbari. Usianya masih remaja, masih lunak kulinya, putih wajahnya, suci jiwanya, dan takwa hatinya.

Kendati masih berstatus baru, kota Bashroh menjadi kota terkaya di negeri kaum muslimin dan paling melimpah hartanya, karena tertumpuk di dalamnya hasil ghonimah perang dan tambang emas murni.

Namun begitu, bagi pemuda dari Bani Tamim ini, hal itu bukanlah yang dia cari. Beliau dikenal zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, berharap terhadap apa yang ada di sisi Alloh, berpaling dari dunia dan perhiasannya, menghadapkan jiwanya kepada Alloh dan keridhoan-Nya.

Ketika itu pemuka Bashroh adalah seorang shahabat agung Abu Musa al-Asyari, semoga Alloh meridhoinya dan menjadikan wajahnya berseri di surga-Nya. Beliau adalah wali kota Bashroh yang bercahaya. Beliau juga panglima perang kaum muslimin yang berasal dari Bashroh setiap kali menghadapi musuh. Beliau adalah imam penduduk Bashroh, pengajar, dan pembimbing menuju ke jalan Alloh Subhanahu wa Taala.

Kepada Abu Musa al-Asyari inilah bin ‘Abdillah berguru. Baik dalam kondisi perang maupun damai. Aktif menemani beliau setiap menempuh perjalanan, meneguk ilmu darinya tentang Kitabulloh yang masih segar seperti tatkala diturunkan di hati Muhammad. Juga mengambil hadits shohih yang bersambung hingga Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang mulia. Beliau menutut ilmu tentang agama Alloh Subhanahu wa Taala di hadapan Abu Musa al-Asyari.

Setelah beliau menyempurnakan ilmu sesuai yang dikehendaki, maka beliau membagi hidupnya menjadi tiga bagian.

Bagian pertama adalah untuk halaqoh dzikir di masjid Bashroh yang di sana dibacakan dan diajarkan Alquran kepada manusia.

Kedua, beliau pergunakan untuk mengenyam manisnya ibadah, beliau pancangkan kedua kakinya berdiri di hadapan Alloh hingga letih kedua telapak kakinya.

Ketiga, untuk terjun ke medan jihad, beliau menghunus pedangnya untuk berperang di jalan Alloh. Seluruh umurnya tidak pernah absen sedikit pun dari tiga kesibukan tersebut, sehingga beliau dikenal sebagai ‘abid (ahli ibadahnya) dan ahli zuhudnya penduduk Bashroh.

Di antara berita tentang keadaan Amir bin ‘Abdillah adalah seperti yang dikisahkan oleh seorang putra Bashroh yang mengatakan:

Aku pernah mengikuti safar bersama rombongan yang di dalamnya terdapat Amir bin ‘Abdillah, tatkala menjelang malam kami singgah di hutan. Aku melihat Amir mengemasi barang-barangnya, mengikat kendaraannya di pohon dan memanjangkan tali pengikatnya, mengumpulkan rerumputan yang dapat mengenyangkan kendaraannya dan meletakkan di hadapannya. Kemudian beliau masuk ke hutan dan menghilang di dalamnya.

Aku berkata kepada diriku sendiri, Demi Alloh aku akan mengikutinya dan aku ingin melihat apa yang sedang ia kerjakan di tengah hutan malam ini. Aku melihat Amir berjalan hingga berhenti di suatu tempat yang lebat pepohonannya dan tersembunyi dari pandangan manusia. Lalu dia menghadap ke kiblat, berdiri untuk sholat. Aku tidak melihat sholat yang lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih khusyuk dari sholatnya.

Setelah berlalu beberapa rokaat yang dikehendaki Alloh, dia berdoa kepada Alloh dan bermunajah kepada-Nya. Di antara yang dia ucapkan adalah, Wahai Ilahi, sungguh Engkau telah menciptakan aku dengan perintah-Mu, lalu Engkau tempatkan aku ke dunia ini sesuai kehendak-Mu, lalu Engkau perintahkan Berpegangteguhlah!, bagaimana aku akan berpegang teguh jika Engkau tidak meneguhkan aku dengan kelembutan-Mu, yaa Qowiyyu yaa Matiin! Wahai Ilahi, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa seandainya aku memiliki dunia dan seluruh isinya, kemudian diminta demi meraih ridho-Mu niscaya aku akan memberikan kepada orang yang memintanya. Maka berikanlah jiwaku kepadaku, yaa Arhamar Rohimin! Wahai Ilahi, kecintaaku kepada-Mu yang sangat, membuatku terasa ringan menghadapi musibah, ridho atas segala qodho, maka aku tidak peduli apapun yang menimpa diriku pagi dan sore harinya selagi masih bisa mencintai-Mu.

Putra Bashroh itu melanjutkan, Kemudian rasa kantuk mendatangiku hingga aku tertidur. Berkali-kali aku tidur dan bangun sedangkan Amir masih tegak di tempatnya, tetap dalam sholat dan munajahnya sampai datanglah waktu subuh.

Usai sholat subuh, beliau berdoa:

Ya Alloh, waktu subuh telah datang, manusia segera bangun dan pergi mencari karunia-Mu. Sesungguhnya masing-masing mereka memiliki keperluan, dan sesungguhnya keperluan Amir di sisi-Mu adalah agar Engkau mengampuninya. Ya Alloh, kabulkanlah keperluanku dan juga keperluan mereka, ya Akromal Akromin. Ya Alloh, sesungguhnya aku telah memohon kepada-Mu tiga perkara, lalu Engkau mengabulkan dua di antaranya dan tinggal satu saja yang belum. Ya Alloh, perkenankanlah permohonan tersebut hingga aku bisa beribadah kepada-Mu sesuka hatiku dan sekehendakku!

Beliau beranjak dari tempat duduknya dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju kepadaku. Beliau terperanjat dan berkata, Apakah Anda membuntutiku sejak kemarin malam, wahai saudaraku dari Bashroh? Aku menjawab, Benar. Beliau berkata, Rahasiakanlah apa yang Anda lihat. Semoga Alloh merahasiakan aib Anda! Aku menjawab, Demi Alloh, engkau beritahukan aku terlebih dahulu tentang tiga permohonanmu kepada Alloh tersebut, atau aku akan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa yang aku lihat darimu. Beliau berkata, Duhai celaka, jangan sampai Anda beritahukan kepada orang lain! Aku katakan, Dengan syarat engkau penuhi permintaanku padamu. Maka tatkala beliau melihat keseriusanku, beliau berkata, Akan aku ceritakan asalkan Anda mau berjanji kepada Alloh untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Aku berkata, Baiklah aku berjanji kepada Alloh untuk tidak menyebarkan rahasia ini selagi Anda masih hidup. Lalu beliau berkata,

Tidak sesuatu yang memudhorotkan agama yang lebih aku takuti dari fitnah wanita. Maka aku memohon kepada Robb-ku agar mencabut rasa cinta (syahwatku) kepada wanita, maka Alloh mengabulkan do’aku sehingga tatkala aku berjalan, aku tidak peduli apakah yang aku lihat seorang wanita ataukah tembok. Aku berkata, Ini yang pertama. Lantas apa yang kedua? Beliau menjawab, Yang kedua adalah, aku memohon kepada Robb-ku agar tidak diberi rasa takut kepada siapapun selain Dia. Dan Alloh mengabulkan. Sehingga, demi Alloh, tiadalah yang aku takuti baik yang di langit dan di bumi selain Dia.

Aku bertanya, Lantas apa doa yang ketiga? Beliau menjawab, Aku memohon kepada Alloh agar menghilangkan rasa kantuk dan tidur sehingga aku bisa beribadah kepada-Nya di malam dan siang hari sesuka hatiku. Namun Alloh belum mengabulkannya. Tatkala aku mendengar dari beliau, aku berkata, Kasihanilah dirimu. Anda telah melakukan sholat di malam hari dan shoum di siang hari. Padahal surga dapat diraih dengan amal yang lebih ringan dari apa yang Anda kerjakan. Dan neraka dapat dihindari dengan perjuangan yang lebih ringan dari apa yang Anda usahakan. Beliau berkata, Aku takut jika nantinya aku menyesal selagi tiada bermanfaat sedikit pun penyesalan itu. Demi Alloh, aku akan bersungguh-sungguh untuk beribadah. Tidak ada pilihan lain, jika aku selamat itu semata-mata karena rohmat Alloh. Jika aku masuk neraka maka itu karena keteledoranku.

Amir bin ‘Abdillah bukan sekedar ahli ibadah di waktu malam saja, namun juga mujahid di siang harinya. Tiada penyeru jihad fii sabilillah memanggil melainkan beliau segera mendatanginya.

Sudah menjadi kebiasaan beliau, manakala hendak bergabung bersama para mujahidin yang hendak berperang, beliau melihat-lihat kelompok pasukan untuk memilihnya. Jika beliau dapatkan yang sesuai, beliau berkata kepada mereka, Wahai saudara, sesungguhnya aku ingin bergabung bersama kelompok kalian ini jika kalian mau mengabulkan tiga permintaanku. Mereka bertanya, Apa tiga permintaan tersebut? Beliau menjawab, Pertama, hendaknya kalian perkenankan aku untuk menjadi pelayan bagi keperluan kalian, maka tidak boleh seorang pun di antara kalian merebut tugas tersebut. Kedua, hendaknya akulah yang dijadikan muadzin, maka tidak boleh seorang pun di antara kalian merebut tugas adzan untuk sholat. Ketiga, hendaknya kalian ijinkan aku untuk menginfakkan hartaku kepada kalian sesuai kemampuanku. Jika mereka menjawab, Ya, maka beliau segera bergabung, namun jika dijawab tidak, maka beliau mencari kelompok pasukan yang lain yang mau menerima permintaan tersebut.

Sungguh, di kalangan para mujahidin tersebut Amir bin ‘Abdillah mengambil bagian yang banyak dalam hal risiko dan kesusahan, serta mengambil bagian terkecil dalam hal yang menyenangkan (pembagian ghonimah). Beliau terjun di kancah peperangan dengan gigih yang tiada orang lain segigih beliau dalam berperang. Akan tetapi di saat pembagian ghonimah, tiada yang lebih enggan menerima daripada beliau.

Inilah Saad bin Abi Waqqosh tatkala usai perang Qodisiyah di Istana Kisro, beliau perintahkan Amru bin Muqorrin untuk mengumpulkan ghonimah dan menghitungnya agar selanjutnya seperlima dari ghonimah tersebut dapat dikirim ke baitul maal bagi kaum muslimin. Adapun sisanya dibagikan kepada para mujahidin. Maka dikumpulkanlah harta benda berharga yang luar biasa banyaknya. Di sana ada keranjang besar yang tertutup oleh tumpukan bebatuan berisi penuh bejana-bejana dari emas dan perak yang biasa dipakai oleh raja-raja persi untuk makan dan minum.

Ada pula sebuah kotak dari kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, pakaian dan selendang kaisar yang berenda permata dan mutiara. Ada lagi kotak perhiasan yang berisi barang-barang berharga seperti kalung dan perhiasan yang beraneka ragam. Ada juga kotak yang berisi senjata-senjata milik raja-raja Persia terdahulu, dan pedang-pedang para raja maupun pemimpin yang tunduk kepada Persia sepanjang perjalanan sejarah.

Di saat orang-orang bekerja menghitung ghonimah di bawah pengawasan kaum muslimin. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu sedang membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya, dia mengangkat dengan kedua tangannya sekaligus.

Mereka memperhatikan dengan seksama, mata mereka belum pernah melihat kotak perhiasan sebesar itu, belum ada pula di antara kotak perhiasan yang telah terkumpul yang setara atau mendekati besarnya dengan kotak tersebut. Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata penuh berisi perhiasan permata dan intan, lalu mereka bertanya kepada laki-laki tersebut, Di manakah Anda dapatkan simpanan yang berharga itu? Orang tersebut menjawab, Aku dapatkan dalam peperangan anu.. di tempat anu.. Mereka bertanya, Sudahkah Anda mengambil sebagiannya? Orang itu menjawab, Semoga Alloh memberikan hidayah kepada kalian! Demi Alloh, sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh apa yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku. Kalaulah bukan karena ini merupakan hak bagi kaum muslimin, niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak akan aku bawa ke sini. Mereka bertanya, Siapakah Anda? Semoga Alloh memuliakan Anda! Orang itu menjawab, Demi Alloh, aku tidak akan memberitahukannya karena kalian nanti akan memujiku. Tidak pula aku ceritakan kepada selain kalian karena mereka akan menyanjungku. Akan tetapi aku memuji Alloh Taala dan mengharap pahala-Nya. Kemudian ia meninggalkan mereka dan pergi.

Mereka menyuruh seseorang untuk mengikuti laki-laki tersebut guna memberitahukan kepada mereka siapa sebenarnya laki-laki misterius tersebut. Utusan tersebut terus membuntuti di belakangnya tanpa sepengetahuan beliau hingga sampai kepada para shahabatnya. Utusan tersebut bertanya kepada mereka perihal laki-laki itu, lalu mereka menjawab, Apakah Anda belum tahu siapa laki-laki itu? Dialah ahli zuhudnya orang Bashroh. Amir bin ‘Abdillah at-Tamimi.

Meski demikian gemilangnya perjalanan hidup Amir bin ‘Abdillah sebagaimana yang Anda lihat- namun beliau tidak terhindar pula dari hasutan dan gangguan manusia.

Beliau menghadapi risiko yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran, dan berusaha untuk menghilangkannya.

Peristiwa yang melatarbelakangi beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dari kepala polisi Bashroh sedang memegang leher seorang ahli dzimmah dan menariknya. Sementara orang dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia: Tolonglah aku. Semoga Alloh menolong kalian! Tolonglah ahli dzimmah (yang dilindungi) Nabi kalian, wahai kaum muslimin! Maka Amir bin ‘Abdillah menghampirinya dan bertanya, Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu? Ahli dzimmah itu menjawab, Ya, aku sudah menunaikannya. Kemudian Amir menoleh kepada orang yang memegang leher ahli dzimmah tersebut dan bertanya, Apa yang Anda inginkan darinya? Dia menjawab, Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi. Amir bertanya kepada si dzimmi: Anda berhasrat untuk kerja di tempat tersebut? Si Dzimmi menjawab, Tidak. Karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku! Lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimmi tersebut, Lepaskan dia! Ia menjawab, Aku tidak akan melepaskannya.

Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang dzimmi tersebut sembari berkata, Demi Alloh, tidak boleh perjanjian orang dzimmi dengan Nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup. Kemudian berkumpullah orang-orang dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasannya teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka berkata, Dia tidak mau menikah dengan wanita, tidak mau makan daging hewan dan susunya, tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah. dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin ‘Utsman bin Affan.

Kholifah memerintahkan wali Bashroh untuk memanggil Amir bin ‘Abdillah dan meminta keterangan kepadanya perihal tuduhan yang ditujukan atasnya. Lalu hasilnya agar dilaporkan kepada kholifah. Maka wali Bashroh memanggil Amir dan berkata, Sesungguhnya amirul mukminin semoga Alloh memanjangkan umurnya- telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda. Amir menjawab, Silakan Anda bertanya sesuai dengan yang diinginkan amirul mukmnin. Lalu wali Bashroh bertanya, Mengapa Anda menjauhi sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan tidak mau menikah? Beliau menjawab, Aku tidak menikah bukan karena ingin menyimpang dari sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Karena aku tahu bahwa tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalam Islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Alloh Subhanahu wa Taala dan aku khawatir jika istriku kelak akan mengalahkan hal itu.

Wali berkata, Lalu mengapa Anda tidak mau makan daging? Beliau menjawab, Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan aku mendapatkannya. Namun apabila aku tidak berselera atau aku berselera namun tidak mendapatkannya, maka aku tidak memakannya. Beliau ditanya lagi, Mengapa Anda tidak mau makan keju? Beliau menjawab, Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang Majusi yang membuat keju. Mereka adalah suatu kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang disembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan satu bagian dari bahan pembuat keju berasal dari hewan yang tidak disembelih. Jika telah ada dua orang Muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentulah aku akan memakannya. Beliau ditanya, Apa yang menghalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya? Beliau menjawab, Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin dipenuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya. Dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.

Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin ‘Abdillah ini dilaporkan kepada amirul mukminin ‘Utsman bin Affan dan kholifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dari ketaatan atau keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah pada diri Amir.

Hanya saja api kejahatan belum padam sampai di situ. Isu yang membicarakan keburukan Amir bin ‘Abdillah makin gencar, hingga nyaris saja terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya. Lalu ‘Utsman bin Affan rodhiyallohu anhu memerintahkan beliau untuk berpindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya. Kholifah mewasiatkan wali kota Syam Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan Amir dan menjaga kehormatannya.

Sampailah hari di mana Amir bin ‘Abdillah memutuskan untuk berpindah dari Bashroh. Para shahabat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau. Mereka mengantar beliau hingga di Marbad. Setibanya di sana beliau berkata kepada mereka, Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku. Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tak bergerak dan mata mereka tertuju kepada beliau. Sementara beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa: Ya Alloh, orang yang tleah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dari negeriku, memisahkan antara diriku dengan para shahabatku ya Alloh, sesungguhnya aku telah memaafkannya, maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia, dan juga seluruh kaum muslimin dengan rohmat-Mu, ampunan-Mu, dan kebaikan-Mu, wahai yang Paling Pengasih. Kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.

Amir bin ‘Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dari pemimpin Syam, Muawiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.

Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya, para shahabat beliau menjenguknya dan mereka mendapatkan beliau sedang menangis. Mereka bertanya, Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutamaan ini dan itu? Beliau menjawab, Demi Alloh, aku menangis bukan karena ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian. Akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang. Bisa jadi ke surga, bisa jadi pula tergelincir ke neraka. Aku tidak tahu di mana aku akan sampai. Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan dzikrulloh. Di sana. Di sana… Di kiblat yang pertama; Haromain yang ketiga; tempat Rosul shollallohu alaihi wa sallam melakukan isro, Amir bin ‘Abdillah at-Tamimi berdiam diri.

Semoga Alloh menerangi Amir di dalam kuburnya dan membahagiakannya di surga-Nya yang kekal.

Sumber: “Mereka adalah Para Tabiin; Dr. Abdurrahman Raat Basya; At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Ath-Thufail bin Amru; Lentera Suku Daus

Ya Alloh, berikanlah sebuah bukti kepadanya atas kebaikan yang dia niatkan.
(Dari do’a Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuknya)

Ath-Thufail bin Amru ad-Dausi adalah kepala kabilah Daus di masa jahiliyah. Salah seorang pemuka orang-orang Arab yang berkedudukan tinggi, satu dari para pemilik muruah yang diperhitungkan orang banyak.

Panci miliknya tidak pernah turun dari api karena senantiasa di pakai untuk memasak dalam rangka menjamu tamu dan pintu rumahnya tidak pernah tertutup dari tamu yang mengetuk untuk bermalam.

Dia adalah potret manusia yang memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang takut, dan memberi perlindungan kepada orang yang memerlukan perlindungan.

Di samping itu, dia adalah seorang sastrawan cerdik lagi ulung, seorang penyair dengan ilham besar dan perasaan lembut, mengenal dengan baik kata-kata yang manis dan pahit, dimana kalimat berperan padanya layaknya sihir.

Ath-Thufail meninggalkan kampung halamannya di Tihamah[1] menuju Makkah pada saat terjadi pertentangan antara Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dengan orang kafir Quroisy, di saat Rosul shollallohu alaihi wa sallam berusaha menyampaikan dakwah Islam kepada penduduknya.

Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menyeru mereka kepada Alloh, senjata beliau adalah iman dan kebenaran. Sementara orang-orang kafir Quroisy memerangi dakwah beliau dengan segala macam senjata, menghalang-halangi manusia darinya dengan berbagai macam cara.

At-Thufail melihat dirinya masuk ke dalam pertentangan ini tanpa persiapan, menerjuni lahannya tanpa dia kehendaki sebelumnya.

Dia tidak datang ke Makkah untuk tujuan tersebut. Perkara Muhammad dan orang-orang Quroisy tidak pernah terbesit dalam pikirannya sebelum ini.

Dari sini ath-Thufail bin Amru ad-Dausi mempunyai kisah dengan pertentangan ini yang tidak terlupakan. Kita simak kisah tersebut, karena ia termasuk kisah yang sangat menarik.

Ath-Thufail berkisah,

Aku datang ke Makkah. Begitu para pembesar Quroisy melihatku, mereka langsung menghampiriku, menyambutku dengan sangat baik, dan menyiapkan tempat singgah yang terbagus bagiku.

Kemudian para pemuka dan pembesar Quroisy mendatangiku sembari berkata, Wahai Thufail, sesungguhnya kamu telah datang ke negeri kami, dan laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai nabi itu telah merusak urusan kami dan memecah-belah persatuan kami serta mencerai-beraikan persaudaraan kami. Kami hanya khawatir apa yang menimpa kami ini akan menimpamu sehingga mengancam kepemimpinanmu atas kaummu. Oleh karena itu, jangan berbicara dengan laki-laki itu. Jangan mendengar apa pun darinya. Karena dia mempunyai kata-kata seperti sihir, memisahkan seorang anak dari bapaknya, seorang saudara dari saudaranya, seorang istri dari suaminya.

Ath-Thufail berkata,

Demi Alloh, mereka terus menceritakan berita-beritanya yang aneh, menakut-nakutiku atas diri dan kaumku dengan perbuatan-perbuatan Muhammad yang terkutuk dan tercela sampai aku pun bertekad bulat untuk tidak mendekat kepadanya, tidak berbicara dengannya, dan tidak mendengar apa pun darinya.

Manakala aku berangkat ke Masjidil Harom untuk melakukan thowaf di Kabah dan mencari keberkahan kepada berhala-berhala yang kepada merekalah kami menunaikan ibadah haji dan kepada merekalah kami mengagungkan, aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas karena aku takut ada perkataan Muhammad yang menuyusup ke telingaku.

Begitu aku masuk masjid, aku melihat Muhammad sedang berdiri. Dia sholat di Kabah dengan sholat yang berbeda dengan sholat kami, beribadah dengan ibadah yang berbeda dengan ibadah kami. Pemandangan itu menarik perhatianku, ibadahnya menggugah nuraniku. Tanpa sadar aku melihat diriku telah mendekat kepadanya sedikit demi sedikit, sehingga tanpa kesengajaan diriku telah benar-benar dekat kepadanya.

Alloh pun membuka hatiku. Sebagian apa yang diucapkan Muhammad terdengar olehku, aku mendengar ucapan yang sangat indah. Aku berkata kepada diriku, Celaka kamu, wahai Thufail. Sesungguhnya kamu adalah laki-laki penyair yang cerdas, kamu mengetahui yang baik dan yang buruk. Apa yang menghalangimu untuk mendengar ucapan laki-laki ini? Jika apa yang dia bawa itu baik, maka kamu harus menerimanya. Jika buruk maka kamu harus membuangnya.

Ath-Thufail berkata, Aku diam sampai Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meninggalkan tempatnya menuju rumahnya. Aku mengikutinya sampai dia masuk ke dalam rumahnya dan aku pun masuk kepadanya. Aku berkata, Wahai Muhammad, sesungguhnya kaumku telah berkata tentangmu begini dan begini. Demi Alloh, mereka terus menakut-nakuti dari ajaranmu sampai aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar kata-katamu. Kemudian Alloh menolak itu semua dan membuatku mendengar sebagian dari ucapanmu. Aku melihatnya baik. Maka jelaskan ajaranmu kepadaku.

Di saat itulah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan agamanya kepadaku, beliau membacakan surat al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Alloh, aku tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih bagus dari ucapannya. Aku tidak melihat sebuah perkataan yang lebih adil daripada perkaranya.

Pada saat itu aku ulurkan tanganku untuknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Alloh dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Aku masuk Islam.

Ath-Thufail berkata,

Kemudian aku tinggal di Makkah beberapa waktu. Selama di sana, aku belajar ajaran-ajaran Islam dan aku menghafal Alquran yang mungkin untuk aku hafal. Ketika aku berniat untuk pulang ke kabilahku, aku berkata, Rosululloh, sesungguhnya aku ini adalah laki-laki yang ditaati di kalangan kaumku. Aku akan pulang untuk mengajak mereka kepada Islam. Berdo’alah kepada Alloh agar Dia memberiku sebuah bukti untuk mendukungku dakwah kepada mereka.

Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berdoa, Ya Alloh berikanlah dia sebuah bukti.

Aku pun pulang kepada kaumku. Ketika aku tiba di sebuah tempat yang dekat dengan perkampunganku, tiba-tiba secercah cahaya muncul di keningku seperti lampu. Maka aku berkata, Ya Alloh, pindahkanlah ia ke tempat lain. Karena aku khawatir mereka akan mengira bahwa ini merupakan hukuman yang menimpa wajahku karena aku meninggalkan agama mereka.

Maka cahaya itu berpindah ke ujung cemetiku. Orang-orang melihat cahaya tersebut di ujung cemetiku seperti lampu yang tergantung. Aku turun kepada mereka dari sebuah jalan di bukit. Manakala aku tiba di perkampungan, bapakku yang sudah berumur lanjut menyambutku. Aku berkata kepadanya, Menjauhlah engkau dariku. Aku bukan termasuk golonganmu dan engkau bukan termasuk golonganku.

Bapakku bertanya, Mengapa, wahai anakku?

Aku menjawab, Aku telah masuk Islam. Aku mengikuti Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.

Dia berkata, Anakku, agamamu adalah agamaku juga.

Aku berkata, Pergilah. Mandilah dan sucikanlah pakaianmu. Kemudian kemarilah aku akan mengajarimu apa yang aku ketahui.

Maka bapakku pun pergi. Dia mandi dan menyucikan bajunya. Kemudian dia datang dan aku menjelaskan Islam kepadanya dan dia masuk Islam.

Kemudian istriku datang kepadaku. Aku berkata kepadanya, Menjauhlah dariku. Aku bukan termasuk golonganmu dan kamu bukan termasuk golonganku.

Dia bertanya, Bapak dan ibumu sebagai jaminanku. Mengapa?

Aku menjawab, Islam memisahkan antara diriku dengan dirimu. Aku telah mengikuti Muhammad.

Dia berkata, Agamamu adalah agamaku.

Aku berkata, Pergilah dan jauhilah air Dzi asy-Syuro.[2]

Dia berkata, Bapak dan ibuku sebagai jaminanku. Apakah kamu takut sesuatu terhadap wanita ini karena Dzi asy-Syuro?

Aku menjawab, Celaka kamu dan celaka juga Dzi asy-Syuro. Aku katakan kepadamu, Pergilah, mandilah di sana jauh dari penglihatan orang-orang. Aku menjamin bahwa batu pejal itu tidak akan melakukan apa pun terhadapmu.

Dia pun pergi untuk mandi, kemudian dia datang. Aku menjelaskan Islam kepadanya, maka dia masuk Islam.

Kemudian aku mengajak kaumku Daus. Namun mereka tidak menjawab dengan segera, kecuali Abu Huroiroh, dia adalah orang yang paling cepat menjawab seruanku.

Ath-Thufail berkata,

Aku datang bersama Abu Huroiroh menemui Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam di Makkah. Di saat itu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda kepadaku, Hati kaummu masih tertutupi sekat tebal dan kekufuran yang keras. Orang-orang Daus telah dikuasai oleh kefasikan dan kemaksiatan.

Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berdiri mengambil air, beliau wudhu kemudian mengerjakan sholat. Beliau mengangkat kedua tangan ke langit. Abu Huroiroh berkata, Manakala aku melihat beliau melakukan itu, aku takut beliau berdoa buruk atas kaumku. Akibatnya mereka akan binasa. Maka aku berkata, Celaka kaumku.

Tetapi Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, Ya Alloh, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Alloh, berikanlah petunjuk kepada Daus. Ya Alloh, berikanlah petunjuk kepada Daus.

Kemudian beliau menoleh kepada ath-Thufail dan berkata, Pulanglah kepada mereka. Serulah mereka kepada Islam dengan lemah lembut.

Ath-Thufail berkata,

Aku terus tinggal di kampung Daus. Aku mengajak mereka kepada Islam sampai Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khondaq berlalu. Aku datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersama delapan puluh keluarga dari Daus yang telah masuk Islam dan mereka konsisten terhadap ajaran Islam. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berbahagia dengan kehadiran kami, beliau memberikan bagian dari harta rampasan perang Khoibar kepada kami sama dengan kaum muslimin lainnya.

Kami berkata kepada beliau, Ya Rosululloh, jadikanlah kami sebagai sayap kanan pasukanmu dalam setiap peperangan yang engkau terjuni. Jadikanlah syiar kami, Mabrur.

Ath-Thufail berkata,

Setelah itu aku terus bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sampai Alloh Taala membuka Makkah untuk beliau. Aku berkata, Ya Rosululloh, tugasilah aku ke Dzul Kafain untuk menghancurkan berhala Amru bin Hamamah. Aku ingin menghancurkannya. Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengizinkannya. Ath-Thufail berangkat dengan sebuah pasukan yang terdiri dari kaumnya.

Ketika ath-Thufail tiba di sana, dia hendak membakarnya. Kaum laki-laki wanita dan anak-anak memperhartikannya. Mereka berharap ath-Thufail akan ditimpa keburukan. Mereka berharap sebuah halilintar menyambarnya jika dia menghancurkan Dzul Kafain.

Namun ath-Thufail tetap bergerak maju kepada berhala tersebut di hadapan tatapan mata para pemujanya.

Ath-Thufail menyalakan api, membakar dada berhala itu sambil bersyair,

Wahai Dzul Kafain, aku tidak termasuk pemujamu
Kelahiran kami mendahului kelahiranmu
Sesungguhnya aku membakar dadamu dengan api.

Api melahap berhala itu, sekaligus melahap sisa-sisa syirik yang ada pada kabilah Daus. Maka mereka semuanya masuk Islam dan mereka pun memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.

Setelah itu, ath-Thufail bin Amru ad-Dausi senantiasa mendampingi Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sampai beliau wafat dan berpulang ke hadapan Robbnya.

Setelah itu khilafah berpindah ke tangan Abu Bakar, ath-Thufail memberikan jiwanya, pedangnya dan anaknya dalam menaati kholifah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.

Ketika perang Riddah berkecamuk ath-Thufail berada di barisan depan bala tentara kaum muslimin untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab, putranya pun ikut bersamanya.

Ketika dia sedang menuju Yamamah, ath-Thufail bermimpi. Dia berkata kepada kawan-kawannya, Aku bermimpi. Tolong jelaskan kepadaku apa artinya?

Mereka bertanya, Mimpi apa?

Dia berkata, Aku bermimpi kepalaku dicukur. Seekor burung keluar dari mulutku. Seorang wanita memasukkanku ke dalam perutnya. Anakku Amru mencari-cari diriku dengan gigih namun antara diriku dengan dirinya terdapat penghalang.

Mereka berkata, Itu mimpi yang baik.

Selanjutnya ath-Thufail berkata, Aku sudah bisa mengartikan makna mimpiku. Kepalaku dicukur, artinya ia dipotong. Seekor burung keluar dari mulutku, artinya arwahku meninggalkan jasadku. Wanita yang memasukkanku ke dalam perutnya adalah bumi yang digali lalu aku dikubur di sana. Anakku yang gigih mencariku, artinya dia mengharapkah syahadah yang akan aku dapatkan dengan izin Alloh, anakku akan mendapatkannya kelak.

Di perang Yamamah, shahabat yang mulia Amru bin ath-Thufail ad-Dausi berperang dengan gigih, memperlihatkan kepahlawanannya dengan gagah berani, sampai dia gugur sebagai syahid di bumi perang Yamamah.

Adapun anaknya, Amru, maka dia terus berperang sampai tubuhnya penuh luka, tangan kananya terpotong, dia pulang ke Madinah meninggalkan bapaknya sementara tangan kanannya dikubur di bumi Yamamah.

Di masa khilafah ‘Umar bin al-Khoththob, Amru bin ath-Thufail datang menemuinya. Tatkala makanan dihidangkan kepada al-Faruq -sementara orang-orang yang duduk di sekelilingnya dipersilahkan untuk menyantap hidangan, Amru justru malah menjauh darinya. Maka al-Faruq bertanya kepadanya, Ada apa dengan dirimu? Apakah kamu menjauh dari makanan ini karena kamu merasa malu kepada tanganmu?

Dia menjawab, Benar, wahai Amirul Mukminin.

Umar pun berkata, Demi Alloh, aku tidak menyantap makanan ini sehingga kamu mencampurnya melalui bagian tanganmu yang terputus itu. Demi Alloh, di antara yang hadir ini tidak ada seseorang yang sebagian organnya telah tinggal di surga selainmu maksudnya adalah tangannya-.”

Impian syahadah terus berkibar dalam angan-angan Amru sejak dia berpisah dari bapaknya. Perang Yarmuk[3] tiba, Amru bin ath-Thufail bersegera berpartisipasi di dalamnya bersama orang-orang yang bersegera, dia berperang sehingga dia meraih syahadah yang diharapkan oleh bapaknya untuknya.

Semoga Alloh merohmati ath-Thufail bin Amru ad-Dausi, seorang syahid dan bapak dari seorang syahid.[4]

Dari buku “Mereka Adalah Para Sahabat; Penulis DR. Abdurrahman Rafat Basya; Penerbit At-Tibyan


[1] Tihamah adalah lembah pesisir di Jazirah Arab yang bersebelahan dengan Laut Merah.
[2] Dzu asy-Syuro adalah berhala milik kabilah Daus, dikelilingi oleh air yang turun dari sebuah gunung.
[3] Perang Yarmuk adalah salah satu peperangan yang menentukan dalam sejarah. Terjadi pada tahun lima belas Hijriyah. Dalam perang ini kaum muslimin unggul atas orang-orang Romawi secara gemilang.
[4] Untuk menambah wawasan tentang ath-Thufail bin Amru ad-Dausi silahkan merujuk:
al-Ishobah, (II/225) atau (at-Tarjamah) (4254); al-Istiab (II/225) di bagian bawah al-Ishobah, (II/230); Usudul Ghobah, (III/54-55); Shifah ash-Shofwah, (I/245-246); Siyar Alam an-Nubala, (I/248-250); Mukhtashor Tarikh Dimisyq, (VII/59-64); al-Bidayah wa an-Nihayah, (VI/337); Syuhada al-Islam, (138-143); Siroh Bahal, Muhammad Zaidan, diterbitkan oleh ad-Dar as-Suudiyah tahun 1386 H.

Jumat, 14 Oktober 2016

'Umar; Penjaga 'Izzah Islam

'Umar bin Khoththob ra adalah tokoh besar sekaligus penyandang kebesaran Islam. Sejak awal masuk Islam, beliau membawa aura kebesaran Islam. Jika sebelumnya kaum Quroisy merasa bebas untuk menyiksa kaum muslimin, tidak demikian halnya setelah 'Umar masuk Islam. 'Umar akan melindungi dan membela kaum mustadh'afin yang dianiaya oleh kaum Quroiys. Setelah 'Umar masuk Islam, kaum muslimin berani sholat secara terang-terangan dan bahkan mulai berani membela diri. Hingga 'Abdulloh ibnu Mas'ud ra sampai berkata, "Semenjak 'Umar masuk Islam, kami memiliki harga diri".

'Umar bin Khoththob ra adalah satu-satunya shahabat yang dengan lantang berkata kepada Rosululloh saw, “Bukankah kita berdiri di atas kebenaran? Bukankah jika kita mati akan masuk surga sedang jika mereka mati akan masuk neraka? Mengapa kita menghinakan diri?" demikian kurang lebih curahan hati 'Umar. Kita merekamnya dalam dua peristiwa, yakni saat masih periode dakwah sirriyah dan pasca Sulhul Hudaibiyah. Begitulah 'Umar, beliau tidak rela Islam direndahkan. Karena itu, saat beliau naik menjadi Amirul Mukminin, ada beberapa kebijakannya yang dengan tegas menunjukkan kebesaran dan 'izzah Islam. Diantaranya:

Pertama, Pemecatan Pegawai Non Muslim
Abu Musa Al Asy'ari memiliki seorang sekretaris yang beragama Nasrani. Sekretaris itu sangat cakap dan teliti dalam bekerja, hingga membuat 'Umar kagum. 'Umar minta sekretaris tersebut untuk membacakan satu surat di masjid yang baru diterimanya dari Syam, tapi Abu Musa selaku atasannya langsung menjawab, "Tidak bisa." 'Umar heran dengan jawaban Abu Musa itu, lalu bertanya, "Apakah dia sedang junub?" Abu Musa menjawab, "Tidak. Tapi dia seorang Nasrani." 'Umar marah besar lalu memerintahkan untuk memecat sekretaris tersebut.

Sekretaris itu memiliki kecakapan administratif, berupa pencatatan pemasukan dan pengeluaran. Ini adalah pekerjaan strategis yang harus dipegang oleh orang Muslim. Terlebih di masanya melimpah ruah dengan sumber daya unggul, dimana banyak para shahabat yang memiliki kemampuan dan keutamaan besar untuk mengerjakan tugas itu. Situasinya jelas tidak bisa disamakan dengan kasus hijrohnya Rosululloh yang menggunakan jasa pemandu jalan seorang musyriq, bernama 'Abdulloh bin Uroiqit.

Kedua, Pelarangan Menikahi Non Muslim
Di dalam Islam, menikahi perempuan ahli kitab hukumnya halal, tapi dinikahi oleh ahli kitab hukumnya haram. Beberapa shahabat yang mengikuti perang Qodisiah, ada yang menikahi wanita ahli kitab. Termasuk diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqos dan Jabir bin 'Abdulloh. Namun sebagian besar mereka kemudian menceraikannya. Suatu ketika, 'Umar mendengar Hudzaifah (dan juga Tholhah) menikahi wanita ahli kitab. Maka, 'Umar segera memerintahkan Hudzaifah untuk menceraikannya. Hudzaifah bertanya, "Apakah yang aku lakukan ini haram?" 'Umar menjawab, “Tidak. Akan tetapi aku khawatir mereka akan meracunimu." Meracuni disini dalam arti yang seluas-luasnya, baik meracuni secara zhohir, meracuni pikiran, merusak akhlak dll.

Pernikahan berarti menyatukan dua insan dalam ikatan secara lahir batin. Mereka jelas akan berbagi canda tawa, berbagi cerita, terpaut hatinya dll. Apabila seorang shahabat besar (dan berkedudukan penting) sampai menikah dengan wanita ahli kitab, dikhawatirkan membuat banyak para gadis muslimah menjadi terpinggirkan serta yang paling berbahaya adalah banyak rahasia-rahasia keumatan dan kebijakan penting yang akan tersebar dan bocor kepada kalangan non Muslim lewat jalur istrinya itu.

Ketiga, Penghapusan Golongan Muallafatu Qulubuhum
Diantara bagiann yang berhak menerima pembagian dana zakat adalah golongan muallafatu qulubuhum. Mereka yang masuk kategori golongan ini adalah kalangan non muslim yang diharapkan bisa masuk Islam atau golongan Islam yang masih lemah kadar keimanannya. Ceritanya, ada dua orang muallaf menghadap Kholifah Abu Bakar untuk meminta bagian harta zakat (berupa sepetak tanah) dari golongan muallafatu qulubuhum. Abu Bakar membuatkan surat kepemilikan (semacam sertifikat tanah, red) bagi mereka. Untuk menguatkannya, mereka berdua menghadap 'Umar. Hal ini karena dalam urusan kebijakan negara, Abu Bakar selalu melibatkan 'Umar (semacam meminta accepted).

Saat 'Umar mengetahui surat itu, direbut kertasnya lalu dihapus isinya. 'Umar lalu berkata, "Dahulu Rosululloh melihat kalian sebagai muallaf, karena Islam masih kecil dan pengikutnya sedikit. Sekarang Islam sudah besar dan jaya. Karena itu, bekerjalah seperti yang lainnya." Karena jengkel, keduanya kembali menghadap Kholifah Abu Bakar. Ternyata, Abu Bakar sepakat dengan pendapat 'Umar. Keduanya tambah jengkel, lalu berkata, "Sebenarnya kholifahnya kamu atau 'Umar?" Dengan enteng Abu Bakar menjawab, "Dia. Kapan pun ia mau."

Delapan golongan yang berhak menerima zakat itu tidak bersifat konstan dan statis, tapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 'Umar melihat bahwa di masa pemerintahan Abu Bakar, Islam sudah kuat. Maka golongan muallafatu qulubuhum dihilangkan dari daftar penerima zakat. Sama halnya dengan situasi di masa kepemimpinan 'Umar bin 'Abdul 'Azis, di mana kemakmuran merata. Maka alokasi golongan untuk faqir miskin dihapus dari daftar penerima zakat. Bukan dihapus ayatnya, tapi dihapus dari daftarnya petugas 'amil zakat.

Khotimah
Agama Islam diturunkan Alloh kepada Rosul-Nya, diantara tujuannya adalah “liyudz-hirohuu 'alad diini kullihi”. Sebagaimana saat kita belajar tajwid, maka bacaan idzhar itu harus dibaca secara terang dan jelas. Alloh akan menolong dan memenangkan agama ini di atas semua agama. Mari kita penuhi syarat-syarat kemenangannya, agar layak diberi panji kebesaran Islam sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh 'Umar bin Khoththob ra. Wallohu a'lam.

Eko Junianto, ST