Rabu, 29 Mei 2019

Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi


Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera, mengakibatkan semua pimpinan utama PKI melarikan diri ke luar negeri. Sejak itu, Semaun, Darsono, Muso, Alimin tak berada di tanah air. Dalam razia yang dilancarkan Pemerintah Kolonial waktu itu, 9 orang dihukum mati, 823 dibuang ke Digul, dan 8.000 mendapatkan hukuman ringan kemudian dilepaskan kembali.

PKI dibubarkan. Organisasinya sudah barang tentu menjadi berantakan. Kepemimpinan pergerakan nasional ada di tangan para pemimpin nasionalis kiri, moderat, dan kaum agama. Kaum Komunis yang vakum kepemimpinan, tak mampu ikut berpatisipasi dalam kepemimpinan revolusi. Sampai detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan selanjutnya. Menjadi kenyataanlah ucapan Tan Malaka kepada Alimin di Manila, “Kita harus sedapat mungkin berusaha jangan sampai mengalami kekalahan yang berakibat kehancuran organisasi untuk jangka waktu lama,” waktu Alimin membeberkan rencananya pemberontakan yang tak disetujui Tan Malaka sebagai Komintern di Asia Tenggara.

Aidit merumuskan kegagalan PKI, bahwa, “PKI sebagai partai kelas proletar waktu itu kurang paham akan perjuangan dan belum sanggup mewujudkan kepemimpinan dalam Front Persatuan Nasional.”

Sneevliet setelah diusir pemerintah Hindia Belanda, pergi ke Cina. Tetapi setelah kekalahan kaum Komunis dalam revolusi tahun 1925-1927, ia kembali ke Netherland, kemudian dipilih sebagai anggota parlemen. Ia berhasil membujuk Perhimpunan Indonesia untuk mengambil garis front populer. Tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman, dan dua tahun kemudian ia dibunuh.

Amir Sjarifudin tahun 1932 kembali ke tanah air dari Netherland. Kemudian di serahi pimpinan PARTINDO. Tak lama kemudian, ia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dihukum 3 tahun. Dengan semakin mendekatnya bahaya fasisme di Eropa, Stalin menggariskan jalan baru. Suatu united front di seluruh dunia. Dan melarang menyerang setiap pribadi maupun organisasi lain yang bisa diajak kerjasama dengan kaum pekerja dalam united front, lawan Fasisme. “United front from below” ini digariskan dalam Kongres Komintern VI, Juli 1935, yang menganut doktrin Dimitrov, yaitu Komunis bekerjasama dengan kapitalis untuk menghancurkan fasis.

April 1935, Muso yang ditugaskan Stalin sampai di Surabaya, di mana ia bisa bertemu dengan Djokosujono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, membangkitkan kembali PKI-ilegal. Ia juga membentuk PKM (Partij Komunis Muda), kader-kader Bolshewik. Serta menarik Amir Sjarifudin masuk PKI bawah tanah. Dengan doktrin baru dari Stalin tersebut, Amir yang waktu itu masih menjadi Ketua PARTINDO balik haluan bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial, yang tadinya bangga akan sikap non-kooperatifnya. Karena perpecahan dalam PARTINDO, Amir membubarkan partai pada tahun 1936. Kemudian membentuk GERINDO yang “Bersendi kerjasama dengan Belanda; kalau perlu,” untuk membangun negara nasional demokratis merdeka.

GERINDO juga menciptakan Barisan Pemuda GERINDO, di mana D.N. Aidit mulai menjadi anggotanya sejak umur 16 tahun. Pada tahun 1939, Aidit yang kemudian keluar sebagai Ketua CC PKI setelah tahun 1950, adalah kelahiran Sumatera Timur pada tanggal 30 Juli 1923. Tahun 1939, orang tuanya pindah ke Tanjungpandan, Sumatera Selatan. Di mana ia masuk SD. Kemudian sekolah ke Jakarta pada Sekolah Dagang Menengah. Tahun 1939, ia memasuki Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Waktu itu, GERINDO bukan gerakan Komunis, sekalipun banyak pemimpinnya adalah tokoh Komunis. “Saya pun kala itu belum masuk Komunis,” kata Aidit. Ia menarik perhatian Amir Sjarifudin yang kemudian dipilih sebagai Ketua BPG di Jakarta. Aidit beranggapan, bahwa setelah Musa meninggalkan Indonesia tahun 1936 kembali ke Moskow, PKI-ilegal tak kerja dengan pedoman jelas untuk membangun partai tipe Stalin-Lenin. Itulah kesalahan organisasi PKI yang gagal mengorganisasikan massa aksi sebagai tekanan terhadap kaum kolonialis, sesudah negeri Belanda jatuh pada tahun 1940.

Demikian ia bisa membantu garis Komintern.

Di Netherland pada masa pendudukan Jerman, Komunis Indonesia masuk CPN yang bergerak di bawah tanah. Mereka antara lain ialah Setiadjit, Abdulmadjid, Maruto Darusman, dan Suripno. Di Indonesia di masa pendudukan Jepang, PKI main mata dengan Sekutu serta bergerak di dalam maupun di luar pergerakan-pergerakan nasional. Kaum Digoelis yang dibawa oleh Belanda ke Australia, gembira bisa bekerjasama dengan Van der Plas untuk melawan Jepang. Sardjono yang dianggap sebagai pimpinannya, bekerja di Brisbane pada pusat propaganda Van der Plas.

Sesudah Irian Barat direbut kembali, Sardjono pindah ke Morotai, dari mana ia menerbitkan surat kabar Penyuluh. Amir Sjarifudin, Januari 1942 diminta oleh Van der Plas untuk memimpin gerakan di bawah tanah dengan diberi f25.000, tetapi Amir kemudian ditangkap oleh Jepang.

Di Jakarta, Widarto tetap aktif bergerak. Ia berhasil merekrut Aidit pada tahun 1943. Kemudian Aidit masuk Angkatan Baru; suatu Kelompok Mahasiswa Menteng 31; yang terkenal pada waktu itu. Juga ia menjadi anggota Gerakan Indonesia Merdeka dan Barisan Pelopor. Di Jawa Timur, bergerak Djokosujono; orangnya Muso. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan Jepang bertekuk lutut. Hari itu adalah tanggal 15 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diminta datang oleh Jendral Trauchi dari markas besar tentara Jepang ke Saigon.

D.N. Aidit pada masa pendudukan Jepang pernah mengatakan, “Simpati saya selalu ada di pihak Soekarno, bukan Hatta. Bahkan sebelum perang, Hatta adalah pro Jepang, Soekarno tidak. Tetapi Soekarno ada pada kedudukan sulit, tak mempunyai apa-apa, senjata maupun Angkatan Perang. Soekarno tak mempunyai alternatif lain, kecuali kerjasama. Bagiku, Soekarno bekerjasama dengan Jepang untuk alasan taktik. Hatta, prinsipil.”

Pada masa persiapan kemerdekaan itu, ada seorang Laksamana Muda Jepang; T. Maeda; kepala liaison; tentara dan Angkatan Laut Jepang. Menurutnya, bukan tidak mungkin setelah Jepang mundur dari Indonesia, wilayah ini akan menjadi rebutan antara Sekutu, dan kemungkinan clash antara Amerika Serikat-Uni Soviet. Maeda berpendapat, lebih baik diserahkan kepada kaum nasional-progresif yang kemungkinan besar melawan AS maupun Uni Soviet. Ia cenderung untuk mendorong Tan Malaka sebagai sarana gagasannya. Maeda ingin mengeksploitasi sentimen Marxis-nasionalis yang telah tumbuh sejak zaman Sneevliet.

Peranan utama adalah Tan Malaka. Tan Malaka dahulu Komisaris Komintern untuk Asia Tenggara, telah dikenal sebagai penggerak PARI yang berorientasi nasional. Berbeda dengan tokoh-tokoh Komunis yang pro-Moskow dan menjalankan apapun yang digariskan Moskow. Dan antifasis Tan Malaka berpendapat lain, ia jelas melihat Jepang sebagai kekuatan yang bakal bisa menumbangkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, Tan Malaka kemudian pergi ke Tokyo yang diterima dengan tanga terbuka. Tan Malaka ingin menggunakan Jepang sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Ia tak menyetujui united front from above yang digariskan Moskow.

Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 dan menyamar sebagai romusha di pertambangan Bayah, Banten Selatan. Konon katanya, ia bekerja secara diam-diam untuk Laksamana T. Maeda dan Hitashi Shimitzu (Sendenbu). Dari sana, ia secara teratur menyiarkan “Suara Tokyo”. Dengan cara Tan Malaka, seperti Bung Karno dan Bung Hatta mengabdi kepada kepentingan nasional. Ia mengorganisasikan kader-kader dalam Sendenbu seperti Adam Malik di “Domai”, Chairul Saleh, Sukarni terkenal sebagai Grup Pemuda Menteng 31. Tan Malaka juga menarik Iwa Kusumasumantri dan Subardjo yang dahulu belajar sebentar di Moskow, tetapi kemudian melepaskan diri dari Stalin. Tahun 1930, ia datang ke Tokyo di mana ia menjadi wartawan harian Matahari pimpinan Iwa Kusumasumantri.

Oktober 1944, Laksamana Maeda membuat suatu institut politik, di mana para mahasiswa yang terpilih diberi pelajaran ideologi Marxisme dengan orientasi nasional. Ia dibantu oleh Iwa Kusumasumantri dan Soebardjo. Para tokoh nasional yang memberi kuliah antara lain ialah Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Tetapi kursus itu kemasukan juga PKI-illegal, seperti Wikana yang menjadi Direktur Sekolah. Juga siswa-siswanya, seperti D.N. Aidit dan Mohamad Yusuf, yang kemudian mengorganisasi PKI-legal pertama sesudah Jepang menyerah.

Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada pekan pertama bulan Agustus dengan Bung Karno sebagai calon Presiden dan Bung Hatta sebagai calon Wakil Presiden. Namun Jepang sudah menyerah pada 15 Agustus 1945.

Syahrir keluar dari bawah tanah, dan mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi Bung Karno ragu. Kemudian Wikana dan Darwis menemui Bung Karno, mengatakan bahwa rakyat dan para mahasiswa sudah siap untuk proklamasi. Bung Karno masih ragu, katanya mau bicara dahulu dengan Hatta. Namun Chairul Saleh, Sukarni, Suwoto Kunto, dan Singgih mengajaknya berkonsultasi dengan Bung Karno. Mereka dibawa ke Rengasdengklok; suatu tempat bekas Daidan (tangsi militer Jepang). Malam hari, tanggal 16 Agustus 1945, mereka dibawa kembali ke Jakarta. Di rumah Laksamana Maeda, malam itu juga teks proklamasi dibuat, dan selesai pukul 04.00.

Hari itu —pukul 10.00, Proklamasi Kemerdekaan diumumkan di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Sebelum itu, Sjahrir tak menyetujui isi teks proklamasi akan ditandatangani oleh mereka yang tidak anti-Jepang, karena khawatir nanti dicap boneka Jepang. Wibawa Bung Karno dan Bung Hatta masih cukup agung. Mereka adalah pemimpin-pemimpin nasional yang sangat dicintai rakyatnya. Belum ada pemimpin nasional lainnya yang bisa menandingi wibawa mereka. Oleh karena itu, sekalipun kedua tokoh mempunyai kelemahan-kelemahan politis karena bekerjasama dengan Jepang, namun tindakan mereka dimaklumi sebagai taktik untuk membangkitkan rasa kebangsaan rakyat Indonesia pada umumnya. Dan memang rasa kebangsaan tumbuh dengan mantap di masa pendudukan Jepang.

Rasa cinta tanah air inilah yang menyebabkan ideologi Komunis yang bersifat supra-nasional dan berporos ke Moskow tak gampang mendapat perhatian rakyat. Lagi pula, lapisan atas PKI —yang selama itu absen dan terpaksa bergerak di bawah tanah— sangat sulit bagi PKI untuk berkembang. Organisasinya pun sangat lemah. Tak ada tokoh Komunis di Indonesia waktu itu yang berwibawa seperti misalnya Mao Tse-Tung atau Ho Chi Minh. Kata D.N. Aidit, “Partai juga tak mempunyai pengalaman dalam perjuangan bersenjata, sesuatu yang sangat dibutuhkan di masa revolusi.” Waktu itu, D.N. Aidit belum berumur 22 tahun, yang masih menjadi suruhan Chairul Saleh kesana-kemari. Kepemimpinan PKI sama sekali tak kelihatan menonjol. Oleh karena itu, dengan amat kecewa, D.N. Aidit harus melihat kepemimpinan jatuh di tangan kaum nasionalis dan agama.

Dalam sidang pleno CC PKI 24 Desember 1963, waktu itu menengok kembali sejarah revolusi. D.N. Aidit mengatakan, “PKI menganggap revolusi Agustus 1945 sudah gagal, karena:
1. Pimpinan jatuh ke tangan kaum borjuis, bukan kaum proletar;
2. Kaum proletar belum sadar akan arti revolusi;
3. Tujuan revolusi bukan diktator-proletariat.

Oleh karena itu, tindakan tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Merebut kepemimpinan dari tangan kaum borjuis;
2. Menyadarkan kaum proletar akan arti revolusi.

Namun ia katakan, kekuatan revolusi untuk merebut pimpinan tidak datang dari langit. Begitu pun kesadaran berevolusi. Melainkan harus dipersiapkan baik-baik.

Bagi seorang Marxisme-Leninisme, sosialisme pasti datang sebagai hasil proses historis. Baginya, historis-materialisme bukan sekedar teori atau ilmu, melainkan hukum alam. Falsafah Marx, bagi mereka adalah semacam dogma agama. Pegangan optimis akan datangnya masa indah, masa gemilang. Isinya abstrak tak diketahui. Ia hanya percaya, bahwa historis-materialisme pasti akan mengantarkannya ke sosialisme. “Bagaikan air yang mengalir dari gunung, bermuara ke laut adalah keharusan sejarah,” kata Bung Karno. Kita ingat akan cerita dalam pewayangan, waktu Brahmana Yogaswara memperingatkan Rahwana, “Sebagai seorang Brahmana, wajib aku peringatkan pada sekalian umat, bahwasanya kian besar angan-angan seseorang, kian besar pula ia dibohongi.” Artinya, dibohongi diri sendiri. Kesalahan PKI dalam berbagai pemberontakan di Indonesia selama ini banyak disebabkan karena kebohongan diri sendiri. Bahwa rakyat sudah matang untuk berevolusi. Bahwa kekuatan militer klandestin-nya sudah cukup. Organisasi sudah baik, plot sudah direncanakan secara rapi. Nyatanya PKI selalu di makan oleh penyakit spontanitas yang kekanak-kanakan. Terlalu ambisius, terlalu tergesa-gesa, sehingga gagal dan memakan banyak korban percuma yang berakibat organisasi lama sulit untuk bisa bangun kembali. Lagi pula, setiap pemberontakan PKI selalu dibarengi dengan pertumpahan darah —sesuai dengan doktrinnya bahwa revolusinya menghendaki banjir darah. Tetapi demikian itu hanya diibaratkan paraji yang harus melahirkan masyarakat haus. Benderanya palu-arit berlandaskan merah darah, membuktikan bahwa kaum Komunis sedunia adalah haus secara. Jelas hal ini tak mendapatkan berkah dari Allah.

Lenin dalam What to be Done dengan pedas mengkritik aliran dalam kelas buruh yang membungkuk kepada spontanitas. Lenin menandaskan, bahwa perlu melakukan perjuangan sengit untuk menentang spontanitas. Ia katakan selanjutnya, bahwa, “Kita akan menjadi petualang yang menyedihkan jika tak dapat merencanakan taktik politik dan menyusun rencana organisasi.”

Para muda kita dijadikan Seinendan —gerakan pemuda yang menggerakkan massa pemuda— untuk siap mental dan fisik. “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” adalah semboyan-semboyan perjuangan waktu itu. Setiap pagi, semua diharuskan ber-taisho (senam pagi) supaya fisik kuat. Pada masa itu, kesengsaraan dan kelaparan telah semakin lama semakin tak tertahankan. Rakyat disuruh beramai-ramai menanam karet dan mengumpulkan emas-intan miliknya untuk diserahkan kepada penguasa Jepang. Entah, untuk apa. Radio disegel. Sementara, masa itu merajalela bekicot; suatu hewan aneh yang mulai dikenal di masa kesengsaraan itu. Bekicot inilah yang dibakar untuk di makan, daripada mati kelaparan. Diam-diam rakyat benci terhadap si Cebol dari Pulau Tembini, “saudara tua” yang teramat kejam. Gadis-gadis yang lumayan kecantikannya —terutama gadis-gadis Indo— dengan tipu muslihat dimasukkan dalam kamp bagi rekreasi pemuas nafsu birahi tentara Jepang.

Pada masa itulah tersebarnya ramalan Prabu Jayabaya, satu-satunya harapan bagi rakyat. “Tekane bebantu soko nuso Tembini. Kekulitane jenar. Dedege cebol kepalang. Iku kang bakal ngebrok tanah Jowo kene. Pangrehe mung saumur jagung suwene. Nuli boyong nyang negarane dewe; nusa Tembini. Tanah Jowo bali neng asale sekawit. Bali nyang putro-putrining tanah Jowo maneh; datangnya bantuan dari pulau Tembini. Kulitnya kuning. Bertubuh kelewat pendek. Itu yang bakal menduduki tanah Jawa ini. Kekuasaannya hanya seumur jagung. Kemudian kembali ke negeri sendiri; Pulau Tembini. Tanah Jawa kembali seperti semula. Kembali kepada putra-putri tanah Jawa sendiri.” Betapa tepat ramalan Prabu Jayabaya yang telah ditulisnya lebih dari 500 tahun yang lalu di zaman pra-Majapahit.

Orang Jawa pada umumnya sangat mempercayai ramalan-ramalan Jayabaya tersebut yang membuat si Cebol amat kejengkelan. Kadangkala malahan orang-orang sinting, dengan pakaian compang-camping, sambil mencari makanan pada tong-tong sampah, berteriak-teriak menguraikan ramalan tersebut di jalanan umum. Para pemimpin perjuangan pada waktu itu, bergerak di bawah tanah. Amir Sjarifudin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Amir Sjarifudin kemudian menerima bantuan klandestin dana dari Van der Plas f25.000 sebagai dana untuk melawan fasisme Jepang.

Pada zaman memuncaknya penderitaan rakyat di bawah tekanan militerisme Jepang, di Blitar meledaklah pemberontakan PETA di bawah pimpinan Suprijadi. Di Indramayu dan Cimareme juga terjadi pemberontakan-pemberontakan rakyat.

Ketika kekuasaan militer Jepang hampir ambruk, para pemimpin kita telah mempersiapkan bentuk dan dasar Indonesia Merdeka. Dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan. Sesudah Jepang takluk pada tanggal 15 Agustus 1945, panitia ini mempercepat realisasi persiapannya.

Terkait: Kesadaran Nasional, Cita-cita kemerdekaan, dan Keadilan Sosial | Revolusi Agustus 1945

Selasa, 28 Mei 2019

Kesadaran Nasional, Cita-cita Kemerdekaan, dan Keadilan Sosial


Kesadaran berorganisasi modern, kebangsaan serta keadilan sosial bukanlah hanya dimiliki oleh kaum Komunis, akan tetapi dibawa oleh makin majunya pendidikan.

Demikianlah lahir Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tahun 1912 bulan November tanggal 18, Budi Utomo oleh para siswa STOVIA, lantas Trikoro Dharmo pada tanggal 7 Maret 1915 yang bertujuan solidaritas pelajar dan meningkatkan kepribadian sendiri. Perkumpulan ini kemudian menjadi Jong Java yang membangkitkan pikiran-pikiran pemuda daerah seberang. Timbullah berturut-turut Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timur, Sekar Rukun dan lain-lain.

Pada tanggal 7 Februari 1927 di Bandung mereka sepakat untuk berfusi menjadi satu wadah pemuda Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 dilangsungkan Sumpah Pemuda, dimana diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; “Indonesia Raya” untuk pertama kali diperdengarkan. Suatu embrio dari nasionalisme Indonesia.

Sejak saat itu, perjuangan ditingkatkan menjadi politik. Pada tahun 1930, dibentuklah Indonesia Muda, kemudian Suluh Pemuda Indonesia (SPI), Pergerakan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), dan Pemuda Taman Siswa.

Golongan Islam membentuk Jong Islamieten Bond (JIB) di bawah pimpinan Kasman Singodimedjo dan Sjamsuridjal. Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Kristen dan Katholik pun membentuk wadah masing-masing. Juga sebagai kepanduan Jong Java, INPO, KBI, Hizbul Wathon, Pandu Sarikat Islam, NATIPIJ, Kepanduan Rakyat Indonesia, dan JPO (Javaansche Padvinders Organisasi) di Solo. Banyak organisasi yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kesadaran nasional telah tumbuh secara menyeluruh, yang merupakan dinamika baru.

Dalam pergerakan nasional, lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927 atas prakarsa Ir. Soekarno; seorang pemuda asuhan H.O.S. Tjokroaminoto; yang berhaluan nasional Marxist. Dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak Hadisurja, Ir. Anwari, Dr. Samsi Soewirjo, Gatot Mangkupradja, Supriadinata dan lain-lain.

Ir. Soekarno yang dikenal sebagai Bung Karno menginstruksikan nasionalisme baru, “Yaitu perkawinan antara Marxisme dan Nasionalisme. Ilmu baru, senjata perjuangan baru, sikap hidup baru yang disebut Marhaenisme.” Nama yang dikatakan sebagai nama petani Jawa Barat ini menjadi bahan debat tak berkeputusan.

Dalam wejangannya, “Marhaen dan Proletar” halaman 225, ia berkata, “Marhaen bukanlah kaum proletar saja, tetapi kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Bahwa dalam perjuangan bersama kaum Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. Sebab kaum proletarlah yang pertama-tama mengerti akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Nah, saya berkata Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme adalah het in Indonesia-toegepaste-Marxisme. Untuk itu, harus memahami Marxisme dan keadaan Indonesia. Kalau dihubungkan dengan nama Bung Karno, saya minta supaya Marhaenisme seperti Marhaenisme-nya Bung Karno. Kalau tidak cocok dengan Marhaenisme-nya Bung Karno, kasihlah nama lain. Jangan dikatakan Marhaenisme.” Dengan mensitir kata Lenin, Bung Karno mengatakan, “Tanpa teori revolusioner, tak mungkin ada gerakan revolusioner.”

Aidit di Peking 2 September 1963 juga mengatakan, “Kaum Komunis Indonesia merasa, bahwa mereka telah berada di jalan yang benar, yaitu mengintegrasikan secara total kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia. Sampai batas tertentu, kami sudah berhasil meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme. Tahu Marxisme-Leninisme dan kenal keadaan.”

Bung Karno sebagai Marxist membagi teori revolusinya dalam dua tahap, yaitu tahap nasionalis-demokratis dan tahap sosialis. Tetapi Marxist yang yakin, Bung Karno seperti halnya Lenin, Fidel Castro, Ho Chi Minh maupun Mao Tse-Tung menyesuaikan dengan kondisi nasionalnya. Dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional, pola dan strategi itu tetap ia pegang dengan teguhnya. Dengan memahami teori revolusinya Bung Karno yang dimuat dalam buku Wejangan Revolusi 1922 hlm. 217, kita lantas mengerti mengapa Bung Karno teguh pada pendiriannya, bahwa revolusi belum selesai. Walaupun kemerdekaan telah bulat di tangan kita.

Dr. Moh. Hatta tak sependapat dengan Bung Karno, bahwa revolusi belum selesai. Menurut Hatta, revolusi kemerdekaan telah selesai setelah kedaulatan kita peroleh, dan seharusnya mulailah membangun. Tetapi menurut Bung Karno, revolusi belum selesai. Tahap revolusi kedua masih harus dilaksanakan. Hatta kemudian mengundurkan diri. Ia tak mau dilibatkan dalam petualangan. Rakyat akan semakin bingung dibuatnya. Semakin tak mengerti setelah diajak mengikuti ‘politik konfrontasi’ dengan dibuatkan musuh-musuh bayangan; Nekolim. Pengerahan-pengerahan massa dalam Front Nasional, serta menggerakkan ABRI ke perbatasan. Haluan negaranya Manipol, konsepnya PKI.

Memang bagi mereka yang umumnya tak mengerti teori-teori Marxisme-Leninisme, segala istilah revolusi yang asing itu tetap asing baginya. Tetapi hati nuraninya mengatakan, bahwa mendung gelap telah menggantung di angkasa, pertanda akan datangnya bencana nasional. Entah dari mana. Percaya bahwa akhirnya semua isu yang palsu, pada suatu ketika akan terbongkar juga.

Kembali kepada sejarah perjuangan nasional. Sementara itu, di negeri Belanda ada organisasi pemuda-mahasiswa yang menamakan dirinya Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Moh. Hatta. Dengan para anggotanya Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Ahmad Subardjo dan lain-lain. Pada tahun 1930, mereka dikeluarkan dari LIGA (League Against Imperialism), front yang dibentuk tahun 1926. Front ini terbagi dua, yang satu cenderung mendukung komunisme, yang lainnya menentang. Hatta dan Soebardjo duduk dalam Komite Eksekutif bersama-sama Semaun, Pandit Jawaharlal Nehru, Albert Einstein dan lain-lain. Karena dituduh sebagai reformis nasional, maka Hatta dan kawan-kawannya dikeluarkan dari LIGA. Disebabkan pertentangan dari dalam, maka LIGA itu pun bubar karena sikap kaum Komunis. Tak lama kemudian, Bung Karno oleh Landraad Bandung, kena tuduhan pasal 169, bukan pelanggaran pasal 153 KUHP (menghasut haatzaai artikelen) semata-mata seperti diduga rekan-rekan. Pelanggaran pasal 169 menentukan, bahwa barangsiapa turut serta menjadi anggota perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatan-kejahatan, akan dihukum.

PNI dengan sendirinya dicap sebagai organisasi terlarang. Memang maksudnya Pemerintah Kolonial mematikan PNI (Prof. J.M.J. Schepper—1931). Bung Karno bersama Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata dijatuhi hukuman masing-masing 4 tahun (kemudian dikurangi 2 tahun), 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan. Vonis dijatuhkan pada tanggal 22 Desember 1930. Itulah sebabnya mengapa PNI mengundang suatu konferensi luar biasa pada tanggal 25 April 1931 di Batavia, di gedung Permufakatan Nasional, Gg. Kenari, dipimpin oleh Mr. Sartono dan dihadiri oleh Ir. Anwari, S. Angronsudirdjo, Suwirjo serta utusan-utusan daerah. Konferensi menyetujui pembubaran PNI. Namun keputusan Konferensi Luar Biasa ini banyak yang tidak menyetujui, karena dianggap tunduk kepada Pemerintah Kolonial yang justru bermaksud membunuh PNI. Tidakkah lebih baik bertahan karena tentu lebih baik kalau mati terhormat? Golongan yang pro menjawab, bahwa gerakan nasional ini berdasarkan atas aksi-massa yang datang tak mungkin dijalankan dalam keadaan demikian. Di antara yang tak setuju adalah Sjahrir dan Hatta yang masih di Netherland. Sjahril disuruh pulang, mengorbankan studinya untuk memprakarsai pembentukan PNI-Baru, seperti telah dicita-citakannya sebagai wadah bagi Perhimpunan Indonesia di tanah air. Partai Pendidikan Nasional ini mendasarkan programnya kepada pembibitan kader, berbeda dengan yang lama yang menitikberatkan pada aksi-massa. Hatta begitu selesai studinya, segera juga pulang ke tanah air, lantas diserahi pimpinan. Ia menjabat sebagai Ketua Umum.

Bekas-bekas anggota PNI-Lama berkumpul kembali pada tanggal 26 April 1931, yaitu sehari setelah PNI dibubarkan, untuk membentuk suatu panitia wadah baru. Mereka ialah Mr. Sartono, Angronsudirdjo, Soekemi, dan Manadi. Berdirilah Partai Indonesia (PARTINDO) dengan tujuan: Indonesia merdeka dan berasaskan nasionalisme serta percaya pada diri sendiri (self help). Sayangnya, kedua PNI ini saling cakar. Maklum, bangsa kita masih berada dalam kondisi demikian. Pertumbuhan nasionalisme yang masih bersifat kekanak-kanakan. Emosi masih menjiwai para muda, bukan lagi nalar. Bung Karno yang dibebaskan pada bulan Desember 1931 sangat kecewa melihat perpecahan antara para pejuang. Ia berusaha keras untuk mempersatukan kembali, tetapi mengalami kesulitan.

Pada tanggal 1-3 Januari 1932, Bung Karno memenuhi undangan Dr. Soetomo ke Surabaya untuk menghadiri Kongres Indonesia Raya-nya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia); suatu federasi partai-partai politik yang pembentukannya diprakarsai dan didukung PNI. “Di zaman itu, pergerakan kemerdekaan nasional kita terpecah belah menjadi beberapa golongan yang tak saja berbeda sifat, corak, dan aliran, tetapi sering juga bertentangan satu lawan lainnya. Begitu hebat pertentangan-pertentangan itu, hingga tidak jarang memuncak pertarungan politik sengit,” demikian Mr. Ali Sastroamidjojo dalam memorinya “Tonggak-tonggak di Perjalananku” (hlm. 91).

Sebagai contoh, pertentangan antara Agus Salim lawan Mr. Singgih yang terjadi di Yogyakarta permulaan tahun 1927 di muka umum. Agus Salim memfitnah Mr. R.P. Singgih sebagai antek Jaksa Agung Belanda yang diselundupkan dalam kalangan pergerakan. Pertentangan antara golongan agama lawan nasionalis menjadi hangat. Tragedi itu tak disadari oleh mereka yang sedang diamuk emosi. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno tahun 1926 menulis suatu artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang berseru pentingnya persatuan nasional sebagai syarat mutlak untuk mencapai Indonesia Merdeka. Kemudian pada tahun berikutnya, lahirlah PPPKI yang di sambut gembira oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang dinyatakan dalam Kongres Sarikat Islam di Pekalongan, September 1927. Di prakarsai oleh Bung Karno dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo dari Partai SI, di mufakati untuk mengadakan rapat umum PPPKI di Batavia, tanggal 25 Maret 1928. Pimpinan adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang antara lain memutuskan Perhimpunan Indonesia di Netherland sebagai perisai pos depan di Netherland untuk berpropaganda menentang pasal-pasal 153 bis dan bis 161 KUHP Hindia-Belanda. Sedang di tanah air mengadakan momen aksi untuk menentang pasal-pasal tersebut.

Pada Kongres II di Solo, benih perpecahan dalam tubuh PPPKI telah semakin tampak. Dalam kongres itu, nasionalis kiri diwakili oleh Bung Karno, Mr. Sartono, Ir. Anwari, Gatot Mangkupradja, dan Mr. Ali Sastroamidjojo. Sedangkan nasionalis moderat oleh Dr. Sutomo dari PBI, Husni Thamrin dari Kaum Betawi, R.T. Kusumo Utojo dan Mr. Singgih dari BU, dan Dahlan dari Sumatranen Bond. Golongan Islam diwakili oleh Dr. Sukiman dan Drijowongso. Topik yang menjadi pertentangan adalah istilah “kebangsaan”. Debat sengit terjadi antara golongan radikal (kiri) lawan Islam dan Nasionalis moderat. Tetapi kemudian dapat dicernakan oleh Dr. Sutomo yang berpidato dengan sangat menarik dan moderat.

Dr. Sutomo malah menawari Mr. Ali Sastroamidjojo pindah saja ke Surabaya untuk memimpin surat kabar Suara Umum dan mingguan Suluh dengan gaji f400. Pak Ali mengusulkan nama Berita Indonesia yang bakal terbit 1 Oktober 1930, dan agar dirinya didampingi oleh Ir. Anwari yang disetujui oleh Dr. Sutomo. Entah bagaimana, akhirnya Ali Sastroamidjojo membatalkan niatnya untuk membantu Dr. Sutomo.

Bukan hanya dalam kalangan nasionalis kiri terjangkit perpecahan, melainkan juga dalam barisan Islam. Setelah H.O.S. Tjokroaminoto wafat tahun 1934, PSII pecah. Mereka yang memisahkan diri, mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII). Kemudian PII di bawah pimpinan Sukisman Wirjosandjojo. Sedangkan golongan H. Agus Salim, Sangadji, dan Moh. Roem mendirikan Barisan Penyadar. S.M. Kartosuwirjo tetap memakai nama PSII, tetapi memisahkan diri dari golongan Arudji Kartawinata, Abikoesno, dan Wondoamiseno.

Kaum Katholik mendirikan “Pakempalan Politik Katholik Jawi” (PPKD) pada tanggal 22 Februari 1945 di bawah pimpinan I.J. Kasimo. Kemudian nama tersebut disempurnakan menjadi “Perkumpulan Politik Katholik di Jawa” yang berarti membuka pintu bagi masyarakat suku lain. Tahun 1938, PPKD menjadi PPKI.

Golongan Kristen mendirikan “Perserikatan Kaum Kristen” di bawah pimpinan Notosutarso.

Yang terkoordinasi dalam PPPKI adalah PNI, SI, BU, Pasundan, Serikat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesisch, Studie Club Surabaya, Sarikat Madura, Perserikatan Celebes, dan Tirtayasa.

Usaha Bung Karno untuk mempersatukan kaum nasionalis moderat mengalami kegagalan. Akhirnya, ia sendiri memasuki PARTINDO, kemudian diangkat menjadi Ketua Umumnya. PARTINDO maju dengan pesatnya berkat karisma Bung Karno. Akan tetapi Pemerintah Kolonial tentu saja kecut. Pada bulan Juni 1933, dikeluarkanlah larangan bagi pegawai negeri untuk memasuki pergerakan; khususnya PARTINDO. Dan Bung Karno sendiri pada tanggal 1 Agustus 1933 ditangkap atas dasar hak exorbitant Gubernur Jenderal, kemudian diasingkan ke Ende, Flores.

PARTINDO menulis dalam surat kabarnya Persatuan Indonesia, “Selama pena kita masih berpucuk, kita masih tetap akan mendengungkan suara kita dan akan menentang segala hasutan yang ditujukan pada pergerakan kemerdekaan nasional. Kita akan terus mempersatukan Indonesia, baik jiwanya maupun kekuatannya.” Di samping itu, Pendidikan Nasional Indonesia juga diincar. Bung Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Banda.

Kongres PARTINDO di Batavia yang sedianya dilangsungkan tanggal 30 Desember 1934 juga dilarang. PPPKI juga mendapat kesukaran, karena PARTINDO menjadi salah satu anggotanya. Maka pada tanggal 9 Februari 1935 PARTINDO menyatakan diri keluar dari PPPKI. Tekanan-tekanan terus dilancarkan terhadap pergerakan nasional. Bung Karno pada bulan Oktober 1933 dari tempat pengasingannya menyatakan diri keluar dari PARTINDO. Suatu pukulan yang berat. Akhirnya juga PARTINDO pada tanggal 18 November 1936 menyatakan diri bubar.

Suatu wadah baru muncul, yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) pada tanggal 24 Mei 1937 yang asas dan tujuannya sama dengan PARTINDO. Pimpinannya ialah Adnan K. Gani (Ketua), Moh. Yamin, Amir Sjarifudin, Sarimin Mangunsarkoro, dan Njonopranoto. GERINDO melepaskan prinsip nonkoperasi, karena hanya akan merugikan perjuangan. Lagi pula politik radikal toh sudah ditanamkan. GERINDO selain mendasarkan gerakannya atas massa aksi, juga antifasis. Karena waktu itu munculnya Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan Jenderal Tojo di Jepang cukup menggegerkan kalangan Marxis.

Bulan Juli 1935 Stalin mengundang Kongres Komintern VII yang pertama sehingga dibuat ramalan dalam 7 tahun. Kali ini untuk melawan “Nasional Sosialis”-nya Hitler, ia gariskan politik lebih lunak. Kerjasama dengan borjuis dalam united front. Sekjen Komintern Georgi Dimitrov mengatakan, “Pertama harus dilakukan united front untuk melaksanakan united actions di setiap negara di dunia. Jangan menyinggung siapa-siapa, perorangan, ormas atau partai lainnya yang bisa diajak bergolak bersama oleh kelas pekerja melawan fasisme.”

Untuk pertama kali sejak retak dengan Perhimpunan Indonesia tahun 1928, kaum Komunis Indonesia dan Semaun diperkenankan kerjasama dengan kaum borjuis nasional.

Amir Sjarifudin sejak 1935 itu telah diminta oleh Muso untuk masuk PKI secara klandestin (sembunyi-sembunyi). PARTINDO juga meningkatkan perjuangannya dalam politik parlementer. Kalau GERINDO berprinsip antifasis tanpa pandang bulu —termasuk Jepang, PARINDRA berpandangan lain. Ia akan gunakan Jepang untuk mengusir penjajahan Belanda yang sudah karatan bercokol. Watak kolot kolonialisme itu dinyatakan waktu pemerintah Hindia Belanda tetap keras kepala tak memberi angin sedikitpun kepada tuntutan “Indonesia berparlemen.”

“Petisi Sutardjo” yang hanya meminta otonomi bagi Indonesia bersama Curacao dan Suriname dalam “Ikatan Kerajaan Belanda” tetap ditolak (November 1938).

Usul Husni Thamrin untuk menghilangkan kata inlander dan diganti dengan Indonesier, juga ditolak. Atas prakarsa PSII dan PARINDRA, diusulkan pembentukan suatu federasi baru bernama Badan Perantara Partai-partai Politik Indonesia (BAPEPPI) tetapi tak hidup, karena GERINDO dan PNI Baru tidak ikut serta.

Pada bulan Mei tanggal 21 tahun 1939 didirikanlah badan persatuan baru yang disebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan asas-asas:
1. Hak menentukan nasib sendiri;
2. Persatuan nasional;
3. Demokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan
4. Persatuan aksi.

Partai ini didirikan dan dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (Islam), Moh. Husni Thamrin (nasionalis), dan Amir Sjarifudin (nasionalis kiri).

Sementara itu pada bulan September 1939 telah meletus Perang Dunia II di Eropa. Walaupun Netherland berdiri netral, namun tak urung digilas NAZI Jerman hanya dalam 6 hari. Gerakan nasionalis kiri lucunya banyak yang bersimpati kepada Netherland dalam menghadapi NAZI. Bukan karena perikemanusiaan, melainkan politis. Tampaknya jiwa Marxis disini lebih berbicara daripada nasionalisme yang menurut nalar situasi lebih memungkinkan untuk mempercepat meraih cita-cita kemerdekaan, sesudah Hindia Belanda lepas dari induknya.

Pada tanggal 25 Desember 1939 di Gg. Kenari Batavia, “Kongres Rakyat Indonesia” berlangsung. Dihadiri oleh 90 organisasi, baik politik maupun sosial-budaya. Keputusan terpenting adalah tuntutan “Indonesia berparlemen” serta memperkuat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu bahasa persatuan Indonesia, bendera kebangsaan Merah Putih, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Tetapi hati Gubernur Jenderal Tjarda Starkenborgh tetap membantu. Februari 1940 akhirnya datang jawaban dari pemerintah Belanda yang ditandatangani oleh P.M. Welter tuntutan ditoIak. Belum matang, katanya. Betul-betul kekolotan jiwa kolonialis.

Tanggal 10 Mei 1940, Netherland bertekuk lutut di bawah telapak kaki NAZI Jerman. Pemerintah dan Ratu Juliana mengasingkan diri ke London. Rakyat Hindia Belanda merana dalam masa pendudukan. Pemerintah Hindia Belanda yang sudah ketakutan, masih juga mengumumkan negara dalam keadaan darurat, dan semua rapat pergerakan dilarang. Maka berhentilah kegiatan pergerakan. Kegiatan dialihkan ke Volksraad, di mana tokoh-tokohnya seperti R.P. Soeroso, Moh. Yamin, Sukardjo Wirjopranoto, Sutardjo Hadikusumo membentuk fraksi baru, gabungan antara GNI (Yamin) dan FRANI (Moh Husni Thamrin). Tujuan tetap: “Indonesia merdeka”.

Pada tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia nekat mengadakan konferensi di Yogyakarta yang dibiarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Konferensi mengambil keputusan mendirikan Majelis Rakyat Indonesia yang mengesampingkan volksraad, maksudnya. Tiba-tiba Jepang membom Pearl Harbour pada 6 Desember 1941. Seluruh Asia, geger. Pemerintah Hindia Belanda dengan KNIL-nya tak berpotensi dapat menahan serbuan dahsyat dari bala tentara Jepang. Februari 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dan pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen Ter Poorten bertekuk lutut serta menandatangani penyerahan. Hanya 9 hari setelah Jepang menyerbu. Dan berakhirlah sudah sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia yang lebih dari 350 tahun. Radio Tokyo terus-menerus berkampanye, “Alhamdulillah, Asia Tengah bangun,” yang didahului oleh lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, menggetarkan seluruh jiwa kita, bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dengan spontan bala tentara Jepang disambut di mana-mana dengan kegembiraan meledak serta ucapan-ucapan syukur alhamdulillah. Merah-putih berkibar bebas di mana-mana dan seterusnya ia akan berkibar di angkasa, sepanjang masa.

Pada mulanya bala tentara Jepang menjalankan politik yang cerdik sekali. Seolah-olah kita telah dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Hanya kini kita harus masih mempertahankan diri terhadap kemungkinan serbuan musuh. Para pemimpin kita dijemput dari pengasingan. Bung Karno dan Bung Hatta sejak itu menjadi dwi tunggal yang terus akan memimpin perjuangan bangsa di bawah bayangan tentara pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang lambat-laun menjelma menjadi penindas yang licik dan kejam. Kempetai telah menjadi momok yang sangat menakutkan. Heiho dan Romusha adalah istilah-istilah penindasan para muda waktu itu. Para muda dikerahkan untuk bekerja keras, dibawa ke luar negeri antara lain ke Muangthai dan Burma untuk dipekerjakan pada proyek-proyek kereta api tanpa makan dan cukup dengan pakaian compang-camping. Heiho adalah pembantu prajurit Jepang yang diikutkan berperang di berbagai Medan. Keibodan dan Seinendan untuk gerakan para pemuda. Kemudian PETA adalah pembela tanah air, satu satunya tentara pribumi yang diciptakan Jepang yang kemudian menjadi embrio dari tentara perjuangan kita di kemudian hari.

Terkait: Lahinya PKI | Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi

Senin, 27 Mei 2019

Lahirnya PKI

Komunisme di Indonesia diperkenalkan oleh seorang sosialis radikal berkebangsaan Belanda; H.F.J.M. Sneevliet; yang datang sebagai pegawai kantor dagang di Semarang pada tahun 1913. Tidak jelas apa motif kedatangannya, tetapi ia segera melihat suatu tanah subur di Indonesia bagi pertumbuhan Komunisme. Sneevliet ini waktu masih di Hongkong menjadi anak buah Tan Malaka. Tan Malaka kemudian menjadi Ketua Partai Komunis Filipina pertama. Sneevliet disusul oleh Marxist lainnya, yaitu Brandsteder, Ir. Baars, Dr. Rinkes, C. Hartogh dan lain-lain. Kader-kader pertamanya ialah Alimin, Semaun, Darsono, Muso, Bung Karno, S.M. Kartosuwirjo dan lain-lain.

Mengingat penjajahan Belanda yang masih kuat bercokol —maupun rakyat Indonesia yang menderita karena penindasan— begitu melihat dan menilai, ia segera melaporkannya kepada Lenin. Karenanya, Lenin pada tanggal 7 Mei 1913 itu menulis dalam harian Pravda, “Suatu perkembangan penting adalah penyebaran gerakan demokratis revolusioner di Hindia Belanda di Jawa dan kepulauan lainnya yang berpenduduk kira-kira 40 juta jiwa.”

Pada waktu itu telah tumbuh beberapa pergerakan nasional, seperti Budi Utomo yang lahir pada tahun 1908 diprakarsai oleh mahasiswa-mahasiswa Sekolah Dokter Pribumi STOVIA di Jakarta, antara lain nama Wahidin Sudirohusodo, Satiman Wirjosandjojo, Sutomo Gumbreg dan lain-lain. VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel) yang kemudian dipengaruhi oleh Sneevliet.

Juga Indische Partij di bawah pimpinan Dr. E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setiabudhi), Dr. Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Tetapi hanya berumur 8 bulan, karena ketiga tokoh itu kemudian ditangkap Belanda dan dibuang masing-masing ke Kupang, Banda, dan Bangka. Partai ini lahir pada tanggal 25 Desember 1912. Yang tersebar adalah Serikat Dagang Islam yang lahir pada tahun 1911 sebagai reaksi semakin kuatnya perdagangan Tionghoa.

Pada bulan Mei 1914, H.F.J.M. Sneevliet bersama-sama rekannya Brandsteder, H.W. Dekker, P. Bergsma, dan A. Baars mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di Semarang. Suatu organisasi Marxist pertama di Asia Tenggara. Dan pada bulan Oktober tahun itu juga, membuat suatu media massa Dunia Bebas dengan para editor Bergsma, Sneevliet, dan Baars.

Sneevliet sangat tertarik pada Serikat Dagang Islam yang sementara itu telah mengubah namanya menjadi Sarikat Islam. Karena dalam waktu singkat, ia telah menjadi organisasi massa dengan anggota lebih dari 1½ juta, serta mencari cara untuk menginfiltrasikannya. Ia kemudian menghubungi dan berhasil menarik Semaun dan Darsono, masing-masing Ketua dan Sekretaris Sarokat Islam Cabang Semarang. Mereka adalah kader Komunis Indonesia yang pertama. Kemudian Sneevliet diusir oleh pemerintahan Hindia Belanda dari Indonesia pada tahun 1918, menyusulBrandsteder pada tahun 1919, Baars tahun 1921, dan lainnya pada tahun 1923.

Akibat infiltrasi Komunis pada tubuh Sarikat Islam, terjadilah keretakan. Kristalisasi terjadi. Sarikat Islam mendisiplinkan anggotanya. Yang murni, menyatukan diri di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan H. Abdul Muis. Sedangkan yang memisahkan diri ialah Semaun, Darsono, Tan Malaka, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, membentuk Sarikat Islam Merah. Hanya Bung Karno yang mempunyai taktik lain, yaitu nanti dinamakan Marhaenisme (NASA Marx= NASA di bawah kepeloporan Marxis). Menurut teori Marx, ini namanya United Front atau machtsvorming.

Pada tahun 1919, Lenin memanggil Kongres Komintern I dan menyerahkan suatu revolusi dunia. Manifesto itu antara lain berbunyi, “Budak-budak penjajahan di seluruh Asia-Afrika. Apabila diktator-proletariat muncul di Eropa, maka akan datanglah masa kebebasanmu.”

Seluruh Eropa bergolak. Revolusi Komunis timbul di Finlandia, Austria, Jerman, Hongaria, Bulgaria, Estonia. Demikian pun di Maroko, Turki, Korea, Syria serta kerusuhan terjadi di Inggris dan Jepang.

ISDV menyambutnya dengan positif di kantor Sarikat Islam Semarang, pada tanggal 23 Mei 1920 —dalam suatu debat keras yang berakhir dengan pemungutan suara 33 lawan 2— telah mengubah nama menjadi PKI (Perserikatan Komunis Indie) dan memilih Semaun sebagai Ketua, Darsono sebagai Wakil Ketua, Bergsma sebagai Sekretaris, dan Deker sebagai Bendahara merangkap anggota. (Dalam organisasi internasional macam PKI, memang kewarganegaraan tidak dipersoalkan; “dimana kaum proletariat bekerja, di situlah tanah airnya”, demikian doktrin Marxisme). A. Baars dalam wawancara menerangkan, “Kita telah lama menjadi Komunis. Perubahan nama tak berarti merubah tujuan kita, yaitu pembentukan suatu diktator-proletariat sebagai sarana membangun masyarakat sosialis.” (Dalam Komintern II, PKI diwakili oleh Maring nama samaran Sneevliet).

Dengan demikian, Semaun dan Darsono ialah anggota Partai Komunis yang masih merangkap Ketua Cabang Semarang dari Sarikat Islam. Dalam debat sengit pada Kongres Sarikat Islam VI Oktober 1921 di Surabaya, H. Agus Salim antara lain mengatakan, bahwa “Nabi Muhammad 1200 tahun sebelum Marx telah mengajarkan sosialisme.” Nyatalah sudah perbedaan ideologis sejak saat itu.

Sarikat Islam Merah kemudian menjadi Sarekat Rakyat; susunan bawah dari PKI. Juga dalam ISDV terjadi kristalisasi. Yang berorientasi nasional, menamakan diri ISTP (partij) di bawah pimpinan seorang Indo-Belanda; D.F. Dahler (Amir Dahlan), sedang yang beraliran Komunis internasional —terutama setelah Kongres Komintern III 5 Maret 1919— menjadi legal-Komunis. Pada tanggal 23 Mei 1920, didirikan PKI (Perserikatan Komunis India) di bawah pimpinan Semaun seperti tersebut di atas.

Pada bulan Desember tahun itu juga —setelah sepakat untuk menerima “21 syarat” keanggotaan, PKI menggabungkan diri dengan kubu Moskow dan mengubah nama Perserikatan dengan Partij.

PKI menjadi semakin radikal-kiri. Tahun 1922, Tan Malaka dibuang. Semaun pada tahun 1923 dan Darsono tahun 1925. Tahun itu juga Alimin, Muso, dan Sardjono karena dikejar-kejar PID melarikan diri ke Singapura. Tan Malaka diangkat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Tenggara dan Australia berkedudukan di Manila. Khusus untuk Indocina, diangkatlah Ho Chi Minh. Alimin merencanakan suatu pemogokan buruh di seluruh Jawa dan pemberontakan bersenjata di Sumatera, Jawa, dan Batavia sebagai sasaran pokok. Tetapi sebelum selesai, ia telah tercium oleh PID, yang kemudian mengadakan razia besar-besaran. Walaupun para pimpinannya sudah semua tak ada di tempat —dan organisasi lemah, pemberontakan toh akan dilancarkan. Alimin Cs. yang lari ke Singapura minta supaya Wakil Komintern di Manila; Tan Malaka; untuk datang.

Tetapi Tan Malaka tak mau. Alimin terpaksa menghadap ke Manila, menjelaskan seluruh rencananya. Tan Malaka tetap menganggap pemberontakan PKI tersebut gegabah. Pada saat ini, mestinya belum waktunya. Mungkin nanti setelah PKI mampu menggerakkan suatu semangat revolusioner di antara rakyat, dengan demonstrasi massa dan pemogokan-pemogokan. Alimin sadar akan pendapa Tan Malaka sebagai tokoh massa aksi. Sebelum menghancurkan Belanda, kita harus mampu menggerakkan massa rakyat ke arah revolusi lebih dahulu, katanya. Kepada Alimin, Tan Malaka mengatakan, “Kita sedapat mungkin harus mencegah kehancuran yang mengakibatkan runtuhnya organisasi untuk wartu lama.”

Pada bulan Maret 1926, Alimin dan Musa melapor ke Moskow. Sampai di Moskow, mereka menemukan kepemimpinan Komintern yang sedang retak antara Stalin —yang menghendaki konsolidasi Revolusi Rusia lebih dahulu— lawan Trotsky —yang ingin mengembangkan revolusi permanen, revolusi dunia.

Alimin dan Muso tak dapat merebut hati Stalin, dan menyetujui rencana Alimin. Malah disuruh pulang cepat untuk mencegah.

Kembali ke Singapura, Alimin telah ditunggui oleh yang berwajib, yaitu Inggris. Inggris memberi kepadanya dua pilihan: penjara atau dibuang. Alimin memilih yang akhir, dan diizinkan naik kapal ke China. Sementara itu, persiapan revolusi telah lanjut di Indonesia. Markas besar partai dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Bulan November 1926 tanggal 13 pukul 12 malam, pasukan-pasukan bersenjata mulai dengan pemberontakan dengan merebut kantor telepon dan telegram di Batavia dan mematikan komunikasi. Idem di Bantam, rel kereta api dibongkar dan jalan-jalan di barikade. Serentak pula di Jawa Barat, Jawa Tengah (Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu), dan Jawa Timur meletus pemberontakan. Di Padang dan Padang Panjang juga pada malam tahun baru 1927 bergolak. Moskow menyambut pemberontakan di Indonesia dengan dukungan, “Kita sambut proletariat dan petani di daerah kolonial Belanda di Indonesia dengan bangga. Kita dukung sepenuhnya rakyat Indonesia.”

Dengan mudah, revolusi Komunis itu dipatahkan oleh Belanda. Razia oleh Belanda menghasilkan 9 orang digantung, 1.300 ditangkap, 5.000 dilepas kembali, 5.000 lainnya diberi hukuman ringan, 1.300 ditahan, dan 823 di antara mereka dibuang ke Tanah Merah, Digul. Menurut Belanda, sesungguhnya kira-kira hanya tak lebih dari 8.000 orang ikut aktif dalam pemberontakan tersebut. Walaupun gagal —disebabkan persiapan-persiapan kurang matang, para pemimpin hampir semua berada di luar negeri, dan organisasi lemah, peristiwa tersebut dianggap berhasil membangkitkan semangat revolusi di antara penduduk.

Sementara itu —di Eropa, Semaun menemui Hatta dan Sjahrir; pimpinan PI (Perhimpunan Indonesia); yang memang sedang merencanakan suatu perhimpunan partai nasional di Indonesia sebagai wadah perjuangan. Bulan Desember 1926 itu, Semaun-Hatta mengadakan persetujuan. Disepakati untuk menyerahkan kepemimpinan pergerakan nasional kepada kaum nasionalis. Kaum komunis berjanji tak akan mencampuri pembentukan perhimpunan nasional yang bertujuan kemerdekaan nasional, PKI menganggap persetujuan itu sebagai daya upaya untuk membentuk front bersama. Semaun dipecat karena menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Hatta di Netherland.

Kegagalan Partai Komunis di Indonesia —dalam pemberontakannya, bersamaan waktu dengan kegagalan Mao Tse-Tung di China.

Karena Moskow lebih suka mendukung Kuo Min Tang dengan konsepnya San Min Tsu I yang menganggap lebih cocok. Moskow mempunyai officer, yakni Borodin dan Maring pada Chiang Kai Sek. Ini permulaan kekecewaan Mao kepada Stalin. Setback di Asia tersebut menyebabkan Stalin mengubah pendirian semula, dan memerintahkan Semaun untuk membatalkan kerjasama dengan kaum borjuis nasional. Desember 1927 Semaun mencabut persetujuannya dengan Hatta, karena katanya semula ia tak meminta izin Komintern lebih dulu. Sesungguhnya ia membatasi kebebasan bergeraknya. Semaun dipecat dan dibuang ke Siberia.

Pada kongres Komintern VI, Tan Malaka dan Darsono terpilih sebagai calon anggota Komite Central. Dalam suatu debat tentang Asia, Bukharin (yang kelak disuruh bunuh oleh Stalin) menuduh Tan Malaka bersimpati kepada Trotsky. Kedua-duanya kemudian dikeluarkan dari Komintern. Tan Malaka —mungkin curiga terhadap Alimin yang bermuka dua, diam-diam membentuk partai tandingan, yaitu PARI (Partai Republik Indonesia) yang berorientasi nasional sekaligus regional.

Ini sejarah rivalitas antara PKI lawan MURBA yang merupakan pengikut Tan Malaka dan umumnya beranggotakan bekas Komunis atau nasionalis-revolusioner. Dalam dua kali pemberontakan PKI —tahun 1948 dan tahun1965, unsur-unsur MURBA selalu menjadi pencegahan utama dari konspirasi PKI. Maklum, karena MURBA banyak menguasai teori Marxisme serta taktik dan strateginya, gerakan PKI yang mencurigakannya mudah disadapnya terus dibeberkan kepada masyarakat.

Bintang Merah; media massa PKI; sewot dan menuduh PARI mengkhianati PKI. Alimin setelah 20 tahun ikut Mao di Yenan, tahun 1946 kembali ke Indonesia dan menetap di Solo sebagai penasehat Kolonel Sutarto yang menjabat sebagai Panglima Divisi X Panembahan Senopati. Darsono tetap tinggal di Moskow sampai tahun 1950, dan kembali ke Indonesia di mana ia bertugas sebagai analis politik luar negeri di Deparlu. Demikian pula Semaun. Mereka berdua sekembali di tanah air, keluar dari Partai Komunis.

Kongres Komintern VI betapa pun bisa mencatat kegembiraan seperti antara lain pemberontakan di Indonesia, pematangan krisis di India, dan ke-3 revolusi besar di China.

Kongres Nasional Partai Kunchantang yang diadakan di Moskow bulan September tahun 1927 itu mengeluarkan Manifesto, bahwa “Kemenangan Komunis di China tentu akan berpengaruh di Asia, khususnya India, Indocina, Jawa, dan Korea.”

Pemberontakan PKI di Indonesia tahun 1926-1927 mengakibatkan lemahnya organisasi yang kemudian terpaksa bergerak di bawah tanah. Para pimpinannya juga terpaksa pada lari ke luar negeri. Dengan kekosongan kepemimpinan Komunis ini, gerakan nasional dan Islam tak terganggu lagi. Sampai detik-detik proklamasi, Soekarno-Hatta keluar sebagai pemimpin-pemimpin nasional yang tak tergoyahkan.

Terkait: Kesadaran Nasional, Cita-cita kemerdekaan, dan Keadilan Sosial