Senin, 27 Juni 2016

Mars JSIT Indonesia with text

Ha ha ha ha hahahahaha...

Dengan berbekal semangat kami melangkah
Menjalin ukhuwah dengan tekad membaja
Menuju mutu pendidikan Indoneaia
Melahirkan generasi cerdas mulia

Kami Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Sambut masa depan wajah Indonesia baru
Bersama tinggikan martabat dan citra guru
Indonesia pasti maju

Ha ha ha ha hahahahaha...
Di sinilah tempat kami berkarya
Menggapai harapan meraih cita-cita
Sebagai penggerak dan pemberdaya bangsa
Wujudkan masyarakat adil dan sejahtera

Kami Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Bangkit serentak menyongsong peradaban baru
Bulatkan tekad dan cita membangun bangsa
Indonesia kan berjaya

Ha ha ha ha hahahahaha...

Jumat, 24 Juni 2016

Sekali Lagi tentang Pendidikan Seks

Seandainya umur ini kita habiskan untuk menanggapi setiap isu dan gejolak yang muncul, niscaya tidak akan pernah cukup. Akan selalu muncul isu yang menyibukkan, sehingga kita dapat kehilangan arah. Lupa bahwa ada hal mendasar yang perlu dilakukan. Lupa bahwa ada pegangan yang tidak pernah berubah, sehingga dengan meneguhkan keyakinan kepadanya, masalah-masalah yang tampak sangat rumit akan terurai lebih sederhana.

Agama kita Islam. Bukan yang lain. Dan Islam memberikan dua pegangan yang kokoh. Bahkan seandainya kita sedang berselisih pun, jika masing-masing mau kembali kepada dua pegangan itu secara jujur dan adil, niscaya perselisihan akan padam. Itulah wahyain (dua wahyu), yakni al-Qur`an yang merupakan sebaik-baik perkataan dan As-Sunnah sebagai sebaik-baik petunjuk.

Mari kita ingat kembali seraya menguatkan keyakinan bahwa sebaik-baik perkataan adalah Kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang diadakan. Maka setiap datang “pegangan” yang baru dalam mengasuh dan mendidik anak, mari kita tengok kembali apakah ia bersesuaian dengan wahyain, seolah-olah bersesuaian, atau justru bertolak belakang.

Sekali lagi kita akan berbincang tentang pendidikan seks. Sungguh, tidak ada satu pun dari apa yang disebut sebagai pendidikan seks modern merupakan hal yang ilmiah. Tidak. Itu berkait erat dengan paradigma yang dianut, dan paradigma itu sekali-kali tidaklah terlepas dari ideologi; dari keyakinan yang menaunginya.

Paradigma pendidikan seks “modern” yang disebut-sebut ilmiah, tidak terlepas dari paradigma pendidikan seks yang dianut Amerika, tidak terkecuali pergeserannya, yakni dari pro-choice (kebebasan untuk memilih melakukan tindakan seksual), pro-safe (pendekatan yang tetap memberikan kebebasan seks dengan mempertimbangkan keamanan dari segi kesehatan), dan belakangan muncul paradigma yang kurang bergaung, yakni pro-abstinence (tidak ada hubungan seks sebelum menikah). Tiap-tiap paradigma memiliki cara sendiri, termasuk mengenalkan secara visual dan tidak jarang cenderung vulgar terhadap organ-organ seks kepada anak-anak yang ini sungguh merupakan aurat besar. Kita harus menjaganya, melindunginya dari terlihat orang lain, dan mengendalikan diri agar tidak melihatnya dengan menundukkan pandangan. Sementara pendidikan seks “modern” justru memperlihatkan dengan sangat terang. Bahkan terhadap yang bukan aurat besar pun, Islam memerintahkan kita agar menundukkan pandangan. Ini telah cukup sebagai hujjah bagi kita bahwa cara-cara tersebut bukanlah cara-cara kita; bukan cara-cara yang apabila kita berpayah-payah mengajarkannya kepada anak akan berbuah pahala dan ridho Alloh Ta’ala. Salah-salah justru mengundang dosa.

Kita tidak menutup mata bahwa pornografi sudah sedemikian memprihatikan. Kita tidak menampik kenyataan bahwa hari ini anak-anak di negeri ini begitu tak terlindungi dari paparan sampah budaya yang begitu mengerikan bernama pornografi, bahkan termasuk pornografi yang tidak dianggap porno karena berselubung olahraga misalnya. Tetapi ini semua tidak semestinya menjadikan kita panik sehingga melupakan panduan Islam, seolah agama ini tidak menyediakan bekal yang mencukupi dalam mengasuh dan mendidik anak untuk menjadi pribadi dewasa yang menyejukkan mata hati kita dunia akhirat.

Laporan yang ditulis oleh David Bamber dari Home Affairs Editor harian The Telegraph, Inggris berjudul Teen pregnancies increase after sex education classes hanya salah satu pelajaran. Sebuah catatan bahwa pendidikan seks yang disebut modern dapat menjadi awal dari musibah besar. Ada lonjakan kasus yang sangat dratis, dari 25,143 remaja usia 19 tahun ke bawah yang mengalami penyakit menular seksual (PMS) di tahun 1997 menjadi 40,821 kasus di tahun 2002 atau mengalami lompatan tajam sebesar 62%. Mengerikan. Padahal pendidikan seks tersebut diberikan agar remaja tidak mengalami PMS. Padahal Inggris masih termasuk lebih santun dibandingkan beberapa negara Eropa lainnya.

Sesungguhnya, secara prinsip tantangan mendidik di zaman ini sama dengan zaman-zaman sebelumnya, sama pula dengan zaman yang akan datang. Bentuknya saja yang berubah. Kerusakan iman yang disebabkan oleh pemahaman, keyakinan, dan aqidah yang salah serta kerusakan agama yang bersumber pada syahwat terhadap dunia maupun lawan jenis, termasuk keinginan untuk meraih decak kagum manusia.

Kapan Seharusnya Masa ‘Aqil Baligh Tiba?
Yang pertama perlu mendapat perhatian kita adalah menjaga anak-anak, mendampingi, dan mengasuhnya dengan tepat agar masa ‘aqil baligh datang mendahului kemasakan seksual. ‘Aqil baligh berarti akalnya telah sampai, yakni anak sanggup menerima tanggung jawab sebagai manusia dewasa. Ia memiliki kematangan pribadi, sudah mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, baik berupa amal sholih maupun amal salah.

Sebelum menginjak usia 10 tahun, tepatnya ketika menginjak masa tamyiz atau anak mampu membedakan baik dan buruk serta benar dan salah dengan akalnya, kita mulai mengajarkan ibadah beserta hukum-hukum yang menyertainya. Ini merupakan persiapan ilmu sekaligus mental sebelum memasuki usia 10 tahun, usia ketika anak mulai belajar menerima konsekuensi jika melakukan pelanggaran syari’at.

Masa tamyiz datang ketika anak berusia 6 atau 7 tahun. Artinya, ada masa tiga tahun untuk belajar, berlatih, memahami hukum, dan berbekal secara mental untuk mempertanggungjawabkan perbuatan. Memasuki usia 10 tahun adalah masa penegakan disiplin; orangtua dapat mengambi tindakan tegas yang lebih keras, meskipun tetap tidak dibolehkan memukul dengan pukulan yang menyakitkan.

Jika rentang usia 7 hingga 10 tahun menjadi masa untuk menyiapkan ilmu maupun mental anak dalam melaksanakan syari’at, maka usia 10 tahun merupakan persiapan untuk menyambut hadirnya masa dewasa. Anak tidak lagi boleh tidur dalam satu selimut dengan sesama jenis, meskipun itu saudaranya sendiri. Tegakkan adab terhadap lawan jenis, menjaga waktu-waktu aurat, menundukkan pandangan, serta mempelajari hukum-hukum syari’at yang berkait dengan kewajiban sehari-hari. Ini sangat bermanfaat untuk mematangkan pribadinya. Tetapi jika di rentang usia ini anak dibiarkan melihat apa saja, diizinkan untuk menyibukkan diri melihat hal-hal yang seharusnya ia menundukkan pandangan, maka sangat mungkin kemasakan seksual terjadi bahkan jauh sebelum usia 10 tahun. Boleh jadi usianya baru 8 tahun, tetapi telah mengalami menarche (menstruasi pertama). Usia baru menginjak 9 tahun, tetapi sudah mengalami polutio saat ihtilam (mimpi basah).

Nah, apa yang perlu diberikan untuk anak-anak kita? In sya Alloh kita akan bicarakan bulan depan.

Mohammad Fauzil Adhim

Rabu, 22 Juni 2016

Untung Tidak Su-uzhzhon

Alkisah…

Adalah seorang tokoh bernama Abdul Ghoni al-Quwatli. Beliau adalah kakek presiden Suriah yang pertama: Syukri Bik al-Quwatli.

Abdul Ghoni al-Quwatli adalah seorang tokoh ternama dan terpandang di zamannya, yang hidup di kota Damaskus pada abad 19 M.

Diantara kebiasaan Abdul Ghoni al-Quwatli ini, setiap hari dia selalu mempersiapkan hidangan makan besar yang diperuntukkan bagi orang kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Menariknya, tidak satu pun yang ditanya tentang siapa namanya, apa pekerjaannya, dan seperti apa kondisi perekonomian dan kehidupan mereka yang datang untuk menyantap hidangan besar hariannya itu. Boro-boro diminta meninggalkan KTP atau tanda pengenal lainnya. Dan sudah tentu, tidak satu pun dari mereka harus melewati pintu metal detector atau pun memasukkan barang bawaannya melalui lubang X-ray karena memang pada zaman itu belum ada.

Pada suatu hari di bulan Romadhon yang mulia, terlihatlah diantara yang hadir untuk menyantap hidangan berbuka di tempat Abdul Ghoni al-Quwatli itu, seorang lelaki yang terlihat perlente: memakai jaket kulit mulus dan halus. Lelaki itu terlihat ikut serta menyantap hidangan dengan tenang, diam, dan tanpa berbicara.

Abdul Ghoni al-Quwatli menyaksikan hal itu dan mengamatinya, namun ia tidak mengenalnya. Maka ia memerintahkan kepada salah seorang pembantunya untuk secara diam-diam memasukkan 10 lira emas ke dalam saku jaket kulit lelaki itu yang saat itu digantung di salah satu dinding tempat acara itu.

“Wahai Beik (tuan), masa’ cuma 10 lira? Terlalu kecil!” kata si pembantu kepada Abdul Ghoni al-Quwatli.

Abdul Ghoni pun tersenyum dan berkomentar, “Kalau begitu, masukkan 20 lira emas ke dalam saku jaket kulit itu!”

Dari body language-nya, sepertinya si pembantu hendak berbicara lagi, maka Abdul Ghoni berkata, “Oke, masukkan 30 lira emas ke dalam saku jaket kulit yang digantung itu!”

Maka sang pembantu melaksanakan titah Abdul Ghoni al-Quwatli, seperti yang dipesan, yaitu jangan sampai diketahui oleh si pemilik jaket kulit itu.

Selesai acara buka puasa bersama itu, lelaki itu pun mengambil jaket kulitnya. Dia merasa ada sesuatu yang lain pada jaket kulit itu. Karena terasa berat pada dua sisi sakunya, maka ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya dan betapa kagetnya ia saat kedua tangannya mendapati ada banyak uang di dalamnya. Namun ia tetap menjaga air muka dan body language-nya supaya tidak tampak bahwa ia terkejut dan keheranan.

Ia pun berjalan pergi meninggalkan rumah Abdul Ghoni. Setelah agak jauh, ia menghitung uang lira emas itu, dan didapatinya berjumlah 30 lira.

Secara diam-diam, Abdul Ghoni pun mengirim seorang “mata-mata”-nya untuk mengamati siapa lelaki itu dan bagaimana reaksinya, tanpa sepengetahuan lelaki perlente itu.

Sementara lelaki perlente itu -setelah mengetahui bahwa di saku jaketnya terdapat tiga puluh lira- ia pun pergi menuju penjual daging, dan ia menyerahkan beberapa lira emas kepadanya sambil meminta maaf kepadanya bahwa ia terlambat dalam melunasi hutangnya kepadanya.

Lalu lelaki perlente itu pun pergi ke penjual roti dan makanan, membeli beberapa makanan.

Lalu pergi ke penjual minyak samin, dan membeli beberapa keperluannya darinya. Dan begitulah lelaki itu berbuat dan berpindah dari satu penjual ke penjual lainnya.

Setelah dirasa keperluannya tercukupi, lelaki itu pun pulang ke rumahnya dan di sana ia telah disambut oleh seorang putri kecilnya yang terlihat sangat cantik.

Gadis kecil mungil itu berkata: “Ayah, kemana saja sih? Kami yang di rumah menunggu ayah sampai hampir mati kelaparan. Kan kita sudah beberapa hari tidak makan...”

Dari mata-matanya, Abdul Ghoni mengetahui bahwa lelaki itu sebenarnya terhitung “orang besar”. Namun perputaran roda zaman telah mengubahnya menjadi lelaki yang miskin. Meski demikian, ia tetap memiliki ‘izzah dan iffah, sehingga ia tidak pernah menunjukkan kemiskinannya kepada siapa pun, apa lagi sampai ke tingkat meminta-minta.

Maka berkatalah Abdul Ghoni kepada keluarga dan orang-orangnya, “Berikanlah belas kasihan kepada tokoh masyarakat yang berubah menjadi miskin seperti dia itu!”

Romadhon karim, Romadhon mubarok.

Untung tidak bersu-uzhzhon.

Senin, 20 Juni 2016

Ajaklah Anak Berdialog


"Iyyapa nari isseng lamunna salo'e na loanna, rekko purai ri atengngai"
Luas dan kedalaman sungai itu bisa diketahui ketika telah menyeberanginya.

Hanya sepintas melihat raut muka anak atau sikap yang ditunjukkan tidak serta merta menjadikan kita mengerti apa yang sungguh-sungguh dirasakan dan dipikirkan oleh anak. Kita bisa langsung berbicara kepada mereka, tetapi kita tidak mampu mengetahui luas dan dalamnya apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diinginkan oleh anak. Kenapa? Ibarat sungai, kita belum menyeberangi. Kalau ingin mengetahui luas dan dalamnya, kita perlu menyeberanginya.

Kata Pappaseng to Ogie (Petuah Bugis), "Iyyapa nari isseng lamunna salo'e na loanna, rekko purai ri atengngai. Luas dan kedalaman sungai itu bisa diketahui ketika telah menyeberanginya."

Lalu bagaimana cara kita menyeberangi perasaan dan pikiran anak kita? Berdialog. Kita ajak berbicara dari hati ke hati, pikiran terbuka, dan perasaan lapang. Kita dengarkan pembicaraan anak, memberikan umpan balik kepadanya, dan bila diperlukan kita pun dapat menyampaikan apa yang kita pikirkan tentang dia. Melalui dialog itu kita lebih mengetahui perasaan anak sesungguhnya dan pada saat yang sama anak merasa lebih diterima.

Inilah yang patut dilakukan jika menginginkan anak memiliki sikap hormat (respek) kepada orangtua. Merasa didengarkan dan dihargai justru menjadikan anak lebih tumbuh dorongan untuk respek dan dekat hatinya dengan orangtua.

Sebaliknya, cara-cara yang menjatuhkan harga diri justru membuat anak kehilangan rasa hormat kepada orangtua. Bahkan dapat terjadi, anak mengembangkan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Boleh jadi ia menunjukkan ketaatan di depan orangtua, tetapi memberontak meledak-ledak di luar rumah. Ini ketika anak takut kepada orangtua. Dan sangat berbeda antara takut dan respek. Yang kedua ini mendorong anak tetap melakukan hal yang baik, meskipun orangtua tidak melihatnya. 

Ibarat pemimpin, orangtua dituntut untuk "Nasiri’i alena, nasiri toi padanna rupatau. Menjaga harkat dan martabat dirinya, serta menghormati harkat martabat orang lain."

Jadi, agar harkat dan martabat orangtua terjaga, anak menghargainya, maka kita sebagai orangtua harus menjaga harkat martabat anak. Tidak menjatuhkan di depan teman-temannya.

Kata siri' sebenarnya memiliki makna malu. Sedangkan kata nasiri'i bermakna membuat diri sendiri malu memperbuat sesuatu yang jelek, hina, tercela. Dari makna dasar ini dapat diambil pengertian bahwa orangtua seharusnya nasiri (menjaga martabat) anaknya dengan tidak mempermalukannya dan menjatuhkan harga dirinya. Jika anak sampai merasa dipermalukan atau jatuh harga dirinya, ia bisa kehilangan orientasi hidup yang baik. Bukankah siri' na pesse? Malu itu luka.

Lawrence E. Tyson, Ph.D., dari University of Alabama at Birmingham menunjukkan 4 sebab kenakalan anak di kelas. Salah satunya adalah dendam. Ia terluka karena merasa dipermalukan oleh orangtua atau karena merasa orangtua tidak adil. Ketika anak mendendam kepada orangtua sehingga tidak peduli lagi dengan prestasi. Ia hanya berpikir dan berusaha untuk membayar lunas dendamnya.

Boleh jadi ketika kita selaku orangtua menjatuhkan harga diri anak, ia tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan perasaannya kepada kita. Atau ia sebenarnya cukup terbuka untuk mengungkapkan gagasannya. Tetapi ketika orangtua menanggapinya dengan mengedepankan kuasa, anak tidak punya pilihan selain taat. Dan ini bukanlah ketaatan yang baik. Di saat kecil merunduk kepada orangtua karena takut, tetapi ketika mulai beranjak besar anak mulai unjuk keberanian. Tak ada lagi perkataan orangtua yang ditaati.

Sebagian ulama mengatakan, "Al-hurmat khoirum minath tho'ah." Respect is much more better than obedience. Respek itu lebih baik daripada taat, sebab dari respek akan lahir ketaatan yang tulus. Saya lebih suka memaknai al-hurmat dengan respek daripada hormat karena kata-kata yang diserap dari hurmat ini sudah banyak mengalami pendangkalan makna. Di luar itu, kita juga mengenal istilah takzim (mengagungkan, memuliakan, menghormati) dan takrim (memuliakan, menghormati) yang biasa dipakai dalam konteks sikap kepada tamu maupun tetangga. Nah, sikap hurmat melahirkan keduanya.

Nah, bagaimana agar memiliki sikap kepada kita? Berusahalah memahami perasaan dan pikiran anak, mendengarkannya dan memberikan umpan balik kepada anak. Kita tidak akan tahu dalam dan luasnya sungai kecuali apabila kita telah menyeberanginya. Cara untuk menyeberangi itu adalah berdialog. Bukan menjadi orangtua yang sok tahu.

Mohammad Fauzil Adhim

Sabtu, 18 Juni 2016

Menempa Jiwa

Cukuplah orangtua dikatakan menyengsarakan hidup anak apabila ia membiasakan hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan mudah, nyaris tanpa usaha berarti. Padahal, pengalaman berusaha dan menyelesaikan masalah akan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang. Sehingga semakin banyak masalah yang mampu ia selesaikan, semakin tinggi nilai hidupnya.

Sesungguhnya orangtua yang kejam adalah mereka yang tidak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan di usia itu. Kejamlah para ibu yang masih selalu menyuapi anaknya, setiap saat, padahal anak seharusnya sudah bisa makan sendiri. Kejamlah seorang bapak yang selalu melayani keinginan anak dan memenuhi permintaan mereka, padahal anak-anak itu kelak harus memiliki kecakapan men-tashorruf-kan hartanya. Kejamlah orangtua yang hanya memberi uang dan fasilitas berlimpah kepada anaknya tanpa memberi tanggung jawab, kewajiban, dan tantangan kepada mereka.

Mari kita belajar dari pohon apel. Sesungguhnya apel tidak berbuah kecuali setelah daunnya rontok. Jika ia ditanam di negeri yang tidak mengenal musim gugur, maka kitalah yang harus membantu agar apel tersebut berbuah. Kita membantu mengurangi daun-daunnya.

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Perlu tantangan sebelum berbuah. Ada tantangan yang secara alamiah dihadapi karena kondisi yang tidak terelakkan. Tetapi jika kondisi yang diperlukan tidak tersedia, maka kitalah yang harus merancang agar ada tantangan yang ”menggairahkan”.

Jika kita menilik sejarah, orang-orang besar adalah mereka yang memiliki catatan panjang tentang keteguhan, ketegaran, kegigihan, kejujuran, integritas yang tinggi, keberanian, dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan setiap masalah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan rambu-rambu yang telah diberikan oleh Alloh Ta’ala dan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam (SAW). Mereka ditempa oleh tantangan yang datang berjenjang-jenjang. Awalnya ringan, lalu datang lagi tantangan berikutnya yang lebih berat.

Bahkan tidak sedikit orang besar yang sejak lahir sudah dipenuhi kesulitan dan tantangan. Ia lahir dalam kesulitan, besar dalam kesulitan, dan kemudian tumbuh menjadi manusia yang sanggup mengatasi berbagai kesulitan yang orang lain takut membayangkannya.

Mereka banyak menghadapi kesulitan, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan jiwa untuk menghadapinya. Terkadang kekuatan itu mengalir dari hadirnya seorang ibu yang senantiasa memberi dukungan ketika ia merasa tak sanggup lagi.

Di antara orang-orang sukses, banyak yang mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup menghadapinya, lalu berikrar agar anaknya tak pernah menjumpai kepahitan hidup yang serupa. Tetapi ia lupa membedakan bahwa kepahitan hidup berbeda dengan tantangan. Alih-alih tidak ingin anaknya sengsara, justru menghindarkan anak dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak berdaya dengan melimpahi mereka fasilitas dan kemudahan.

Padahal, berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan menjadikan anak lemah secara mental, rendah daya juangnya, mudah frustrasi karena tak terbiasa menghadapi kesulitan, dan tidak memiliki keterampilan memadai dalam menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan terkena afflueanza.

Apakah affluenza itu? O, banyak sekali definisi yang bisa kita temukan pada kata ini. Tetapi ada beberapa hal yang mempersamakan dari berbagai definisi itu, yakni bahwa affluenza merupakan kondisi ketika orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa banyak uang yang dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, dan berapa lengkap perangkat yang dipunyai beserta segala kemudahan yang bisa dibeli. Mereka dimanjakan oleh uang karena orangtua sudah merdeka secara finansial, tetapi hati mereka hampa dan kebahagiaan sangat jauh dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli kebahagiaan dengan uang, semakin kering hidup mereka, semakin jauh pula kebahagiaan itu menghindar dari mereka. Di saat itulah mereka semakin sibuk mengejar… dengan uang yang mereka punya!

Padahal, itu justru membuatnya semakin tidak bahagia. Tetapi tak ada pilihan lain buat mereka, sebab yang mereka ketahui, uang bisa membeli apa pun. Sejak kecil mereka dibesarkan dengan kemudahan dan fasilitas, sehingga mereka justru menemukan banyak kesulitan dalam hidup. Apa yang sederhana buat orang lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.

Perlunya Tantangan
Jadi, apa yang membuat anak-anak itu lemah di masa dewasanya? Mereka tak berdaya karena otot mereka, otak mereka, dan mental mereka tak pernah ditempa. Mereka lemah karena terlalu banyak dimanja oleh fasilitas berlimpah. Mereka menemui banyak kesulitan karena terbiasa hidup serba mudah. Sesungguhnya, apa yang berat bisa terasa ringan, apabila kita memperoleh tempaan yang cukup untuk menghadapi tantangan. Semakin banyak tantangan yang mampu kita hadapi, akan semakin kuatlah kita dengan izin Alloh Ta’ala.

Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi tantangan bukan berarti orangtua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan. Kita memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan memberinya tanggung jawab, memberi mereka tugas untuk menyiapkan, mengatur, dan menjaga apa yang mereka perlukan dalam hidup sehari-hari, serta memberi mereka kesempatan bagi mereka untuk belajar mengurusi diri mereka sendiri. Jadi, bukan merampas hak mereka untuk belajar mandiri.

Bayi usia 1,5 tahun misalnya, secara alamiah mereka akan terdorong untuk belajar makan sendiri. Tentu saja karena belum memiliki cukup keterampilan, hasilnya bisa belepotan dan mengotori lantai. Tetapi jika atas nama kasih sayang, kita tidak memberinya kesempatan sehingga kita selalu menyuapinya, anak itu akan terhambat kemampuannya dan sulit tumbuh kemandiriannya.

Di usia-usia berikutnya ketika anak sudah saatnya untuk otonom, kita perlu membimbing mereka untuk menyiapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai besok dan menyiapkan perlengkapannya. Secara perlahan kita memperkenalkan kepada mereka konsekuensi jika mengabaikan kewajiban. Pada saat yang sama kita mulai perlu memberi mereka tantangan-tantangan. Bukan membebani.

Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan
Insya Alloh, melalui tantangan yang datang secara bertahap itu, anak-anak akan belajar memecahkan kesulitan. Sesungguhnya, Alloh Ta’ala letakkan kemudahan itu menyertai kesulitan. Bukankah Alloh Ta’ala berfirman, ”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh [94]: 5-6).

Muhammad Sulaiman ’Abdulloh al-Asyqor menerangkan dalam tafsirnya yang bertajuk Zubdatut Tafsiir Min Fathil Qodiir bahwa maksud ayat ini ialah, sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan lain. Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ’anhu dengan status marfu’ menerangkan, ”Seandainya kesulitan itu berada di dalam batu, niscaya ia akan diikuti oleh kemudahan sehingga ia masuk ke dalamnya kemudian mengeluarkannya dari batu tersebut. Suatu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Alloh berfirman: ”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahansesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam keterampilan hidup, berpikir, dan bersikap. Bahkan bukan tidak mungkin dapat menyebabkan mereka lemah iman. Na’udzubillahi min dzaalik.

Mohammad Fauzil Adhim

Jumat, 17 Juni 2016

Berjuang Melawan Kantuk

Diantara tantangan terbesar untuk beraktivitas di bulan Romadhon adalah melawan godaan kantuk. Pagi hari mengantuk karena perut kenyang sehabis sahur. Siang hari mengantuk karena lapar, haus, dan lelah. Malam hari mengantuk karena capek beraktivitas seharian dan perut kenyang sehabis berbuka. Berarti pagi, siang, dan malam kantuk mendera tanpa henti. Dan kenikmatan terbesar bagi orang yang mengantuk adalah disodori bantal.

Sejenak, mari kita renungkan ucapan dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khoththob ra. “Jika aku tidur di siang hari, maka celakalah rakyatku. Jika aku tidur di malam hari, maka celakalah diriku”. Apa hikmah yang bisa kita ambil dari ungkapan beliau?

Pertama, Tanggung Jawab Beramal
Nabi berwasiat, “Kullukum roo’in wa kullukum mas-ulinan ro’iyyatihi”. Benar, setiap kita memiliki peran (pemimpin) dan setiap peran menuntut amal dan kiprah nyata. Jika peran semakin banyak, jika derajatnya semakin tinggi, maka amal dan kiprah yang dituntut pun semakin banyak. Otomatis, waktu untuk beristirahat menjadi semakin sedikit.

‘Umar bin Khoththob ra mengetahui beratnya beban dan tanggung jawab yang diembannya sebagai amirul mukminin. Sehingga dia tidak tidur siang kecuali sangat sedikit, agar waktunya bisa digunakan untuk mengurus rakyatnya. Kendati capek dan lelah, ‘Umar juga tidak ingin akrab dengan bantal di malam hari. Karena dia juga harus meluangkan waktu untuk beribadah kepada Alloh. Karena dia sadar bahwa perkara di akhirat itu nafsi-nafsi.

Ucapan tersebut menandakan bahwa ‘Umar bin Khoththob ra punya tanggung jawab besar dalam mewujudkan perannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan beliau menjawabnya dengan banyak amal dan mengurangi tidur agar kedua amanah tersebut bisa ditunaikan dengan baik.

Jika dikontekstualisasikan ke zaman sekarang, ucapan ‘Umar bin Khoththob ra kira-kira akan berbunyi, “Jika aku tidur di siang hari, kapan pekerjaan ini akan selesai?” atau “Jika aku tidur di siang hari, anak dan istri mau makan apa?” Sebaliknya, “Jika aku tidur di malam hari, kapan target 3 kali khotam tadarus Al Qur’an bisa dicapai?”.

Kedua, Full Aktivitas
Ucapan tersebut juga mengindikasikan keseharian ‘Umar bin Khoththob ra yang full dengan aktivitas. Nyaris tidak ada waktu yang digunakan untuk beristirahat, kecuali sangat sedikit. Jika beliau tidur siang, itu bukan tidur yang disengaja, namun tidak sadar tertidur karena begitu lelahnya beraktivitas. Namanya juga tidak sengaja tertidur, maka tempatnya pun sembarang. Kadang di bawah pohon, di atas tanah dll.

Di siang hari, ‘Umar bin Khoththob ra menangani urusan kaum muslimin. Dari urusan pemerintahan hingga hubungan yang bersifat pribadi. Di malam hari waktunya dibagi untuk dua aktivitas utama, yaitu untuk melakukan inspeksi (blusukan) ke tengah rakyatnya dan tenggelam dalam beribadah dan bermunajat kepada Alloh. Akibatnya, waktunya untuk beristirahat semakin sedikit.

‘Umar bin Khoththob memang dikenal sangat benci dengan orang yang menganggur atau menghabiskan waktunya dengan kesia-siaan. Beliau pernah berujar, “Aku sungguh benci dengan para pengangguran. Tidak memiliki kesibukan baik untuk urusan dunianya maupun akhiratnya”.

Khotimah
Sebagian kalangan sering berkata dengan nyinyir bahwa puasa menyebabkan produktivitas kerja menurun. Melihat kenyataan di sekitar kita, bisa jadi premis tersebut mendapatkan pembenaran di lapangan. Menjadi tanggung jawab kita semua untuk membalikkan premis itu. Jika semua target di bulan Romadhon ingin direngkuh, kita memang harus siap dengan lelah. Tapi mari kita nikmati sepenuh hati karena seperti kata Imam Syafi’i, “Bukankah nikmatnya hidup itu ada dalam kelelahan?”

Berpuasa tapi tetap produktif, berkarya secara optimal, dan berkiprah secara maksimal. Kondisi itu menjadi hal yang biasa di masa lalu tetapi menjadi barang langka di masa kini. Sebenarnya, situasi ideal itu masih bisa kita bawa lagi ke masa sekarang. Dan langkah pertama bisa dimulai dengan berjuang menaklukkan rasa kantuk. “Wafii dzaalika fal yatanaa fasil mutanaa fisuun”.

Eko Junianto, ST

Menggapai Puncak Akhlak

Sesuai dengan namanya, Muhammad artinya terpuji. Maka, beliaupun memiliki akhlak yang terpuji. Kawan hormat, lawan segan karena menyaksikan keluhuran akhlaknya tanpa ada rekayasa. Bahkan Alloh ta’ala juga memberikan penegasan “Wa innaka la‘alaa khuluqinadziim”.

Pertanyaannya sering bergeser kepada kita selaku ummatnya. Kapan kaum muslimin berada di puncak akhlaknya? Tanpa ragu kami akan menjawab, saat mereka sedang berpuasa. Bagaimana bisa demikian?

Pertama, Terjaga dari Dosa dan Maksiat
Seseorang yang sudah mengambil air wudhu, maka dia akan menjaga diri untuk tidak melakukan perkara-perkara yang bisa merusak wudhunya. Demikian pula, orang yang berpuasa, akan menjaga diri agar puasanya tidak rusak. Perkara yang halal diatur, perkara yang haram dijauhi. Menjauhi perkara yang haram akan menjadikan kita ahli ibadah yang terbaik. “Ittaqil mahaarima takun ‘abadan naas”.

Benar, orang yang sedang berpuasa biasanya akan menjadi mulia karena tidak berani berbohong, takut mencuri, menghindari ghibah, menahan berbicara kotor, menjauhi perkara yang menyurut amarah dll. Mereka takut puasanya rusak, pahala berkurang atau bahkan amalnya tidak diterima oleh Alloh. Mereka takut dengan sabda baginda nabi: Rubba shooimin laisa lahu min shiyaamihi illal juu’.

Kedua, Merahasiakan Kebajikan
Sebagaimana puasa adalah ibadah yang rahasia, umumnya orang berpuasa juga senang melakukan amal ibadah yang rahasia. Maksudnya, orang lain dan bahkan keluarganya pun kadang tidak tahu dengan amal kebajikan yang dilakukannya. Ibadah yang dirahasiakan itu lebih dekat dengan sifat ikhlas. Dan diantara karakter orang mulia adalah, kondisinya saat sendirian lebih baik ketimbang saat berada dalam keramaian dan apa yang tersembunyi lebih utama ketimbang apa yang nampak.

Setiap ibadah memiliki karakter dan fadhilah sendiri-sendiri. Karakter kerahasiaan dalam ibadah puasa secara otomatis akan merasuk kepada shoimin dan menular pada amal-amal yang lainnya. Mereka jadi senang berdoa secara rahasia, suka berinfaq dan bersedekah tanpa mencantumkan nama, menikmati dzikir dan tilawah di tempat yang sepi dll. Mereka bersungguh-sungguh mengamalkan wasiat nabi “Manis tathoo’a minkum ayyakuuna lahu khib-un minamalin shoolih, falyaf‘al”.

Khotimah
Bagaimana dengan keadaan orang yang berpuasa tapi akhlaknya tetap buruk? Jawabannya sama, itulah puncak akhlak maksimal yang dimilikinya. Jadi, kita bisa mendeteksi bagaimana kondisi akhlaknya saat sedang tidak berpuasa. 

Perbandingannya sama dengan cara kita memahami sabda nabi “Addun-ya sijnul mu’min wa jannaatul kaafir”. Lalu ada yang bertanya “Bagaimana dengan orang mukmin yang di dunia kaya sedang orang kafir adapula yang menderita”. Hm, kita sama-sama sudah tahu cara menjawabnya bukan?

Eko Junianto, ST

Kamis, 16 Juni 2016

Menghormati Hak Anak

Bagaimana sikap Rosululloh Shollallohu ’alaihi wa Sallam (SAW) terhadap anak? Secara ringkas, saat bercanda sebagai teman, saat bertutur menjadi guru, dan terhadap hak anak, Rosululloh SAW menjadi pelindung dan penjaga. Melalui tindakan dan ucapannya, Rosululloh Muhammad mengajarkan kepada kita bagaimana menghormati hak anak. Barangkali inilah yang membuat anak-anak di masa Rosululloh SAW mudah menerima kebenaran, ringan mendengarkan nasihat, dan ketika dewasa tidak sibuk mendahulukan hak. Mereka bersegera melaksanakan kewajiban karena di masa kecil mereka selalu dijaga haknya.

Marilah kita ingat peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Dari Sahl bin Sa’ad RA, Rosululloh SAW pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya sedikit. Di sebelah kanan beliau ada seorang bocah dan di sebelah kiri beliau duduk para orangtua. Beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau rela jika minuman ini aku berikan kepada mereka?” Si anak menjawab, “Aku tidak rela, ya Rosul Alloh, demi Alloh aku tidak akan memperkenankan siapa pun merebut bagianku darimu.” Rosululloh SAW meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Hadits ini? “Rosululloh SAW memelihara hak si anak dengan menyuguhkan minuman terlebih dahulu kepadanya karena ia berada di samping kanan beliau,” kata Najib Kholid Al-‘Amr menuturkan dalam Min Asaalibir Rosul SAW Fit Tarbiyah.

“Ini adalah bentuk pendidikan yang menjadikan anak seakan berada dalam jajaran para orangtua dari segi perolehan hak. Ketika anak telah merasa mengambil haknya, perasaan cintanya kepada Rosululloh SAW akan bertambah dan keimanan kepada risalah beliau akan semakin kokoh,” kata Najib Kholid Al-‘Amr seraya menambahkan, “dari sinilah potensi kreativitasnya akan berkembang dalam naungan dakwah beliau.”

Cara bersikap seperti ini membuat anak merasa berharga. Ia memiliki citra diri yang baik. Tidak menganggap dirinya buruk, tidak pula memandang orang dewasa dan lingkungan pada umumnya sebagai sumber ketakutan. Selanjutnya, anak akan memiliki konsep diri yang positif sehingga mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Rasa percaya diri yang sangat besar, seringkali ditentukan oleh seberapa baik anak memperoleh perlakuan dari orangtua. Bukan apa yang ia miliki untuk ditunjukkan kepada orang lain.

Mencintai Tanpa Syarat
Alfie Kohn, seorang psikolog sekaligus penulis buku Unconditional Parenting, menunjukkan bahwa cinta yang tulus lebih efektif untuk mengasuh, mengarahkan, mendidik, dan mendorong anak untuk lebih bertanggungjawab. Jika Anda ingin anak-anak lebih hormat kepada Anda beserta apa yang Anda katakan, tumbuhkanlah kepercayaan mereka kepada Anda. Caranya? Cintailah mereka sepenuh hati dengan tulus. Tanpa syarat.

Selain itu, anak-anak akan memperhatikan kata-kata Anda. Jika Anda berbohong kepadanya, anak tidak akan percaya kepada setiap perkataan Anda, sekalipun itu nasihat yang paling baik. Padahal tanpa kepercayaan, bagaimana mungkin anak-anak akan tergerak untuk melakukan apa yang kita inginkan?

Di sinilah kita bisa memahami mengapa Rosululloh SAW sangat menekankan agar kita mencintai anak-anak tanpa syarat, menepati janji, tidak berbohong, dan adil terhadap mereka. Bagaimana anak-anak kita mengimani Tuhannya kelak, sangat dipengaruhi oleh cara kita memperlakukan mereka di waktu kecil.

Ingatlah ketika Rosululloh Muhammad SAW bersabda, “Cintailah anak-anak dan kasih-sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui, hanya kamulah yang memberi mereka rezeki,” (Riwayat Bukhori).

Selain tentang seruan untuk melimpahkan cinta dan kasih sayang kepada anak, ada dua hal yang perlu kita renungkan dari Hadits tersebut. Pertama, berkait dengan sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya yang mereka ketahui, hanya kamulah yang memberi mereka rezeki.” Ini mengingatkan saya pada teori psikologi agama yang menunjukkan bahwa keyakinan –bukan pengetahuan—kepada Tuhan sangat dipengaruhi oleh pengalaman anak berhubungan dengan orangtua. Mereka yang memiliki orangtua pelit, tidak konsisten, dan tidak memiliki prinsip dalam mengasuh anak, cenderung menjadi pribadi yang sulit membangun keyakinan sangat kuat terhadap sifat pemurah Alloh Ta’ala meskipun pengetahuannya tentang hal tersebut sangat luas. Wallohu a’lam bishowab.

Kedua, menepati janji. Ini merupakan bagian dari berkata dengan perkataan yang benar (qoulan sadiida). Inilah satu dari dua kunci mendidik anak yang ditunjukkan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla dalam al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 9, Alloh Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Alloh orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Bagaimana kalau kita melakukan hal-hal yang kurang baik? Jika kita benar-benar berusaha untuk selalu berkata jujur kepada anak, sementara kita tidak ingin menjadi contoh yang buruk bagi mereka, maka insya Alloh kejujuran akan menuntun kita untuk berbenah. Ada dorongan dari dalam diri kita untuk terus memperbaiki diri agar bisa menjadi contoh yang layak bagi mereka. Kalau tidak, kita akan berhadapan dengan dua kemungkinan.

Pertama, lidah kita kelu ketika berbicara kebaikan dan kebenaran kepada anak disebabkan dua hal tersebut tidak melekat pada diri kita.

Kedua, kita berbohong kepada mereka untuk menutupi keburukan, sehingga kita justru melanggar apa yang telah diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam surat An-Nisaa’ ayat 9. Padahal berkata yang jujur (qoulan sadiida) merupakan kunci untuk melahirkan generasi yang kuat dan tidak mengkhawatirkan. Wallohu a’lam bishowab.

Inilah di antara hikmah berbicara dengan perkataan yang benar kepada anak. Secara keseluruhan, berbicara yang benar akan membawa kita pada kebaikan. Alloh ‘Azza wa Jalla akan membaguskan amal-amal kita dan mengampuni dosa kita. Alloh Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab [33]: 70-71).

Jika berkait dengan tugas kita sebagai orangtua, kesungguhan untuk berkata yang benar akan mendorong kita terus berbenah, sehingga kapasitas pribadi kita sebagai orangtua akan lebih baik dari waktu ke waktu.

Selebihnya, saya hanya ingin menggaris-bawahi tentang betapa pentingnya anak-anak memperoleh pengalaman bagaimana hak-haknya dimuliakan, dijaga, dan dipenuhi oleh orangtua. Ada amanah yang harus kita pertanggung-jawabkan kelak di yaumil-qiyamah, termasuk bagaimana menghormati hak yang telah ditetapkan oleh Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya bagi anak-anak kita.

Wallohu a’lam bishowab.

Box: Rosululloh SAW sangat menekankan agar kita mencintai anak-anak tanpa syarat, menepati janji, tidak berbohong, dan adil terhadap mereka. Bagaimana anak-anak kita mengimani Tuhannya, kelak, sangat dipengaruhi oleh cara kita memperlakukan mereka di waktu kecil.

Mohammad Fauzil Adhim

Obrolan Sederhana tentang Tarawih

Mari sejenak kita berbincang tentang sholat tarawih, bukan tentang jumlah roka’atnya, tapi apa yang sebaiknya kita lakukan saat kita menjadi makmum. Ingatlah sejenak sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة

"Barangsiapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa'i dan lain-lain).

Berapa roka’at yang terhitung melakukan qiyamul lail semalam suntuk? Batasannya ialah melakukan tarawih hingga selesai bersama imam, termasuk melakukan sholat witir bersamanya. Maka jika imam sholat tarawih 11 (8 plus 3) roka’at, kita bermakmum sampai imam selesai witir. Begitu pula jika imam sholat tarawih 13 atau 23 roka’at. Bagi kita yang menjadi makmum, pilihan terbaik adalah sholat bersama imam sampai dengan selesai; bukan soal 11, 13, 21, 23 atau 39 roka’at. Jika ingin memilih, maka itu sebelum melaksanakan sholat tarawih berjama’ah. Adapun sesudah jama'ah ditegakkan, ikuti sampai selesai.

Pilihan terbaik adalah sholat mengikuti imam sampai selesai dengan sempurna. Adapun imam sepatutnya sholat dengan tuma'ninah dan khusyuk. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena tuma'ninah merupakan rukun sholat, sehingga tidak sah sholat jika tidak tuma'ninah meskipun ayat yang dibaca saat sholat sangat panjang. Berapa pun jumlah roka'atnya, imam harus melakukan sholat dengan tuma'ninah dan memungkinkan makmum untuk mengikutinya secara tuma'ninah pula. Tentu saja imam perlu membaca ayat demi ayat secara tartil dan jelas, tak peduli ia memimpin tarawih 11, 13, 21, 23, 39, 41 ataukah 49 roka'at.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari sholatnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rosulalloh, bagaimana mencuri dari sholat?” Rosululloh berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku' dan sujudnya.” (HR. Ahmad).

Di masa Kholifah ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu 'anhu, beliau pernah mengumpulkan para qori' dan menggariskan kebijakan jumlah ayat. ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu meminta qori yang bacanya cepat agar membaca 30 (sekitar 3 halaman mushhaf), yang sedang 25, dan yang lambat 20 ayat (2 halaman mushhaf) tiap roka’at. Jangan bayangkan yang cepat bacanya seperti dikejar musuh sehingga tarawih selesai dalam 20 menit. Tetap tartil dan tidak tergesa-gesa. Mereka melakukan ruku' dan sujud dengan sempurna, tuma'ninah. Tidak serupa orang salto. Ini yang kadang terabaikan saat mengejar jumlah.

Jadi, mana yang paling baik? Yang sempurna gerakannya, tuma'ninah, khusyuk, dan bacaannya baik tidak tergesa-gesa; 11, 23 atau 39 roka’at.

Imam Syafi’i mendapati sholat tarawih pada masa beliau jumlah roka’atnya 23 di Makkah dan 39 di Madinah. Bagaimana komentar beliau? "Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus," kata Imam Syafi’i, "Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tapi yang pertama lebih aku sukai."

Perkataan Imam Syafi’i rohimahulloh sebagaimana termaktub dalam Fathul Bari ini menunjukkan, yang lebih sempurna itu lebih utama. Jumlah roka'at lebih sedikit, tetapi bacaan lebih panjang dan sujud pun lebih sempurna, maka yang demikian ini lebih baik daripada sholat dengan bilangan roka'at lebih banyak. Pada saat yang sama kita memperoleh pelajaran bahwa sosok semacam Imam Syafi'i memilih untuk tetap mengikuti imam sampai dengan selesai ketika mendapati jumlah roka'atnya 39, meskipun beliau lebih menyukai yang lebih sedikit disebabkan lebih memanjangkan bacaan.

Yang paling baik bukanlah yang paling banyak bilangan roka’atnya, tetapi yang paling sempurna sholatnya. Semoga Alloh Ta'ala ridhoi. Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang sholat malam, hanya menjadi begadang di malam hari.” (HR. Ahmad).

Alangkah sia-sia sholat yang semacam itu. Mereka berpenat-penat, tapi tidak memperoleh kebaikan apa pun. Mereka melaksanakan sholat tarawih, berjama'ah pula, tapi tak memenuhi ketentuan untuk tuma'ninah sehingga sia-sialah sholatnya. Tak ada yang mereka dapatkan selain capeknya begadang.

Marilah kita ingat ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengoreksi seseorang yang melakukan kesalahan dalam sholatnya. Beliau bersabda:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Jika engkau hendak mengerjakan sholat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al-Qur'an yang mudah bagimu. Kemudian ruku'lah sampai benar-benar ruku' dengan tuma'ninah, lalu bangkitlah (dari ruku') hingga kamu berdiri tegak. Setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma'ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh sholatmu.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Lihatlah, betapa pentingnya melakukan gerakan secara sempurna dan tiap-tiap bagian kita lakukan secara tuma'ninah. Inilah yang sangat penting. Jika kita memilih mengikuti jumlah roka'at sholat tarawihnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka itu sangat baik sejauh kita melakukannya secara tuma'ninah. Tapi jika sekiranya menghendaki sholat tarawih dengan bilangan roka’at yang banyak dan tetap tuma'ninah, dapat memilih 41 atau 49 roka’at. Sholat tarawih 41 roka’at ini berdasarkan persaksian Sholih Mawla At-Tau'amah tentang sholat tarawihnya penduduk Madinah di masa itu. Sholat tarawih dilakukan 38 roka’at plus 3 roka’at witir. Bisa juga 40 roka’at tarawih plus 9 roka’at witir. Yang terpenting: sempurna.

Jadi, jika menganggap lebih banyak lebih baik, pilihlah 49 roka’at dengan khusyu', tuma'ninah, dan bacaannya tartil tidak tergesa-gesa. Sepanjang saya ketahui, 49 inilah jumlah roka'at terbanyak yang terdapat riwayat dilakukan oleh orang-orang sholih terdahulu. Ini jika konsisten dengan perkataan "lebih banyak lebih baik". Saya sendiri tidak siap melaksanakan sholat tarawih 49 roka'at secara tuma'ninah dan sempurna. Karena itu, saya memilih yang lebih ringan, tetapi riwayatnya lebih kuat.

Kembali pada persoalan semula, yakni sholat tarawih berjama’ah. Jika ingin mendapat pahala qiyamul lail semalam suntuk, ikutilah imam sampai selesai sholat witir. Jika imam 11 roka’at dan Anda biasanya 23 roka’at, cukupkan 11 roka’at saja. Jangan menganggap tidak ada tarawih yang kurang dari 20. Justru dengan mengikuti imam sampai selesai, kita mendapatkan pahala qiyamul lail semalam suntuk. Bukankah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh?

Jika Anda biasanya sholat tarawih 11 (8+3), lalu mendapati imam sholat 23 roka’at, ikuti pula sampai selesai secara sempurna. Jangan sekali-kali mengira bahwa terlarang sholat tarawih di atas 11 roka’at. Bukankah banyak riwayat yang dapat kita pedomani?

Semoga bincang sederhana ini bermanfaat dan barokah. Saatnya kita membersihkan niat. Bukan mengotori dengan menguatkan 'ashobiyah alias fanatisme golongan. Bukankah akan lebih utama jika kita mendapatkan pahala terbaik dan di saat yang sama mengokohkan persaudaraan sesama muslim?

Lalu berapa roka’at sholat tarawihnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam? Berdasarkan riwayat yang shohih, kita dapati bahwa beliau melaksanakan sholat 11 roka’at. Beliau juga menunaikan sholat 13 roka’at. Dan bahkan kita mendapati riwayat bahwa beliau pun pernah sholat dengan mengawalkan sholat witir sejumlah 9 roka’at ditutup dengan sholat 2 roka’at.

Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallohu ‘anha menuturkan kepada kemenakannya tentang sholat yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam: 
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ، سِوَاكَهُ، وَطَهُورَهُ، فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ، وَيَتَوَضَّأُ، وَيُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ، لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا فِي الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ، وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يَا بُنَيَّ، فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ، أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ
“Kami mempersiapkan siwak dan air wudhu beliau. Bila Alloh membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudhu, kemudian sholat sembilan roka’at tidak duduk tasyahud kecuali pada roka’at kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Alloh, dan berdo’a (membaca tasyahud), kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan roka’at kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji Alloh, dan berdoa, kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau sholat dua roka’at sambil duduk. Jadi, jumlahnya 11 roka’at, wahai Anakku. Ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh roka’at, kemudian dua roka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan, wahai Anakku.” (HR. Muslim).

Nah. Semoga catatan ringkas ini bermanfaat. Semoga kita dapat mempelajari dan mendiskusikannya dengan baik. Diskusi itu lebih mudah ketika mengedepankan ilmu dan kebenaran. Bukan ego pribadi maupun kelompok. Wallohu a’lam bish-showab.

Mohammad Fauzil Adhim

Peristiwa Jelang Nuzulul Qur'an

Jika kita menelaah siroh nabawiyah, situasi menjelang peristiwa nuzulul Qur’an sebenarnya agak menegangkan. Namun hal itu hanya dirasakan beberapa golongan saja, tidak seperti peristiwa tentara bergajah yang terlihat kasat mata oleh semua orang. Bagaimana ketegangan yang terjadi jelang turunnya wahyu?

Pertama, Operasi Penyisiran
Ahli kitab, khususnya kaum Yahudi sudah merasakan dekatnya masa nubuwah. Karena itu, mereka melakukan operasi penyisiran (intelijen) ke berbagai pelosok jazirah Arab untuk mendapatkan berita tentang wahyu dan kenabian. Termasuk ke kota Makkah.

Namun, penduduk Makkah adalah kaum paganis alias penyembah berhala. Mereka tidak tahu dengan masalah wahyu dan kenabian, sehingga saat ditanya pun tidak bisa memberikan jawaban. Dan saat itu, posisi Muhammad tengah ber-tahanuts di gua Hiro, di luar kota Makkah. Jadi relatif aman dari pantauan intelijen ahli kitab.

Kedua, Penjagaan Langit
Selama kurang lebih 6 bulan jelang turunnya wahyu, langit dijaga ketat oleh malaikat. Jika sebelumnya jin dan setan dibiarkan terbang menembus langit, maka kali ini akan dilempar dengan api oleh malaikat. Situasinya kira-kira mirip dengan proses sterilisasi oleh tim keamanan sebelum ada VVIP datang bertandang.

Dari sini, kita mengetahui bahwa jin dan setan tidak memiliki campur tangan apapun dalam masalah wahyu. Karena langit sudah disterilkan, tidak bisa ditembus dan tidak bisa mencuri dengar pembicaraan. Inilah yang dimaksud dengan firman Alloh, “Innahu laqur’aanun kariim. Fii kitaabin maknuun. Laa yamassuhu illal muthohharuun”.

Ketiga, Kebingungan Dukun
Para dukun di seluruh dunia merasa bahwa akan ada peristiwa penting, tapi tidak tahu apa tepatnya peristiwa yang akan terjadi. Karena jin dan setan yang biasa membantunya untuk meramal tidak lagi bisa menembus langit dan mencuri dengar pembicaraan.

Sebagaimana orang sholih saling terhubung satu sama lain, demikian pula para dukun. Mereka pun terhubung satu sama lain, saling bertanya, dan saling berkoordinasi. Ibaratnya, segala kebingungan ini menjadi trending topic di kalangan para dukun dan peramal kala itu.

Khotimah
Jelang nuzulul Qur’an, perhatian kita umumnya terfokus pada tahanuts yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Abdulloh di gua Hiro. Padahal, di luar sana terjadi banyak peristiwa kritis yang cukup menegangkan. Pertanda bahwa nuzulul Qur’an benar-benar peristiwa yang besar dan fenomenal.

Eko Junianto, ST

Selasa, 14 Juni 2016

Ajari Anak Bekerja Untuk Berbagi

Inilah hadits yang termaktub dalam Shohih Muslim. Masuk pada bab Sedekah, diterangkan bahwa suatu hari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam (SAW) bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang berpuasa hari ini?”

Maka Abu Bakar menjawab, “Aku.”

“Siapa di antara kalian yang mengantar jenazah pada hari ini?” Rosululloh SAW bertanya lagi.

Maka Abu Bakar kembali menjawab, “Aku.”

Nabi SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”

Maka Abu Bakar menjawab, “Aku.”

Nabi SAW bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini menengok orang sakit?”

Abu Bakar menjawab, “Aku.”

Maka Rosululloh SAW bersabda, “Tidaklah seluruh perkara ini berkumpul dalam satu orang melainkan ia akan masuk surga.” (Riwayat Muslim).

Ada pelajaran penting yang perlu kita renungkan. Untuk mengantarkan anak-anak kita meraih surga, salah satu pilarnya adalah ringannya hati untuk mendermakan hartanya. Bukankah salah satu bukti takwa adalah kerelaan menafkahkan sebagian hartanya untuk menyantuni mereka yang miskin, membantu anak yatim, menolong agama Alloh Subhanahu wa Ta’ala (SWT) serta segala sesuatu yang bernilai ibadah kepada-Nya.

Alloh Ta’ala berfirman, “Alif laam miim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Al-Baqoroh [2]: 1-4).

Berpijak pada ayat ini, kita perlu mempersiapkan anak-anak kita agar tangan mereka selalu di atas. Bukan di bawah mengharap derma jatuh. Kitalah yang harus mendidik mereka agar senantiasa memiliki kegelisahan untuk berbagi dengan apa yang mereka miliki. Bukan untuk memetik kesenangan karena melihat kegembiraan orang-orang papa tatkala menerima kepingan uang receh yang ia berikan. Kita juga perlu mendidik mereka untuk senantiasa berharap bisa berbagi apa yang mereka miliki. Kita pacu mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Kita kobarkan tekad mereka untuk bersedia memeras keringat agar dengan itu bisa berbagi.

Artinya, mereka bukan hanya kita biasakan sebagai perpanjangan tangan orangtua, tetapi betul-betul dilatih untuk memberi. Apa bedanya?

Kadang kita merasa sudah cukup mendidik mereka untuk dermawan dengan memberi kepingan uang receh untuk mereka berikan kepada pengemis. Sepintas tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengajarkan keutamaan berderma. Tetapi sebenarnya yang kita lakukan hanyalah menyuruh mereka mengantarkan uang. Bukan memberi. Itu pun yang kita berikan hanya uang receh, yang kalau jatuh di jalan tak akan kita cari.

Bukan berarti memberi uang untuk diberikan kepada peminta-minta tidak berguna. Tetapi ini hanya bagus sebagai pembelajaran bagi balita. Itu pun sebatas memberi pengalaman memberikan uang yang dititipkan kepadanya. Bukan pengalaman untuk berbagi dan berderma. Sebab, kita memberi hanya karena ada yang meminta. Bukan memberi karena merasa perlu memberi. Lebih mulia dari itu adalah memberi karena merasakan betapa orang lain sangat memerlukan.

Alhasil, pengalaman memberikan uang receh kepada pengemis hanya membiasakan mereka untuk tidak gusar pada pengemis. Jauh lebih bermanfaat adalah pengalaman diajak orangtua mengantarkan derma kepada tetangga yang memerlukan, sahabat dekat maupun jauh yang sedang memiliki keperluan mendesak, atau keluarga yang perlu disantuni. Kita sengaja mendatangi mereka untuk berbagi. Kita sengaja berbagi karena sadar bahwa itu mulia.

Dan karena berbagi itu mulia, kita secara sengaja berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mampu memberi derma. Bahkan kalau perlu, tunjukkan kepada anak bahwa untuk berderma dalam takaran yang memberi manfaat itu, kita secara sengaja menyisihkan harta, menabungnya untuk kemudian memberikan kepada yang memerlukan. Kita juga tunjukkan kepada anak tentang besarnya keinginan kita untuk bisa memberi dalam jumlah yang lebih besar, seukuran yang bisa meringankan beban orang lain. Pada saat yang sama kita memotivasi mereka untuk kelak mereka bisa berbuat yang lebih.

Jadi, ada tiga hal yang perlu kita tanamkan di sini. Pertama, memberi sebagai kesengajaan yang disertai usaha dan bahkan perjuangan serius. Kedua, kita memberi untuk meringankan beban dan memberi manfaat, bukan sekadar untuk meringankan perasaan bersalah kita. Apalagi hanya untuk memetik kesenangan dengan mengundang orang-orang miskin datang ke rumah kita, mengumumkan kemiskinan mereka dan kedermawanan kita dengan memberi harta yang tidak seberapa. Ketiga, kita ajari anak-anak untuk memberi dengan harta yang berguna. Bukan sekadar uang receh yang apabila jatuh di jalan, kita tidak menghentikan kendaraan untuk mengambilnya.

Selebihnya, kita tanamkan kepada mereka tekad untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi agama dan umat ini; tekad untuk bisa memberi yang lebih besar dan lebih baik di masa-masa yang akan datang. Ini diwujudkan dengan kerja keras dan kesungguhan berbagi.

Tentu saja, pada saat yang sama mereka juga perlu kita ajarkan untuk menakar pemberian. Sebab, memberi tanpa ilmu akan melemahkan orang yang kita beri. Memberi derma kepada saudara kita yang memiliki keperluan sangat mendesak dalam hidupnya, tentu sangat berbeda dengan memberi pengemis. Apalagi jika mereka mengemis karena mencukupkan diri dengan pekerjaan tersebut.

Sesungguhnya, di antara orang-orang yang meminta-minta itu ada yang memetik keuntungan besar darinya, sehingga mereka tak mau lagi berusaha bekerja keras dan produktif.

Menguatkan Tekad
Agar keinginan, kesediaan, dan tekad untuk berbagi itu melekat kuat pada diri mereka, kita perlu mengulang-ulang nasihat, inspirasi, anjuran, dorongan secara langsung maupun pengalaman-pengalaman berbagi secara bermakna.

Pembelajaran yang disertai dengan pemberian pengalaman akan berkesan bagi mereka. Tetapi jika tidak ada perulangan, lama-lama akan menguap habis sehingga anak-anak itu tak mempunyai lagi keinginan –apalagi tekad— untuk berderma. Sementara jika sekedar memperoleh perulangan nasihat maupun pengalaman tanpa makna, lama-lama pesan itu akan hambar. Tidak menggerakkan jiwa.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan tekad. Sekali waktu misalnya, kita bisa mengajak mereka untuk mengunjungi lembaga bisnis milik Muslim yang memiliki komitmen bagus terhadap agama. Kita bisa tunjukkan kepada mereka berapa besar keuntungan yang diperoleh dari bisnis itu. Kemudian kita mengajak mereka untuk melihat, apa amal sholih yang bisa dilakukan dari keuntungan bisnis tersebut. Selanjutnya, kita bertanya apa yang bisa mereka lakukan kelak dan menanamkan tekad untuk menolong agama Alloh SWT dengan membiayai dakwah serta menolong orang-orang yang papa.

Kita juga bisa mengajak mereka mendatangi pusat kota dan melihat gedung-gedung yang tinggi (meskipun mungkin Anda melewatinya setiap hari), lalu mengajak mereka untuk mencita-citakan amal sholih di masa yang akan datang.

Intinya, kita merangsang mereka untuk berkeinginan melakukan amal sholih yang sebaik-baiknya, memelihara tekad tersebut, dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Kita ajari mereka bekerja keras untuk bersedekah. Bukan bersedekah agar memperoleh harta yang lebih banyak. Semoga dengan itu kelak mereka termasuk orang-orang yang benar imannya. Bukan mendustakan! Wallohu a'lam.

Mohammad Fauzil Adhim.

Minggu, 12 Juni 2016

Hasyim Asy'ari; Pendiri NU dan Pejuang Syari'at Islam yang Tegas pada Syi'ah

Jika ingin melihat “pendapat NU” atas berbagai persoalan di tengah umat, kapan pun akan tetap relevan jika menjadikan pendapat atau pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu referensi terpenting. Juga di soal Syi’ah.

Ulama Pejuang
Riwayat Hasyim Asy’ari -antara lain- bisa kita baca di www.tebuireng.net “edisi” 25 Januari 2009. Di sana ada judul “H.M. Hasyim Asy’ari Pendiri dan Pengasuh Pertama Pesantren Tebuireng (1899-1947)”.

Nama lengkap dia adalah K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari. Dia lahir pada 14 Februari 1871 di Jombang. Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari belajar di sejumlah pesantren seperti di Pesantren Wonorejo Jombang, Pesantren Wonorejo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.

Lalu, Hasyim Asy’ari melanjutkan ke Pesantren Kademangan Bangkalan yang diasuh Kiai Muhammad Kholik. Kemudian, belajar di Pesantren siwalan Sidoarjo. Di kedua pesantren ini Hasyim Asy’ari belajar masing-masing selama 5 tahun.

Pada 1892 Hasyim Asy’ari ke Makkah, berhaji. Kesempatan itu digunakannya juga untuk mendalami ilmu. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadits.

Pada 1899, Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang. Kecuali aktif mengajar, berdakwah dan berjuang (yaitu bersama rakyat turun merebut kemerdekaan Indonesia), Hasyim Asy’ari juga produktif menulis. Dia menulis antara pukul 10 sampai menjelang zhuhur. Itu, waktu longgar untuk membaca kitab, menulis, dan menerima tamu.

Karya Hasyim Asy’ari -mendekati duapuluh judul- banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misal, ketika umat Islam banyak yang belum paham persoalan tauhid atau akidah, Hasyim Asy’ari menyusun Al Qola’id fii Bayani ma Yajib minal Aqo’id, Ar Risalah At Tauhidiyyah, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Ar Risalah fit Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Ada juga kitab At Tanbihat Al Wajibat liman YashnaAl Maulid bil Munkarot. Situs www.tebuireng.net memberi catatan, bahwa buku ini berupa: “Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampur dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Robi’ul Awwal 1355 H, saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dan lain-lain, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dan lain-lain. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari Tim Lajnah Ulama al Azhar, Mesir”.

Masih menurut situs yang sama, Hasyim Asy’ari juga sering menjadi kolumnis di berbagai majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdlatoel Oelama’. Biasanya tulisan Hasyim Asy’ari berisi jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang.
Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia warisan K.H. Hasyim Asy'ari

Pada 31 Januari 1926 Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). NU didirikan sebagai media perjuangan melestarikan tradisi-tradisi Islam berdasarkan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hasyim Asy’ari berkehendak menetapkan syari’at Islam.
Bagaimana sikap Hasyim Asy’ari atas sejumlah masalah yang jika dihubungkan dengan persoalan-persoalan kekinian masih sangat relevan? Di www.hidayatullah.com (22/04/2010), Kholili Hasib membuat tulisan berjudul: “K.H. Hasyim Asy’ari dan Liberalisasi Pemikiran”. Dikatakan bahwa, dalam aspek keyakinan Hasyim Asy’ari pernah mewanti-wanti warga NU agar menjaga basic-faith dengan kokoh. Di Muktamar NU ke-11, pada 9 Juni 1936, Hasyim Asy’ari menyampaikan nasihat-nasihat penting, misalnya, ajakan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan Al Qur’an dan sifat-sifat Alloh yang Mahakasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat,” pesan Hasyim Asy’ari. Tampak, Hasyim Asy’ari gigih memperjuangkan syari’at Islam.

Atas nasihat di atas -yang sangat relevan dengan situasi kekinian- kita langsung tertunduk. Sebab, berbagai “pikiran dan ajaran nyleneh” di sekitar kita langsung terbayang. Misal, pernah ada yang bilang bahwa Al Qur’an adalah kitab yang yang paling porno, ada yang menyatakan bahwa Syi’ah -yang suka mencela para sahabat Nabi saw itu- adalah bagian dari Islam, dan pernyataan-pernyataan lain yang semisal dengan itu.

Terutama di saat kita menghadapi pikiran dan ajaran mungkar itu serta ketika kita berusaha menegakkan syari’at Alloh, maka nasihat dan pendapat Hasyim Asy’ari perlu kita buka lagi. Juga, di soal Syi’ah.

Hasyim Asy’ari -seperti yang kita tahu- punya banyak karya buku. Sikap tegas Hasyim Asy’ari terhadap Syi’ah banyak tersebar di berbagai bukunya. Misal, salah satunya ada di kitab At Tibyan. Pada kitab tersebut, di hampir setiap halamannya ada kutipan pendapat para ulama salafush sholih tentang keutamaan sahabat dan laknat bagi yang mencelanya. Di antara ulama yang banyak dikutip adalah Ibnu Hajar Al Asqolani dan Al Qodhi Iyyadh (Bashori, 2014: 126).

Sementara, di buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia (2014: 145-147) dimuat Fatwa Hasyim Asy’ari bahwa, “Di antara mereka juga ada golongan Rofidhoh yang suka mencaci Sayyidina Abu Bakr ra dan ‘Umar ra, membenci para sahabat Nabi saw dan berlebihan dalam mencintai Sayyidina ‘Ali ra dan anggota keluarganya.”

Hasyim Asy’ari lalu melanjutkan dengan mengutip Rosululloh saw yang bersabda, “Janganlah kamu mencaci para sahabatku sebab di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang mencela para sahabatku. Maka, jangan kamu mensholati atas mereka dan sholat bersama mereka, jangan kamu menikahkan mereka dan jangan duduk-duduk bersama mereka, dan jika sakit jangan kamu jenguk mereka.” Nabi saw telah kabarkan bahwa bahwa mencela dan menyakiti mereka (sahabat Nabi) adalah juga menyakiti Nabi, sedangkan menyakiti Nabi haram hukumnya.

Warisan Mahal
K.H. Hasyim Asy’ari telah lama wafat, yaitu pada 25 Juli 1947. Tapi, dia telah mewariskan banyak hal. Dari warisan berupa sejumlah bukunya, kita akan terus dapat mengambil pelajaran andai ada persoalan-persoalan keislaman yang memerlukan penyelesaian.[]

Kredit: Djaelani, M. Anwar, “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”, Pro-U Media, Yogyakarta, 2016

Meletakkan Visi pada Anak

Banyak tokoh telah berlalu. Mereka meninggalkan karya dan catatan dalam sejarah yang dapat kita buka lembarannya setiap saat.

Dr. Muhammad Iqbal salah satunya. Ia pemikir besar Muslim yang sangat berpengaruh. Gagasan-gagasannya banyak dikaji orang hingga hari ini.

Apa yang menarik dari Dr. Muhammad Iqbal buat kita para orangtua? Visi ayahnya. Jika ibu bertugas menyayangi, melimpahi perhatian yang tulus, mengasuhnya dengan penuh kelembutan, serta memberi rasa aman sejak hari pertama kelahiran; maka kita melihat bahwa para ayah dari orang-orang besar meletakkan visi yang kuat pada diri anak-anaknya. Inilah yang kita dapati pada diri Luqman Al-Hakim, tukang kayu yang menggenggam hikmah dari Alloh ‘Azza wa Jalla mengabadikan dalam al-Qur`an. Begitu pula pada diri Nabi kekasih Alloh Ta’ala, Ibrohim ‘alaihissalam, bapak para Nabi. Dari seorang ayah yang memiliki visi Ilahiyah sangat kuat ini, lahir para nabi pembimbing umat. Tidak terkecuali Nabi Muhammad Shollallohu’alaihi wa sallam (SAW).

Kenabian memang bukan soal visi orangtua. Ia merupakan hak mutlak Alloh SWT untuk memberikan kepada orang yang dipilih-Nya. Kenabian juga telah berakhir. Sesudah Muhammad SAW, tak ada lagi Nabi dan Rosul yang akan dibangkitkan di tengah-tengah umat ini.

Tetapi…
Ada yang bisa kita petik dari ayah Dr. Muhammad Iqbal. Kepada Iqbal kecil, ayahnya memberi nasihat, “Bacalah al-Qur`an seakan-akan ia diturunkan untukmu.”

Tentu ada banyak nasihat yang pernah diberikan ayahnya. Tetapi nasihat inilah yang membekas di dada Iqbal kecil sehingga memengaruhi perkembangan jiwanya.

Tentang nasihat ayahnya ini, ia memberi kesaksian:

“Setelah itu,” kata Dr. Muhammad Iqbal menuturkan, “Al-Qur’an terasa berbicara langsung kepadaku!”

Inilah nasihat yang sangat visioner. Ia mengingatkan hal-hal pokok yang apabila itu hidup dalam dirinya, maka seluruh pikiran dan tindakannya akan terwarnai. Hal yang sama berlaku untuk motivasi, dorongan belajar, nasihat tentang perilaku, dan seterusnya. Ada nasihat yang hanya memiliki kekuatan satu-dua jam, ada nasihat yang memiliki kekuatan satu-dua minggu dan ada juga nasihat yang memiliki kekuatan hingga masa yang sangat panjang.

Kemampuan memberi nasihat yang paling tepat untuk menggerakkan kebaikan dalam diri anak, kerapkali bukan lahir dari kecerdasan orangtua. Betapa banyak anak-anak yang memiliki orangtua doktor sekaligus dokter, tetapi kualitas pengasuhan dan pendidikan keluarga yang ia terima hanya setingkat dengan mereka yang tidak mampu menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres yang paling buruk. Kenapa?

Salah satunya karena orangtua tidak punya visi dalam mengasuh dan mendidik. Sebab lain yang kerap saya temui, mereka –para orangtua—menempuh pendidikan tinggi memang bukan untuk menyiapkan anak-anak masa depan. Kembali ke rumah setelah menempuh jenjang pendidikan yang sangat tinggi merupakan mimpi yang buruk. Mereka memilih menyerahkan anak-anaknya kepada orang yang sebenarnya tidak diciptakan untuk mendidik anak. Mereka mungkin bagus dalam mendidik anak-anaknya, tetapi bukan anak kita.

Contoh sederhana. Tugas orangtua mendidik anak, sedangkan tugas nenek memanjakan cucu. Tidak ada masalah yang perlu dirisaukan seandainya masing-masing menjalankan perannya dengan baik. Nenek secara alamiah akan cenderung memanjakan cucu. Tanpa disuruh, mereka akan melakukannya. Sebagian orangtua bahkan merasa kebingungan bagaimana menghadapi nenek yang begitu memanjakan cucu. Alih-alih risau terhadap kelangsungan pendidikan anak, kita menuding nenek anak-anak kita sebagai penyebab kekacauan. Padahal, akar masalahnya terletak pada rendahnya komitmen kita menjalankan tugas sebagai orangtua. Atau, boleh jadi kita memiliki komitmen yang sangat kuat, tetapi tidak memiliki visi yang jelas.

Apa yang Anda inginkan terhadap anak Anda?

“Saya ingin punya anak yang saleh.” Saleh yang seperti apa? Coba rumuskan.

“Saya ingin punya anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.” Wah, ini persis seperti petuah pada penataran P-4. Singkat, padat, dan tidak jelas. Apakah yang Anda maksud berguna bagi nusa, bangsa, dan agama itu berarti tukang sapu jalan yang rajin sholat lima waktu? Negara ini butuh tukang sapu, meski negara ini juga membutuhkan negarawan yang baik, memiliki keteladanan yang tinggi dan kerendah-hatian untuk mendengarkan suara rakyatnya langsung dari lisan mereka.

Lalu, Kenapa Visi?

Jika saya boleh menyepakati pengertian visi sebagai an ideal standard of excellence (standar ideal keunggulan), maka visi yang kuat akan membangkitkan sense of purpose and direction. Kepekaan terhadap tujuan dan arah. Visi membentuk gambaran mental (mental image) pada diri kita sehingga memengaruhi perasaan, pikiran, sikap, dan tindakan kita. Semakin kuat visi kita, semakin peka kita membawa kepada tujuan. Sebaliknya, kita juga semakin cepat menangkap apa yang menjauhkan dari tercapainya standar ideal kesempurnaan dan kehebatan.

Tetapi harap diingat, lamunan yang tak diikuti dengan upaya yang keras, gambaran yang jelas dan tujuan yang kuat, bukanlah visi. Ia adalah angan-angan kosong. Tak bernilai. Wallohu a’lam bishowab.

Bukan Fasilitas dan Keterampilan
Kisah Dr. Muhammad Iqbal hanyalah sekadar contoh bagaimana visi orangtua memengaruhi pribadi seorang anak. Ada yang bisa kita petik di sini. Bukan tentang pemikiran Dr. Muhammad Iqbal, tetapi tentang bagaimana orangtua mempersiapkan anaknya. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa ada yang lebih berharga daripada sekadar kecerdasan. Keyakinan, sikap hidup, cara berpikir, dan prinsip hidup merupakan bekal yang jauh lebih berharga daripada prestasi-prestasi akademik. Tanpa keyakinan yang kuat, orang yang paling cerdas bisa terombang-ambing hidupnya. Tanpa keimananan yang bersih, orang yang paling sukses kariernya bisa mengalami kehampaan ruhani.

Pertanyaannya, apakah yang sudah kita tanamkan pada anak-anak kita? Belajar dari para orangtua sukses di masa lalu, umumnya yang paling menonjol bukan pada banyaknya fasilitas yang mereka berikan kepada anak-anak. Juga bukan pada banyaknya keterampilan yang dilatihkan sehingga mereka cakap bekerja. Tetapi warisan yang paling berharga bagi anak-anak itu adalah visi hidup, keyakinan yang kuat, keimanan yang kokoh, sikap hidup yang baik, dan kesediaan untuk memperjuangkan keyakinan. Inilah yang sepertinya justru kurang pada anak-anak di masa ini. Atau jangan-jangan kita sendiri sebagai orangtua belum memiliki kualitas yang seharusnya kita tanamkan pada anak-anak kita, sehingga –sebenarnya— kita belum layak menjadi orangtua.

Astaghfirullohaladzim. Alangkah besar harapan… dan alangkah sedikit bekal yang sudah tersedia.

Semoga Alloh Ta’ala mengampuni kita semua. Semoga Alloh Ta’ala membaguskan amal-amal kita. Semoga pula Alloh Ta’ala membaguskan anak-anak kita dan memasukkan mereka ke dalam barisan para penolong agama-Nya. Allohumma aamiin.

Mohammad Fauzil Adhim