Rabu, 27 April 2016

Satu Senyum Saja

Apa yang kita lihat dari seorang penceramah yang penuh semangat, komedian yang jenaka atau motivator yang memukau? Mungkin sebagian kita menganggap bahwa mereka tak punya masalah, tidak memiliki beban hidup atau belum merasakan pahit getirnya problema. 

Bisa jadi sangkaan kita benar, karena saat ini banyak orator panggung yang dikagumi karena lihai beretorika. Tapi sangat mungkin juga sangkaan kita salah. Mereka pun penuh masalah, bebannya berat dan kondisinya rapuh. Tapi mereka masih terus berkarya menyebarkan energi positif, baik melalui lisan dan tulisan. Mereka menyimpan rapat-rapat masalahnya dan tidak mengumbarnya di ruang publik. Apa kira-kira hal yang melatarbelakanginya?

Pertama, Menjaga Aura Positif
Semakin ke atas cobaan semakin besar, masalah semakin kompleks, dan beban semakin berat. Itu sudah hukum alam. Karena itulah, para nabi adalah golongan orang yang paling berat cobaannya bila dibanding golongan manusia lain.

Mereka sungguh mengeluh atau bahkan menangis dalam munajatnya, namun senantiasa tegar dihadapan manusia. Karena ingin menjaga aura positif untuk terus bergerak dan berkarya bagi para pengikutnya, para shahabatnya serta rekan-rekan seperjuangannya. Karena wajah ceria dan bersemangat dari seorang pemimpin bisa memberikan suntikan psikologis dan dorongan moral bagi para pengikutnya.

Maka tidak mengherankan apabila Rosululloh begitu bersemangat untuk memotivasi para shahabat di medan Badar dengan surga dan kemenangan dari Alloh. Meski sebelumnya beliau berdoa dengan mengiba dan setengah mendesak kepada Alloh, dengan tangan diangkat tinggi hingga terlihat ketiaknya, dengan mata bercucuran mengadukan kelemahan diri. Segala kekurangan diadukan hanya kepada Alloh, sedang dihadapan manusia terus menerus mengobarkan ikhtiar tiada akhir.

Kedua, Menggentarkan Musuh
Siapapun kita, pasti memiliki pesaing atau bahkan musuh. Baik kita sebagai pebisnis, kontraktor, politisi atau bahkan ustadz sekalipun. Menampakkan kelemahan dan kekurangan dihadapan khalayak hanya membuat musuh menjadi tertawa riang dan bergembira menepuk dada.

Meski jumlahnya sedikit dan senantiasa dalam tekanan, tapi Rosululloh tidak minder, tidak meminta belas kasih musuh. Beliau bahkan mengabarkan neraka hingga membuat Abu Jahal ketakutan. Beliau mengingatkan tentang hari kebangkitan hingga membuat Umayyah bin Kholaf terperanjat. Dan seterusnya.

Bisa jadi kita tengah dihimpit berbagai macam masalah, berbagai macam tagihan hutang, berbagai macam deadline dll. Tapi jangan pernah memperlihatkan wajah muram dan melempar syair nestapa di ruang publik. Karena jauh disana, akan ada orang yang gembira dengan kekalahan kita, akan ada orang yang berpesta pora melihat kita menangis tak berdaya.

Ketiga, Keteguhan Memegang Prinsip
Ujian kehidupan akan menimpa siapa saja, termasuk para motivator, penceramah, pemberi nasehat, pengobar semangat dll. Disinilah kualitas seseorang akan diuji tentang segala hal yang disampaikan kepada khalayak. Apakah hanya di bibir saja atau benar-benar cerminan dari sikap hidupnya.

Kehidupan salafus sholih sungguh memberikan cermin bening untuk kita berkaca. Imam Ahmad bin Hambal tidak mau mengeluh atas sakit yang dideritanya, karena beliau meriwayatkan hadits larangan mengeluh ketika sakit. Imam Malik bin Anas langsung bangun dari tempatnya duduk atau berbaring (seperti sikap siap siaga seorang prajurit) jika ada orang datang dan berkata “Qola nabiyyu” atau “Sami’tu lii Rosulillah” disebabkan karena penghargaannya yang sangat tinggi terhadap hadits nabi. Dan hal itu dilakukan, baik ketika ia sehat maupun sakit. Contoh lainnya masih banyak.

Api berguna untuk memisahkan emas dari kotoran. Maka ujian berguna untuk memisahkan siapa pejuang sejati dan siapa pengamen panggung. Ikutilah seruan dari mereka yang sudah teruji, yang tetap istiqomah di tengah banyak masalah.

Khotimah
Kita tidak sedang memanipulasi perasaan, tapi sekedar memposisikan respon sesuai dengan tempatnya. Jika masalah datang bertubi-tubi hingga kita tak sanggup bicara, jika tekanan datang terus-menerus hingga jari tak sanggup menulis, jangan pernah melakukan hal-hal bodoh yang berimbas pada pribadi dan orang lain. Berupayalah untuk tetap tersenyum. Karena hati yang lapang itu sudah menyelesaikan setengah masalah.

Eko Junianto, SE

Selasa, 26 April 2016

Menghargai "Insya Alloh"

Secara prinsip, segala sesuatu yang disandingkan dengan nama Alloh maka kedudukannya menjadi tinggi dan mulia. Seperti halnya Kalamulloh, Baitulloh bahkan hingga ‘Abdulloh. Terkecuali jika diberi tone negatif, seperti ‘Aduwulloh, Laknatulloh dll.

Diantara kalimat yang disandingkan dengan Alloh tapi kurang mendapatkan perhatian dan penghargaan yang semestinya adalah kalimat Insya Alloh. Kalimat itu begitu mudah terucap, namun seringkali malah membuat lawan bicaranya menjadi ragu. Terlebih dalam beberapa urusan spesifik, seperti janji untuk membayar hutang.

Padahal, nabi yang mulia dan orang sholih pernah mendapatkan pelajaran yang sangat mahal dengan kalimat Insya Alloh. Karena kalimat Insya Alloh berhubungan sangat kuat dengan irodah Alloh. Apa dan bagaimana pelajaran yang diterima oleh mereka?

Pertama, Kisah Nabi Sulaiman As
Suatu ketika, Nabi Sulaiman berujar, “Malam ini aku akan mendatangi 100 istriku. Dari mereka kelak akan lahir 100 mujahid yang berjuang dijalan-Nya.” Nabi Sulaiman lupa mengucapkan “Insya Alloh”. Apa yang terjadi?

Dari 100 istri yang didatanginya malam itu, hanya 1 saja yang bisa mengandung. Setelah anaknya lahir, ternyata hanya berwujud setengah manusia. Apakah anaknya terlahir cacat, cebol atau kerdil sehingga digambarkan sebagai setengah manusia? Wallohu a’lam.

Rosululloh saat menyampaikan kisah tersebut berkomentar, “Andai Nabi Sulaiman tidak lupa mengucapkan kalimat Insya Alloh, niscaya akan lahir 100 anak yang menjadi mujahid berjuang di jalan Alloh.”

Inilah kisah nabi Sulaiman yang memiliki 100 istri, dan beliau sanggup mendatangi semua istrinya sekaligus dalam waktu semalam. Dan beliau memiliki mimpi yang besar terhadap calon anak-anaknya kelak, yakni menjadi para mujahid. Namun semua tidak terkabul, hanya karena beliau lupa mengucapkan Insya Alloh. 

Kedua, Kisah Nabi Muhammad SAW
Merasa tidak memiliki ilmu untuk berdiskusi dengan Muhammad, kaum Quroisy mengirim utusan ke Madinah. Untuk bertanya kepada ahli kitab (Yahudi) tentang urusan yang dibawa oleh Muhammad. 

“Tanyakan 3 hal kepadanya. Jika bisa menjawabnya, berarti dia memang nabi. Jika tidak bisa, berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. Pertama, tentang orang yang berada didalam gua. Kedua, tentang orang yang melakukan perjalanan dari ujung timur hingga ujung barat. Ketiga, tentang ruh,” jelas pemuka agama Yahudi kepada utusan Quroisy.

Setelah ditanyakan tentang persoalan tersebut, Nabi Muhammad saw menjawab “Datanglah kesini besok.” Beliau menanti malaikat Jibril turun untuk membawa jawabannya, tapi lupa mengucapkan Insya Alloh. Apa yang terjadi?

Wahyu “terlambat turun”. Rosululloh sangat sedih tidak bisa menjawab soal ujian dari kaum Yahudi karena wahyu belum turun. Selama beberapa waktu, kaum Quroisy gembira ria karena merasa menang, bisa mematahkan klaim kenabian Muhammad. 

Padahal, pada kisah yang lain kita sering mendapati malaikat Jibril turun memberi tahu sebelum kejadian, atau sesaat setelah pertanyaan terlontar. Misalnya saat didatangi oleh ‘Abdulloh bin Salam, dia menanyakan 3 perkara yang hanya bisa dijawab oleh seorang nabi, yakni: (1) Tanda pertama terjadinya kiamat, (2) Apa hidangan pertama yang dinikmati oleh ahli surga, dan (3) Mengapa anak kadang mirip bapaknya, kadang mirip ibunya. 

Rosululloh tersenyum dan berkata, “Baru saja malaikat Jibril datang membawa jawaban atas pertanyaanmu.” Setelah jawaban disampaikan, ‘Abdulloh bin Salam pun masuk Islam.

Ketiga, Kisah Ibnu Taimiyah
Suatu saat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengusulkan strategi perang demi mengusir bangsa Tartar dari suatu wilayah. “Jika kita melakukan ini, maka kita akan menang,” ujarnya bersemangat.

Salah satu orang yang hadir dalam majelis itu menyela, “Wahai syaikh, ucapkanlah Insya Alloh.” Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah segera berujar, “Insya Alloh, dan ini adalah bentuk optimisme,” tegas. Apa yang terjadi?

Bi idznillah, Alloh memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.

Khotimah
Memahami agungnya sesuatu bisa dilihat dari peristiwa yang berkaitan dengannya. Kalimat Insya Alloh telah memberikan pelajaran berharga kepada nabi dan orang sholih. Maka sudah selayaknya kita memberikan penghargaan yang besar kepada kalimat Insya Alloh. Khususnya saat kita mengucapkannya, sebagai penguat janji kepada orang lain. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, SE

Senin, 25 April 2016

Obsesi 7 Abad dan Keterjajahan Kita

Obsesi tujuh abad itu bergemuruh di dada seorang Sultan muda, baru 21 tahun usianya.

Tak sebagaimana lazimnya, obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin membeningkan hati dan jiwanya. Dia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang layak menanggungnya. Dia tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak mengembannya.

Maka di sepertiga malam terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu dia tegak di atas mimbar, dan meminta semua pasukannya berdiri.

“Saudara-saudaraku di jalan Alloh,” ujarnya, “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya yang terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rosululloh saw telah menggerakkan para mujahid tangguh, tapi Alloh belum mengizinkan mereka memenuhinya. Kini kita harus memilih insan terbaik pula untuk memimpin semua."

"Aku katakan pada kalian sekarang, yang pernah meninggalkan sholat fardhu sejak balighnya, silakan duduk!”

Begitu sunyi. Tak seorang pun bergerak.

“Yang pernah meninggalkan puasa Romadhon, silakan duduk!”

Andai sebutir keringat jatuh ketika itu, pasti terdengar. Hening sekali, tak satupun bergerak.

“Yang pernah mengkhotamkan Al Quran melebihi sebulan, silakan duduk!”

Kali ini, beberapa orang perlahan menekuk kakinya. Berlutut berlinang air mata.

“Yang pernah meninggalkan puasa Ayyaamul Bidh, silakan duduk!”

Tinggal sedikit yang masih berdiri, dengan wajah yang sangat tegang, dada berdegup kencang, dan tubuh menggeletar bagai meriang.

“Yang pernah meninggalkan Qiyamullail, silakan duduk!”

Kali ini semua terduduk lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.

Muhammad Al Fatih, dan nanti dikukuhkan oleh putranya Bayazid II telah mengambil sebuah keputusan yang berdampak bagi sebuah jazirah berjarak ribuan mil dari takhtanya. Jazirah itu adalah Nusantara. Dan keputusan itu adalah menutup Bazaar Rempah-rempah di Konstantinopel yang telah menyandang nama baru, Istanbul.

Ini tentu karena Genoa dan Venesia. Dua negara kota Italia inilah penyokong utama Kaisar terakhir Byzantium, Konstantin XI Palaelogos. Genoa mengirimkan Giovanni Gustiniani, sang ahli pertahanan kota sementara Angkatan Laut Venesia sebelum pembangunan Rumeli Hisari dan Anadolu Hisari pernah menjadi kesulitan terbesar Muhammad Al Fatih.

Genoa pula, dan terutama Venesia adalah pembeli utama rempah-rempah dari dunia timur di Konstantinopel yang menjadikan mereka sebagai transito akbar tempat para tengkulak berbelanja rempah untuk dijual kembali hingga ke Eropa Barat. Jatuhnya Konstantinopel dan penutupan Bazaar Rempah telah mematikan perniagaan kedua kota itu.

Akibat lebih jauhnya adalah dimulainya penjelajahan samudera oleh bangsa-bangsa Eropa Barat untuk mencari negeri asal rempah-rempah. Nama-nama Bartholemeus Diaz, Vasco Da Gama, Alfonso D'Albuquerque, Christopher Columbus, hingga Ferdinand Magelhaens dan Juan Sebastian De'l Cano lalu menghiasi sejarah kita karena kepeloporan Spanyol dan Portugis. Lisabon menjadi pasar dunia, disusul kemudian Amsterdam.

Dan mimpi buruk Nusantara kita pun dimulai.

Jadi, selain menghadiahkan para da'i yang menjadi kunci Futuhat Nusantara seabad sebelumnya, Daulah Turki 'Utsmaniyah, meski secara tidak langsung, tanpa sengaja, dan bukan faktor tunggal; juga memberi kita para penjelajah samudera dari Barat yang kerakusannya melampaui tujuan awal mereka menemukan negeri rempah. Sejak D'Albuquerque mencaplok Malaka, lalu Pieter Both bersama Jan Pieterszon Coen menduduki Jayakarta, 350 tahun kita berdarah-darah dalam jihad melawan penjajah.

Bagaimanapun, 'Utsmani selalu ada dalam penghormatan dan harapan Nusantara seperti ditunjukkan Kesultanan Aceh Darussalam hingga Kesultanan Mataram. Maka kini setelah kita adil memandangnya dengan menyingkirkan puja yang terlalu, barangkali ini saatnya menguatkan hubungan Republik Indonesia-Republik Turki di berbagai bidang.

Turki sudah Mantan pemimpin peradaban Islam; jika ia bertugas menjadi Mentor, tak bersemangatkah kita untuk menjadi Calon?

@salimafillah

Minggu, 24 April 2016

It's My Life; Hari Buku Sedunia

Dalam membuat suatu karya literasi, setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing. Sebagian orang senang membuat paparan bersifat naratif. Lembar demi lembar disajikan dengan format cerita dan kisah, baik berbasis fakta maupun imajinatif. Membaca karya model ini seperti sedang nonton film atau sinetron. 

Sebagian orang senang membuat paparan argumentatif. Hujjah, dalil, dan fakta disajikan demi menguatkan atau mematahkan pendapat. Satu pertanyaan, peristiwa atau isu akan dibedah secara komprehensif dengan satu kesimpulan akhir. Membaca karya model ini seperti sedang menonton laporan investigatif atau film dokumenter.

Adalagi tipe berikutnya. Mereka tidak menjawab satu pertanyaan dengan jawaban spesifik, tidak mengulas satu peristiwa dengan paparan khusus. Tapi, dijawab dengan membuat kaidah, panduan dan pedoman. Ini tipe Imam Syafi’i saat menulis kitab Ar Risalah. 

Ini pula tipe Syaikh Yusuf Al Qordhowi saat menulis kitab Bagaimana berinteraksi dengan Al Qur’an, bagaimana berinteraksi dengan As Sunnah, Bagaimana berinteraksi dengan peninggalan ulama salaf dll. Ada peristiwa atau persoalan, maka dijawab dengan rumusan seperti Fikih Prioritas, Fikih Minoritas, Fikih Daulah, Fikih Jihad dll.

Bisa jadi, kita tidak cukup percaya diri saat melempar sebuah karya tulis. Boro-boro kita sampai level menjawab persoalan dengan merumuskan kaidah, bahkan untuk sekedar membuat narasi kisah pun masih canggung. Dengan kondisi demikian, apakah karya kita menjadi tidak berarti? Sama sekali tidak.

Tidak semua orang senang membaca karya yang rumit, komprehensif, dan konseptual. Sebagian besar orang justru lebih suka dengan karya ringan, pendek tapi bermakna. Cerita model Chicken Soup jauh lebih mudah dicerna oleh kalangan ‘ammah yang jumlahnya sangat besar. 

Khotimah
Apa perkara yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga? Ternyata bukan haji atau jihad yang merupakan amal-amal puncak dengan janji balasan surga. Umat Islam yang berhaji atau berjihad jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang yang tidak berhaji dan tidak berjihad. Rosululloh menjawab “Taqwalloh wa Husnul Khuluq”.

Apapun model literasi yang kita miliki, orientasikan mata pena kita agar para pembaca menjadi orang yang bertaqwa kepada Alloh dan memiliki akhlak yang baik. Inilah diantara tujuan paling asasi dakwah bil qolam, inilah jatidiri perjuangan kita. Selamat berkarya.

Eko Junianto, SE

Sabtu, 23 April 2016

Orang-orang Terluka

Gambar: Bangsal Kepatihan Danurejan Yogyakarta dan adegan Pangeran Diponegoro memukulkan selop ke wajah Danurejo IV dalam Babad Kedung Kebo.

Namanya Mas Tumenggung Sumodipuro, bupati Kasultanan Yogyakarta untuk wilayah Japan, Mojokerto sekarang.

Selama menjabat, kecakapannya memerintah membuat wilayahnya adalah yang termakmur di Mancanegara Timur. Ini yang membuat Bendara Pangeran Haryo Diponegoro mempromosikan Sang Bupati pada ayahnya untuk menduduki jabatan Patih, menggantikan Raden Adipati Danurejo III yang telah uzur.

Sultan Hamengkubuwono III yang selama memerintah memang selalu amat memerhatikan saran-saran putra sulungnya, merasa heran dengan pilihan sang pangeran. Menurutnya, Sumodipuro masih terlalu muda, berasal dari kalangan rakyat biasa, dan logat Jawa Wetan-annya yang dianggap kasar sering jadi cibiran para pejabat lain. Tapi Diponegoro meyakinkan ayahnya. Dan Sumodipuro pun dilantik menjadi Pepatih Dalem Danurejo IV pada 2 Desember 1813. Jabatan ini akan didudukinya hingga 34 tahun kemudian, 1847.

Dengan latar belakang yang lemah di hadapan para pejabat lain, pada awal bertugas, Danurejo IV hanya dapat memegang kendali pemerintahan dengan dukungan penuh Diponegoro. Berkat pasang badannya sang Pangeran atas segala kebijakannya, Danurejo IV melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang.

Tapi Danurejo IV menyembunyikan sesuatu di hatinya. Dan itu adalah sebuah luka. Luka karena hidup dalam bayang-bayang.

Dia merasa bahwa seakan-akan seluruh dunia berkata padanya, “Kamu bukan apa-apa seandainya bukan karena Pangeran Diponegoro.” Dia merasa bahwa semua mata menatapnya dengan pandangan meremehkan. Ketika dia bicara, seakan para bawahannya saling lirik dengan bibir dimencongkan, pula semua mulut kasak-kusuk menggunjingnya di belakang.

Anehnya, segala budi baik Diponegoro padanya justru bagaikan taburan gula yang makin membusukkan luka di hatinya. Terobsesi untuk membuktikan bahwa dirinya bisa, dirinya mampu, dan dirinya hebat tanpa Sang Pangeran membuat sang pejabat yang terjangkit sindrom ‘kere munggah bale’ ini kian gelap mata. Ketika Hamengkubuwono III mangkat dan digantikan Raden Mas Ibnu Jarot yang masih kanak-kanak sebagai Hamengkubuwono IV pada 1816, sang Patih mulai menunjukkan kedurjanaannya.

Dia mulai mengganti pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan merumuskan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Ini semua bersebab di luar Pangeran Diponegoro yang mulai lebih banyak berdiam di Tegalrejo, sosok-sosok kuat lain yang dia dapati mampu menjadi patron pelindungnya hanyalah Pemerintah Kolonial Belanda. Orang-orang asing yang amat berkepentingan terhadap Keraton ini menggunakannya sebagai alat bagi segala keuntungan mereka.

Maka naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang rusak. Dia disebut “setan kulambi manungso”, syaithon berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, merampok rakyat sembari duduk manis. Sebaliknya, Jenderal Herbert Merkus de Kock, musuh Diponegoro dalam perang Jawa mencatat sang Patih dalam memoarnya sebagai, “Seorang Jawa yang baik, berbusana rapi, suka mengendarai kuda dengan gagah, punya gundik-gundik cantik, dan tak bisa lepas dari pipa madat.”

Untuk memuaskan hatinya yang luka, Danurejo IV rela menjual jiwanya untuk menjadi antek asing.

Antiklimaks hubungannya dengan Sang Pangeran terjadilah. Dalam sebuah penghadapan di awal masa bertakhtanya Sultan bayi Hamengkubuwono V, 1822, menanggapi berbagai laporan atas kesewenang-wenangan anak buah Danurejo IV, Diponegoro selaku Wali Sultan menginterogasinya di paseban, dan sang Patih terus mengelak dengan berbagai dalih. Tak mampu menahan emosi, Pangeran yang amat disegani itu menarik salah satu selop alas kakinya dan dengan langkah murka mendekati Danurejo IV yang duduk bersembah dan memukulkan selop itu ke kepala dan wajah sang patih.

Penghinaan yang direkam oleh Babad Kedung Kebo itu takkan pernah dilupakan oleh Danurejo IV sepanjang hidupnya.

Ketika dalam suatu pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan beraneka minuman keras, Danurejo IV hendak membalas penghinaan dengan sebuah gelas yang dia tahu Diponegoro takkan sudi meminum isinya. “Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab,” batinnya. Tapi Diponegoro melakukan hal yang kian menyalakan dendam Danurejo IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah di-kapyuk, tersiram wine yang dihempaskan Sang Pangeran.

Semenjak itu, seluruh hidup Danurejo IV akan didedikasikan untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta. Dan untuk itu, dia memperoleh mitra yang sama dungunya; Residen A.H. Smissaert. Orang yang telah menaikkannya ke jabatan administratif tertinggi di Keraton itu, dimusuhinya dengan sepenuh kedengkian.

Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, bahkan sejak zaman Rosululloh saw.

Aus dan Khozroj yang sepakat berdamai telah hendak mengangkatnya menjadi Raja Yatsrib. Mahkota dan singgasana telah disiapkan, harinya pun ditentukan. Tetapi Muhammad saw datang dari Makkah membuat orang-orang berpandangan bahwa, “Jika kita memiliki Nabi utusan Alloh, apa perlunya ada Raja?”

‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang batal jadi raja itu terluka. Luka yang bukannya dia sembuhkan dengan mengakui keutamaan Rosululloh saw yang dengan itu akan membuatnya menjadi tokoh Anshor paling terkemuka; tapi justru dijaganya luka itu agar kian bengkak, bernanah, dan busuk.

Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (QS. Al Munafiqun: 4)

Karena luka itu dijaganya tetap sebagai luka, maka tak beda apakah dipukul palu ataupun dijabat dengan sarung tangan beludru dia tetap merasa kesakitan. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh saw yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi saw dengan jerit kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan  bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

Di hadapan Rosululloh saw dia menunjukkan wajah paling manis, kata-kata paling lembut, dan dukungan bertabur puja-puji paling meyakinkan. Tapi di belakang, digalangnya kekuatan penentang paling keras, dikontaknya Yahudi maupun Quroisy, didirikannya Masjid Dhiror untuk pecah belah, ditiupkannya berbagai fitnah keji termasuk pada Ibunda ‘Aisyah, dan dibangkit-bangkitkannya permusuhan jahiliyah.

Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, pula di negeri kita. Mereka yang seperti ‘Abdulloh ibn Ubay dan Danurejo IV, demi luka hatinya rela menjual diri untuk kepentingan musuh bangsa, musuh agama.

@salimafillah

That's The Way It Is; Hari Buku Sedunia

Dunia literasi adalah dunia yang penuh warna dan punya banyak rasa. Mulai dari yang bertipe serius dan dewasa hingga yang bertipe mbeling dan urakan. Latar belakang, pengalaman, kepribadian, dan pendidikan seseorang sangat mempengaruhi karya yang dihasilkannya. Apapun itu, semua sah untuk disebut sebagai karya literasi.

Di atas kertas, kita boleh menulis apa saja, terserah kita. Namun saat dihadapkan pada ruang publik, kita harus memahami beberapa poin penting dalam dunia literasi. Diantaranya:

Pertama, Daya Resonansi
Sebuah karya kadang memiliki daya resonansi yang tinggi di ruang publik. Isinya banyak dibicarakan dan dikaji, lepas dari isinya benar atau salah. Bisa lahir karya lain yang senada, bisa pula muncul bantahannya. Bisa disebabkan karena pandai mengambil momentum, bisa karena nama besar yang disandangnya atau sebab lainnya.

Bantah membantah ide dan pemikiran sudah biasa terjadi, baik secara ilmiah maupun urakan. Sekali kita melempar ide dan gagasan di ruang publik, hal inilah yang akan kita hadapi. Mulai dari pertarungan gagasan dari Al Ghozali dengan Ibnu Rusyid di masa klasik hingga pertentangan teori relativitas dengan mekanika quantum di era modern.

Karena itu, sesuatu yang kita lempar harus memiliki sandaran ilmiah, bahkan untuk tipe karya sastra sekalipun. Jangan pula membuat propaganda berlebihan dan memonopoli kebenaran secara membabi buta, karena sesungguhnya di atas langit masih ada langit. Banyak diantara mereka yang baru akan muncul, sekedar untuk meluruskan hal yang keliru dan sama sekali bukan bermaksud untuk mencari panggung. 

Sebagaimana Alloh mengenalkan Khidhir kepada Musa, karena Nabi Musa berkata bahwa dirinya sebagai orang yang paling berilmu. Andai Nabi Musa tidak salah menjawab, mungkin seumur-umur beliau juga tidak akan dikenalkan dengan sosok misterius dari negeri antah berantah yang kapasitas ilmunya jauh berada di atas batas kolong langitnya.

Kedua, Like and Share
Fenomena populer dunia literasi zaman sekarang adalah like and share, khususnya yang dilempar di media sosial. Like and share bisa karena gagasannya bagus, bisa karena publisitasnya massif, bisa karena ingin memantik diskusi, bisa karena ingin membuat framing tertentu. Dan banyak lagi motif lainnya.

Like and share melalui facebook atau laman resmi masih bisa terdeteksi. Namun yang beredar melalui whatsapp cukup sulit terkontrol. Larut malam baru menulis sebuah status di kota kecil, tiba-tiba pagi hari muncul laporan bahwa tulisannya sudah beredar jauh hingga ke Medan, Bekasi, Samarinda dll.

Agar orisinalitas dari gagasan tetap terjaga, maka “sanad” menjadi penting. Mencantumkan nama maupun membuat media resmi (akun) sangat urgen, baik untuk mengkonfirmasi maupun mengkonfrontasi sebuah karya.

Bisa jadi beberapa penulis memiliki pandangan berbeda. Dia tidak suka menulis namanya saat membuat karya, karena sikapnya yang tawadhu dan agar pembaca lebih berkonsentrasi pada gagasan ketimbang kepada orang. Karena zaman sekarang, kebanyakan manusia hanya siap menerima gagasan dari tokoh dan kaumnya sendiri. 

Misalnya, jangan sebut nama Sayyid Quthb atau Yusuf Al Qordhowi dihadapan kaum salafi. Atau jangan sebut nama Syaikh bin Baaz atau Syaikh Nashirudin Al Albani dihadapan kaum nahdliyin. Karena ada daya tolak yang sangat besar, sehingga beberapa hal baik menjadi sulit diterima.

Karena itu, kita harus memahami situasi sosial dengan baik. Akhirnya, membuat karya literasi bukan sekedar memenuhi sejumlah persyaratan standar, tapi juga harus memperhatikan efek dan dampak potensial yang akan ditimbulkannya.

Khotimah
Pembuktian bagi seorang artis adalah membuat album, pembuktian bagi seorang penulis adalah karya tulis (buku, kitab, risalah). Zaman dahulu, situasinya mudah di mana kitab ditulis murni sebagai karya ilmiah. Zaman sekarang situasinya agak pelik, dimana faktor pasar menjadi pertimbangan penting dalam mem-publish sebuah karya.

Tidak usah berkecil hati, tetaplah berkarya. Ada masanya di mana karya seseorang akan dihargai, bahkan mungkin beberapa dekade setelah mereka wafat. Entah
dimana dan kapan, selalu ada orang yang mengambil manfaat dari buah karya kita.

Cukuplah like and share menjadi hiburan batin untuk kita, para penulis pinggiran. Baik yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi. Terlebih jika status kita di like and share oleh para malaikat di majelis langit, wa bil khusus oleh malaikat Roqib. Wallohu a’lam bi showab.

Eko Junianto, SE

Jumat, 22 April 2016

Dialog Imajiner Kartini dan Wanita PKS

Agak letih, tetapi Aisyah paksakan melangkahkan kaki memasuki museum Kartini di Rembang. Ia ingin segera menuntaskan Tesis S2-nya yang agak terbengkalai sejak pernikahannya enam bulan lalu. Kartini menjadi objek penelitiannya. Jelas kurang afdhol kalau penelitian itu hanya berbekal surat-surat Kartini yang ia dapat dari buku dan media online tanpa menghayati sendiri dari tempat Kartini hidup.

Hatinya berdesir kagum memandang ruang dalam museum itu. Terlihat seperangkat kursi dan meja model lama. Ia membayangkan Kartini duduk di kursi itu sembari memikirkan kondisi zamannya. Lama Aisyah menatap kursi dan meja itu dengan matanya yang sayu karena lelah. 

Tapi Aisyah semakin merasa lelah. Ia ingin keluar saja dari museum itu. Mungkin lain kali datang lagi, pikirnya. Acara Bakti Sosial PKS yang ia ikuti sejak pagi sebelum pergi ke museum telah menguras tenaganya.

Ia pejamkan matanya sesaat. Saat matanya terbuka, Aisyah terkejut tiba-tiba sesosok wanita mirip tokoh yang ia kagumi, Kartini, berada di depannya.

Kartini memandangnya dengan asing. Tampak oleh Kartini tulisan PKS di jilbab Aisyah, dan Kartini pun menggumamkan bacaan itu, “Pe Ka Es?” Kartini pun memandang kepada Aisyah.

Kartini: “Melihat penampilan kalian dengan jilbab dan pakaian yang tertutup seperti itu, saya teringat dengan kisah sedih yang saya alami sendiri pada usia 12.5 tahun. Ketika bapak memutuskan untuk memasukkan saya ke dalam pingitan. Padahal saya sudah berlutut di hadapannya memohon agar bisa melanjutkan sekolah ke sekolah ke HBS di Semarang.

Saya tidak bermaksud menggugat ekspresi keagamaan kalian, tetapi apakah kalian merasa terpasung dengan pakaian seperti itu?”

Aisyah: “Bunda Kartini yang terhormat, ini bukanlah pakaian yang memasung jiwa dan raga kami. Justru ini adalah pakaian yang melambangkan kemerdekaan. Merdeka dari pandangan kaum lelaki yang menilai kami hanya dari fisik atau menjadikan kami objek pandangan pemuas syahwatnya tanpa jalan yang halal. Kami terbebas dari perasaan terpingit untuk harus berpenampilan yang membuat mata lelaki senang.

Bunda, pakaian ini bukanlah penghalang kami untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Atau penghalang kami untuk berkarya berprestasi menyaingi kaum lelaki. Jangan salah, Bunda. Oh ya, tak lama sepeninggal Bunda, telah lahir seorang pejuang pendidikan wanita di Sumatera Barat yang bernama HR. Rasuna Said. Sebagai informasi untuk Bunda, ia pun berpenampilan sama seperti kami. Dengan pakaiannya yang tertutup berhijab rapi. Tapi sepak terjangnya menyaingi kaum lelaki seperti Haji Rasul, dll.”

Kartini: “Baguslah kalau begitu. Semoga cara berpakaian seperti itu memang benar-benar dari pengetahuan agama yang dalam. Saya baru mendapat pencerahan agama ketika beberapa tahun menjelang berakhirnya hidup saya di dunia. Kalau saya tidak hadir saat Kiai Sholeh Darat menerangkan tafsir Al-Fatihah di pengajian priyayi, saya mungkin akan selalu berada dalam kegelapan.

Tetapi, apakah agama harus mempengaruhi cara berbudaya. Saya pernah menyampaikan dalam surat saya kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902:

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”.

Lalu apakah dengan belajar agama maka harus ke-Arab-araban seperti pakaian yang Anda kenakan?”

Aisyah: “Bunda, saya berpakaian seperti ini bukan karena panggilan budaya. Tetapi karena perintah Alloh swt dalam Al Qur'an surat An-Nur ayat 31. Memang ada tuduhan dari kaum yang tidak mengerti yang menyangka kami ingin merusak budaya Indonesia dengan hijab yang kami kenakan. Sama sekali tidak. Ini adalah pakaian ketaatan kepada Alloh swt.

Kami pun tak bermasalah dengan budaya asli bangsa ini. Hijab yang kami kenakan bisa dipadukan dengan pakaian daerah. Kami masih bisa berkebaya memperingati hari lahir Bunda dengan pakaian ini. Di pesta pernikahan pun kami tetap mempertahankan hijab sembari memadukannya dengan pakaian daerah. Tak ada masalah dengan budaya, Bunda.”

Kartini: “Saya jadi iri dengan zaman kalian. Tepatlah apa yang saya tulis kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899.

“Teman-teman saya di sini mengatakan agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami bangun nanti, kami baru akan tiba pada zaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia) pada saat itu sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang selalu kami inginkan.”

Di zaman kalian wanita bisa menikmati pendidikan. Bahkan Al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam bahasa kita, dan wanita bisa mendapatkan pendidikan agama setara dengan laki-laki. Saya membayangkan, pasti tidak ada lagi pingitan kepada wanita.”

Aisyah: “Pingitan seperti yang Bunda alami mungkin tidak ada lagi saat ini. Tetapi pingitan modern masih ada. Bahkan kaum wanita saat ini berlomba memasuki pingitan itu.”

Kartini: “Pingitan modern? Seperti apa itu?”

Aisyah: “Seperti yang sudah saya katakan tadi, wanita zaman ini membiarkan dirinya terkungkung dalam penilaian fisik oleh kaum laki-laki. Mereka berpakaian untuk memikat lelaki. Bahkan perusahaan-perusahaan mempekerjakan wanita dan mempersolek mereka sedemikian rupa agar bisa memikat kaum lelaki.

Di televisi, iklan-iklan produk berlomba menghadirkan wanita yang cantik dan berpenampilan yang membuat syahwat lelaki bangkit. Begitu juga dalam sinetron. Di zaman ini tampil penyanyi-penyanyi wanita yang menjual goyangan dan penampilan yang lagi-lagi membangkitkan syahwat kaum lelaki.

Masih, Bunda... pingitan itu masih. Sebagian wanita tak berani keluar dari pingitan pandangan lelaki, karena bagi mereka mata lelaki itu segalanya.”

Kartini: “Bagaimana mungkin? Bukankah mereka adalah seorang ibu? Dalam sebuah nota yang saya buat pada tahun 1903 yang tersebar dalam surat kabar, saya telah menulis tentang peranan ibu sebagai pendidik. 

“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.

Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”

Lalu dengan cara apa mereka mendidik anaknya kalau mereka bersikap seperti itu? Atau apakah mereka dididik oleh ibunya dengan cara seperti itu? Jelaskan pada saya, bagaimana pendidikan anak di zaman kalian!”

Aisyah: “Bunda, wanita di zaman kami begitu modernnya hingga mampu bersaing dengan lelaki. Termasuk dalam karir. Akhirnya, tak sedikit anak yang jarang mendapat sentuhan ibunya. Di rumah, anak lebih banyak bergaul dengan pengasuhnya. 

Kalau bunda mendambakan pendidikan tinggi untuk wanita agar bisa digunakannya untuk mendidik anak, di zaman ini wanita berpendidikan tinggi agar bisa bekerja untuk membesarkan sistem kapitalis. Sementara untuk anak mereka, didatangkan pengasuh yang tingkat pendidikannya jauh dari sang ibu. Miris memang.

Kami wanita PKS sadar tentang hal ini. Dalam pengajian agama yang kami ikuti sepekan sekali, selalu ditekankan tanggung jawab kami sebagai seorang ibu yang berkewajiban membangun generasi yang baik untuk agama dan bangsa. Saat kami di rumah, kami selalu pastikan bahwa akhlak dan pemahaman agama anak terpelihara dengan baik. Akan kami upayakan apapun caranya agar moral anak terjaga dalam arahan Islam.

Jujur saja, kalau tidak mengenal partai ini, mungkin saya seperti wanita lain yang merasa cukup menitipkan anak pada pendidikan formal, lalu menuntut anak agar berprestasi. Partai ini lah tempat kami belajar bagaimana menjadi ibu yang baik.”

Kartini: “Apakah hanya di partai kalian pendidikan agama diberikan?”

Aisyah: “Saya tidak mengatakan itu. Di zaman saya ada banyak ormas Islam dan beberapa partai Islam. Semua melakukan pembinaan agama kepada anggotanya. Hanya saja takdir menuntun saya ke partai ini, tempat di mana kepribadian Islam saya dibina, dan saya dituntut untuk mentransmisi hidayah yang saya dapat kepada generasi saya.”

Kartini: “Pengajian sepekan sekali itu seperti apa? Apakah kalian berdiskusi tentang Islam?”

Aisyah: “Tepat, Bunda. Saya tahu benar kegusaran Bunda saat belum bertemu Kiai Sholeh Darat. Bunda bercerita kepada Nyonya Stella,
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?

Hingga akhirnya setelah tafsir Al Fatihah yang Bunda dapat dari Kiai Sholeh Darat itu hati Bunda mendapat pencerahan tentang Islam. Apa yang Bunda alami Alhamdulillah tidak kami alami. Kami leluasa mempelajari Islam. Bahkan sebagian orang menuduh kami teroris, fundamentalis, radikal, kolot, dan berbagai tuduhan lainnya karena kuatnya interaksi kami dengan agama.”

Kartini: “Saya gembira mendengar cerita Anda. Benar, apa yang saya impikan memang telah terwujud. Tetapi saya sedih dengan sebagian fenomena lain di zaman kalian, tentang wanita yang terpasung oleh penilaian lelaki, tentang wanita yang ilmunya tak digunakan untuk pendidikan anak.

Bolehkah saya menitipkan wanita seperti itu pada kalian, agar kalian berusaha lebih keras lagi mengembalikan wanita pada fitrahnya?”

Aisyah: “Insya Alloh, Bunda.”

Tiba-tiba Aisyah mendengar suara memanggilnya lembut.

“Aisyah, bangun sayang!”

Aisyah terjaga. Ia dapati dirinya tengah berada di atas sebuah ranjang. 

“Aisyah…” Sebuah suara lagi.

Rupanya itu suara suaminya.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar. Kamu tadi jatuh di museum. Kamu sih, memaksakan diri ke Museum Kartini. Sudah dibilang besok saja. Untung masih sempat abang tahan tubuh kamu.”

“Aku di mana, bang?” tanya Aisyah

“Kita di klinik, sayang.”

Mata Aisyah menerawang ke langit-langit. Sosok Kartini tadi serasa nyata di hadapannya.

Penulis: Zico Alviandri (Relawan Literasi)

Membangun Budaya Literasi; Hari Buku Sedunia

Jika kita menelaah kehidupan para ulama, mereka sangat produktif dalam menulis kitab. Tebal berjilid-jilid dengan kandungan isi yang berat. Kala itu, mereka melakukannya murni berbasis ilmu, tidak ada unsur bisnis. Kadang ditulis sendiri, kadang dituliskan oleh santrinya.

Sebagian dari mereka ada yang selalu membawa pena, meskipun tengah mengiring jenazah ke kubur sekalipun. Khawatir saat tengah ada dikuburan, tiba-tiba muncul ide. Jika tidak segera ditulis, bisa jadi idenya hilang atau lupa. Mengapa mereka begitu bersemangat untuk menulis? Ada beberapa penjelasan, diantaranya:

Pertama, Mengikat Ilmu
Segala sesuatu perlu diikat agar tidak hilang. Unta diikat dengan tali, nikmat diikat dengan syukur, dan ilmu diikat dengan pena. Diantara penyesalan terbesar dari Ibnul Jauzi adalah berbagai macam ide yang hilang di masa lalu karena tidak segera dituliskan, akibat berbagai kesibukannya. Ibnul Jauzi sendiri adalah seorang ulama besar yang memiliki banyak karya monumental, diantaranya Talbis Iblis dan Shoidul Khothir. Sedikit tambahan, Ibnul Jauzi itu berbeda dengan Ibnul Qoyyim Al Jauziyah.

Ide itu bisa datang kapan saja dan dimana saja. Baik di waktu luang maupun di waktu sibuk. Jika sebagian pihak yang langsung menulis, ada pula yang diendapkan terlebih dahulu untuk ditulis di waktu senggang. Maka jangan dianggap bahwa mereka yang banyak menulis adalah para pengangguran dan punya banyak waktu luang. Sama persis dengan sangkaan liar bahwa mereka yang bisa banyak tilawah karena tidak punya beban kesibukan.

Kedua, MLM Pahala
Ilmu yang bermanfaat termasuk perkara yang pahalanya akan terus mengalir hingga kiamat. Ilmu diwariskan dengan dua cara, yakni talaqqi dan ditulis dalam kitab. Siapa saja yang mengkaji shohih Bukhori, maka Bukhori akan dapat pahala. Demikian pula dengan para ulama dan guru-guru yang menjadi mata rantai sanad ilmunya. Siapa saja belajar Hadits Arba’in, maka Imam Nawawi akan mendapatkan pahala. Siapa yang mengkaji Fiqhus Siroh, maka Syaikh Romadhon Al Buthi akan mendapatkan pahala. Demikian seterusnya.

Maka bersemangatlah untuk menghadirkan banyak pahala lewat tulisan dan karya lainnya. Mari berkomitmen untuk menyajikan ilmu yang bermanfaat, agar kumbang-kumbang berdatangan, melakukan penyerbukan dan bisa menghasilkan madu. Jangan sampai kita memproduksi kotoran (cacian, fitnah dll) dalam tulisan kita, sehingga lalat-lalat mendekat bersuka ria, menyebarkan kotoran dan menularkan bibit penyakit. Pilihlah MLM pahala, bukan MLM dosa.

Ketiga, Menjaga Agama
Para ulama menjalankan peranan yang sama dengan para mujahid, yakni sama-sama menjaga agama. Kadang ada ulama sekaligus mujahid sebagaimana 'Abdulloh ibnu Al Mubarok, kadang ulama saja sebagaimana Imam Malik. Bahkan ada juga ungkapan masyhur, yakni “Tintanya ulama lebih wangi ketimbang darahnya syuhada”.

Adanya kitab bisa menjadi sarana untuk menjaga agama, meski kedudukannya hanya sebagai sarana penunjang. Dengan wasilah kitab, pemahaman bisa ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Dengan wasilah kitab, ilmu bisa disebarluaskan hingga pelosok negeri. Maka menulis kitab menjadi sarana pelengkap untuk menjaga agama selain mengajarkan langsung kepada para santrinya.

Khotimah
Sewaktu berada di penjara, petaka paling berat yang dirasakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan siksaan dan intimidasi, tapi saat sipir penjara mengambil semua alat tulisnya dan kitab-kitabnya. Sehingga beliau tidak bisa lagi menulis hingga ajal menjemputnya. 

Saat ini, kita begitu lekat dengan handphone dan tablet. Betapa sayang jika hanya digunakan untuk berjualan, narsis atau malah menebar fitnah dan kebencian. Mari kita gunakan segala sarana yang ada untuk membangun kembali budaya literasi yang unggul dan ilmiah sebagaimana dahulu terjadi pada para ulama. Wallohu a’lam bi showab.

Eko Junianto, SE

Kamis, 21 April 2016

Why Always Me; Wacana Kritis Hari Kartini

Diantara berbagai macam hari besar yang diperingati oleh bangsa Indonesia, mungkin hari Kartini yang agak problematis dan mengundang kontroversi. Pasalnya memang ada beberapa catatan kritis yang perlu diklarifikasi. Diantaranya:

Pertama, Sangat Personal
Mari kita buka hari-hari besar nasional, maka akan didapati bahwa ada peristiwa besar yang melatarbelakanginya atau ada pencanangan ide dan gerakan moral tertentu. Misalnya, hari Proklamasi kemerdekaan, hari Kesaktian Pancasila, hari Sumpah Pemuda, hari Pendidikan Nasional, hari Anak Nasional, hari Buruh, hari Bumi, hari Air, hari Ibu dll.

Pada kasus kita memperingati hari lahir seseorang, biasanya karena memiliki nilai spiritualitas tertentu, seperti hari Natal (Kristen), Maulid Nabi (Islam), hari Trisuci Waisak (umat Buddha). Di titik ini, kita jadi bingung menempatkan konteks Hari Kartini, karena memang sangat personal. Tidak ada pahlawan bangsa yang diperingati harinya secara personal sebagaimana Kartini. Mengapa tidak sekalian Bung Karno diperingati hari kelahirannya? Bukankah kiprah dan jasanya lebih besar daripada Kartini?

Kedua, Kejelasan Konteks
Karena diperingati secara personal, maka lain kepala lain tafsiran. Arus utama menjadikan hari Kartini sebagai gerakan emansipasi wanita, ada pula yang menjadikannya sebagai tonggak pencerahan spiritual. Malah ada pula yang menjadikan sosok Kartini sebagai legitimasi berpoligami. Runyam urusannya kan?

Andai sosok Kartini mau dipertahankan sebagai pahlawan bangsa sebagaimana ketetapan Presiden Soekarno, maka narasi tentang perjuangan Kartini perlu diperjelas dan disepakati bersama. Karena manusia memiliki fase-fase tertentu yang berbeda karakteristiknya. Di titik mana Kartini berubah, dari gadis yang dipingit menjadi sosok pahlawan. Jangan sampai kita memperingati hari lahir seseorang pada titik sisi gelapnya, bukan setelah terjadinya pencerahan.

Jika persoalan ini tidak diselesaikan, maka kontroversi selalu mengiringi peringatan Hari Kartini. Jangankan tentang cara kita menempatkannya sebagai pahlawan dan bagaimana mengikuti jejaknya, bahkan pada tataran citra visual saja masih menyisakan perdebatan. Misalnya antara gambar yang tidak berjilbab dengan yang berjilbab. Kita tidak mau lagi mengulang perdebatan sebagaimana sosok KH. Hasyim Asy’ari yang digambarkan tidak berjenggot pada peringatan hari santri tahun lalu.

Ketiga, Pengusung Narasi
Biasanya, gelar pahlawan diberikan oleh rakyat sebagai bentuk pengakuan atas perjuangan dan pengorbanannya. Juga tidak semua yang berjuang bisa beruntung dengan diberi gelar pahlawan oleh bangsanya. Kartini memang ditetapkan sebagai pahlawan oleh Presiden Soekarno, namun pengusung utamanya adalah orang-orang Belanda, teman korespondensinya yang mempopulerkan nama Kartini. Sedangkan saat itu, Belanda menjajah Indonesia.

Secara naluri, jika ada sosok yang yang dijadikan pahlawan oleh bangsa penjajah, biasanya sarat dengan kepentingan terselubung. Mulai dari pembiasan sejarah, pembelokan fakta hingga alat dan boneka yang digunakan untuk tujuan tertentu. Karena itu diperlukan proses verifikasi sejarah secara cermat dan komprehensif agar sosok Kartini yang genuine bisa ditampilkan, berdasarkan kacamata bangsa Indonesia, bukan kacamatanya pihak luar.

Khotimah
Diantara hal radikal yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah nama hari Kartini menjadi nama hari kebangkitan atau pemberdayaan perempuan. Atau nama lain yang semisal. Dengan ini kita mengubah perayaan personal menjadi bentuk lain yang lebih komunal. Mengubah kultus individu menjadi pergerakan perempuan berskala nasional. Toh pada hari Kartini, banyak juga sosok pejuang perempuan lain yang ikut dimunculkan.

Kita sama sekali tidak menafikkan luhurnya cita-cita RA Kartini dan perempuan lain di zamannya, namun kita juga tidak boleh menutup mata atas perjuangan perempuan lain yang dengan gagah berani mengangkat senjata. Mereka juga layak mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Wallohu a’lam bi showab.

Eko Junianto, SE

Citarasa Partai Dakwah; Refleksi Milad PKS 18

Sebuah klaim bahkan menuntut adanya pembuktian, baik bagi mereka yang percaya terlebih bagi yang menentang, baik yang disengaja maupun insidental. Hal ini berlaku umum, shohih fii kulli makaan, wafii kulli zamaan.

Ambil contoh, klaim Al Qur’an. Saat Al Qur’an menjelaskan bahwa tidak ada manusia dan jin yang mampu membuat semisal dengan Al Qur’an, maka para penyair Quroisy berupaya mematahkan klaim tersebut. Termasuk beberapa nabi palsu juga membuat. Bait syairnya jadi, tapi kualitasnya jauh berbeda. Akhirnya mereka menyadari kebenaran klaim Al Qur’an tersebut.

Contoh lain, kisah Islamnya Salman Al Farisi. Saat Rosululloh saw tiba di Madinah, Salman Al Farisi tidak langsung beriman. Dia ingin membuktikan sifat-sifat rosul sesuai dengan ilmu yang dimilikinya, yakni sifat rosul menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Setelah ia menyaksikan sendiri perbedaan Rosululloh dalam memperlakukan hadiah dan sedekah, barulah dia yakin dan menyatakan diri masuk Islam.

Sejak awal dideklarasikan, PKS (sebelumnya PK) mentahbiskan diri sebagai partai dakwah. Isinya para aktivis dakwah, misinya berdakwah dijalur parlemen dan kebijakan umumnya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam perjalanannya, ada fase-fase pergerakan yang memiliki citarasa khas, diantaranya:

Pertama, Oposan
Elit partai, pengurus dan kader berada dalam suasana oposisi dengan penguasa. Semangat yang dibawa adalah suasana nabi Musa melawan Fir’aun, framing-nya hitam-putih dan cenderung heroik. Kita datang, berdiri tegak dihadapan penguasa, dan berteriak lantang untuk membela mereka yang tertindas dan menentang kebijakan negara yang memberatkan rakyat.

Proses advokasi dilakukan baik oleh anggota legislatif melalui sikap politiknya, para pemikir melalui tulisannya hingga para kader dan simpatisan melalui aksi demonstrasinya. Isunya khas, seperti menolak kenaikan harga BBM dan solidaritas Palestina. Harus diakui, inilah sifat genuine kader PKS yang setiap saat cenderung bersikap kritis terhadap fenomena sosial maupun kebijakan penguasa. 

Kedua, Partisipatif
Sebagian elit masuk ke lingkaran kekuasaan, khususnya lingkaran istana. Beberapa pos kementerian diambil sebagai sarana melakukan proses perbaikan dari dalam, berlatih mengelola negara hingga wujud penajaman konsep untuk membuktian jargon “Islam adalah solusi”.

Semangat yang dibawa adalah suasana Nabi Yusuf yang mampu menyelamatkan Mesir dari bencana (kemarau). Kebijakan, strategi, dan program diuji agar bisa memberi dampak positif bagi bangsa. Dalam scoop yang terbatas, PKS ingin mewujudkan swasembada beras, swasembada daging dll. 

Tidak mudah melakukan peran partisipatif dalam pemerintahan, karena banyaknya kepentingan yang bertabrakan serta fatsoen politik yang kadang membelenggu. Julukan “koalisi tidak loyal” atau “koalisi bercitarasa oposisi” sering disematkan pihak luar ke PKS. Padahal sebagai makmum, PKS juga berkewajiban mengingatkan imam jika lupa atau melakukan kesalahan.

Ketiga, Nahkoda
Ini adalah fase puncak, dimana PKS menempatkan kadernya sebagai kepala eksekutif. Semangat yang dibawa adalah suasana Nabi Sulaiman yang membawa rakyatnya (Bani Isro’il) ke zaman keemasan serta menebar dakwah ke penjuru dunia (negeri Saba’).

Ini adalah fase dimana PKS memiliki legitimasi kuat dari rakyat untuk memimpin dan melayani bangsa, leluasa untuk menjalankan program dan kebijakan sesuai dengan ideologi perjuangan yang diyakininya. Fase ini mulai dirasakan pada skala kabupaten dan provinsi. Sedangkan pada skala nasional, kita masih menunggu kesempatan agar bisa memerintah seperti di Turki dan Arab Saudi.

Khotimah
Kita beruntung diberi banyak model dakwah dari para nabi. Ada nabi yang hanya berdakwah di tengah umatnya saja, ada pula nabi yang dalam dakwahnya harus berinteraksi dengan kekuasaan. Tanpa bermaksud menegasikan pola dan strategi dakwah lainnya, karakter PKS umumnya terpola pada tiga model tersebut. Meskipun bisa jadi citarasa di satu daerah tidak sama dengan di daerah lain. Atau pola pergerakan antara realitas lokal tidak sebangun dengan realitas nasional.

Sampai disini, pergerakan elit PKS harus dibersamai secara intens oleh Dewan Syari’ah pada tingkatan masing-masing. Merekalah yang akan menuntun dan memberi kaidah tentang operasionalisasi pilihan citarasa dakwah secara praktis. Agar misi dakwah benar-benar terwujud dalam politik PKS, bukan sekedar menjadi klaim kosong tanpa makna sebagaimana sangkaan pihak luar.

Eko Junianto, SE

Rabu, 20 April 2016

Paradigma Baru Khilafah Islamiyah

Pengantar
Bila membahas Khilafah Islamiyah atau dengan bahasa lain Pan-Islamisme maka asosiasi kita langsung mengarah kepada Hizbu Tahrir (HT) yang lantang mengumandangkan tentang Khilafah. Setiap ada permasalahan yang membelit bangsa ini atau dunia pada umumnya, maka HT akan segera lantang mengatakan bahwa Khilafah adalah solusi dan semua masalah akan selesai jika sudah terbentuk Khilafah. Padahal selain HT, Ikhwanul Muslimin (IM) juga memiliki gagasan mengembalikan Khilafah, namun bedanya bila HT tidak menjelaskan bagaimana metodologi mencapai Khilafah tersebut, maka IM menegaskan mereka menempuh cara reformasi dan masuk ke dalam sistem politik yang ada. Sedangkan HT anti kepada sistem politik demokrasi sehingga lebih merupakan pressure group yang sering turun ke jalanan, berdakwah secara horizontal-kultural dan mendatangi partai-partai Islam di DPR untuk memberikan saran dan masukan terkait dengan pembentukan undang-undang yang mencerminkan nilai-nilai Islam.

Bila dipetakan ada polarisasi antara kubu yang pro Khilafah dan yang anti Khilafah. Kubu pertama yang meyakini gagasan untuk memunculkan Khilafah ini pun terbagi dua yakni antara gerakan Islam Hizbu Tahrir (HT) yang menempuh cara melalui dakwah kultural dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin (IM) yang meyakini metode perjuangan berupa reformasi yang legal, formal, dan konstitusional. Sedangkan kubu kedua yang anti Khilafah direpresentasikan di satu sisi oleh kelompok Salafiy yang apolitis dan kelompok Muslim sekuler yang menganggap ide Khilafah adalah utopia semata serta di sisi lain negara-negara Barat yang menganggap wacana dan realisasi Khilafah sebagai bahaya laten bagi hegemoni Barat. Negara-negara Barat yang terdiri dari AS yang selalu membela kepentingan Israel dan negara-negara yang tergabung di dalam Uni Eropa menganggap ide pembentukan Khilafah atau yang mereka sebut pula sebagai ‘Islamic super power” adalah ancaman bagi kepentingan mereka melestarikan hegemoni militer, politik, dan ekonomi atas negara-negara Muslim.

Jika di akhir abad 18 dan 19 negara-negara Muslim di Asia dan Afrika dengan kekayaan alam yang luar biasa adalah negara-negara jajahan yang mereka eksploitasi secara militer dan ekonomi dengan cara mencaplok dan menduduki wilayahnya, maka kini bentuk penjajahan mereka terutama dalam bentuk teknologi, ekonomi, dan budaya. Bila dahulu ide Pan-Islamisme Sultan 'Abdul Hamid II dianggap ancaman oleh negara-negara Barat, maka kini ide ‘Islamic super power’ yang akan menyatukan negara-negara Muslim dalam suatu zona kerjasama sosial, politik, budaya, dan ekonomi menjadi ancaman pula bagi Barat. Oleh karena itu, gerakan reformasi dan demokratisasi yang disebut “Arab Spring” di negara-negara di Afrika dan di Timur Tengah justru dipadamkan dan dianulir sendiri oleh negara-negara penganjur demokrasi dengan cara menggerakkan agen-agen mereka di negeri-negeri tersebut untuk melakukan kudeta. Barat dengan sadar memilih sikap standar ganda dan melakukan gerakan kontra-Arab Spring.

Mayoritas Muslim dan gerakan Islam termasuk gerakan Islam moderat seperti Ikhwanul Muslimin memandang demokrasi sebagai sistem yang netral dan merupakan alat untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, gerakan Salafiy yang memiliki prinsip anti politik dan Hizbut Tahrir yang walaupun berpolitik memilih tidak masuk ke dalam sistem, menganggap demokrasi bukan berasal dari Islam. Robert W. Hefner menawarkan sikap kritis terhadap demokrasi dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan budaya lokal sebagai jalan tengah di antara umat Islam yang menerima secara utuh maupun yang menolaknya mentah-mentah.

Terkait dengan wacana Khilafah, ada baiknya dilakukan lebih dulu kilas balik seputar keruntuhan Khilafah terakhir di awal abad 20 yakni Khilafah Turki Utsmani:

Latar Belakang Historis Keruntuhan Khilafah Terakhir
Khilafah terakhir adalah Kekholifahan Turki Utsmani yang bertahan lama selama lebih kurang 6,5 abad yakni dari tahun 699 H-1342 H atau 1299-1924 Masehi. Khilafah ini runtuh di awal abad 20 yakni tepatnya pada tahun 1924, oleh sebuah konspirasi Young Turken hasil didikan Perancis dengan negara-negara Barat yang sudah lama menganggap Khilafah Turki Utsmani sebagai ancaman global bagi mereka. Dan Turki modern saat ini adalah sebuah negara yang berasal dan berakar dari Kekholifahan Turki Utsmani. Khilafah yang juga disebut dengan Ottoman Empire. Khilafah atau imperium ini berjaya selama beberapa abad hingga awal abad 20 dan kemudian menurun serta akhirnya runtuh seiring dengan kebangkitan Eropa dan Rusia.

Proses keruntuhan Khilafah Turki Utsmani menurut Profesor Mehmet Ali Behan, guru besar ilmu sejarah, Marmara University, Istanbul, bermula ketika di tahun 1820-an dibuat sebuah perjanjian antara negara-negara Eropa, Rusia dengan Turki Utsmani berupa proyek nizhom jadid atau tatanan baru, yang berisikan rekomendasi dan dorongan agar Turki secara militer dan manajemen sama majunya dengan negara-negara Eropa atau dengan kata lain terjadi reformasi.[1] Sebelumnya pada tahun 1808, upaya reformasi militer juga sudah dilakukan sehingga menyulut pemberontakan militer. Namun kemudian secara bertahap terjadi reformasi dalam hal militer dan manajerial pemerintahan di Khilafah Turki Utsmani.

Pada masa itu wilayah Ottoman Empire melingkupi tiga benua yakni Asia, Eropa, dan Afrika, sehingga membawahi beragam suku, qobilah, dan agama. Maka tak heran banyak problematika dan banyak pula terjadi kudeta. Eropa pun terus melakukan sorotan dan tekanan terhadap Khilafah Turki Utsmani dengan menekankan bahwa di Khilafah ada begitu banyak problem. Kemudian kaum muda Turki hasil didikan Perancis yang disebut Young Turken, mulai gencar memunculkan ide perubahan lewat tulisan di media-media, yakni ingin membentuk sistem parlementer, yang sedang menjadi trend baru di Eropa.

Padahal sebenarnya keinginan anak muda Turki tersebut tidak memiliki akar filosofis yang jelas, selain hanya meniru revolusi yang terjadi di Perancis yang terkenal dengan slogannya Egalite, Fraternite, dan Liberte (kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan). Young Turken ingin mengadopsi bulat-bulat sistem dari Perancis dan menerapkannya di Turki, namun mereka lupa bahwa ada perbedaan yang mendasar antara Perancis dan Turki. Bila di Perancis ada perbedaan kasta antara kaum bangsawan atau borju dengan kaum proletar, maka tidak demikian halnya di Turki. Di Turki bisa dikatakan hampir tidak ada feodalisme, tidak ada diskriminasi berdasarkan kasta dan golongan karena memang tidak ada perbedaan kasta. Di negara Turki Utsmani, bisa saja anak seorang petani menjadi wali kota, bila menempuh pendidikan tinggi. Presiden Erdogan sendiri menjadi contoh nyata seorang anak yang berhasil menjadi pemimpin, berasal dari kelas menengah bawah yang sekolah di madrasah dan pernah menjadi pedagang asongan serta marbot masjid. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Perancis yang sangat feodal. Selain itu di Khilafah Turki Utsmani juga telah ada kebebasan beragama sejak dulu karena melingkupi juga wilayah-wilayah orang-orang non-Muslim dan mereka bebas menjalankan agamanya.

Namun tetap saja ketika Young Turken ini kembali ke Turki, mereka melancarkan serangan kepada pemerintahan Khilafah Turki Utsmani melalui media dan sarana lainnya. Pada 1876, Young Turken membentuk sebuah organisasi dan memberontak kepada pemerintahan Sultan 'Abdul 'Aziz yang akhirnya berhasil mereka gulingkan. Setelah menggulingkan Sultan, mereka pun membentuk sistem monarki parlementer dengan simbol pemimpin tertinggi tetap seorang sultan yakni Sultan Murod. Dari Sultan Murod kemudian dilanjutkan dengan Sultan 'Abdul Hamid II, yang merupakan salah satu sultan terhebat dengan masa memerintah terlama yakni selama 33 tahun (30 Agustus 1876-30 April 1906).

Walaupun Turki sudah mengalami reformasi, tetap saja memiliki banyak problematika. Selain masalah politik intenal, juga ada ancaman dari luar yakni pemberontakan Armenia yakni di Timur Turki dan juga Etnis Kurdi. Terlebih lagi kedua etnis yang memberontak tersebut sangat didukung oleh Eropa untuk merebut kemerdekaannya. Sementara itu di sisi lain, zionis Yahudi terus menekan karena mereka ingin membentuk negara Yahudi atau Israel di Palestina yang saat itu berada di wilayah Khilafah Turki Utsmani. Theodore Herzl, tokoh Yahudi yang sudah 6 kali datang ke Istanbul, baru diterima oleh Sultan 'Abdul Hamid II pada 1898. Pada pertemuan itu, Herzl menawarkan tiga bentuk kerja sama: pertama, membantu masalah finansial Turki Utsmani dengan membayarkan hutang (kantong-kantong finansial saat itu sudah di tangan Yahudi). Kedua, mengendalikan dan mengontrol media (dilakukan Yahudi hingga saat ini). Ketiga, mereka juga menawarkan untuk meredakan pemberontakan separatis Armenia. Dan ‘hebatnya’ kompensasi bagi ketiga proyek besar itu ‘hanya’ dengan imbalan mereka, bangsa Yahudi, boleh ikut berdiam untuk bertani dan beternak di Palestina.

Namun Sultan 'Abdul Hamid II tak sedikit pun bergeming dan selalu menjawab dengan tegas bahwa pintu Turki Utsmani selalu terbuka juga untuk orang-orang Yahudi misalnya di wilayah seperti Andalusia. Mereka bisa migran di wilayah Turki Utsmani yang manapun kecuali tanah Palestina, karena Sultan Hamid II memahami benar tujuan mereka sesungguhnya. Tak lama kemudian melalui media surat kabar yang menjadi corong mereka “Neolinsky” di Istanbul mereka menulis artikel bahwa selama Sultan Hamid masih berkuasa, mereka tidak akan bisa menguasai Palestina. Mereka kemudian membuat rencana untuk 50 tahun ke depan, dan ternyata tepat 50 tahun kemudian yakni pada 1948, mereka berhasil mendirikan negara Israel di Palestina.

Young Turken pada tahun 1908 mendirikan gerakan Ittihad yang kemudian menjadi partai politik dan inilah masa menjelang berakhirnya Khalifah Turki Utsmani. Gerakan tersebut memang bertujuan menggulingkan Sultan 'Abdul Hamid II dan pada 31 Maret 1908 mereka berhasil menggulingkan Sultan 'Abdul Hamid II dan gerakan itu kemudian menjadi penguasa. Sebenarnya bila dengan tindakan represif Sultan 'Abdul Hamid II bisa mempertahankan kekuasaan, karena masih mendapatkan dukungan sebagian militer yang loyal. Namun beliau tidak menghendaki pertumpahan darah sehingga memilih mundur. Menurut Mehmet Ali Behan, tentu saja konspirasi tersebut ada hubungannya dengan Israel atau Yahudi tapi sulit dibuktikan.

Hal yang lain juga cukup signifikan turut menjadi penyebab keruntuhan Khilafah Turki Utsmani adalah pemberontakan negara-negara Arab setelah dihasut oleh seorang agen rahasia Inggris yang sangat terkenal, T. E. Lawrence. Lawrence menjadi mata-mata penghubung antara dunia Arab dan Inggris dengan menjadi sahabat Raja. Ia terus meyakini bahwa negara-negara Arab harus memisahkan diri dari Khilafah Turki Utsmani karena dijajah sehingga akhirnya pecah Revolusi Arab yang melepaskan dirinya dari Khilafah Islam. Selama perang, Lawrence berperang bersama tentara lokal Arab di bawah komando Amir Faisal, putera dari Sharif Hussein di Mekkah, dalam operasi-operasi gerilya yang berkepanjangan melawan angkatan bersenjata dari Imperium Utsmaniyah dengan tidak melakukan serangan frontal pada kubu Utsmaniyah di Madinah. Jalur atau rel kereta api yang menghubungkan antara Madinah dan Istanbul pun dicopot oleh negara Arab (Wikipedia: T.E. Lawrence )

Namun yang jelas sisi Sultan Abdul Hamid II memang memiliki ide Pan-Islamisme untuk menyatukan negeri-negeri Muslim, dan hal dianggap ancaman oleh negara-negara Eropa yang memiliki negara-negara jajahan di negeri-negeri Muslim di Asia dan Afrika. Sebenarnya runtuhnya Khilafah Turki Utsmani bukan semata-mata karena memiliki wilayah yang terlalu luas dan penduduk yang terlalu majemuk menjadi problem, walaupun kedua hal tersebut juga menjadi problematika saat itu. Namun sebenarnya lebih karena daerah-daerah yang dikuasai Khilafah Turki Utsmani adalah daerah-daerah yang kaya seperti lembah subur Mesopotamia yang terletak di antara sungai Eufrat dan Tigris. Daerah tersebut selain bisa dibuat pertanian ternyata juga mengandung minyak. Hal tersebut jelas membuat Barat menginginkan untuk menguasai wilayah-wilayah tersebut dan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Ditambah lagi motif ideologis yang dimiliki Yahudi untuk menguasai Palestina. Mereka mengawali usahanya dengan menyebarkan ide perubahan dan pembaharuan di antaranya ide reformasi dan demokrasi, padahal mereka hanya menjadikannya sebagai alat untuk kemudian menguasai negeri-negeri Muslim yang kaya tersebut. Sebenarnya di awal abad 20, pada saat itu di negeri-negeri Muslim sudah mulai terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington sebagai gelombang ketiga demokrasi.

Demokratisasi di Negara-negara Muslim
Mayoritas Muslim dan gerakan Islam termasuk gerakan Islam moderat seperti Ikhwanul Muslimin memandang demokrasi sebagai sistem yang netral dan merupakan alat untuk mewujudkan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, gerakan Salafiy yang memiliki prinsip anti politik dan Hizbut Tahrir yang walaupun berpolitik memilih tidak masuk ke dalam sistem, menganggap demokrasi bukan berasal dari Islam. [2]

Robert W. Hefner menawarkan sikap kritis terhadap demokrasi dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan budaya lokal sebagai jalan tengah di antara umat Islam yang menerima secara utuh maupun yang menolaknya mentah-mentah. Perspektif dialogis lintas kultural antara negara-negara Barat dan negara-negara mayoritas Muslim merupakan cara pandang yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern.[3] Bahtiar Effendy menganggap tidak perlu mendikotomikan antara Islam dan demokrasi, ataupun mempertanyakan apakah Islam compatible dengan demokrasi, sebaliknya yang penting adalah bagaimana dan sejauh mana Islam berperan dalam demokratisasi di Indonesia.[4]

Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan gerakan Islam tentang konsep demokrasi, faktanya demokratisasi telah memberi dampak positif bagi gerakan Islam dengan adanya peluang kebebasan. Di Indonesia misalnya demokratisasi di era Reformasi menyebabkan bermunculannya begitu banyak partai Islam. Demikian pula di Turki demokratisasi telah memberi peluang bagi gerakan Islam yang dibuktikan dengan keberhasilan RP (Refah Party) di tahun 1994 yang menjadi pemenang dan pemimpin di pemerintah koalisi dan pendiri sekaligus Ketuanya yakni Necmettin Erbakan menjadi Perdana Menteri. RP muncul sebagai varian halus dan demokratis dari politik Islam bila dibandingkan dengan versi yang dianggap lebih radikal di Timur Tengah dan Afrika Utara.[5]

Gerakan Islam di Turki dan di negara-negara Muslim lainnya telah diuntungkan dengan berkembangnya nilai-nilai demokrasi yang menekankan pada kebebasan, keterbukaan, dan kesamaan peluang serta kesiapan hidup berdampingan dalam perbedaan selama tahun 1990-an. Nilai-nilai tersebut kondusif untuk memunculkan gerakan Islam di dalam kehidupan politik bersama kelompok-kelompok sekuler. Padahal sebelumnya konflik antara prinsip-prinsip sekularisme dengan Islam telah berlangsung di Republik Turki selama lebih dari 80 tahun sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924 dan kelompok Islam selalu ditekan oleh kelompok sekuler dan militer yang berkuasa.[6]

Otokritik terhadap Barat yang dianggap memiliki standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan dan toleransi pada perbedaan dilakukan oleh John L. Esposito. Ia menekankan bahwa Barat seharusnya menerima dan menjalankan nilai-nilai toleransi lebih dulu dengan cara tidak memaksakan para migran Muslim di Eropa untuk memiliki kultur yang homogen dengan mereka, karena trend negara global saat ini adalah multikultural. Jadi, bukan hanya dunia Islam yang perlu memahami dan menerapkan multikulturalisme serta toleran pada pluralitas masyarakat. Bila Barat menginginkan agar dunia Islam tidak terus menaruh dendam masa lalu dan menolak segala yang berasal dari Barat termasuk demokrasi, maka Barat pun harus lebih dulu membuka diri dan tidak selalu menaruh prasangka pada dunia Islam, menyebut Islam sebagai teroris padahal mereka sendiri melakukan agresi di dunia Islam.[7] Komunikasi dialogis dalam iklim demokrasi yang saling menghargai keterbukaan dan kesetaraan adalah hal yang harus dihidupkan antara dunia Islam dan Barat dan secara fair menerima wacana atau kelompok mana yang lebih diterima oleh masyarakat di suatu negeri termasuk keleluasaan memilih pemimpinnya.[8]

Kemunculan partai-partai politik Islam menurut Greg Fealy merupakan kelanjutan aplikasi wacana yang dimulai sejak awal abad ke-20 tentang hubungan yang tidak terpisahkan antara Islam, politik, dan masyarakat yang diyakini lahir dari ide sentral: kebangkitan Islam.[9]

Demokratisasi memberi kebebasan bagi aktivis Islamisme atau aktivis gerakan Islam untuk menampilkan identitas keislamannya dalam berbagai aspek kehidupan secara lebih leluasa. Gerakan Islam menganggap Islam bukan hanya agama ritual melainkan agama yang mewarnai segala aspek kehidupan mulai dari pemerintahan, pendidikan, sistem hukum hingga kebudayaan, politik dan ekonomi. Semangat menampilkan identitas keislaman menurut Vali Nasr diawali dengan kemajuan di bidang pemikiran dan ekonomi yang memunculkan new muslim middle class. Selain itu, fenomena ini pun semakin menguat di bidang politik dengan adanya gerakan merebut kemerdekaan di negara-negara muslim terjajah ditambah pula adanya gelombang demokratisasi di pertengahan hingga akhir abad ke-20. Sebagaimana telah disebutkan di atas, negara-negara muslim tersebut terkena gelombang ketiga demokratisasi.[10]

Semangat mendirikan partai politik Islam bila ditelusuri berawal dari munculnya gerakan Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir pada awal abad kedua puluh, Jami’at Islami di Pakistan dan gerakan Jama’ah Said An Nursi di Turki pada pertengahan abad kedua puluh. Gelombang demokrasi yang menyebar dari Barat dan memasuki dunia Islam malah menyadarkan dunia Islam untuk melepaskan diri dari imperialisme Barat dalam bentuknya yang berbeda saat ini yakni imperialisme ekonomi.[11]

Melihat siklus 7 abad kebangkitan Islam nampaknya abad 21 adalah permulaan dari kebangkitan 7 abad berikutnya. Indikator-indikator “Islamic revival” di atas adalah merupakan salah satu pertandanya. Kemajuan politik Islam dengan unggulnya partai-partai Islam di Pemilu di berbagai negara seperti Turki, Tunisia, dan Mesir (sebelum kemudian di kudeta) sebagai fenomena Arab Spring adalah juga menunjukkan luasnya spektrum semangat kebangkitan Islam. Semangat kebangkitan Islam tersebut diyakini berdampak positif bagi kemunculan kembali Khilafah Islamiyah.

Analisis
Ide Pan-Islamisme Sultan 'Abdul Hamid II yang dianggap mengancam Barat yang punya negara-negara jajahan negeri-negeri Muslim sebenarnya memang merupakan hakikat Khilafah Islamiyah itu sendiri yakni semacam kesatuan negeri-negeri Muslim yang bertujuan melindungi negeri-negeri Muslim dengan segala aset kekayaannya serta saling bekerjasama. Ide tersebut diwarisi oleh Hasan al Banna, Abul A’la Al Maududi dan Said Nursi. Mereka berada dalam satu masa atau satu generasi. Umat Islam sendiri meyakini nubuat atau prediksi Nabi SAW yang bersifat Hadits tiap 100 tahun ada mujadid, pembaharu yang akan membawa kemajuan bagi Islam. Hasan al Banna, Said Nursi yang dijuluki ‘Badi’uz Zaman’ dan Abul A'la Al Maududi diyakini para pengikutnya sebagai mujadid abad 20. Sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh ra:
هذا الحديث من الأحاديث الصحيحة المشهورة ، يرويه الصحابي الجليل أبو هريرة رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال :
( إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا )
رواه أبو داود
Sesungguhnya Alloh mengutus untuk ummat ini tiap permulaan seratus tahun, seseorang yang memperbaharui urusan agama-Nya.

Selain itu bila melihat siklus 7 abad kebangkitan Islam nampaknya abad 21 adalah permulaan dari kebangkitan 7 abad berikutnya. Tiap 7 abad ada siklus naik turunnya kejayaan umat dan diyakini bahwa kejayaan Islam tersebut ditandai dengan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah. Hanya saja persoalannya bagaimana memahami Khilafah Islamiyah dalam konteks zamannya dan bagaimana caranya membangun kembali Khilafah? Kemudian siapa yang mewarisi semangat untuk menghidupkan kembali kejayaan Islam di abad ke-21 ini dengan cara membangun kembali Khilafah Islamiyah. Pertanyaan berikutnya adalah di mana akan dibangun Khilafah Islamiyah.

Salah satu metode perjuangan yang digagas oleh Hasan Al Banna misalnya adalah metode ’ishlah’ atau reformasi yakni metode yang evolusioner, legal, formal serta konstitusional dengan memasuki sistem politik demokrasi. Keyakinan Hasan Al Banna dengan gerakan Islamnya dipertanyakan oleh Olivier Roy, ilmuwan Perancis. Roy membantah adanya kemungkinan kebangkitan Islam di berbagai lini terutama politik. Dalam bukunya “The Failure of Political Islam”, Roy meyakini bahwa kelompok Islamis atau disebut juga Islam politik akan menemui kegagalannya di dalam pentas demokrasi dan kemudian berbalik arah menjadi radikalis seperti Al Qoidah atau fundamentalis apolitis seperti Salafiy.

Mehmet Ali Behan, guru besar sejarah tersebut meyakini Turki mampu mengemban cita-cita bersama tersebut. Selain itu menurutnya pemerintahan AKP Turki sekarang dengan kepemimpinan Erdogan yang kuat, cukup kompeten untuk mengembalikan keunggulan Turki dan lebih jauh lagi mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Behan, yang jelas di Turki sedang terjadi sebuah perubahan yang tidak bisa dibendung atau dihalangi. Behan sangat meyakini bahwa tempat bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah adalah di Turki di bawah kepemimpinan tokoh pembaharu Presiden Turki, Recep Tajip Erdogan. Namun menurut Behan cukup mustahil untuk membentuk semacam negara federal seperti Amerika Serikat, namun lebih memungkinkan untuk membangun semacam zona atau blok yang terdiri dari perkumpulan negara-negara berpenduduk Muslim, yang independen dan membangun hubungan inter-dependensi dalam kesatuan ideologi dan kerja sama yang menguntungkan. Di zaman modern dewasa ini, menurut Behan, sulit membangun Khilafah dalam paradigma lama seperti yang didengung-dengungkan kelompok Hizbu Tahrir yang berpusat di Yordan. Sebab Khilafah dalam paradigma lama adalah sebuah imperium besar yang otoriter karena menguasai dan sekaligus mengayomi banyak dengan otoritas penuh di bidang politik dan keagamaan.

Maka solusinya adalah dengan jalan tengah bukan dengan radikalisme atau cara-cara militeristik sehingga menyebabkan keterancaman Barat dan mendapatkan serangan balik dari mereka, namun juga bukan dengan menyerah dan tunduk pada kehendak Barat sehingga menyibukkan diri semata-mata pada urusan ritual keagamaan saja. Melainkan tetap aktif menyebarkan nilai-nilai Islam ke seluruh dunia agar dapat menjadi ‘rohmatan lilalamin’ baik melalui dakwah, kebajikan, kegiatan amal, dan budaya maupun melalui pendirian masjid dan penyebaran para muslim dengan memanfaatkan bonus demografi. Bonus demografi memungkinkan terjadinya langkah-langkah ekspansif untuk menyebarkan peradaban Islam serta memunculkan paradigma baru tentang peradaban Islam, paradigma baru tentang kebangkitan Islam, dan paradigma baru tentang Khilafah Islamiyah.

Sesungguhnya sepanjang sejarah telah ada empat gelombang pemikiran politik Islam: Generasi pertama adalah fase Kerosulan yang dilanjutkan dengan era Khulafaur Rosyidin. Generasi kedua adalah dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan generasi ketiga adalah Khilafah Turki Utsmani. Serta generasi keempat adalah era para pemimpin Islam dewasa ini yang direpresentasikan terutama oleh Presiden Turki, Erdogan yang menawarkan pertarungan peradaban dengan paradigma baru yakni bukan dengan menekankan keunggulan perang militeristik atau hard power, melainkan dengan soft power yakni melalui keunggulan budaya, sosial, ekonomi, diplomasi dan lain lain.

Kesimpulan     
Opsi pertama adalah Turki yang selama ini sudah menjadi mitra kehormatan Uni Eropa diterima masuk menjadi anggota Uni Eropa, memperoleh keuntungan dari berbagai perjanjian kerjasama di Uni Eropa untuk di kemudian hari malah unggul sehingga kelak bisa memimpin Eropa. Sebab menurut prediksi para orientalis seperti Prevolt dan Ernest Gellner, diprediksi Eropa akan menjadi benua Muslim melihat begitu besarnya gelombang mualaf dan larisnya Al Quran sebagai best seller book serta adanya arus pengungsi Muslim. Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menjadi bonus demografi untuk penyebaran jumlah Muslim di seluruh dunia. Bahkan di Rusia misalnya, Islam telah menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen. Bila demikian faktanya maka Turki harus mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan sebagai negara anggota Uni Eropa yang mengalami kemajuan secara ekonomi dan politik dengan Turki sebagai salah satu simbol peradaban Islam yang juga teguh memegang nilai-nilai moral dan kultural yang berasal dari Islam. Bagaimana menjaga keseimbangan antara kemajuan yang berkiblat ke Uni Eropa dengan upaya menjaga Turki yang memiliki nilai-nilai tradisi dan historis yang luar biasa.

Namun Mehmet Ali Behan meyakini bahwa Uni Eropa tidak akan serius memproses penerimaan Turki sebagai anggotanya. Sebab di satu sisi sebenarnya masa depan Uni Eropa juga belum jelas, sementara di sisi lain adalah sebuah fakta bahwa Turki memiliki penduduk yang cukup banyak yakni 78 juta dan mayoritas tergolong muda serta terkategori angkatan kerja. Hal itu merupakan ancaman bagi negara-negara Uni Eropa. Selain itu perbedaan agama, ideologi, dan budaya antara Turki dengan negara-negara Eropa adalah alasan-alasan mengapa Uni Eropa boleh jadi tidak akan menerima Turki. Demikian pula Hilmi Aminuddin, pemimpin gerakan Islam yang dikenal sebagai Jama'ah Tarbiyah juga meyakini bahwa kecil kemungkinannya Uni Eropa menerima Turki. Negara-negara di Uni Eropa menurut Hilmi memiliki tiga akar peradaban yakni agama Masehi, filsafat Yunani, dan Politik Romawi. Ketiga hal tersebut tidak dimiliki oleh Turki, sehingga menurutnya kecil kemungkinannya Turki diterima untuk bergabung ke Uni Eropa.

Oleh karena itu, opsi kedua adalah sebuah situasi di mana Turki tidak diterima di Uni Eropa namun mampu bersaing dengan Uni Eropa membentuk dan memimpin yang diyakini oleh Mehmed Behan semacam blok kerjasama negara-negara Muslim. Sedangkan menurut Hilmi Aminuddin bentuk Khilafah Islamiyah adalah semacam PBB namun bukan seperti PBB sekarang yang lebih merupakan perkumpulan negara-negara pemenang Perang Dunia II (PD II) dengan negara-negara lainnya hanya sebagai pelengkap. Khilafah Islamiyah di masa kini bukanlah merupakan sebuah kekuatan superior yang menyatukan antara otoritas agama dan otoritas politik, melainkan semacam persatuan negeri negeri Muslim dalam bentuk kerja sama yang multi dimensional.

Turki diharapkan memimpin zona Islam dalam bidang ekonomi dan politik. Apalagi Turki Utsmani pernah memimpin wilayah-wilayah di tiga benua yakni Asia, Afrika, dan Eropa sehingga menjadi pusat peradaban. Maka perkembangan sekarang juga bisa mengembalikan kekuatan Turki sebagai salah satu pusat peradaban. Kini Turki pun diyakini dapat kembali leading, mencapai masa keemasan, dan menjembatani antara dunia Barat dengan Timur. Turki saat ini berpenduduk 78 juta dengan mayoritas orang muda dan angkatan kerja yang cakap dan giat bekerja keras. Selain itu juga tidak memiliki hutang dan memiliki pula kewibawaan politik. Demokratisasi juga berjalan dengan kepemimpinan sipil atas militer yang sudah dimulai sejak masa Turgut Ozal.

Apalagi bila kemudian Turki mampu mengatasi masalah-masalah dalam negeri, misalnya pemberontakan etnis Kurdi di Timur Turki serta masalah pengungsi Suriah dan Turki menjadi stabil, maka Turki sangat layak memimpin zona Islam. Sesuatu yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa Turki adalah negara yang memiliki pengaruh dan diperhitungkan baik oleh Rusia dan Amerika. Uni Eropa sebenarnya juga membutuhkan Turki. Turki dengan posisinya saat ini relatif menjadi pemimpin di kawasan, mitra kehormatan Uni Eropa, dan anggota NATO yang disegani. Selain itu, Turki juga dikagumi di dunia Islam karena pembelaannya pada Palestina dan bersedia menampung pengungsi Suriah lebih dari dua juta. Secara politik, relatif independen karena bisa memainkan hubungan yang saling membutuhkan antara Turki-Rusia, Turki-Uni Eropa, Turki-AS, dan Turki-Israel. Demikian pula secara ekonomi Turki juga sudah relatif independen dan terbebas dari hutang IMF bahkan sekarang ikut menjadi salah satu negara kreditur.

Presiden Turki saat ini yang telah memimpin Turki selama 14 tahun, Recep Tajip Erdogan, mengatakan akan membangkitkan crusade war in new paradigm atau perang salib dalam paradigma baru. Namun sekali lagi hal yang menarik adalah bahwa paradigma baru tentang perang salib adalah dengan bonus demografi. Kesadaran bahwa melahirkan adalah ibadah sangat kuat di dunia Islam sehingga angka kelahiran tetap tinggi di negeri-negeri Muslim. Erdogan pun menghimbau agar wanita Turki melahirkan minimal 3 kali dan semua ditanggung negara. Hal tersebut juga menjaga agar stok pemuda tetap cukup dan menjadi tulang punggung kemajuan Turki. Kondisi berbeda terjadi di Eropa yakni angka kelahiran yang sangat minim bahkan mendekati zero growth population menyebabkan negara-negara di Barat didominasi lansia yang memiliki harapan hidup semakin tinggi.

Erdogan juga menegaskan bahwa Khilafah baru akan bangkit kembali tepat di tempat di mana Khilafah itu runtuh, dengan kata lain tetap di Turki. Namun Erdogan juga mengatakan akan membangkitkan Kekhilafahan dengan paradigma baru. Kekhilafahan baru yang dimaksudkan Erdogan bukanlah kesatuan teritorial, melainkan lebih berupa kesatuan umat Islam yang berjuang bersama untuk memenangkan kejayaan Islam dan peradaban Islam. Boleh jadi yang memimpin gagasan kesatuan umat tersebut adalah tokoh agama atau tokoh umat dan bukan presidennya. Atau bahkan boleh jadi negaranya adalah negara mayoritas berpenduduk non-Muslim, namun jika umat Islam yang tinggal di dalamnya memiliki kesatuan keyakinan dan kesatuan cara hidup yakni dalam bingkai nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya mereka tergabung dengan ikatan yang kokoh.

Sebab Khilafah dalam paradigma baru adalah kesatuan aqidah, kesatuan hati, cita-cita, dan kesatuan cara hidup sehingga seolah-olah di bawah dengan komando yang sama. Khilafah Islamiyah yang memiliki otoritas penuh di bidang politik dan keagamaan memang sudah tidak ada lagi, namun secara substantif memiliki otoritas di hati umat yang mentaatinya dengan suka rela tanpa paksaan. Khilafah dalam paradigma baru adalah bagaimana dunia Islam mampu memerangi musuh utama berupa kezholiman, ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan. Khilafah dalam paradigma baru adalah bagaimana dunia Islam mencapai kemajuan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan teknologi di samping juga memiliki kekuatan militer sebagai bentuk pertahanan dan perlindungan.

Oleh karena itu, slogan untuk kebangkitan kembali Khilafah adalah Turkiye Hazir Hedef 2023 (Turki siap menghadapi tahun 2023) yakni tepat 100 tahun keruntuhan Khilafah Turki Utsmani yang notabene adalah pembangunan terowongan sebagai jalur penghubung ketiga di selat Bosporus yang menghubungkan antara Asia dan Eropa, sehingga diharapkan arus perdagangan dan pembangunan ekonomi meningkat. Dengan kata lain, konsep Khilafah dalam perspektif ekonomi. Dan akhirnya yang terpenting adalah bahwa Khilafah dalam paradigma baru adalah memenangkan peradaban Islam dalam sebuah pertarungan peradaban yang disebut Samuel Huntington sebagai clash of civilization.
°°°

[1] Wawancara dengan Prof Mehmet Ali Behan, guru besar dalam bidang sejarah di Marmara University, Istanbul dan Ustadz Hilmi Aminuddin, pendiri Jama'ah Tarbiyah di Indonesia)

[2] http://hizbuttahrir.or.id/2009/06130/demokrasi-sistem-kufur-menyalahi-orang-Yahudi-dan Nasrani-termasuk-prinsip-agama-kita. Dan lihat pula di http://koranmuslim.com/2011/jubir-salafi-mesir-demokrasi-paham-yang-berbahaya/

[3] Robert W. Hefner. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: ISAI, 2001. Hlm: 356.

[4] Bahtiar Effendy. Islam and the State in Indonesia. Singapore: ISEAS, 2003. Hlm 8.

[5] Zi̇ya Öniş. The Political Economy of Islamic Resurgence in Turkey: The Rise of the Welfare Party in Perspective Author(s): Zi̇ya Öniş Source: Third World Quarterly, Vol. 18, No. 4 (Sep., 1997), pp. 743-766 Published by: Taylor & Francis, Ltd. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3993215 Accessed: 23/07/2009 03:57 Paper presentasi di BRISMES International Conference di Middle Eastern Studies, diselenggarakan di St Catherine’s College, Universitas Oxfod, 6-9 Juli 1997.

[6] Ibid.

[7] John L. Esposito. Et. al. Siapakah Muslim Moderat? Gaung Persada Press Group, 2008

[8] Robert W. Hefner. Op. Cit.

[9] Greg Fealy. Jejak Kafilah (edisi Bahasa Indonesia). Mizan, 2005. Hlm 27.

[10] Samuel P. Huntington. Gelombang Demokratisasi Ketiga (edisi terjemahan dari “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century”). Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997. Hlm: 13.

[11] Zayar. Revolusi Iran: Sejarah dan Hari Depannya (Ed. Terjemahan dari The Iranian Revolution: Past, Present and Future. Senin, 15 Desember 2003). Lihat diwww.marxist.com/iran-latar-belakang-sejarah.html

Kredit: Sitaresmi S. Soekanto (Doktor Ilmu Politik UI)