Senin, 29 Agustus 2016

NAM; Gerakan Paganisme Baru

Pernahkah Anda dilarang berkata "Jangan" kepada anak Anda? Atau pernahkah Anda mendapatkan nasihat untuk tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada rasa takut itu sendiri?

Sekilas, ucapan-ucapan itu terasa sarat hikmah dan bijaksana. Namun jika dicermati lebih dalam, ungkapan-ungkapan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan menjurus kepada kemusyrikan.

Saat ini, ungkapan-ungkapan itu marak ditemukan dalam program-program pelatihan motivasi, baik motivasi pengembangan diri, motivasi pengasuhan anak, motivasi marketing, dan berbagai pelatihan lainnya. Ungkapan itu berpusat pada satu ide, bahwa setiap manusia punya potensi energi spiritual yang tidak terbatas. Segala ungkapan perasaan energi yang dinilai membatasi diri seseorang harus dihilangkan. Termasuk yang harus dihilangkan adalah ucapan "Laa haula wa laa quwwata illa billah; tidak ada daya upaya kecuali dari Alloh." Yakni ungkapan ketidakberdayaan seseorang hamba kepada Alloh. Semua ungkapan tersebut berasal dari ajaran New Age Movement (gerakan zaman baru).

New Age Movement adalah gerakan perlawanan agama-agama pagan terhadap agama-agama langit. Yang dimaksud agama-agama langit di sini adalah Islam, Yahudi, dan Nasrani.

New Age bergerak di tiga cabang, yakni pemikiran, spiritualisme, dan pelatihan-pelatihan.

New Age dalam bentuk pemikiran tidak berkembang di Indonesia, dikarenakan bertentangan langsung dengan ajaran-ajaran Islam. Tetapi, New Age dalam bentuk spiritualisme dan pelatihan-pelatihan berkembang pesat di negeri ini.

Spiritualisme dalam New Age adalah spiritualisme tanpa Tuhan. Bentuknya berupa campuran praktik-praktik agama menggunakan argumen-argumen yang seolah-olah ilmiah.

"Jika Anda pernah mendengar buku berjudul The Law of Attaction itu sebenarkan bukan buku ilmiah, tetapi itu buku yang bersifat aqidah. Sebagai buku aqidah, maka ketika kita meyakini salah satu saja itu sebenarnya fitnah subhat yang sangat-sangat fatal akibatnya bagi iman kita," demikian papar ustadz Mohammad Fauzil Adhim.

Salah satu penyimpangan dalam ajaran New Age adalah ajaran berdoa dengan suara dikeras-keraskan, memohon dengan detail, dan menggunakan visualisasi.

"Dalam hal doa, kita mendapati hal yang bertentangan. Jika dalam agama ini kita diserukan untuk berdoa dengan nida'ul khofiyyah (menyeru dengan suara yang lemah lembut) dengan tadhorru' (merendahkan diri) di hadapan Alloh subhanahu wa ta'ala kemudian meminta yang pokok-pokok, tidak meminta dengan sangat detail, tidak melakukan visualisasi sebagaimana kita dapati dari riwayat Abu Ruhama ra bahwa keduanya itu dilarang keras dan termasuk berlebihan dalam berdoa, tetapi hari ini kita menyaksikan banyak dari saudara-saudara kita yang berdoanya justru dikeraskan suaranya. Kemudian didetail-detailkan, dirinci-rinci, bahkan visualisasi kalau perlu pakai gambar. Ini semua adalah contoh-contoh betapa New Age Movement dalam cabang spiritualitas itu sudah merasuk," jelas ustadz Mohammad Fauzil Adhim.

Hal yang paling berbahaya dalam gerakan New Age adalah kegiatan-kegiatan pelatihan atau training. Hal ini menjadi berbahaya karena para trainernya sendiri tidak mau masuk ke dalam gerakan New Age. Tetapi tanpa sadar mereka meyakini dan menjalankan aqidah New Age secara perlahan.

"Ibarat pergeseran, cabang ketiga ini pergeserannya pada sudut derajat yang kecil makin lama makin jauh, sehingga orang tidak merasa bahwa dia sudah berbelok demikian jauh. Padahal sesungguhnya dia sudah melenceng sedemikian jauh. Jika sudah sedekian jauh, maka akan ada hal-hal yang mengejutkan yang akan terjadi. Yang sangat sulit kita bayangkan sebelumnya adalah fitnah yang menimpa Sholah Ar-Rosyid. Sholah Ar-Rosyid berasal dari Kuwait, hafal Al-Qur'an, ilmu diennya cukup bagus, suara murottalnya mengagumkan. Tetapi itu, dulu! Dia kemudian mengalami perubahan iman dengan pintu awalnya adalah NLP. Dr. Sholah Ar-Rosyid sangat yakin ada energi positif dan energi negatif. Sedemikian kuatnya keyakinan itu sehingga menjadikan dia meragukan agama ini. Sehingga ia menolak dari sebagian agama ini. Sehingga jika kita memperhatikan ucapan-ucapannya melalui berbagai media termasuk twitter @salrashed kita dapati betapa dia sangat mengecam orang berdoa. Contoh, ketika orang mengatakan, "Laa ilaaha illa anta. Subhanaka inni kuntu minazhzholimin" atau mengucapkan "Laa haula wa laa quwwata illa billah" itu disebut sebagai sumber energi negatif.

@white_dialogue: @salrashed saya sudah mendengar wawancara lama Anda. Demi Alloh (sungguh) saya katakan dari lubuk hati: Saya mohonkan kepada Alloh semoga Dia membalasmu dengan balasan yang baik (atau semoga Alloh mengembalikanmu ke jalan-Nya dengan cara yang baik. Atau juga semoga Alloh mewafatkanmu dengan cara yang elok). Semoga Alloh mengabulkan doaku meskipun Anda tak menerimanya. 
@salrashed: @white_dialogue Terima kasih. Aku tidak menerima doa manusia untukku di dalam duniaku. Akulah yang menyiptakan kehidupanku sendiri. Kalau doamu bermanfaat untukmu dan keluargamu, maka semoga Alloh memberkatimu.

Bermula dari keyakinan ada energi positif dan energi negatif, dia sampai pada tingkat meragukan agama ini meskipun status resminya masih Muslim."

Berbagai training berbasis New Age menjadi semakin berbahaya karena memiliki ratusan cabang-cabang yang lebih samar. Apalagi training-training tersebut dijelaskan dengan istilah-istilah ilmiah.

"Karena berbungkus saintifikasi, pseudo-science, mixing theory atau displacement theory. Pada displacement theory, penjelasan otak kiri dan otak kanan adalah teori dalam kedokteran yang berhubungan dengan kendali fungsi tubuh. Bukan berkenaan dengan berpikir runtut, sistematis, intuitif dll."

Salah satu bentuk saintifikasi New Age Movement dapat dilihat dalam buku The True Power of Water. Buku ini sempat marak di Indonesia. Di sana disebutkan molekul air dapat berubah-ubah dan menjadi obat hanya dengan ucapan kata-kata positif.

"The True Power of Water terbitan dari Bandung seakan-akan jika kita mengatakan sesuatu, air itu berubah menjadi kristal. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika air berubah menjadi kristal? Bisa sobek tenggorokan kita. Tapi orang mempercayainya. Dan orang meyakini. Padahal ini tidak memenuhi syarat ilmiah. Syarat ilmiah itu adalah reasonable dapat diuji kembali, dapat diteliti kembali dan mendapatkan hasil yang sama. Tetapi ini tidak. Seolah-olah kalimat kita dapat mengubah air menjadi kristal dan kristal menjadikan kita cepat sembuh, sehat, sukses. Sehingga ketika dia sukses, dia mengatakan bahwa semua karena air yang berubah sifatnya. Tidak peduli itu ucapan dukun, pastur, biksu, 'alim yang jelas mekanismenya bahwa air itu berubah menjadi kristal."

Jika paganisme dahulu menjadikan berhala sebagai sesembahan, maka paganisme New Age adalah menjadikan diri sendiri dan alam raya sebagai Tuhan.

"Jika Anda memiliki keinginan yang sangat kuat, maka berhala kedua (semesta) akan berkolaborasi untuk mewujudkannya."

Para training pelatihan pengembangan diri pada umumnya menelan mentah-mentah teori-teori yang mereka dapat dari penulis-penulis Barat. Mereka mengadopsi seluruh teknik pengembangan diri tanpa dikritisi. Walaupun hal-hal tersebut bertentangan dengan aqidah Islamiyah.

"Perkataan seorang Muslim pun jika tidak ada dasar nash-nya maka dia tertolak. Apalagi ini datangnya dari non Muslim. Dari agama yang lain. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ini adalah riset yang menunjukkan bahwa teknik berdoa ini, merinci-rinci doa akan membuat doa kita dikabulkan. Ini menganggap bahwa Alloh ta'ala tunduk kepada mekanisme. Na'udzubillahi min dzalik."

Faktor utama hilangnya sikap kritis di kalangan praktisi pelatihan berbasis New Age adalah adanya bai'at. Meskipun tidak disebutkan bai'at, tetapi kebanyakan training mensyaratkan pesertanya untuk meyakini semua yang disampaikan para trainer.

"Di dalam berbagai training-training itu langkah awal adalah bai'at. Meskipun istilahnya tentunya bukan bai'at. Melainkan pernyataan bahwa "saya yakin"."

Diantara ciri-ciri trainer New Age adalah mengagungkan diri sendiri, menjadikan keinginan, pikiran, dan gagasan sebagai penentu utama kesuksesan, dan juga menggelari diri sendiri dengan gelar-gelar yang hebat dan luar biasa. Padahal Rosululloh saw menyatakan, "Kagum terhadap diri sendiri (ujub), bisa menjatuhkan seseorang kepada kebinasaan."

"Kita tidak menemui pengagungan diri sendiri kecuali pada zaman jahiliyah seperti halnya 'Amr bin Hisyam (Abu Jahl) yang menggelari diri sendiri dengan 'azizul karim (QS. Ad-Dukhon: 49). Mereka mengajari untuk kagum pada diri sendiri. Padahal Rosululloh saw mengatakan bahwa ada 3 hal yang membinasakan, salah satunya ujub."

Akhirnya, New Age Movement dengan segala praktiknya bukan sekedar berbeda dengan Islam, tetapi juga bertentangan. Bahkan lebih jauh lagi, bisa membawa kepada kekufuran.

"Dalam training Laugh and Service Covery ditekankan bahwa jika Anda ingin berhasil maka lepaskan diri dari segala rasa takut. Termasuk di dalamnya adalah rasa takut akan Tuhan. Teknik pokoknya adalah banyak tertawa. Makin banyak tertawa, makin bahagia. Padahal Rosululloh saw mengingatkan bahwa makin banyak tertawa adalah mematikan hati."

Hal ini bisa kita dapati dalam praktik senam Yoga.

Lebih Mudah Pecah Dibandingkan Gelas Kaca


Berbicara tentang pendekatan guru dan perilaku murid, menarik untuk merenungi angka kejahatan yang dilakukan oleh siswa di Amerika Serikat. Ada student crime (kejahatan siswa), yakni kejahatan siswa yang terjadi di sekolah maupun luar sekolah; ada classroom crime (kejahatan kelas), yakni kejahatan siswa yang dilakukan di kelas atau begitu keluar kelas (masih di area kelas). Kejahatan kelas sebenarnya merupakan salah satu bentuk kejahatan siswa, hanya saja melihat kejahatan siswa dalam lingkup lebih sempit, yakni kelas. Perlu dibedakan antara kejahatan (crime), alias kenakalan berat dan kenakalan biasa. Khusus kenakalan biasa, selama beberapa tahun terakhir ini para “pakar” parenting maupun pendidikan kerapkali menganggap tidak ada dan bahkan melarang kita menyimpulkan bahwa suatu perilaku termasuk kenakalan. Kita diajak untuk lari terlalu jauh dengan membuat eufimisme, menghaluskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi sehingga kenakalan dibahasakan sebagai “terlalu kreatif” atau istilah lain sejenis. Akibatnya, kita tidak cepat tanggap dan tidak menganggap ada masalah bahkan ketika masalah itu sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Di antara penyebab para pakar melarang menyimpulkan nakal adalah karena mereka sulit membedakan antara memahami masalah kenakalan dan memberi label nakal.
Ada laporan mengejutkan dari National Center for Education Statistics, sebuah lembaga yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Amerika Serikat (U.S. Department of Education). Selama tahun 2013, angka kejahatan yang dilakukan oleh siswa di sekolah lebih tinggi daripada kejahatan di luar sekolah. Siswa rentang usia 12-18 tahun yang menjadi korban kejahatan berat di sekolah rata-rata 37 kasus per 1000 orang, dibandingkan 15 per 1000 orang korban kejahatan di luar sekolah. Yang membuat kita miris, penyebab kejahatan siswa itu umumnya persoalan-persoalan sepele, sementara kejahatannya terhitung berat dan bahkan menyebabkan kematian. Adapun siswa di rentang usia 12-18 tahun yang menjadi korban kejahatan ringan hingga sedang selama kurun waktu yang sama, yakni 2013, sebanyak 1.420.900 anak di sekolah, dibandingkan 778.500 di luar sekolah.
Data tersebut belum termasuk angka kejahatan siswa terhadap guru di kelas. Perilaku mengganggu proses pembelajaran (disruptive behavior) bukanlah termasuk kejahatan. Ia hanya tindakan tidak disiplin.
Bagaimana dengan Indonesia? Saya tidak menemukan data statistik terpercaya yang dapat saya sampaikan kepada Anda. Tetapi kasus-kasus kenakalan semakin banyak terjadi. Beberapa kasus kejahatan bahkan telah terjadi, meskipun masih saja disebut sebagai kenakalan. Ini merupakan peringatan agar kita sigap melakukan tindakan antisipasi agar data yang menakutkan di Amerika Serikat tidak terulang di Indonesia. Mencegah jauh lebih baik daripada mengatasi. Adapun jika kasusnya telah muncul, maka kita perlu sigap menangani agar tidak meluas dan bertambah parah.
Kita memahami perilaku anak, mengenali sebab-sebab kenakalan, dan melakukan tindakan segera ketika gejala kenakalan mulai muncul agar tidak berkembang menjadi kenakalan. Melalui upaya itu, kita sangat berharap agar tidak timbul kenakalan. Lebih-lebih kenakalan berat atau pun kejahatan. Selain merugikan bagi anak itu sendiri, kenakalan berat maupun kejahatan dapat merugikan dunia pendidikan secara keseluruhan.
Dunia yang mencekam itu dapat kita ubah dengan sigap menangani. Jauh lebih baik lagi kita melakukan langkah-langkah pencegahan. Masa remaja bukanlah saatnya anak mengalami keguncangan jika di masa kanak-kanak kita menyiapkan mereka dan menempanya agar senantiasa berperilaku yang patut. Memasuki masa remaja tanpa perlu mengalami keguncangan maupun krisis identitas sama sekali inilah yang kerap disebut sebagai identity foreclosure, meskipun kita seharusnya tidak perlu menunggu ada istilah ini untuk dapat mengantarkan anak-anak menjadi pribadi tangguh jika kita mempelajari jejak-jejak para salafush-sholih.
Mudah Tersinggung, Apa Sebabnya?
Kasus kejahatan siswa di Amerika banyak dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Pertanyaannya, mengapa mereka mudah terpicu emosinya? Ini penting untuk kita jawab agar anak-anak kita tidak perlu mengalami keadaan yang sama, yakni mudah terpicu emosinya sehingga kehilangan kendali. Jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut adalah karena anak mudah tersinggung (irritable children). Anak yang memiliki tingkat mudah tersinggungnya cukup parah (chronically irritable) akan mudah frustrasi, depresi, dan tantrum.
Lalu apa yang menyebabkan anak mudah tersinggung? Banyak hal. Dalam tulisan ringkas ini, ada dua hal yang ingin saya bicarakan sekilas. Pertama, kurangnya adab (manners & etiquettes) pada diri anak, baik terhadap orangtua, guru, orang yang lebih muda maupun lebih tua usianya. Dan jika kita berpegang pada Islam, sungguh cakupan adab itu sangat luas. Adab merupakan panduan perilaku yang sangat penting. Ia bukan hanya berbicara tentang menghormati hak orang lain sambil pada saat yang sama menuntut orang lain menghormati hak kita. Bukan. Lebih dari itu, adab memandu kita untuk bersikap lebih baik lebih daripada sekadar soal hak. Tatkala anak hanya belajar menghormati hak, ia akan lebih peka manakala merasa bahwa yang ia terima kurang dari yang seharusnya. Di sinilah kita melihat betapa pentingnya menanamkan adab sebelum anak belajar menuntut ilmu. Dan adab bukan soal pengetahuan. Ia soal sikap yang ditanamkan.
Kedua, anak tidak terbiasa menghadapi perintah dan larangan sehingga ia hanya belajar menuruti keinginan sendiri. Ia tidak belajar mengendalikan keinginan menekan kemauan karena ada perintah maupun larangan yang lebih patut untuk ia perhatikan. Salah satu sebab orangtua maupun guru menghindari memberikan perintah dan larangan adalah karena syubhat dari pseudoscience seolah perintah maupun larangan merupakan dua keburukan komunikasi yang harus dijauhi sejauh-jauhnya dalam mendidik anak. Padahal nasehat terbaik orangtua yang Alloh Ta’ala abadikan justru berisi perintah dan larangan.
Nah, agar kita dapat menyampaikan perintah dan larangan dengan baik, sangat perlu kita mempelajari bagaimana kaidah memerintah dan melarang bagi para orangtua sebagaimana yang dituntunkan dalam agama ini.
Apa yang terjadi ketika anak tidak terbiasa mendengar perintah dan larangan? Dia dapat mudah tersinggung manakala mendapati hal tersebut dalam interaksi dengan masyarakat, termasuk teman-temannya di sekolah. Jika ia tidak terbiasa untuk mengendalikan keinginan, emosinya akan lebih mudah meledak manakala mendapati penolakan yang salah bentuknya adalah larangan. Padahal bukankah manusia, termasuk anak-anak kita, kelak harus menghadapi ujian dari Alloh Ta’ala berupa perintah dan larangan?
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insaan [76]: 2)
Nah. Semoga catatan sangat ringkas ini bermanfaat dan berkah. Wallohu a’lam.

Mohammad Fauzil Adhim

Sabtu, 27 Agustus 2016

Kepada Setiap Laki-laki: Jauhi Takhbib

Inilah peringatan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam kepada setiap laki-laki, sudah menikah maupun belum. Perhatikan baik-baik dan jagalah dirimu agar tidak termasuk orang yang disebut dalam sabda beliau:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امرَأَةً عَلَى زَوجِهَا

“Bukan golonganku seseorang yang melakukan takhbib terhadap seorang perempuan, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Dawud).

Apakah takhbib itu? Segala macam tindakan yang menyebabkan seorang istri ingin lari dari suaminya, berbagai bentuk perbuatan yang mengakibatkan istri ingin bercerai dari suaminya dan suami berkeinginan untuk meninggalkan istrinya, padahal tak ada keburukan yang patut menjadi alasan syar'i. Caranya mungkin sangat halus, mungkin juga begitu kasar dan vulgar. Tetapi apa pun itu, jika ia mendorong suami-istri berpisah padahal tidak ada masalah di antara mereka, maka itulah takhbib.

Ada bermacam sebab seorang laki-laki melakukan takhbib yang menyebabkan rusaknya rumah-tangga dan hancurnya pernikahan orang lain. Pertama, ada hasad dalam dirinya. Ia ingin menghancurkan kebahagiaan dan merusak kenikmatan berkeluarga. Tujuannya adalah menghilangkan nikmat dari orang lain dan bukan bermaksud menjadikan perempuan tersebut sebagai istrinya. Ia tidak ridha melihat orang lain bahagia, baik itu kepada pihak perempuan, pihak laki-laki atau kepada keduanya. Sebabnya bisa bermacam-macam, tetapi wujudnya segala tindakan untuk menghilangkan kenikmatan tanpa ada maksud untuk mengambil keuntungan darinya. Kedua, seorang laki-laki melakukan takhbib karena ingin perempuan tersebut untuk menjadi istrinya. Ia melakukan berbagai upaya untuk memisahkan istri dari suaminya agar ia dapat menikahinya. Ini merupakan takhbib yang sangat buruk. Andai ia kemudian dapat menikahi perempuan tersebut, maka pernikahannya jauh dari barakah. Ketiga, seseorang melakukan takhbib karena tak mampu mengendalikan diri saat bertemu lagi dengan orang yang pernah dicintainya di masa lalu.

Kadang awalnya tak ada keinginan untuk memisahkan istri dari suaminya. Tetapi ada satu hal yang perlu dikhawatiri ketika seorang laki-laki bertemu kembali dengan perempuan yang ia pernah ada perasaan terhadapnya, yakni tindakan menumbuhkan rasa cinta pada diri perempuan itu kepada dirinya, padahal ia sudah memiliki suami yang dimuliakan haknya dengan kalimat Alloh Ta'ala. Boleh jadi perempuan tersebut belum pernah mengenalnya, meskipun laki-laki itu menyukainya dalam diam. Boleh jadi pula antara keduanya pernah ada perasaan halus, tetapi tidak diikat dalam naungan syari'at. Apa pun namanya, tak patut bagi seorang laki-laki beriman membiarkan dirinya menggoda perempuan lain sehingga menentang suami dan lari darinya.

Berbekal perasaan yang pernah ada, mungkin mudah baginya mengambil hati. Tetapi ingatlah bahwa jalan yang buruk pasti akan menjauhkan barokah dari dirinya. Berlanjut kepada pernikahan ataukah terhenti pada jalinan perasaan tanpa ikatan, takhbib terhadap seorang perempuan sehingga menyebabkannya melawan suami akan menjatuhkan pada keburukan. Dan tidak ada keburukan yang lebih besar dibandingkan buruknya tidak dimasukkan ke dalam golongan ummat Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam.

Sesungguhnya pernikahan itu amat suci. Tidak ada ikatan antar dua manusia yang lebih tinggi, lebih mulia dan lebih patut dijaga melebihi ikatan pernikahan. Akad nikah itu bukan sekedar perjanjian antar dua manusia. Bahkan Alloh Ta'ala sebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian sangat berat). Hanya tiga kali, sungguh hanya tiga kali saja Alloh Ta'ala gunakan istilah ini: perjanjian berupa akad nikah, perjanjian tauhid antara Alloh Ta'ala dengan Bani Isroil dan perjanjian tauhid antara Alloh Ta'ala dan para rosul.

Perhatikan ini, wahai para laki-laki. Andaikata engkau mendapatkan yang engkau harapkan dengan jalan takhbib, maka ini merupakan sebab musibah akhirat yang tiada ujungnya. Engkau mendapatkan dia di dunia, tetapi menjadi musuh di akhirat dan tidak mendapatkan nikmat akhirat yang sempurna. Na'udzubillahi min dzaalik.

Catatan sederhana sebagai nasehat bagi yang kesan reuninya masih terus menggelora. Insya Aloah akan saya tulis juga nasehat bagi para perempuan muslimah terkait hal yang sama. Semoga Alloh Ta'ala menolong kita, melindungi kita.

Mohammad Fauzil Adhim

Rabu, 24 Agustus 2016

Api Hitam

API tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Meski dianggap berbahaya, api ternyata memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa keterlibatan api, sebagian manusia tidak bisa menghasilkan makanan yang bisa dinikmati setiap hari. Sebab sebagian manusia masih tergantung dengan kompor gas.
Seperti diketahui, api adalah suatu reaksi kimia (oksidasi) yang terbentuk dari tiga unsur; panas, udara dan bahan bakar yang menimbulkan panas dan cahaya.
Elemen pendukung terjadinya kebakaran  adalah panas, bahan bakar dan oksigen. Meski ada tiga elemen tersebut peristiwa kebakaran belum terjadi. Sebab proses pembakaran diperlukan komponen keempat, yaitu rantai reaksi kimia (chemical chain reaction).
Nah, menyangkut masalah api, ada peristiwa menarik dan menakjubkan di dalamnya. Sebab, ternyata jika diperhatikan, warna api sangat berbeda-beda.
Kadang api memancarkan warna biru, kadang  oranye kekuningan atau merah.
Nah, mengapa api bisa berbeda-beda warnanya?
Warna api sangat dipengaruhi oleh elektron-elektron dalam api yang selalu berpindah-pindah.  Setiap unsur mempunyai spektrum emisi tertentu dan bila tersorot api, maka akan memancarkan radiasi elektromagnetik yang akan menghasilkan pancaran api dengan warna-warna tertentu.
Secara teori, api terjadi dari reaksi pembakaran senyawa yang mengandung oksigen (O2). Jika suatu reaksi pembakaran kekurangan oksigen, maka efisiensi pembakaran berkurang dan menghasilkan suatu senyawa karbon seperti asap (jelaga). Contohnya, lilin akan mati karena jika ditutup dengan gelas. Sebab ia  kekurangan oksigen. Faktor yang mempengaruhi warna nyala api adalah faktor fisika (suhu) dan faktor kimia (zat yang mengalami reaksi).
Pada pembakaran sodium akan menghasilkan apri berwarna oranye, pembakaran stronsium klorida mengahasilkan warna merah,  pembakaran kalium nitrat menghasilkan warna ungu, pembakaran boron menghasilkan warna hijau, pembakaran tembaga menghasilkan warna biru, dan sebagainya.
Api yang berwarna merah umumnya bersuhu di bawah 1000 derajat celsius. Api berwarga biru, bersuhu lebih tinggi dari api merah, tapi masih di bawah 2000 derajat celcius. Kemudian api yang lebih panas, api putih yang bersuhu di atas 2000 derajat celcius. Api ini juga yang terdapat di dalam inti matahari. Api putih juga digunakan pada industri yang memproduksi material besi dan sejenisnya. Api paling panas adalah api berwarna hitam (kabarnya jenis api ini hanya terdapat di neraka, wallohu a'lam).
Begitulah mengapa api bisa berwarna-warni. Metode seperti ini juga yang digunakan dalam teknologi pembuatan kembang api yang bisa memancarkan api berwarna-warni nan indah. Sebab ia  merupakan proses campuran berbagai macam unsur kimia. Ia akan bereaksi warna-warni jika terjadi reaksi pembakaran.
Sudah Disebut Al-Quran dan Hadits
Ketika para ilmuwan mempelajari api dan hubungan antara temperatur dan mereka menemukan bahwa warna api adalah merah, kemudian jika ditinggikan suhunya maka warna api akan menjadi putih dan jika dinaikkan lagi suhunya maka warna api akan berubah menjadi hitam dan fenomena ini disebut oleh para ulama radiasi benda hitam, dan yang menakjubkan lagi adalah Nabi saw telah menyebutkan fenomena ini, adanya perubahan  warna api! Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
أُوقِدَ عَلَى النَّارِ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى احْمَرَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ فَهِيَ سَوْدَاءُ مُظْلِمَةٌ
 “Api dinaikkan suhunya selama seribu tahun sampai berubah menjadi merah, lalu dinaikkan lagi selama seribu tahun hingga berubah menjadi putih, kemudian dinaikkan lagi selama seribu tahun sampai menghitam, dan itulah yang disebut dengan hitam legam.”(HR. At-Tirmidzi).
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu beliau berkata, “Rosululloh shollallohu 'alaihi wa salam bersabda, “Api kalian, yang dinyalakan oleh anak Adam, hanyalah satu dari 70 bagian nyala api Jahannam. Para shahabat kemudian mengatakan, ‘Demi Alloh! Jika sepanas ini saja niscaya sudah cukup wahai Rosululloh! Rosululloh menjawab, ‘Sesungguhnya masih ada 69 bagian lagi, masing-masingnya semisal dengan nyala api ini’.” [Muttafaqun 'alaihi]
ApiNeraka Lagi1
Dalam Al-Quran, Alloh bahkan telah menyebut tingkatan-tingkatan pada api.
لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ
“Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Alloh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku, hai hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar: 16]
Yang tak kalah menarik, kelak di akhirat, api saling melaporkan diri di hadapan Alloh Subhanalloh atas tugas mereka membakar manusia.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu ia berkata, ‘Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
اِشْتَكَتِ النَّارُ إِلَى رَبِّهَا فَقَالَتْ: رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا, فَإِذَنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٍ فِى الشِّتَاءِ وَنَفَسٍ فِى الصَّيْفِ, فَأَشَدُّ مَا تَجِدُوْنَ فِى الْحَرِّ, وَأَشَدُّ مَا تَجِدُوْنَ مِنَ الزَّمْهَرِيْرِ. متفق عليه
“Api neraka mengadu kepada Robb-nya, ia berkata: “Ya Robb, sebagian kami memakan sebagian yang lain. Maka Dia memberikan izin kepadanya dengan dua napas, satu napas di musim dingin dan satu napas di musim panas, maka panas yang sangat kuat yang kami dapatkan, dan dingin yang sangat kuat yang kamu temukan.”  [HR: Bukhori].
Maha benar Alloh yang telah menurunkan Islam dan menjadikan Rosululloh Muhammad sebagai utusan yang terbaik.

Para Pejuang Itu Adalah Santri

Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti (penjajah) Belanda adalah santri dan tarekat (thoriqoh).

Ada seorang santri yang juga penganut thoriqoh, namanya Abdul Hamid. Ia lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan Besari. Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro.

Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta. Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.

Di daerah eks-Karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen), nama KH. Nur Muhammad yang masyhur ada dua, yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang-alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan kyai di Purworejo.

Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M.

Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari istri Pacitan, Jawa Timur.

Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang. Menjadi nama Kodam dan Universitas di Jawa Tengah. Terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.

Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri.

Nama aslinya Abdul Hamid. Nama populernya Diponegoro.
Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji (KH) Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Panotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Ing Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.

Maka jika Anda pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, istilah sekarang di Bakorwil, ada 3 peningalan Diponegoro: al-Quran, tasbih, dan Taqrib (kitab Fath al-Qorib).

Kenapa al-Quran? Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro seorang ahli dzikir, dan bahkan penganut thoriqoh.

Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid Thoriqoh Qodiriyyah. Peninggalan yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab Syafi'i.

Jadi, Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Karena bermadhab Syafi’i, Diponegoro sholat Tarawih 20 rokaat, sholat Shubuh memakai doa Qunut, Jum’atan adzan dua kali, termasuk sholat Ied-nya di Masjid, bukan di Tegalan (lapangan).

Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab dan pendapat. Akan tetapi, tolong sejarah sampaikan apa adanya.

Jangan ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka 3 tinggalan Pangeran Diponegoro ini tercermin dalam pondok-pondok pesantren.

Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Siapa itu Douwes Dekker? Danudirjo Setiabudi.

Mereka yang belajar sejarah, semuanya kenal. (Leluhur) Douwes Dekker itu seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa kita.

Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset-nya berubah, yang semula ingin merusak kita justeru bergabung dengan pergerakan bangsa kita.

Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri. Douwes Dekker pernah berkata dalam bukunya: “Kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”

Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren. Seumpama yang berbicara saya, pasti ada yang berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku."

Tapi kalau yang berbicara orang “luar”, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka, kembalilah ke pesantren.

Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryoningrat) itu adalah santri.
Tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para ulama menjadi tokoh bangsa.

Di antaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainudin di Kalasan Prambanan.
Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryoningrat.

Suwardi Suryoningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang kyai. Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji kitab kuning ke kyai Onggamaya Bagelan, tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah. Yang diterangkan hanya Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Itu sudah baik, namun belum komplit. Belum utuh.

Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantara selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran kitab kuning, shohih Bukhori, dan tafsir al-Quran al-Karim.

Sayyid Husein al-Mutahhar adalah cucu nabi yang patriotis. Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga Kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur.

Sang Sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan Habib Husein al-Mutahar yang menciptakan lagu Syukur.

Beliau adalah Pakdenya Habib Umar Muthahar, SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang kita semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw. Mari kita nyanyikan bersama-sama:

Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadiratMu Tuhan.

Itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga Kauman Semarang. Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga.

Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik.

Di Vatikan, Habib Husein tidak larut dengan kondisi, malah justeru membangun masjid. Hebat.

Malah-malah, Habib Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua.

Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan sholat Zhuhur. Sampai pada kalimat hayya 'alassholaah, terngiang suara adzan. Sampai sehabis sholat berjamaah, masih juga terngiang.

Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, “A”nya, “H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah:

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.

Maka peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa.

Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

Malahan, Bung Karno ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra kyai.

Tampillah putra seorang kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. Siapa beliau?

H. Mohammad Hatta putra seorang kyai. Bung Hatta adalah putra Ustadz Kyai Haji Jamil, Guru Thoriqoh Naqsyabandiyyah Kholidiyyah.

Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra kyai dan putra penganut thoriqoh tidak pernah dijelaskan di sekolah. Yang diterangkan hanya Bapak Koperasi.

Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan sekali-kali memotong sejarah. Jika Anda memotong sejarah, suatu saat sejarah Anda akan dipotong oleh Alloh Swt.

Akhirnya, Bung Hatta menjadi wakil presiden pertama.

Pesan Penting Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly. Maka, jangan berkecil hati mengirim putra-putri Anda di pondok-pesantren.

Santri-santri An-Nawawi di tempat saya, saya nasehati begini:  “Kamu mondok di sini nggak usah berpikir macam-macam, yang penting ngaji dan sekolah. Tak usah berpikir besok jadi apa, yang akan menjadikan Gusti Alloh."

Ketika saya dulu nyantri di Lirboyo, tak berpikir mau jadi apa. Yang penting ngaji, nderes (baca al-Quran), menghafalkan nadzaman kitab, dan sholat jamaah.

Ternyata saya juga jadi manusia. Malahan bisa melenggang ke gedung MPR di Senayan. Tidak usah dipikir. Yang menjadikan Gusti Alloh.

Tugas kita ialah melaksanakan kewajiban dari Alloh Swt. Alloh mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, kita menuntut ilmu.

Jika kewajiban dari Alloh sudah dilaksanakan, maka Alloh yang akan menata. Jika Alloh yang menata sudah pasti baik.

Sumber: penuturan mbah Maumin Zubair di Krapyak

Rabu, 17 Agustus 2016

Merdeka Sepenuhnya

Kemerdekaan rakyat dengan kemerdekaan bangsa kadang berjalan paralel, kadang tidak. Ada orang-orang yang hidup merdeka padahal bangsanya masih terjajah. Mereka terdiri dari dua golongan, yakni yang merdeka jiwanya dari penjajahan dan orang yang ingin mengenyam kenyamanan dari para penjajah. Orang yang merdeka jiwanya adalah kelompok para pahlawan yang tidak mau tunduk dan terus berjuang agar bangsanya merdeka. Mereka merasa merdeka bahkan saat tangan dan kakinya terbelenggu, terlebih saat bebas bergerak dan beraktivitas.

Sedang orang yang ingin mengenyam kenyamanan dari penjajah tidak lain adalah para penjilat dan pengkhianat. Pada negeri yang terjajah, pasti ada sebagian rakyatnya yang menjadi kaki tangan dan antek penjajah. Baik sebagai informan hingga tim negosiator perundingan sebagaimana kelakuan R. Abdulkadir Widjojoatmojo pada perjanjian Renville. Peran-peran “pengkhianat negara” seperti itu masih terus dipraktikkan hingga sekarang, baik oleh para akademisi, praktisi, politisi, LSM maupun pemimpin formal. Objeknya banyak, mulai dari negosiasi hak penambangan, negosiasi pelelangan aset negara hingga menggarap isu-isu gombal dan murahan sebagaimana yang terjadi pada Pengadilan Rakyat (IPT 1965) di Den Haag, Belanda.

Sebaliknya, ada pula rakyat yang belum merdeka meski setiap tahun memperingati kemerdekaan negaranya. Mari kita ambil contoh kasus di Amerika. Zaman dahulu, Amerika punya sejarah kelam dengan dunia perbudakan. Amerika juga punya catatan hitam dengan paham rasialis hingga memunculkan “Ku Klux Klan”. Film “Mississippi Burning” yang dibintangi Gene Hackman cukup bagus menggambarkan sentimen warga kulit putih terhadap kulit hitam. Butuh banyak waktu bagi Amerika untuk memberikan hak yang sama bagi warga negara kulit hitam agar diterima sepenuhnya sebagai warga negara sepenuhnya. Hingga akhirnya, ada warga berkulit hitam yang menjadi Presiden Amerika. Bukan hanya didunia film sebagaimana yang ditampilkan dalam film “2012”, tapi benar-benar di kehidupan nyata, yakni Barrack Obama.

Alhasil, apakah sebuah bangsa sudah merdeka sepenuhnya atau baru setengah merdeka? Jawabannya bisa beragam. Apakah sebuah bangsa sudah memerdekakan rakyatnya atau malah jadi penjajah atas sebagian rakyatnya? Ukurannya bisa berbeda. Karena itu, kita perlu mendefinisikan makna dan hakikat kemerdekaan agar bisa mengukur tingkat kemerdekaan yang sudah diraih oleh bangsa dan dirasakan oleh rakyatnya.

Mentadaburi Al-Quroisy
F.D. Roosevelt pernah menyampaikan konsep “The Four Freedom”, yakni Freedom of speech, Freedom of religion, Freedom from fear, dan Freedom from want. Konsepsi ini kemudian diadopsi oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights.

Tapi kali ini, sejenak kita merenungkan ukuran kemerdekaan yang digambarkan pada surat Al-Quroisy. Jika wilayah Palestina silih berganti mengalami penjajahan sejak zaman kuno, tidak demikian halnya dengan daerah Hijjaz. Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan bahwa mereka pernah dijajah oleh negeri asing. Hal demikian sebenarnya wajar saja “Buat apa menjajah negeri yang isinya pasir dan unta?” Hal ini juga disampaikan dengan nada congkak oleh pemimpin Persia (Kisra) saat menerima surat dakwah dari nabi.

Jika ada kasus invasi pasukan kepada Bangsa Quroisy, maka pasukan bergajahlah pelakunya. Mereka telah dihancurkan oleh burung Ababil yang membawa kerikil panas. Setelah peristiwa itu, maka suku-suku jazirah Arab menyebut Bangsa Quroisy sebagai “Ahlulloh”, karena dibela Alloh dari serbuan tentara bergajah. Mereka tidak berperang dengan pasukan bergajah, Alloh-lah yang mengusir mereka. Situasinya agak mirip dengan peristiwa perang Khondaq, dimana Alloh sendiri yang mengusir pasukan Ahzab “wahazamal ahzaaba wahdah”.

Dalam surat Al-Quroisy, kita mendapatkan ada beberapa ukuran kemerdekaan sejati yang selayaknya dinikmati oleh rakyat dan harus dipenuhi oleh negara, diantaranya:

Nyaman Mencari Nafkah
Mereka nyaman bepergian ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kasus-kasus perampokan kafilah dagang tentu saja terjadi, namun sifatnya sporadis. Mereka juga memiliki mekanisme yang disepakati antar berbagai qabilah jika terjadi peristiwa kriminal, mulai dari qishosh hingga diyat. Negeri-negeri di seluruh jazirah Arab juga menghormati suku Quroisy. Meski statusnya hanya kelompok kesukuan, tapi mereka benar-benar memiliki kemerdekaan dan kehormatan.

Jangan samakan dengan Indonesia yang TKI/TKW-nya sering terlantar dan teraniaya tanpa pembelaan yang jelas. Atau nelayannya ditangkap negeri asing dan sebagian warganya disandera kelompok gerilyawan. Kita bahkan tidak nyaman mencari nafkah di negeri sendiri, karena sumber-sumber penghidupan sudah banyak yang dikuasai asing, dari gunung emas hingga kuli bangunan.

Bebas Beribadah
Alloh ta’ala telah membebaskan bangsa Quroisy dari serangan tentara bergajah. Sebuah peristiwa yang membuat mereka semakin mengagungkan pemilik Ka’bah. Meski mereka menyembah berbagai macam berhala, tapi mereka sangat yakin bahwa yang mengusir tentara bergajah adalah Alloh dan bukan patung-patung berhala sesembahannya. Karunia besar seperti ini dimaksudkan agar “Fal ya’buduu robba haadzal bait”. Dan itulah tujuan azasi bagi Bangsa Quroisy, semenjak pertama kali Ismail ditinggalkan oleh Ibrohim hingga akhirnya digenapkan lagi pada peristiwa Fathul Makkah.

Apa yang dialami oleh Bangsa Quroisy bisa menjadi cerminan bangsa lainnya di dunia, termasuk Indonesia. Yakni “Wamaa umiruu illa liya’budullooha mukhlishiina lahuddiina hunafaa”. Bisa jadi dalam perjalanannya, bangsa tersebut mengalami fase gelap dengan animisme, dinamisme, politheisme, atheisme dll. Hingga akhirnya dakwah Islam sampai ke tanah mereka. Maka itulah saat sebuah bangsa menemukan lagi esensi kemerdekaannya, yakni untuk beribadah kepada Alloh semata.

Kebutuhan Pangan
Bangsa Quroisy memenuhi kebutuhannya terhadap pangan dengan berdagang. Mereka memang bangsa pedagang, termasuk nabi kita juga seorang pedagang. Sedang penduduk Madinah memenuhi kebutuhan pangan dengan cara bertani. Tidak ada intervensi pasar dari pemerintah, hanya berupa kesepakatan diantara sesama pedagang (istilah sekarang, kartel). Peran para ketua suku adalah menjamin agar seluruh Suku Quroisy dan seluruh pedagang yang masuk ke Hijaz bisa berdagang tanpa ada distorsi pasar dan kezholiman satu sama lain.

Dalam kondisi rakyat merdeka dan mandiri, peran pemerintah adalah membuat regulasi dan menjadi hakim atas permasalahan yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga harus menciptakan iklim yang kondusif agar daya saing tercipta serta menyingkirkan berbagai macam hal yang akan mendistorsi pasar. Biarkan rakyat memilih caranya sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun dalam kondisi krisis atau bencana, negara harus berperan serta untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Dan negara yang berdaulat, hanya akan mencukupi kebutuhan pangan warganya dengan sesuatu yang memiliki gizi dan nutrisi baik, bukan dengan bahan makanan berkualitas rendah, berulat atau mengandung bakteri penyakit.

Kebutuhan Keamanan
Apa yang membuat Bangsa Quroisy relatif merasa aman? Diantaranya adalah sistem sosial yang dibangunnya. Pembunuhan dan tindak kriminal lainnya tentu saja ada, tapi konsekuensinya sangat berat. Termasuk keyakinan bahwa tanahnya berstatus sebagai “Tanah Haram” serta adanya tradisi “Syahrul Haram”. Perjanjian para ketua suku Quroisy dengan pemimpin dari negeri-negeri lain juga ikut berkontribusi memberikan rasa aman bagi warga suku Quroisy.

Khotimah
Dalam konteks bernegara, tertib sosial baru terlaksana jika hukum ditegakkan. Saat itulah seluruh warga akan merasa aman. Pelanggaran hingga tindak kriminal tentu masih ada, tapi semua tahu dengan konsekuensinya serta ketegasan aparat dalam menindaknya. Situasi negara benar-benar aman jika keamanan tercipta meski tidak ada polisi sekalipun. Jika polisi dan tentara disebar diberbagai sudut kota untuk menciptakan suasana aman, justru berarti situasinya sedang tidak aman.

Jika seluruh warga negara Indonesia merasa nyaman dalam mencari rezeki, bebas beribadah, terpenuhi kebutuhan pangannya serta merasa aman dimanapun berada, maka bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka lahir batin. Jika keempat parameter ini belum terpenuhi, mungkin kita masih harus banyak berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia sekali lagi.

Bukan lagi dengan mengangkat senjata sebagaimana fase revolusi fisik, tapi dengan jalur diplomasi dan perumusan kebijakan bernegara. Dimanakah tempatnya? Di gedung-gedung pemerintah dan saat berada dibilik pemilu. Disitulah kita kembali harus memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Wallohu a’lam.

Eko Junianto, ST

Minggu, 07 Agustus 2016

Menjadi Orang Indonesia; Esai Kemerdekaan

Kita mulai dengan pertanyaan kritis “Siapakah yang dimaksud dengan orang Indonesia asli?”. Pertanyaan ini seringkali menjebak kita dengan jawaban rasis, primordial, dan chauvinis. Situasinya pun sama ketika kata “Indonesia” diganti dengan negara lain. Di alam bawah sadarnya, orang India menganggap bahwa negaranya adalah Hindustan, sehingga Pakistan dan Bangladesh terpaksa harus memisahkan diri dari anak benua Asia itu. Orang Eropa menganggap tanahnya sebagai negeri Kristen sehingga selalu “menolak” permintaan Turki menjadi anggota Uni Eropa.

Di dalam negeri Indonesia sendiri, sentimen seperti ini juga terasa kuat. Misalnya Manado sebagai tanah Kristen, Jawa tanah Islam, Bali tanah Hindu dst. Dengan pendekatan keamanan yang ketat dan politik persuasif untuk menjaga harmoni sosial, pemerintah orde baru dianggap cukup berhasil membina keragaman masyarakat Indonesia sehingga tidak menjadi sumber konflik. Namun di era reformasi, konflik sosial berbau SARA meletus hebat menghiasi banyak pemberitaan. Mulai dari konflik di Ambon, Sampit hingga Tanjung Balai. Frase pribumi dan pendatang juga kembali sering digunakan, meskipun ini biasanya adalah frase khas yang digunakan oleh negeri-negeri yang terjajah.

Ujian Kenegarawanan
Merajut perbedaan menjadi harmoni sosial bukan perkara mudah. Semua elemen masyarakat menginginkan eksistensi diri, baik eksistensi secara politik maupun status sosial. Jika kita termasuk pegiat sosial, kita memiliki pilihan peran sebagai seorang analis handal yang merajut harmoni atau memperuncing perbedaan. Apakah mau menjadi politisi partisan atau negarawan.

Menjadi negarawan tidak selalu memainkan strategi “mengalah” terhadap setiap tuntutan pihak lain, sebagaimana yang disangka sebagian orang. Tapi dengan cara menegakkan keadilan sehingga semua orang merasa diperlakukan setara. Mereka yang bersalah harus dihukum, meski jumlahnya minoritas. Pengendara sepeda motor harus ditilang meski yang ditabrak adalah mobil. Menjadi negarawan berarti kita harus jernih melihat persoalan, tidak bias atas dominasi mayoritas maupun terjebak dalam tirani minoritas.

Menjadi negarawan berarti membawa kemajuan tanpa mengorbankan identitas. Penduduk asli Papua mungkin masih berpakaian minim (koteka), tapi kita berkewajiban mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai manusia yang beradab. Jadi, bukan membiarkan mereka terus terkungkung dalam budaya primitifnya. Hal yang sama terjadi pada sebagian masyarakat adat di suku-suku pedalaman. Menjadi orang Indonesia bukan berarti menolak modernitas dan mengisolasi dari budaya global. Tetapi bukan pula mengeliminasi penduduk aslinya seperti yang terjadi di Afrika Selatan dan Australia. Kita harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Sulit dipungkiri bahwa banyak komunitas pendatang yang menghuni Indonesia, baik dari etnis China, Arab, Eropa dll. Mereka beranak cucu, bersosialisasi dengan penduduk lokal, berasimilasi dengan adat setempat dan mulai memegang peranan strategis khususnya di bidang ekonomi dan sosial. Saat ini, peranan tersebut meluas, hingga merambah dunia politik praktis. Diskursus pribumi dan pendatang muncul lagi dengan konotasi dan perspektif yang negatif. Karena itu, penting bagi kita untuk memberikan rumusan alternatif tentang orang Indonesia asli, agar tidak terjebak pada sentimen kesukuan dan paham primordial. Setidaknya ada 2 indikator yang bisa kita pakai, diantaranya:

Pertama, Bersama dalam Krisis
Orang Indonesia asli adalah mereka yang memilih bertahan meski situasinya tidak menguntungkan, bersama meski dalam situasi krisis. Mereka yang memilih untuk lari dan berpisah dari Indonesia dalam situasi krisis tidak boleh lagi dianggap sebagai orang Indonesia asli. Pada kasus-kasus korupsi besar, banyak konglomerat yang lari ke luar negeri. Pada situasi krisis, banyak yang memilih menyimpan harta dan asetnya di luar negeri padahal pemerintah sedang sekarat. Dalam situasi terjajah, ada yang lebih memilih jadi kaki tangan penjajah. Mereka tidak boleh lagi dianggap sebagai orang Indonesia asli, apapun suku dan etnisnya.

Situasi yang dimiliki oleh konglomerat sangat berbanding terbalik dengan TKI/TKW. Konglomerat menghisap kekayaan dalam negeri dengan banyak kemudahan, namun saat situasi krisis melarikan hartanya ke luar negeri. Agar mau mengembalikan simpanannya di luar, diiming-imingi dengan permen manis berupa tax amnesty. Sebaliknya, TKI/TKW mengais rejeki di negeri orang berbalut kisah duka dan penderitaan, namun mereka dengan sukarela menjadi pahlawan devisa bagi negerinya. Padahal mereka ke luar negeri, karena tidak memiliki kesempatan untuk mengadu nasib di negerinya sendiri. Jadi, orang Indonesia asli adalah mereka yang memilih bersama dengan Indonesia, meski di tengah situasi krisis sekalipun.

Kedua, Berkontribusi Membangun Negeri
Orang Indonesia asli adalah mereka yang membawa kemajuan di wilayah Indonesia, membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia, dan membawa kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang memiliki dedikasi itu layak dianggap sebagai orang yang berjiwa nasionalis sejati, apapun suku, etnis, profesi, dan agamanya. Kita tidak ragu mengklaim Rudi Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti dll sebagai orang Indonesia asli meskipun berasal dari etnis China. Namun sebaliknya, kita tidak ragu mempertanyakan nasionalisme Bob Hasan “Sang Raja Kayu” meski dia keturunan asli suku Indonesia. Ini bukan semata soal suku, tapi masalah dedikasi dan kontribusi kepada negeri.

Dalam situasi krisis seperti yang tengah dialami oleh Indonesia, ukuran kontribusi lebih layak dijadikan sebagai parameter untuk menakar rasa nasionalisme. Kontribusi disini bisa dimaknai secara luas, bukan hanya dalam bidang ekonomi tapi juga sosial, politik dll Mereka yang berkontribusi membangun Indonesia layak dianggap sebagai orang Indonesia asli, sedangkan mereka yang berkontribusi merusak, memecah belah serta menyulut kontroversi layak dipertanyakan jiwa nasionalismenya. Dititik ini sebenarnya banyak analis dan konsultan politik, lembaga survei, pemilik media, aktivis LSM, dan pegiat sosial yang layak dipertanyakan nasionalismenya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Todung Mulya Lubis Cs dengan “makar halus” berupa penyelenggaraan pengadilan rakyat di Den Haag, dengan vonis Indonesia bersalah pada kasus 1965.

Ketiga, Pembelaan dan Keberpihakan
Orang Indonesia asli adalah mereka yang membela dan berpihak kepada Indonesia. Membela yang dimaksud tentu bukan dengan gaya lama di masa penjajahan seperti halnya slogan “Right or wrong, England is my country”. Membela dan berpihak disini lebih dimaksudkan sebagai upaya menegakkan kedaulatan dan menjaga harga diri Indonesia di kancah internasional serta melindungi kepentingan nasional dari cengkraman asing.

Mereka yang menyerahkan aset-aset bangsa kepada asing harus diragukan nasionalismenya, meski berstatus sebagai putri proklamator sekalipun. Mereka yang tunduk pada kepentingan asing dan mengorbankan kepentingan rakyat harus diragukan nasionalismenya, meski berasal dari suku Jawa dan beragama Islam sekalipun. Kita harus meniru ketegasan Rosululloh saw yang siap untuk menghukum putrinya sendiri jika berbuat salah. Atau ketegasan Amirul Mukminin 'Umar bin Khoththob ra yang menghukum salah satu anaknya karena ketahuan meminum khomr. Tidak ada sakral-sakralan saat mengurusi masalah bangsa.

Khotimah
Proses pendefinisian “Orang Indonesia asli” menjadi semakin penting khususnya di masa sekarang, di saat emosi masyarakat mudah tersulut, di saat banyak pihak menebar fitnah dengan berita hoax, di saat penggiringingan opini terjadi secara masif, di saat rakyat diberi kebebasan untuk memilih pemimpinnya sendiri. Dan kita memerlukan ukuran-ukuran yang lebih objektif dalam proses pendefinisian, agar tidak terjebak dalam masalah SARA. Karena jika Indonesia ingin menjadi negara besar, semua potensi harus bisa dirajut dan diharmonisasikan untuk hal-hal yang positif. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, S5

Semangat Pembebasan; Esai Kemerdekaan

Indonesia adalah tanah air para pejuang. Dalam periode sejarah yang panjang, negeri ini telah melahirkan banyak pejuang yang memiliki semangat pembebasan, tidak mau tunduk pada penjajahan dan memiliki 'izzah untuk hidup terhormat. Ada yang berjuang angkat senjata seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman, adapula yang melalui jalur diplomasi seperti Bung Karno dan Bung Hatta.

Jika periode sejarah kita tarik lagi jauh ke belakang, akan semakin banyak muncul nama Senopati pilih tanding dan para ulama hebat yang memimpin perang gerilya. Semangat pembebasan yang dimiliki anak negeri ini bisa kita kelompokkan ke dalam dua kategori, yakni pembebasan negeri sendiri dan pembebasan negeri asing.

Pembebasan Negeri Sendiri
Para pejuang bergerak melakukan perlawanan karena tidak ingin hidup dijajah. Harga kemerdekaan memang mahal, namun mereka siap membayarnya dengan darah dan air mata. Alhasil Belanda dan Inggris sudah pernah merasakan semangat perlawanan dari kaum bumi putra. Sedang Jepang yang mengenalkan diri sebagai “Saudara Tua” akhirnya merasakan gelombang perlawanan dari “Saudara muda”.

Pada fase ini, salah satu motif utama yang menjadi motor penggerak perlawanan adalah semangat jihad. Bahwa mereka tengah berperang melawan orang kafir, bahwa kematian di medan perang akan berbuah surga. Sebagaimana kata Bung Tomo, “Jika tidak ada kalimat takbir, niscaya aku bingung dengan apa akan menggerakkan semangat tempur rakyat Surabaya”. Fakta ini perlu disadari agar generasi penerus paham tentang bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang pendahulunya.

Pembebasan Negeri Asing
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah kondisi mulai stabil, semangat pembebasan di ekspor keluar negeri. Diselenggarakanlah konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai bentuk dukungan politik melawan penindasan. Lahirlah Gerakan Non Blok sebagai bentuk partisipasi mewujudkan tatanan internasional di luar Blok barat dan blok Timur. Termasuk kampanye “Ganyang Malaysia” sebenarnya juga didasari pemikiran yang senada, karena saat itu Soekarno menganggap Malaysia tidak lebih sebagai boneka Inggris.

Pada fase ini, motif yang lebih dominan adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Didasari kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah, didasari kesamaan tujuan untuk mewujudkan tatanan global yang tidak terkooptasi kepentingan negara superpower. Pada orde lama, Indonesia sempat mengalami disorientasi karena terlalu condong ke Beijing. Namun pada orde baru, Indonesia kembali mempertegas kedudukannya untuk ikut aktif melaksanakan ketertiban dunia. Baik dengan pengiriman kontingen pasukan garuda di bawah bendera PBB, hingga kunjungan Presiden Soeharto ke Bosnia. Diakhir era pemerintahannya, Presiden Soeharto memang memiliki perhatian terhadap persoalan kaum muslimin di dunia.

Mencari Generasi Penerus
Pasca era reformasi, Indonesia tenggelam dalam krisis. Tidak banyak berkontribusi untuk persoalan internasional, baik dalam konteks umum maupun komunitas Muslim dunia. Semakin ke sini, bahkan identitasnya sebagai bangsa bermental pejuang dan pembebas mulai hilang. Mulai ada pihak-pihak yang memasukkan Indonesia ke dalam kelompok “Negara Gagal”, baik gagal mengelola negeri hingga gagal membayar hutang luar negerinya.

Penyebabnya tentu sangat banyak. Salah satu yang terlihat sangat kasat mata adalah karena “Terbelit Belenggu Naga”. Di masa lalu, China pernah mau menjajah Indonesia, namun Raden Wijaya mampu memanfaatkan pasukan dari Tiongkok secara cerdik. Dengan strategi yang brilian, Raden Wijaya akhirnya mampu mendirikan kerajaan besar berskala Internasional dengan teritori sangat luas, yakni kerajaan Majapahit.

Saat ini, Sang Naga kembali menggeliat dan membelit bumi pertiwi. Pertanyaannya, siapakah yang mampu memainkan peran sebagai Raden Wijaya? Atau jangan-jangan, gen pejuang dan pembebas dari nenek moyang sudah tidak lagi diwariskan di DNA anak-anak negeri ini? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Eko Junianto, ST

Sabtu, 06 Agustus 2016

Mewarisi Kebesaran; Esai Kemerdekaan

Sejarah panjang yang telah dilalui oleh sebuah bangsa akan berpengaruh pada karakter dan obsesi secara komunal. Orang hebat akan mewariskan karakter hebat dan impian besar kepada anak keturunannya. Sebaliknya, mereka yang lama terkungkung hidup sebagai budak dengan sendirinya akan mewariskan sifat inferior kepada anak cucunya pula. Hal seperti ini bukan hanya terjadi dalam skala personal, tapi juga pada skala bangsa dan negara. 

Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai bangsa besar. Banyak hal-hal besar ada di Indonesia, mulai dari candi terbesar hingga tambang emas terbesar. Namun saat ini, kita seolah menjadi bangsa kerdil di tengah percaturan internasional. Kisah-kisah tentang kebesaran, kehebatan, dan kejayaan hanya sekedar romantisme sejarah di alam khayalan. Itu hanya kisah di masa lalu alias asaatirul awwaliin, bukan kisah maka kini. Karena itu, salah satu PR besar bagi para pemimpin dan generasi mendatang adalah mengembalikan harga diri dan kehormatan sebagai bangsa besar.

Fase-fase Kebesaran
Kehebatan, kejayaan, dan kebesaran awalnya diperjuangkan. Untuk meraihnya, mereka bahkan rela mengorbankan banyak kesenangan hidup. Seperti halnya Mahapatih Gadjah Mada yang mengucapkan “Sumpah Palapa”, bahwa dia tidak akan makan buah pala sebelum berhasil mempersatukan Nusantara. Buah pala di waktu itu adalah lambang kemakmuran, mungkin nilainya sama seperti nilai buah anggur di masa sekarang. Alhasil, kerajaan Majapahit tampil menjadi kerajaan nasional Indonesia kedua dengan teritori sangat luas. Gadjah Mada pun disejajarkan dengan para “Penakluk Dunia” lainnya seperti Hannibal, Jengis Khan, Iskandar Zulkarnain dll.

Setelah tercapai, kebesaran itu diwariskan. Ada yang bisa mempertahankan kebesaran sebagaimana Nabi Sulaiman mewarisi kebesaran kerajaan ayahnya (Nabi Daud). Nabi Sulaiman bukan hanya mempertahankan, tapi juga meningkatkan kebesarannya sehingga beliau dikaruniai kebesaran yang belum pernah diberikan kepada seorang pun, baik kepada orang sebelumnya maupun sesudahnya. Tapi ada juga yang tidak mampu mempertahankan kebesaran masa lalunya, sebagaimana Musthafa Kemal Attaturk yang memilih untuk menghancurkan khilafah Utsmani dan berkiblat ke Barat. Atau seperti kaum Yahudi yang lebih memilih untuk duduk menunggu ketimbang harus berperang demi meraih tanah yang dijanjikan untuknya.

Fase-fase kebesaran seperti ini harus dipahami benar oleh generasi penerus. Agar mereka memiliki identitas sebagai bangsa yang unggul meski kondisinya tengah terpuruk. Agar mereka tetap bisa melihat cahaya meski berada di tengah gua yang pekat. Agar mereka bisa optimis di tengah situasi krisis. Itulah hakekat dari kisah mukjizat pembuatan parit dalam perang Khondaq. Itulah esensi dari nubuwah kejayaan Islam, yakni akan tegaknya lagi khilafah ‘ala minhajin nubuwah di akhir zaman. 

Menyemai Jalan Kejayaan
Melihat situasi yang dialami oleh bangsa Indonesia yang cukup terpuruk, wajar kiranya jika kita bermimpi memiliki pemimpin besar seperti di masa lalu atau seperti pemimpin dari negeri lain. Keduanya sangat mungkin bisa dicapai tanpa harus mengimpor dari luar atau harus menanti selama sekian generasi sebagaimana Bani Isroil menanti kelahiran Musa. Karena secara prinsip, seorang pemimpin adalah anak dari masyarakatnya. Masyarakatlah yang melahirkan pemimpin, sebelum pemimpin tersebut membawa masyarakatnya ke tingkatan tertentu.

Artinya, jika kita ingin melahirkan pemimpin hebat, terlebih dahulu kita harus berubah menjadi masyarakat yang unggul. Tidak mungkin kita memiliki pemimpin hebat jika masyarakatnya bobrok, hukumnya bisa dipermainkan, dan suara politiknya bisa dibeli. Karena perubahan sosial itu adalah hasil amal jama’i, bukan amal infirodhi. Menaklukkan Konstantinopel bukanlah prestasi Muhammad Al Fatih semata, tapi prestasi komunal dari generasinya Muhammad Al Fatih. Menaklukkan Palestina bukanlah kerja dari Sholahuddin Al Ayyubi seorang, tapi kerja komunal dari generasinya Sholahuddin Al Ayyubi.

Pemimpin hebat yang lahir dari masyarakat yang sakit akan berakhir tragis. Kita mengenal seorang Musa bin ‘Imron. Keistimewaannya sangat banyak, kekuatannya sangat dahsyat. Sekali memukul, prajurit Qibti langsung mati. Bahkan pada riwayat lain, pukulannya membuat malaikat maut sampai terlepas bola matanya. Semestinya, dia bisa tampil menjadi seorang panglima besar di medan perang seperti Tholut atau Kholid bin Walid. Tapi taqdir menentukan, dia hidup di zaman yang salah sehingga segala potensinya tidak bisa diledakkan secara maksimal, karena ketiadaan daya dukung dari masyarakatnya. Istilahnya, The right man in the wrong place (time). 

Jalan kita untuk melahirkan pemimpin yang hebat mungkin masih panjang. Dalam konteks sekarang, perlu melalui beberapa proses pemilu dan pilkada. Sudah cukup pelajaran mahal bagi kita atas Tragedi Habibie. Dia sungguh orang yang hebat, tapi sayangnya naik tahta dari kendaraan yang salah, mewarisi stigma negatif serta memimpin di zaman edan. Sehingga hanya sedikit saja dari kehebatannya yang bisa tersalurkan dan diwujudkan dalam bentuk prestasi. Kita perlu menyemai jalan kejayaan, agar orang-orang besar seperti “The Next Habibie” bisa tampil dari kendaraan yang baik, tidak memiliki dosa warisan dari masa lalu serta rakyatnya mampu memberi daya dukung maksimal.

Khotimah
Sebagai bangsa dengan masa lalu yang panjang, kita tentu sangat paham dengan segala kebesaran, kehebatan dan kejayaan dari nenek moyang. Namun saat ini, kita juga kelak akan mewarisi sebuah negeri salah urus, dengan kondisi carut marut, dan setumpuk hutang yang menggunung. Sebagai generasi penerus, kita punya pilihan-pilihan peran dan karakter di masa depan. Mereka yang cinta dengan negeri ini pasti memilih untuk mewarisi hal-hal baik dan peran-peran positif untuk negeri ini. Jika kejayaan belum bisa terwujud di era kita, setidaknya kita sudah memberikan jalan yang lapang dan pondasi yang kuat untuk diteruskan oleh generasi berikutnya. Wallohu a’lam.

Eko Junianto, ST