Kamis, 13 Juni 2019

“Mengembangkan Ofensif Revolusioner sampai ke Puncaknya”

Setidak-tidaknya sejak bulan Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build-up mental, terutama di kalangan ormas-ormas serta simpatisan-simpatisannya. Dalam hal ini, mereka mempergunakan media komunikasi-massa yang boleh dikatakan telah mereka kuasai. Karena mereka telah dapat menduduki posisi-posisi menentukan di dalam Kantor Berita ANTARA, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Instruksi pimpinan PKI dalam rangka build-up itu adalah “Mengembangkan ofensif revolusioner sampai ke puncaknya, dengan mempercepat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kabir, pencoleng, dan koruptor, melawan tuan tanah jahat, serta imperialisme Amerika Serikat”, seperti yang misalnya termaktub di dalam instruksi bersama berkenaan dengan ulang tahun BTI-SOBSI-PR. (Harian Rakyat; Senin, 27 September 1965). Juga dalam sambutan tertulis CC PKI kepada Sidang Pleno III Pengurus Besar Gerakan Pemuda Indonesia di Surabaya, terdapat pernyataan, bahwa “Kewajiban setiap revolusioner di dalam negeri kita dewasa ini memperhebat ofensif revolusioner di segala bidang untuk mengembangkan situasi revolusioner sampai ke puncaknya, yaitu sampai kepada dibersihkannya sama sekali kaum kabir, pencoleng, dan koruptor dari semua pimpinan aparatur politik, ekonomi, dan keuangan.”

Sebagai contoh dari pada build-up mental itu dapat ditemukan cukilan-cukilan daripada pidato-pidato PKI beserta ormas-ormasnya serta simpatisan-simpatisan serta tulisan-tulisan di dalam pers yang mereka kuasai atau pengaruhi. Tajuk Harian Rakyat, 4 September 1965 berbunyi sebagai berikut: “... Mereka menyebarkan kampanye seakan-akan PKI mau coup. Sesungguhnya mereka sendirilah yang mencipta menyiapkan coup itu.”

D.N. Aidit di depan sukarelawati Departemen Penerangan pada tanggal 9 September 1965 antara lain mengatakan, “... Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar.”

Dan di depan sidang Dewan Nasional SOBSI tanggal 14 September 1965, D.N. Aidit mengatakan, “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” “Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi/kabir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara.” Dan di hadapan Sidang II Dewan Nasional SOBSI dikatakannya, “Daerah-daerah siap melancarkan aksi setan-setan kota.”

Pada tanggal 22 September 1965 —di hadapan karyawan BNI, dikatakan oleh Aidit, “... Kabinet sekarang belum Nasakom. Hanya mambu (berbau) Nasakom.” Dan pada tanggal 26 September 1965 dikatakannya kepada SARBUPRI, “... Jangan hanya berjuang untuk catu ikan asin. Tetapi berjuang juga naar de politieke macht; jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam.” “... Perjuangan untuk kabinet Nasakom dengan menteri-menteri yang dikenal dan dicintai dan didukung rakyat.” “... Mereka hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno.” “... Kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apapun kecuali belenggu mereka.”

Moh. Munir; Ketua Umum SOBSI; pada tanggal 26 September 1965 berkata kepada SARBUPRI: “Jadikanlah kebun-kebun untuk markas pertahanan.” Dan pada tanggal 27 September 1965, D.N. Aidit berkata kepada anggota-anggota IPPI: “Hati kita lebih daripada lapar. Kita tidak akan menyerahkan nasib kita kepada setan kota. Kita akan ganyang dan kalahkan setan kota.”

Dan A. Karim D.P. pada tanggal 29 September 1965 berkata, "... Juga di tanah air kita, jika ada kekuatan yang coba-coba ingin mengalahkan kekuatan rakyat dengan coup atau cara apa pun, juga pasti akan mengalami kegagalan.” Dan tajuk Harian Rakyat tanggal 30 September 1965 dengan penuh ancaman berbunyi antara lain, “... Dengan menggaruk kekayaan alam, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi.” “... Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya, tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.”

Pada tanggal 29 September 1965, di hadapan para peserta Kongres III CGMI, D.N. Aidit antara lain berseru, “... Mahasiswa Komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat! Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi, berani!”

Anwar Sanusi; Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI dalam pidatonya di hadapan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1945 antara lain berkata, “... Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu Pertiwi berada dalam hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan. Sang bayi adalah kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol. Sang bidan adalah masyarakat Manipolis. Sukwan adalah salah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan sang bayi yang akan dilahirkan.”

Dalam rangka build-up itu telah pula disebarkan fitnah yang kemudian dikemukakan selaku dalih bagi percobaan kudeta kontra-revolusioner “Gerakan 30 September”, yakni fitnah bahwa dalam lingkungan Angkatan Darat terdapat sebuah “Dewan Jenderal”. Apa yang dinamakan “Dewan Jenderal” itu digambarkan sebagai gerakan subversif yang disponsori oleh CIA (Central Intelligence Agency; Amerika Serikat).

Hingga saat ini, tidak pernah diajukan bukti-bukti bahwa “Dewan Jenderal” itu memang ada, baik berupa keterangan saksi maupun berupa dokumen-dokumen. Tidak pula pernah diajukan bukti-bukti yang membenarkan bahwa setidak-tidaknya ada sekelompok Jenderal yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi; Bung Karno.

Belakangan ini dilancarkan keterangan, bahwa berita mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu bersumber kepada 4 orang, yakni tiga orang Perwira Angkatan Darat dan seorang pejabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta pejabat sipil itu menyangkal, bahwa mereka telah mengetahui, mendengar, memperbincangkan, atau melaporkan mengenai “Dewan Jenderal” itu. Perwira yang seorang lagi menyatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Jenderal” itu dari seorang mahasiswa Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan bulan Agustus telah mengunjungi suatu rapat yang diselenggarakan oleh Pemuda Rakyat Gubeng, Surabaya. Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Jenderal”. Dan sepulang dari rapat itu, mahasiswa tersebut menanyakan perihal “Dewan Jenderal” itu kepada perwira tersebut. Dengan demikian, sumber mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu kembali kepada PKI atau ormas-ormasnya juga.

Kampanye mengenai “mengembangkan situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Jenderal” itu ternyata juga dilancarkan di daerah-daerah pada waktu yang bersamaan. Terbukti dari laporan lima partai politik (PNI, NU, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) di Bali ke hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengenai persiapan dan kegiatan petualangan kontra-revolusi “G-30-S”. Tertulis antara lain di dalam laporan itu, “... mulai dilancarkan kampanye tentang “Dewan Jenderal” dan keharusan lahirnya bayi dari revolusi yang sudah hamil tua. Dan secara terang-terangan sedang memacankertaskan pemerintah dan menteri-menteri yang dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung Karno.”

Sesungguhnya build-up mental itu sudah dimulai agak lama, sebaiknya sebelum bulan September 1965. Laporan Politik D.N. Aidit kepada Sidang Pleno IV CC PKI yang diperluas tanggal 11 Mei 1965 merupakan bukti yang nyata. Judul laporan itu adalah “Perhebat ofensif revolusioner di segala bidang”.



Dalang dan Wayang "G.30.S"

Dalam interogasi pertama kepada eks-Letnan Kolonel Untung di ajukan pertanyaan sebagai berikut: “Bahwasanya kenyataannya di dalam gerakan ini yaitu gerakan yang tidak begitu gampang dan suatu gerakan yang besar, tentunya ada yang di belakang Saudara. Siapa yang mendalangi atau di belakang gerakan ini?”

Untung menjawab dengan singkat: “Yang di belakang saya adalah PKI!”

Beberapa fakta yang terkumpul menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Laporan dari Kalimantan Selatan menyatakan, bahwa sudah pada jam 09.00 tanggal 1 Oktober 1965, anggota CDB PKI; Hanafiah; mendesak kepada Panglima KODAM supaya menerima pencalonan sebagai anggota “Dewan Revolusi”. Padahal pengumuman mengenai “Dewan Revolusi” lewat RRI Jakarta baru disiarkan pada jam 13.00.

Berita acara terhadap Sukirman (eks-Kepala RRI Jakarta) menyatakan, bahwa Tjugito (anggota CC PKI) pada tanggal 30 September 1965 jam 23.00 mengatakan kepadanya:
“...Bahwa demonstrasi ganyang kabir oleh kekuatan Nasakom kemarin dulu (tanggal 28 September) akan diteruskan rakyat poros Nasakom. Kalau ini berhasil, sifat parade 5 Oktober akan berubah sifatnya. Di samping ABRI, akan turut parade satu Divisi Rakyat yang akan dipersenjatai. Bahkan mengingat situasi ekonomi sekarang, gerakan ganyang kabir ini mungkin sekali akan bergerak malam ini sudah.”

Laporan dari Asisten I Koanda Indonesia Timur dari Makassar menyatakan, bahwa CDB PKI Aminuddin telah mengetahui tentang “G-30-S” sebelumnya. Sedangkan laporan-laporan kepada Jenderal Soeharto menunjukkan, bahwa pemimpin-pemimpin PKI pada tanggal 1 Oktober 1965 itu tidak ada di tempat.

Interogasi terhadap eks-perwira ABRI yang ikut di dalam “G-30-S” menunjukkan dengan jelas pendalangan PKI terhadap gerakan ini, sehingga terbukti bahwa para perwira itu semata-mata menjadi wayang belaka di dalam permainan ini. Cara-cara mereka mendalangi gerakan itu juga menjadi jelas.

Menurut eks-Letnan Kolonel Untung, PKI menugaskan kader-kadernya untuk mendampingi para perwira yang menjadi simpatisan partai. Ketika di Semarang, Untung didampingi oleh seorang kader PKI bernama Sudarmo selaku pembinanya. Setelah ada di Jakarta, pembinanya adalah Sujono (jangan keliru eks-Mayor Udara Sujono). Di Jawa Timur —menurut eks-Lettu Ngadimo, pembina-pembinanya adalah seseorang yang nama samarannya Soma dan seorang lagi berkacamata putih yang tidak diketahui namanya.

Dalam mempersiapkan kudeta di Jakarta sendiri, yang menjadi dalangnya adalah seseorang yang bernama Sjam dan Supono. Pendalangan itu jelas kentara dari keterangan eks-Letnan Kolonel Untung. Pada awal bulan September, Untung diberitahu oleh Sujono (pembinanya) bahwa ia akan dipertemukan dengan eks-Kolonel Latief (Komandan Brigade Infanteri I KODAM/Djaja) dan eks-Mayor Udara Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim). Dalam pertemuan itu akan dibicarakan suatu rencana gerakan yang perlu diadakan, berhubung dengan adanya rencana “Dewan Jenderal”.

Dalam pertemuan itu —yang kemudian ternyata adalah rapat pertama dalam serangkaian rapat gelap guna mempersiapkan “G-30-S”— yang diselenggarakan di rumah Kapten Wahjudi pada tanggal 3 September 1965, hadir pula Sjam dan Supono. Dalam pertemuan itu yang terutama sekali memberikan briefing adalah Sjam. Pokok isinya adalah mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang mau mengadakan coup. Untuk menggagalkan coup itu, mereka harus melancarkan sesuatu gerakan.

Cara penunjukan pemimpin gerakan pada rapat tanggal 19 September juga merupakan petunjuk jelas mengenai siapa sesungguhnya yang berkuasa di dalam komplotan itu. Kita ikuti perkataan eks-Letnan Kolonel Untung sebagaimana telah diucapkannya sendiri:
... Selanjutnya, rapat menanyakan kepada Sjam dari CC PKI, yaitu “Siapakah yang akan memimpin gerakan ini seluruhnya nanti?” Dijawab oleh Sjam, bahwa yang akan menjadi pimpinan seluruh gerakan adalah saudara Letkol Untung. Dengan spontan saya tanya lagi pada Sjam, yaitu “Kenapa saya?” Dijawab Sjam, “Pertimbangan ini diambil pertama Saudara itu tidak dikenal di sini dan orang baru. Ada suatu hal yang baik, bahwa Bung Untung itu adalah pengawal pribadi PJM Presiden RI. Jadi, tema pertama dari gerakan kita ini adalah menyelamatkan PJM Presiden RI; Bung Karno. Hubungan rencana selanjutnya, bahwa pangkat yang tertinggi nantinya adalah Letnan Kolonel seperti Bung.” Kemudian saya tanyakan lagi, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih tinggi atau lebih pantas dari saya sebagai pimpinan gerakan ini.” Usulan saya ini juga disokong oleh eks-Mayor Udara Sujono yang mengatakan lebih baik ditunjuk menjadi pimpinan gerakan ini adalah orang yang lebih tinggi dan pantas. Lantas Saudara Sjam menjawab, “Sudah baik Saudara Untung saja yang jadi pimpinan gerakan itu. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan saya tadi.” Demikian kesaksian eks-Letnan Kolonel untung mengenai penunjukan dirinya selaku pimpinan “G-30-S” oleh Sjam.

Pada suatu ketika eks-Letnan Kolonel Untung oleh interogator diberi pertanyaan sebagai berikut: “Dalam penjawaban yang Saudara berikan kepada pemeriksa, seakan-akan semua ketentuan yang diberikan oleh Saudara Sjam dari CC PKI seolah-olah ditelan saja dengan tidak ada bantahan atau reaksi atau tidak ada suatu lertanyaan kenapa begitu walaupun ketentuan yang diberikannya Saudara Sjam itu tidak diterima fikiran Saudara. Apakah yang menyebabkan hal ini demikian?” Atas pertanyaan itu, Untung menjawab sebagai berikut dalam: “Soal tersebut, baiklah saya menceritakan sebagai berikut: Sebetulnya kita sebagai anggota militer, baik saya walaupun Kolonel Latief dan Mayor Sujono yang hadir waktu rapat itu, telah menaruh kepercayaan yang sepenuh-penuhnya kepada Saudara Sjam sebagai utusan dari partai (CC PKI), yang kita semuanya telah terikat di dalam satu ikatan ideologi dengan dia yang di Partai Komunis Indonesia.”

Dari interogasi terhadap eks-Letnan Kolonel Untung, ada satu hal lagi yang menunjukkan kekuasaan PKI di dalam keseluruhan komplotan itu. Pada rapat tanggal 23 September di rumah Sjam, Supono menerangkan mengenai akan di pakainya Yon 454 dan Yon 530 bagi “G-30-S”. Sebagai bukti, supono memperlihatkan secarik kertas selaku kode. “Artinya, surat ini menurut keterangan dari Supono, bahwa pasukan Yon 530 telah diserahkan oleh Pembina yang di Jawa Timur kepada kita.” Demikian kata eks-Letnan Kolonel Untung.

Selanjutnya, diceritakan oleh eks-Letnan Kolonel Untung mengenai penentuan hari dan jam untuk dimulainya gerakan sebagai berikut: “... Selanjutnya, Saudara Sjam memberi keputusan bahwa hari H adalah besok malam. Dan kita beri nama gerakan ini adalah Gerakan 30 September.” Juga menarik hati bagaimana disingkapkan oleh Untung, bahwa pengumuman "G-30-S” yang disiarkan lewat radio juga telah disiapkan terlebih dulu oleh Pembina dari PKI itu. “Pada malam itu, ditentukan sekali bahwa nanti jam 06.00 supaya delegasi berangkat menuju ke istana untuk menghadap PJM Presiden RI; Bung Karno; yang terdiri dari Jenderal Pardjo, Letkol. Udara Heru, Mayor Sukirno, dan Mayor Bambang Supeno. Menurut rencana, bahwa baru delegasi berangkat setelah adanya laporan dari pasukan Pasopati. Tetapi karena laporan dari pasukan belum datang, maka delegasi terus berangkat. Dan bersamaan dengan berangkatnya delegasi itu, Saudara Sjam mengeluarkan suatu konsep tentang soal bahwa telah diadakan penangkapan terhadap “Dewan Jenderal” dan pengumuman tentang PJM Presiden RI/Pimpinan Besar Revolusi; Bung Karno; sudah diselamatkan. Setelah kami membaca isi pengumuman tersebut, maka segera surat pengumuman itu dikirimkan kepada Kapten Suradi di RRI untuk disiarkan. Dan kalau saya tidak salah, pengumuman ini disiarkan pada jam 07.00 pagi.”

Selanjutnya, daripada eks-Letnan Kolonel Untung memberikan gambaran jelas mengenai kekuasaan Sjam di dalam gerakan itu. Dialah yang dalam kenyataannya menjadi pimpinannya. Perhatikanlah: “... maka kami mengambil kesimpulan, bahwa Jenderal Nasution tidak tertangkap. Dengan demikian, maka Saudara Sjam mengatakan supaya mengejar dan menangkap Jenderal Nasution tersebut. Oleh sebab itu, saya memerintahkan Mayor Udara Sujono untuk menghubungi Kapten Suradi agar Kapten Suradi menghubungi Kapten Kuntjoro agar menangkap Jenderal Nasution tersebut.” Dan kemudian, ini: “Sesudah itu, tidak antara lama Saudara Sjam mengeluarkan dari tasnya suatu surat yang isinya adalah pendemisioneran Pemerintah (Kabinet Dwikora) dan penentuan pangkat Letkol adalah pangkat tertinggi di dalam Angkatan Darat.” Dan juga: “Selanjutnya, kira-kira jam 15.00 tanggal 1 Oktober 1965, Saudara Sjam menyodorkan lagi Dekrit Dewan Revolusi, yang mana waktu itu kita baca bersama. Sebetulnya —sekalipun tidak diutarakan, kita dari tentara merasa bahwa dekrit tersebut terburu-buru dikeluarkan. Setelahnya, Dekrit itu ditandatangani oleh saya, Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel Heru, yang dua orang tidak ada, yaitu Kolonel Laut Sunardi dan AKB Polisi Anwas. Maka dekrit tersebut diserahkan kepada Mayor Udara Sujono untuk dikirim ke RI untuk diumumkan. Saudara Sjam mengatakan pada waktu itu, bahwa untuk hari ini cukup sekian dulu, karena sudah banyak yang dimengerti oleh rakyat.”

Dalam pengakuan eks-Letnan Kolonel Untung, terdapat pula beberapa keterangan yang mengenai D.N. Aidit dalam rapat tanggal 9 September 1965 jam 17.00 di rumah eks-Kolonel Latief. Menurut Untung, Sjam mengatakan, “Pesan dari Ketua D.N. Aidit supaya gerakan ini dilakukan secara machtig dan menunjukkan kita kuat. Yang penting, Dewan Jenderal itu harus diselesaikan dulu rencananya.”

Dalam rapat tanggal 13 September 1965 di rumah eks-Kolonel Latief di Cawang, Sjam mengatakan, “Orang tiga yang termasuk dalam rencana semula, yaitu Dr. Chairul Saleh, Hatta, dan Sukarni, tidak disetujui pengambilannya dan dikeluarkannya dari rencana atas perintah kawan ketua Aidit.”

Dan akhirnya dalam berita acara eks-Letnan Kolonel Untung terdapat keterangan sebagai berikut: “Dalam setiap pertemuan, selalu saya/kawan-kawan lain menanyakan kepada Saudara Sjam: ‘Apakah semua rencana dari gerakan apa yang dinamakan Gerakan 30 September ini sudah diketahui dan disetujui kawan Ketua’, Saudara Sjam memberikan jawaban: “Setiap rencana yang berhubungan dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September ini sudah disetujui. Malahan Kawan Ketua selalu menanyakan bagaimana sikap dari perorangan yang hadir dalam rapat-rapat. Yang saya maksudkan dengan Kawan Ketua adalah Kawan Ketua CC PKI Pusat D.N. Aidit. Karena istilah Kawan Ketua ini sudah menjadi ketentuan dan telah dipopulerkan di kalangan seluruh anggota PKI, termasuk seluruh para simpatisannya. Karena saya meyakini, bahwa Saudara Sjam ini utusan dari Ketua CC PKI, maka karena sudah adanya ikatan ideologis menyebabkan saya mematuhinya dan menerima segala yang diajukan untuk dirumuskan dalam pertemuan. Setelah terjadi peristiwa 30 September, saya akui bahwa saya telah menetapkan perintah ikatan ideologis lebih tinggi daripada ikatan prajurit Angkatan Darat.”

Tetapi paling jelas daripada segala bahan itu adalah keterangan Njono; anggota Politbiro PKI. Dari keterangan itu jelas, bahwa “G-30-S” adalah coup dari PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia.

Menurut Njono, "G-30-S” dibicarakan, dirancang, dan dipimpin oleh Politbiro. Perlu diketahui, bahwa di dalam lingkungan PKI, kekuasaan tertinggi berada pada kongres. Selama tidak ada kongres, maka kekuasaan tertinggi berada pada Central Comite (CC). Selama tidak ada sidang CC Pleno, kekuasaan tertinggi ada pada Politbiro. (Anggota Politbiro selengkapnya ada 9 orang, yakni D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njono, Sudisman, Ir. Sakirman, Jusuf Adjitorop, S. Anwar Sanusi, dan Rewang. Kecuali Jusuf Adjitorop dan Rewang, semua anggota Politbiro ikut di dalam pembicaraan-pembicaraan merancang “G-30-S”, terutama sekali Aidit, M.H. Lukman, Sudisman, dan Njono). Dalam pekerjaan sehari-hari Politbiro diwakili oleh Dewan Harian Politbiro yang terdiri dari ketiga anggota yang tersebut pertama. Dewan Harian Politbiro membawahi Sekretariat CC yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari.

Yang mendorong Politbiro untuk mempersoalkan perubahan kekuasaan politik di Indonesia ialah:
1.  Informasi bahwa kesehatan PJM Presiden sangat memburuk.
2.  Informasi bahwa “Dewan Jenderal” akan mempercepat usaha perubahan kekuasaan politik.

Diskusi mengenai hal itu dimulai pada pertengahan bulan Juli 1965 dan dipimpin sendiri oleh Ketua D.N. Aidit.

Di dalam diskusi-diskusi yang menjadi pokok pembicaraan ialah tindakan-tindakan apa yang harus diambil, mengingat kedua faktor tersebut di atas.

Pada bidang politik, dirancang tindakan-tindakan sebagai berikut:
   Mengusahakan satu kekuasaan politik yang bersifat koalisi Nasional yang komposisinya lebih baik dari Kabinet Dwikora.
   Kekuasaan politik itu akan disebut Dewan Revolusi. Dewan Revolusi itu belum merupakan Kabinet Gotong Royong berporoskan Nasakom, sebagaimana yang dituntut oleh PKI. Pertimbangannya ialah:
a.  PJM Presiden belum menyetujui pembentukan kabinet Nasakom dalam waktu singkat.
b.  Kekuasaan politik baru itu harus mendapat dukungan luas dari unsur-unsur Kom dan non-Kom.
Usaha-usaha untuk mencapai tujuan politik tersebut juga dibicarakan.

Usaha-usaha itu pada pokoknya berbentuk operasi militer. Usaha-usaha untuk mencapai tujuan politik itu adalah juga:
a.  Membentuk tenaga-tenaga cadangan dengan Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang akan mendapat latihan-latihan di Lubang Buaya.
b.  Kampanye politik secara tidak langsung, yaitu di kalangan partai dijelaskan adanya bahaya Dewan Jenderal dan di kalangan umum dijelaskan bahwa untuk perbaikan ekonomi harus di retool dari aparatur ekonomi dan keuangan Negara apa yang dinamakan setan-setan desa dan setan-setan kota.

Diskusi-diskusi itu di berjalan selama 1 bulan dan pada akhir Agustus 1965 diperoleh ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1.  Adalah tepat diadakannya operasi militer dengan tujuan politik membentuk Dewan Revolusi;
2.  Untuk pelaksanaannya, ditentukan pembagian pekerjaan sebagai berikut:
a.  Soal operasi militer, dipercayakan kepada Ketua Aidit, termasuk penentuan hari H;
b.  Soal-soal politik diantaranya pokok komposisi Dewan Revolusi diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro;
c.  Hubungan dengan daerah-daerah di luar Jakarta, juga diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro;
d.  Pembentukan tenaga-tenaga cadangan dengan pengorganisasiannya dan pembentukan sektor-sektor diserahkan kepada Njono; tenaga cadangan direncanakan sebanyak 2.000 orang yang seluruhnya harus mendapat pelatihan kilat di Lubang Buaya.


Rabu, 29 Mei 2019

Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi


Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera, mengakibatkan semua pimpinan utama PKI melarikan diri ke luar negeri. Sejak itu, Semaun, Darsono, Muso, Alimin tak berada di tanah air. Dalam razia yang dilancarkan Pemerintah Kolonial waktu itu, 9 orang dihukum mati, 823 dibuang ke Digul, dan 8.000 mendapatkan hukuman ringan kemudian dilepaskan kembali.

PKI dibubarkan. Organisasinya sudah barang tentu menjadi berantakan. Kepemimpinan pergerakan nasional ada di tangan para pemimpin nasionalis kiri, moderat, dan kaum agama. Kaum Komunis yang vakum kepemimpinan, tak mampu ikut berpatisipasi dalam kepemimpinan revolusi. Sampai detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan selanjutnya. Menjadi kenyataanlah ucapan Tan Malaka kepada Alimin di Manila, “Kita harus sedapat mungkin berusaha jangan sampai mengalami kekalahan yang berakibat kehancuran organisasi untuk jangka waktu lama,” waktu Alimin membeberkan rencananya pemberontakan yang tak disetujui Tan Malaka sebagai Komintern di Asia Tenggara.

Aidit merumuskan kegagalan PKI, bahwa, “PKI sebagai partai kelas proletar waktu itu kurang paham akan perjuangan dan belum sanggup mewujudkan kepemimpinan dalam Front Persatuan Nasional.”

Sneevliet setelah diusir pemerintah Hindia Belanda, pergi ke Cina. Tetapi setelah kekalahan kaum Komunis dalam revolusi tahun 1925-1927, ia kembali ke Netherland, kemudian dipilih sebagai anggota parlemen. Ia berhasil membujuk Perhimpunan Indonesia untuk mengambil garis front populer. Tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman, dan dua tahun kemudian ia dibunuh.

Amir Sjarifudin tahun 1932 kembali ke tanah air dari Netherland. Kemudian di serahi pimpinan PARTINDO. Tak lama kemudian, ia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dihukum 3 tahun. Dengan semakin mendekatnya bahaya fasisme di Eropa, Stalin menggariskan jalan baru. Suatu united front di seluruh dunia. Dan melarang menyerang setiap pribadi maupun organisasi lain yang bisa diajak kerjasama dengan kaum pekerja dalam united front, lawan Fasisme. “United front from below” ini digariskan dalam Kongres Komintern VI, Juli 1935, yang menganut doktrin Dimitrov, yaitu Komunis bekerjasama dengan kapitalis untuk menghancurkan fasis.

April 1935, Muso yang ditugaskan Stalin sampai di Surabaya, di mana ia bisa bertemu dengan Djokosujono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, membangkitkan kembali PKI-ilegal. Ia juga membentuk PKM (Partij Komunis Muda), kader-kader Bolshewik. Serta menarik Amir Sjarifudin masuk PKI bawah tanah. Dengan doktrin baru dari Stalin tersebut, Amir yang waktu itu masih menjadi Ketua PARTINDO balik haluan bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial, yang tadinya bangga akan sikap non-kooperatifnya. Karena perpecahan dalam PARTINDO, Amir membubarkan partai pada tahun 1936. Kemudian membentuk GERINDO yang “Bersendi kerjasama dengan Belanda; kalau perlu,” untuk membangun negara nasional demokratis merdeka.

GERINDO juga menciptakan Barisan Pemuda GERINDO, di mana D.N. Aidit mulai menjadi anggotanya sejak umur 16 tahun. Pada tahun 1939, Aidit yang kemudian keluar sebagai Ketua CC PKI setelah tahun 1950, adalah kelahiran Sumatera Timur pada tanggal 30 Juli 1923. Tahun 1939, orang tuanya pindah ke Tanjungpandan, Sumatera Selatan. Di mana ia masuk SD. Kemudian sekolah ke Jakarta pada Sekolah Dagang Menengah. Tahun 1939, ia memasuki Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Waktu itu, GERINDO bukan gerakan Komunis, sekalipun banyak pemimpinnya adalah tokoh Komunis. “Saya pun kala itu belum masuk Komunis,” kata Aidit. Ia menarik perhatian Amir Sjarifudin yang kemudian dipilih sebagai Ketua BPG di Jakarta. Aidit beranggapan, bahwa setelah Musa meninggalkan Indonesia tahun 1936 kembali ke Moskow, PKI-ilegal tak kerja dengan pedoman jelas untuk membangun partai tipe Stalin-Lenin. Itulah kesalahan organisasi PKI yang gagal mengorganisasikan massa aksi sebagai tekanan terhadap kaum kolonialis, sesudah negeri Belanda jatuh pada tahun 1940.

Demikian ia bisa membantu garis Komintern.

Di Netherland pada masa pendudukan Jerman, Komunis Indonesia masuk CPN yang bergerak di bawah tanah. Mereka antara lain ialah Setiadjit, Abdulmadjid, Maruto Darusman, dan Suripno. Di Indonesia di masa pendudukan Jepang, PKI main mata dengan Sekutu serta bergerak di dalam maupun di luar pergerakan-pergerakan nasional. Kaum Digoelis yang dibawa oleh Belanda ke Australia, gembira bisa bekerjasama dengan Van der Plas untuk melawan Jepang. Sardjono yang dianggap sebagai pimpinannya, bekerja di Brisbane pada pusat propaganda Van der Plas.

Sesudah Irian Barat direbut kembali, Sardjono pindah ke Morotai, dari mana ia menerbitkan surat kabar Penyuluh. Amir Sjarifudin, Januari 1942 diminta oleh Van der Plas untuk memimpin gerakan di bawah tanah dengan diberi f25.000, tetapi Amir kemudian ditangkap oleh Jepang.

Di Jakarta, Widarto tetap aktif bergerak. Ia berhasil merekrut Aidit pada tahun 1943. Kemudian Aidit masuk Angkatan Baru; suatu Kelompok Mahasiswa Menteng 31; yang terkenal pada waktu itu. Juga ia menjadi anggota Gerakan Indonesia Merdeka dan Barisan Pelopor. Di Jawa Timur, bergerak Djokosujono; orangnya Muso. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan Jepang bertekuk lutut. Hari itu adalah tanggal 15 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diminta datang oleh Jendral Trauchi dari markas besar tentara Jepang ke Saigon.

D.N. Aidit pada masa pendudukan Jepang pernah mengatakan, “Simpati saya selalu ada di pihak Soekarno, bukan Hatta. Bahkan sebelum perang, Hatta adalah pro Jepang, Soekarno tidak. Tetapi Soekarno ada pada kedudukan sulit, tak mempunyai apa-apa, senjata maupun Angkatan Perang. Soekarno tak mempunyai alternatif lain, kecuali kerjasama. Bagiku, Soekarno bekerjasama dengan Jepang untuk alasan taktik. Hatta, prinsipil.”

Pada masa persiapan kemerdekaan itu, ada seorang Laksamana Muda Jepang; T. Maeda; kepala liaison; tentara dan Angkatan Laut Jepang. Menurutnya, bukan tidak mungkin setelah Jepang mundur dari Indonesia, wilayah ini akan menjadi rebutan antara Sekutu, dan kemungkinan clash antara Amerika Serikat-Uni Soviet. Maeda berpendapat, lebih baik diserahkan kepada kaum nasional-progresif yang kemungkinan besar melawan AS maupun Uni Soviet. Ia cenderung untuk mendorong Tan Malaka sebagai sarana gagasannya. Maeda ingin mengeksploitasi sentimen Marxis-nasionalis yang telah tumbuh sejak zaman Sneevliet.

Peranan utama adalah Tan Malaka. Tan Malaka dahulu Komisaris Komintern untuk Asia Tenggara, telah dikenal sebagai penggerak PARI yang berorientasi nasional. Berbeda dengan tokoh-tokoh Komunis yang pro-Moskow dan menjalankan apapun yang digariskan Moskow. Dan antifasis Tan Malaka berpendapat lain, ia jelas melihat Jepang sebagai kekuatan yang bakal bisa menumbangkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, Tan Malaka kemudian pergi ke Tokyo yang diterima dengan tanga terbuka. Tan Malaka ingin menggunakan Jepang sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Ia tak menyetujui united front from above yang digariskan Moskow.

Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 dan menyamar sebagai romusha di pertambangan Bayah, Banten Selatan. Konon katanya, ia bekerja secara diam-diam untuk Laksamana T. Maeda dan Hitashi Shimitzu (Sendenbu). Dari sana, ia secara teratur menyiarkan “Suara Tokyo”. Dengan cara Tan Malaka, seperti Bung Karno dan Bung Hatta mengabdi kepada kepentingan nasional. Ia mengorganisasikan kader-kader dalam Sendenbu seperti Adam Malik di “Domai”, Chairul Saleh, Sukarni terkenal sebagai Grup Pemuda Menteng 31. Tan Malaka juga menarik Iwa Kusumasumantri dan Subardjo yang dahulu belajar sebentar di Moskow, tetapi kemudian melepaskan diri dari Stalin. Tahun 1930, ia datang ke Tokyo di mana ia menjadi wartawan harian Matahari pimpinan Iwa Kusumasumantri.

Oktober 1944, Laksamana Maeda membuat suatu institut politik, di mana para mahasiswa yang terpilih diberi pelajaran ideologi Marxisme dengan orientasi nasional. Ia dibantu oleh Iwa Kusumasumantri dan Soebardjo. Para tokoh nasional yang memberi kuliah antara lain ialah Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Tetapi kursus itu kemasukan juga PKI-illegal, seperti Wikana yang menjadi Direktur Sekolah. Juga siswa-siswanya, seperti D.N. Aidit dan Mohamad Yusuf, yang kemudian mengorganisasi PKI-legal pertama sesudah Jepang menyerah.

Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada pekan pertama bulan Agustus dengan Bung Karno sebagai calon Presiden dan Bung Hatta sebagai calon Wakil Presiden. Namun Jepang sudah menyerah pada 15 Agustus 1945.

Syahrir keluar dari bawah tanah, dan mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi Bung Karno ragu. Kemudian Wikana dan Darwis menemui Bung Karno, mengatakan bahwa rakyat dan para mahasiswa sudah siap untuk proklamasi. Bung Karno masih ragu, katanya mau bicara dahulu dengan Hatta. Namun Chairul Saleh, Sukarni, Suwoto Kunto, dan Singgih mengajaknya berkonsultasi dengan Bung Karno. Mereka dibawa ke Rengasdengklok; suatu tempat bekas Daidan (tangsi militer Jepang). Malam hari, tanggal 16 Agustus 1945, mereka dibawa kembali ke Jakarta. Di rumah Laksamana Maeda, malam itu juga teks proklamasi dibuat, dan selesai pukul 04.00.

Hari itu —pukul 10.00, Proklamasi Kemerdekaan diumumkan di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Sebelum itu, Sjahrir tak menyetujui isi teks proklamasi akan ditandatangani oleh mereka yang tidak anti-Jepang, karena khawatir nanti dicap boneka Jepang. Wibawa Bung Karno dan Bung Hatta masih cukup agung. Mereka adalah pemimpin-pemimpin nasional yang sangat dicintai rakyatnya. Belum ada pemimpin nasional lainnya yang bisa menandingi wibawa mereka. Oleh karena itu, sekalipun kedua tokoh mempunyai kelemahan-kelemahan politis karena bekerjasama dengan Jepang, namun tindakan mereka dimaklumi sebagai taktik untuk membangkitkan rasa kebangsaan rakyat Indonesia pada umumnya. Dan memang rasa kebangsaan tumbuh dengan mantap di masa pendudukan Jepang.

Rasa cinta tanah air inilah yang menyebabkan ideologi Komunis yang bersifat supra-nasional dan berporos ke Moskow tak gampang mendapat perhatian rakyat. Lagi pula, lapisan atas PKI —yang selama itu absen dan terpaksa bergerak di bawah tanah— sangat sulit bagi PKI untuk berkembang. Organisasinya pun sangat lemah. Tak ada tokoh Komunis di Indonesia waktu itu yang berwibawa seperti misalnya Mao Tse-Tung atau Ho Chi Minh. Kata D.N. Aidit, “Partai juga tak mempunyai pengalaman dalam perjuangan bersenjata, sesuatu yang sangat dibutuhkan di masa revolusi.” Waktu itu, D.N. Aidit belum berumur 22 tahun, yang masih menjadi suruhan Chairul Saleh kesana-kemari. Kepemimpinan PKI sama sekali tak kelihatan menonjol. Oleh karena itu, dengan amat kecewa, D.N. Aidit harus melihat kepemimpinan jatuh di tangan kaum nasionalis dan agama.

Dalam sidang pleno CC PKI 24 Desember 1963, waktu itu menengok kembali sejarah revolusi. D.N. Aidit mengatakan, “PKI menganggap revolusi Agustus 1945 sudah gagal, karena:
1. Pimpinan jatuh ke tangan kaum borjuis, bukan kaum proletar;
2. Kaum proletar belum sadar akan arti revolusi;
3. Tujuan revolusi bukan diktator-proletariat.

Oleh karena itu, tindakan tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Merebut kepemimpinan dari tangan kaum borjuis;
2. Menyadarkan kaum proletar akan arti revolusi.

Namun ia katakan, kekuatan revolusi untuk merebut pimpinan tidak datang dari langit. Begitu pun kesadaran berevolusi. Melainkan harus dipersiapkan baik-baik.

Bagi seorang Marxisme-Leninisme, sosialisme pasti datang sebagai hasil proses historis. Baginya, historis-materialisme bukan sekedar teori atau ilmu, melainkan hukum alam. Falsafah Marx, bagi mereka adalah semacam dogma agama. Pegangan optimis akan datangnya masa indah, masa gemilang. Isinya abstrak tak diketahui. Ia hanya percaya, bahwa historis-materialisme pasti akan mengantarkannya ke sosialisme. “Bagaikan air yang mengalir dari gunung, bermuara ke laut adalah keharusan sejarah,” kata Bung Karno. Kita ingat akan cerita dalam pewayangan, waktu Brahmana Yogaswara memperingatkan Rahwana, “Sebagai seorang Brahmana, wajib aku peringatkan pada sekalian umat, bahwasanya kian besar angan-angan seseorang, kian besar pula ia dibohongi.” Artinya, dibohongi diri sendiri. Kesalahan PKI dalam berbagai pemberontakan di Indonesia selama ini banyak disebabkan karena kebohongan diri sendiri. Bahwa rakyat sudah matang untuk berevolusi. Bahwa kekuatan militer klandestin-nya sudah cukup. Organisasi sudah baik, plot sudah direncanakan secara rapi. Nyatanya PKI selalu di makan oleh penyakit spontanitas yang kekanak-kanakan. Terlalu ambisius, terlalu tergesa-gesa, sehingga gagal dan memakan banyak korban percuma yang berakibat organisasi lama sulit untuk bisa bangun kembali. Lagi pula, setiap pemberontakan PKI selalu dibarengi dengan pertumpahan darah —sesuai dengan doktrinnya bahwa revolusinya menghendaki banjir darah. Tetapi demikian itu hanya diibaratkan paraji yang harus melahirkan masyarakat haus. Benderanya palu-arit berlandaskan merah darah, membuktikan bahwa kaum Komunis sedunia adalah haus secara. Jelas hal ini tak mendapatkan berkah dari Allah.

Lenin dalam What to be Done dengan pedas mengkritik aliran dalam kelas buruh yang membungkuk kepada spontanitas. Lenin menandaskan, bahwa perlu melakukan perjuangan sengit untuk menentang spontanitas. Ia katakan selanjutnya, bahwa, “Kita akan menjadi petualang yang menyedihkan jika tak dapat merencanakan taktik politik dan menyusun rencana organisasi.”

Para muda kita dijadikan Seinendan —gerakan pemuda yang menggerakkan massa pemuda— untuk siap mental dan fisik. “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” adalah semboyan-semboyan perjuangan waktu itu. Setiap pagi, semua diharuskan ber-taisho (senam pagi) supaya fisik kuat. Pada masa itu, kesengsaraan dan kelaparan telah semakin lama semakin tak tertahankan. Rakyat disuruh beramai-ramai menanam karet dan mengumpulkan emas-intan miliknya untuk diserahkan kepada penguasa Jepang. Entah, untuk apa. Radio disegel. Sementara, masa itu merajalela bekicot; suatu hewan aneh yang mulai dikenal di masa kesengsaraan itu. Bekicot inilah yang dibakar untuk di makan, daripada mati kelaparan. Diam-diam rakyat benci terhadap si Cebol dari Pulau Tembini, “saudara tua” yang teramat kejam. Gadis-gadis yang lumayan kecantikannya —terutama gadis-gadis Indo— dengan tipu muslihat dimasukkan dalam kamp bagi rekreasi pemuas nafsu birahi tentara Jepang.

Pada masa itulah tersebarnya ramalan Prabu Jayabaya, satu-satunya harapan bagi rakyat. “Tekane bebantu soko nuso Tembini. Kekulitane jenar. Dedege cebol kepalang. Iku kang bakal ngebrok tanah Jowo kene. Pangrehe mung saumur jagung suwene. Nuli boyong nyang negarane dewe; nusa Tembini. Tanah Jowo bali neng asale sekawit. Bali nyang putro-putrining tanah Jowo maneh; datangnya bantuan dari pulau Tembini. Kulitnya kuning. Bertubuh kelewat pendek. Itu yang bakal menduduki tanah Jawa ini. Kekuasaannya hanya seumur jagung. Kemudian kembali ke negeri sendiri; Pulau Tembini. Tanah Jawa kembali seperti semula. Kembali kepada putra-putri tanah Jawa sendiri.” Betapa tepat ramalan Prabu Jayabaya yang telah ditulisnya lebih dari 500 tahun yang lalu di zaman pra-Majapahit.

Orang Jawa pada umumnya sangat mempercayai ramalan-ramalan Jayabaya tersebut yang membuat si Cebol amat kejengkelan. Kadangkala malahan orang-orang sinting, dengan pakaian compang-camping, sambil mencari makanan pada tong-tong sampah, berteriak-teriak menguraikan ramalan tersebut di jalanan umum. Para pemimpin perjuangan pada waktu itu, bergerak di bawah tanah. Amir Sjarifudin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Amir Sjarifudin kemudian menerima bantuan klandestin dana dari Van der Plas f25.000 sebagai dana untuk melawan fasisme Jepang.

Pada zaman memuncaknya penderitaan rakyat di bawah tekanan militerisme Jepang, di Blitar meledaklah pemberontakan PETA di bawah pimpinan Suprijadi. Di Indramayu dan Cimareme juga terjadi pemberontakan-pemberontakan rakyat.

Ketika kekuasaan militer Jepang hampir ambruk, para pemimpin kita telah mempersiapkan bentuk dan dasar Indonesia Merdeka. Dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan. Sesudah Jepang takluk pada tanggal 15 Agustus 1945, panitia ini mempercepat realisasi persiapannya.

Terkait: Kesadaran Nasional, Cita-cita kemerdekaan, dan Keadilan Sosial | Revolusi Agustus 1945

Selasa, 28 Mei 2019

Kesadaran Nasional, Cita-cita Kemerdekaan, dan Keadilan Sosial


Kesadaran berorganisasi modern, kebangsaan serta keadilan sosial bukanlah hanya dimiliki oleh kaum Komunis, akan tetapi dibawa oleh makin majunya pendidikan.

Demikianlah lahir Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tahun 1912 bulan November tanggal 18, Budi Utomo oleh para siswa STOVIA, lantas Trikoro Dharmo pada tanggal 7 Maret 1915 yang bertujuan solidaritas pelajar dan meningkatkan kepribadian sendiri. Perkumpulan ini kemudian menjadi Jong Java yang membangkitkan pikiran-pikiran pemuda daerah seberang. Timbullah berturut-turut Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timur, Sekar Rukun dan lain-lain.

Pada tanggal 7 Februari 1927 di Bandung mereka sepakat untuk berfusi menjadi satu wadah pemuda Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 dilangsungkan Sumpah Pemuda, dimana diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; “Indonesia Raya” untuk pertama kali diperdengarkan. Suatu embrio dari nasionalisme Indonesia.

Sejak saat itu, perjuangan ditingkatkan menjadi politik. Pada tahun 1930, dibentuklah Indonesia Muda, kemudian Suluh Pemuda Indonesia (SPI), Pergerakan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), dan Pemuda Taman Siswa.

Golongan Islam membentuk Jong Islamieten Bond (JIB) di bawah pimpinan Kasman Singodimedjo dan Sjamsuridjal. Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Kristen dan Katholik pun membentuk wadah masing-masing. Juga sebagai kepanduan Jong Java, INPO, KBI, Hizbul Wathon, Pandu Sarikat Islam, NATIPIJ, Kepanduan Rakyat Indonesia, dan JPO (Javaansche Padvinders Organisasi) di Solo. Banyak organisasi yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kesadaran nasional telah tumbuh secara menyeluruh, yang merupakan dinamika baru.

Dalam pergerakan nasional, lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927 atas prakarsa Ir. Soekarno; seorang pemuda asuhan H.O.S. Tjokroaminoto; yang berhaluan nasional Marxist. Dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak Hadisurja, Ir. Anwari, Dr. Samsi Soewirjo, Gatot Mangkupradja, Supriadinata dan lain-lain.

Ir. Soekarno yang dikenal sebagai Bung Karno menginstruksikan nasionalisme baru, “Yaitu perkawinan antara Marxisme dan Nasionalisme. Ilmu baru, senjata perjuangan baru, sikap hidup baru yang disebut Marhaenisme.” Nama yang dikatakan sebagai nama petani Jawa Barat ini menjadi bahan debat tak berkeputusan.

Dalam wejangannya, “Marhaen dan Proletar” halaman 225, ia berkata, “Marhaen bukanlah kaum proletar saja, tetapi kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Bahwa dalam perjuangan bersama kaum Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. Sebab kaum proletarlah yang pertama-tama mengerti akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Nah, saya berkata Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme adalah het in Indonesia-toegepaste-Marxisme. Untuk itu, harus memahami Marxisme dan keadaan Indonesia. Kalau dihubungkan dengan nama Bung Karno, saya minta supaya Marhaenisme seperti Marhaenisme-nya Bung Karno. Kalau tidak cocok dengan Marhaenisme-nya Bung Karno, kasihlah nama lain. Jangan dikatakan Marhaenisme.” Dengan mensitir kata Lenin, Bung Karno mengatakan, “Tanpa teori revolusioner, tak mungkin ada gerakan revolusioner.”

Aidit di Peking 2 September 1963 juga mengatakan, “Kaum Komunis Indonesia merasa, bahwa mereka telah berada di jalan yang benar, yaitu mengintegrasikan secara total kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia. Sampai batas tertentu, kami sudah berhasil meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme. Tahu Marxisme-Leninisme dan kenal keadaan.”

Bung Karno sebagai Marxist membagi teori revolusinya dalam dua tahap, yaitu tahap nasionalis-demokratis dan tahap sosialis. Tetapi Marxist yang yakin, Bung Karno seperti halnya Lenin, Fidel Castro, Ho Chi Minh maupun Mao Tse-Tung menyesuaikan dengan kondisi nasionalnya. Dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional, pola dan strategi itu tetap ia pegang dengan teguhnya. Dengan memahami teori revolusinya Bung Karno yang dimuat dalam buku Wejangan Revolusi 1922 hlm. 217, kita lantas mengerti mengapa Bung Karno teguh pada pendiriannya, bahwa revolusi belum selesai. Walaupun kemerdekaan telah bulat di tangan kita.

Dr. Moh. Hatta tak sependapat dengan Bung Karno, bahwa revolusi belum selesai. Menurut Hatta, revolusi kemerdekaan telah selesai setelah kedaulatan kita peroleh, dan seharusnya mulailah membangun. Tetapi menurut Bung Karno, revolusi belum selesai. Tahap revolusi kedua masih harus dilaksanakan. Hatta kemudian mengundurkan diri. Ia tak mau dilibatkan dalam petualangan. Rakyat akan semakin bingung dibuatnya. Semakin tak mengerti setelah diajak mengikuti ‘politik konfrontasi’ dengan dibuatkan musuh-musuh bayangan; Nekolim. Pengerahan-pengerahan massa dalam Front Nasional, serta menggerakkan ABRI ke perbatasan. Haluan negaranya Manipol, konsepnya PKI.

Memang bagi mereka yang umumnya tak mengerti teori-teori Marxisme-Leninisme, segala istilah revolusi yang asing itu tetap asing baginya. Tetapi hati nuraninya mengatakan, bahwa mendung gelap telah menggantung di angkasa, pertanda akan datangnya bencana nasional. Entah dari mana. Percaya bahwa akhirnya semua isu yang palsu, pada suatu ketika akan terbongkar juga.

Kembali kepada sejarah perjuangan nasional. Sementara itu, di negeri Belanda ada organisasi pemuda-mahasiswa yang menamakan dirinya Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Moh. Hatta. Dengan para anggotanya Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Ahmad Subardjo dan lain-lain. Pada tahun 1930, mereka dikeluarkan dari LIGA (League Against Imperialism), front yang dibentuk tahun 1926. Front ini terbagi dua, yang satu cenderung mendukung komunisme, yang lainnya menentang. Hatta dan Soebardjo duduk dalam Komite Eksekutif bersama-sama Semaun, Pandit Jawaharlal Nehru, Albert Einstein dan lain-lain. Karena dituduh sebagai reformis nasional, maka Hatta dan kawan-kawannya dikeluarkan dari LIGA. Disebabkan pertentangan dari dalam, maka LIGA itu pun bubar karena sikap kaum Komunis. Tak lama kemudian, Bung Karno oleh Landraad Bandung, kena tuduhan pasal 169, bukan pelanggaran pasal 153 KUHP (menghasut haatzaai artikelen) semata-mata seperti diduga rekan-rekan. Pelanggaran pasal 169 menentukan, bahwa barangsiapa turut serta menjadi anggota perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatan-kejahatan, akan dihukum.

PNI dengan sendirinya dicap sebagai organisasi terlarang. Memang maksudnya Pemerintah Kolonial mematikan PNI (Prof. J.M.J. Schepper—1931). Bung Karno bersama Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata dijatuhi hukuman masing-masing 4 tahun (kemudian dikurangi 2 tahun), 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan. Vonis dijatuhkan pada tanggal 22 Desember 1930. Itulah sebabnya mengapa PNI mengundang suatu konferensi luar biasa pada tanggal 25 April 1931 di Batavia, di gedung Permufakatan Nasional, Gg. Kenari, dipimpin oleh Mr. Sartono dan dihadiri oleh Ir. Anwari, S. Angronsudirdjo, Suwirjo serta utusan-utusan daerah. Konferensi menyetujui pembubaran PNI. Namun keputusan Konferensi Luar Biasa ini banyak yang tidak menyetujui, karena dianggap tunduk kepada Pemerintah Kolonial yang justru bermaksud membunuh PNI. Tidakkah lebih baik bertahan karena tentu lebih baik kalau mati terhormat? Golongan yang pro menjawab, bahwa gerakan nasional ini berdasarkan atas aksi-massa yang datang tak mungkin dijalankan dalam keadaan demikian. Di antara yang tak setuju adalah Sjahrir dan Hatta yang masih di Netherland. Sjahril disuruh pulang, mengorbankan studinya untuk memprakarsai pembentukan PNI-Baru, seperti telah dicita-citakannya sebagai wadah bagi Perhimpunan Indonesia di tanah air. Partai Pendidikan Nasional ini mendasarkan programnya kepada pembibitan kader, berbeda dengan yang lama yang menitikberatkan pada aksi-massa. Hatta begitu selesai studinya, segera juga pulang ke tanah air, lantas diserahi pimpinan. Ia menjabat sebagai Ketua Umum.

Bekas-bekas anggota PNI-Lama berkumpul kembali pada tanggal 26 April 1931, yaitu sehari setelah PNI dibubarkan, untuk membentuk suatu panitia wadah baru. Mereka ialah Mr. Sartono, Angronsudirdjo, Soekemi, dan Manadi. Berdirilah Partai Indonesia (PARTINDO) dengan tujuan: Indonesia merdeka dan berasaskan nasionalisme serta percaya pada diri sendiri (self help). Sayangnya, kedua PNI ini saling cakar. Maklum, bangsa kita masih berada dalam kondisi demikian. Pertumbuhan nasionalisme yang masih bersifat kekanak-kanakan. Emosi masih menjiwai para muda, bukan lagi nalar. Bung Karno yang dibebaskan pada bulan Desember 1931 sangat kecewa melihat perpecahan antara para pejuang. Ia berusaha keras untuk mempersatukan kembali, tetapi mengalami kesulitan.

Pada tanggal 1-3 Januari 1932, Bung Karno memenuhi undangan Dr. Soetomo ke Surabaya untuk menghadiri Kongres Indonesia Raya-nya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia); suatu federasi partai-partai politik yang pembentukannya diprakarsai dan didukung PNI. “Di zaman itu, pergerakan kemerdekaan nasional kita terpecah belah menjadi beberapa golongan yang tak saja berbeda sifat, corak, dan aliran, tetapi sering juga bertentangan satu lawan lainnya. Begitu hebat pertentangan-pertentangan itu, hingga tidak jarang memuncak pertarungan politik sengit,” demikian Mr. Ali Sastroamidjojo dalam memorinya “Tonggak-tonggak di Perjalananku” (hlm. 91).

Sebagai contoh, pertentangan antara Agus Salim lawan Mr. Singgih yang terjadi di Yogyakarta permulaan tahun 1927 di muka umum. Agus Salim memfitnah Mr. R.P. Singgih sebagai antek Jaksa Agung Belanda yang diselundupkan dalam kalangan pergerakan. Pertentangan antara golongan agama lawan nasionalis menjadi hangat. Tragedi itu tak disadari oleh mereka yang sedang diamuk emosi. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno tahun 1926 menulis suatu artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang berseru pentingnya persatuan nasional sebagai syarat mutlak untuk mencapai Indonesia Merdeka. Kemudian pada tahun berikutnya, lahirlah PPPKI yang di sambut gembira oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang dinyatakan dalam Kongres Sarikat Islam di Pekalongan, September 1927. Di prakarsai oleh Bung Karno dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo dari Partai SI, di mufakati untuk mengadakan rapat umum PPPKI di Batavia, tanggal 25 Maret 1928. Pimpinan adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang antara lain memutuskan Perhimpunan Indonesia di Netherland sebagai perisai pos depan di Netherland untuk berpropaganda menentang pasal-pasal 153 bis dan bis 161 KUHP Hindia-Belanda. Sedang di tanah air mengadakan momen aksi untuk menentang pasal-pasal tersebut.

Pada Kongres II di Solo, benih perpecahan dalam tubuh PPPKI telah semakin tampak. Dalam kongres itu, nasionalis kiri diwakili oleh Bung Karno, Mr. Sartono, Ir. Anwari, Gatot Mangkupradja, dan Mr. Ali Sastroamidjojo. Sedangkan nasionalis moderat oleh Dr. Sutomo dari PBI, Husni Thamrin dari Kaum Betawi, R.T. Kusumo Utojo dan Mr. Singgih dari BU, dan Dahlan dari Sumatranen Bond. Golongan Islam diwakili oleh Dr. Sukiman dan Drijowongso. Topik yang menjadi pertentangan adalah istilah “kebangsaan”. Debat sengit terjadi antara golongan radikal (kiri) lawan Islam dan Nasionalis moderat. Tetapi kemudian dapat dicernakan oleh Dr. Sutomo yang berpidato dengan sangat menarik dan moderat.

Dr. Sutomo malah menawari Mr. Ali Sastroamidjojo pindah saja ke Surabaya untuk memimpin surat kabar Suara Umum dan mingguan Suluh dengan gaji f400. Pak Ali mengusulkan nama Berita Indonesia yang bakal terbit 1 Oktober 1930, dan agar dirinya didampingi oleh Ir. Anwari yang disetujui oleh Dr. Sutomo. Entah bagaimana, akhirnya Ali Sastroamidjojo membatalkan niatnya untuk membantu Dr. Sutomo.

Bukan hanya dalam kalangan nasionalis kiri terjangkit perpecahan, melainkan juga dalam barisan Islam. Setelah H.O.S. Tjokroaminoto wafat tahun 1934, PSII pecah. Mereka yang memisahkan diri, mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII). Kemudian PII di bawah pimpinan Sukisman Wirjosandjojo. Sedangkan golongan H. Agus Salim, Sangadji, dan Moh. Roem mendirikan Barisan Penyadar. S.M. Kartosuwirjo tetap memakai nama PSII, tetapi memisahkan diri dari golongan Arudji Kartawinata, Abikoesno, dan Wondoamiseno.

Kaum Katholik mendirikan “Pakempalan Politik Katholik Jawi” (PPKD) pada tanggal 22 Februari 1945 di bawah pimpinan I.J. Kasimo. Kemudian nama tersebut disempurnakan menjadi “Perkumpulan Politik Katholik di Jawa” yang berarti membuka pintu bagi masyarakat suku lain. Tahun 1938, PPKD menjadi PPKI.

Golongan Kristen mendirikan “Perserikatan Kaum Kristen” di bawah pimpinan Notosutarso.

Yang terkoordinasi dalam PPPKI adalah PNI, SI, BU, Pasundan, Serikat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesisch, Studie Club Surabaya, Sarikat Madura, Perserikatan Celebes, dan Tirtayasa.

Usaha Bung Karno untuk mempersatukan kaum nasionalis moderat mengalami kegagalan. Akhirnya, ia sendiri memasuki PARTINDO, kemudian diangkat menjadi Ketua Umumnya. PARTINDO maju dengan pesatnya berkat karisma Bung Karno. Akan tetapi Pemerintah Kolonial tentu saja kecut. Pada bulan Juni 1933, dikeluarkanlah larangan bagi pegawai negeri untuk memasuki pergerakan; khususnya PARTINDO. Dan Bung Karno sendiri pada tanggal 1 Agustus 1933 ditangkap atas dasar hak exorbitant Gubernur Jenderal, kemudian diasingkan ke Ende, Flores.

PARTINDO menulis dalam surat kabarnya Persatuan Indonesia, “Selama pena kita masih berpucuk, kita masih tetap akan mendengungkan suara kita dan akan menentang segala hasutan yang ditujukan pada pergerakan kemerdekaan nasional. Kita akan terus mempersatukan Indonesia, baik jiwanya maupun kekuatannya.” Di samping itu, Pendidikan Nasional Indonesia juga diincar. Bung Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Banda.

Kongres PARTINDO di Batavia yang sedianya dilangsungkan tanggal 30 Desember 1934 juga dilarang. PPPKI juga mendapat kesukaran, karena PARTINDO menjadi salah satu anggotanya. Maka pada tanggal 9 Februari 1935 PARTINDO menyatakan diri keluar dari PPPKI. Tekanan-tekanan terus dilancarkan terhadap pergerakan nasional. Bung Karno pada bulan Oktober 1933 dari tempat pengasingannya menyatakan diri keluar dari PARTINDO. Suatu pukulan yang berat. Akhirnya juga PARTINDO pada tanggal 18 November 1936 menyatakan diri bubar.

Suatu wadah baru muncul, yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) pada tanggal 24 Mei 1937 yang asas dan tujuannya sama dengan PARTINDO. Pimpinannya ialah Adnan K. Gani (Ketua), Moh. Yamin, Amir Sjarifudin, Sarimin Mangunsarkoro, dan Njonopranoto. GERINDO melepaskan prinsip nonkoperasi, karena hanya akan merugikan perjuangan. Lagi pula politik radikal toh sudah ditanamkan. GERINDO selain mendasarkan gerakannya atas massa aksi, juga antifasis. Karena waktu itu munculnya Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan Jenderal Tojo di Jepang cukup menggegerkan kalangan Marxis.

Bulan Juli 1935 Stalin mengundang Kongres Komintern VII yang pertama sehingga dibuat ramalan dalam 7 tahun. Kali ini untuk melawan “Nasional Sosialis”-nya Hitler, ia gariskan politik lebih lunak. Kerjasama dengan borjuis dalam united front. Sekjen Komintern Georgi Dimitrov mengatakan, “Pertama harus dilakukan united front untuk melaksanakan united actions di setiap negara di dunia. Jangan menyinggung siapa-siapa, perorangan, ormas atau partai lainnya yang bisa diajak bergolak bersama oleh kelas pekerja melawan fasisme.”

Untuk pertama kali sejak retak dengan Perhimpunan Indonesia tahun 1928, kaum Komunis Indonesia dan Semaun diperkenankan kerjasama dengan kaum borjuis nasional.

Amir Sjarifudin sejak 1935 itu telah diminta oleh Muso untuk masuk PKI secara klandestin (sembunyi-sembunyi). PARTINDO juga meningkatkan perjuangannya dalam politik parlementer. Kalau GERINDO berprinsip antifasis tanpa pandang bulu —termasuk Jepang, PARINDRA berpandangan lain. Ia akan gunakan Jepang untuk mengusir penjajahan Belanda yang sudah karatan bercokol. Watak kolot kolonialisme itu dinyatakan waktu pemerintah Hindia Belanda tetap keras kepala tak memberi angin sedikitpun kepada tuntutan “Indonesia berparlemen.”

“Petisi Sutardjo” yang hanya meminta otonomi bagi Indonesia bersama Curacao dan Suriname dalam “Ikatan Kerajaan Belanda” tetap ditolak (November 1938).

Usul Husni Thamrin untuk menghilangkan kata inlander dan diganti dengan Indonesier, juga ditolak. Atas prakarsa PSII dan PARINDRA, diusulkan pembentukan suatu federasi baru bernama Badan Perantara Partai-partai Politik Indonesia (BAPEPPI) tetapi tak hidup, karena GERINDO dan PNI Baru tidak ikut serta.

Pada bulan Mei tanggal 21 tahun 1939 didirikanlah badan persatuan baru yang disebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan asas-asas:
1. Hak menentukan nasib sendiri;
2. Persatuan nasional;
3. Demokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan
4. Persatuan aksi.

Partai ini didirikan dan dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (Islam), Moh. Husni Thamrin (nasionalis), dan Amir Sjarifudin (nasionalis kiri).

Sementara itu pada bulan September 1939 telah meletus Perang Dunia II di Eropa. Walaupun Netherland berdiri netral, namun tak urung digilas NAZI Jerman hanya dalam 6 hari. Gerakan nasionalis kiri lucunya banyak yang bersimpati kepada Netherland dalam menghadapi NAZI. Bukan karena perikemanusiaan, melainkan politis. Tampaknya jiwa Marxis disini lebih berbicara daripada nasionalisme yang menurut nalar situasi lebih memungkinkan untuk mempercepat meraih cita-cita kemerdekaan, sesudah Hindia Belanda lepas dari induknya.

Pada tanggal 25 Desember 1939 di Gg. Kenari Batavia, “Kongres Rakyat Indonesia” berlangsung. Dihadiri oleh 90 organisasi, baik politik maupun sosial-budaya. Keputusan terpenting adalah tuntutan “Indonesia berparlemen” serta memperkuat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu bahasa persatuan Indonesia, bendera kebangsaan Merah Putih, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Tetapi hati Gubernur Jenderal Tjarda Starkenborgh tetap membantu. Februari 1940 akhirnya datang jawaban dari pemerintah Belanda yang ditandatangani oleh P.M. Welter tuntutan ditoIak. Belum matang, katanya. Betul-betul kekolotan jiwa kolonialis.

Tanggal 10 Mei 1940, Netherland bertekuk lutut di bawah telapak kaki NAZI Jerman. Pemerintah dan Ratu Juliana mengasingkan diri ke London. Rakyat Hindia Belanda merana dalam masa pendudukan. Pemerintah Hindia Belanda yang sudah ketakutan, masih juga mengumumkan negara dalam keadaan darurat, dan semua rapat pergerakan dilarang. Maka berhentilah kegiatan pergerakan. Kegiatan dialihkan ke Volksraad, di mana tokoh-tokohnya seperti R.P. Soeroso, Moh. Yamin, Sukardjo Wirjopranoto, Sutardjo Hadikusumo membentuk fraksi baru, gabungan antara GNI (Yamin) dan FRANI (Moh Husni Thamrin). Tujuan tetap: “Indonesia merdeka”.

Pada tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia nekat mengadakan konferensi di Yogyakarta yang dibiarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Konferensi mengambil keputusan mendirikan Majelis Rakyat Indonesia yang mengesampingkan volksraad, maksudnya. Tiba-tiba Jepang membom Pearl Harbour pada 6 Desember 1941. Seluruh Asia, geger. Pemerintah Hindia Belanda dengan KNIL-nya tak berpotensi dapat menahan serbuan dahsyat dari bala tentara Jepang. Februari 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dan pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen Ter Poorten bertekuk lutut serta menandatangani penyerahan. Hanya 9 hari setelah Jepang menyerbu. Dan berakhirlah sudah sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia yang lebih dari 350 tahun. Radio Tokyo terus-menerus berkampanye, “Alhamdulillah, Asia Tengah bangun,” yang didahului oleh lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, menggetarkan seluruh jiwa kita, bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dengan spontan bala tentara Jepang disambut di mana-mana dengan kegembiraan meledak serta ucapan-ucapan syukur alhamdulillah. Merah-putih berkibar bebas di mana-mana dan seterusnya ia akan berkibar di angkasa, sepanjang masa.

Pada mulanya bala tentara Jepang menjalankan politik yang cerdik sekali. Seolah-olah kita telah dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Hanya kini kita harus masih mempertahankan diri terhadap kemungkinan serbuan musuh. Para pemimpin kita dijemput dari pengasingan. Bung Karno dan Bung Hatta sejak itu menjadi dwi tunggal yang terus akan memimpin perjuangan bangsa di bawah bayangan tentara pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang lambat-laun menjelma menjadi penindas yang licik dan kejam. Kempetai telah menjadi momok yang sangat menakutkan. Heiho dan Romusha adalah istilah-istilah penindasan para muda waktu itu. Para muda dikerahkan untuk bekerja keras, dibawa ke luar negeri antara lain ke Muangthai dan Burma untuk dipekerjakan pada proyek-proyek kereta api tanpa makan dan cukup dengan pakaian compang-camping. Heiho adalah pembantu prajurit Jepang yang diikutkan berperang di berbagai Medan. Keibodan dan Seinendan untuk gerakan para pemuda. Kemudian PETA adalah pembela tanah air, satu satunya tentara pribumi yang diciptakan Jepang yang kemudian menjadi embrio dari tentara perjuangan kita di kemudian hari.

Terkait: Lahinya PKI | Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi