Minggu, 28 Februari 2016

Menyimpan 'Silet' dalam Mulut

Jangan merasa aman dan yakin di dunia apalagi di akhirat karena merasa sudah rajin sholat, mengaji dan berpuasa jikalau tak mampu menjaga lisan.  Maksudnya?

Abu Huroiroh r.a pernah menyampaikan, ada yang menanyakan kepada Rosululloh SAW begini, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanya saja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”

Dijawab oleh beliau, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Nah Mereka pun bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?” Bersabda Rosululloh, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhri)

Berarti soal menjaga lisan ini bukan perkara kecil bukan? Amat menentukan nasib seorang hamba di dunia, terlebih-lebih di akhirat kelak. Intinya Ibadah vertikal sesorang juga harus dimplementasikan dengan ibadah horizontal dia kepada sesama. Terutama saudara terdekat seperti tetangga dengan menjaga lisannya.

Urusan lisan buat perempuan memang bukan perkara gampang. Banyak yang mengatakan memang dari “sono”nya perempuan dilahirkan sebagai sosok cerewet dan banyak omong. Betulkah?

Sebenarnya tak 100% valid,  tapi setidaknya kalau ada penyebutan “perempuan” secara khusus oleh Alloh SWT dalam kaitannya menjaga lisan, itu tandanya para wanita harus lebih berhati-hati.

Di Surat Al Hujurot ayat 11 disebut jelas, “…dan janganlah perempuan-perempuan (mengolok-ngolok) perempuan lain, kerena boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-ngolok)”.

Nah, peringatan Alloh ini pertanda bahwa siapa saja khususnya perempuan harus benar-benar menjaga lisannya dengan baik. Karena ada istilah mengatakan lidah lebih tajam daripada pedang. Pukulan hanya membekas di badan barang sebentar tapi omongan bisa terpendam di hati hingga terbawa mati. Seram kan?

Tahukah apa saja petaka lisan yang bisa menjauhkan wanita dari surga?

Mencibir atau mengolok-ngolok. Ini masuk petaka besar karena dibalik cibiran biasanya tersembunyi kesombongan. Orang yang mengolok-ngolok seringnya merasa dirinya lebih baik dan sempurna dari orang lain. Padahal barang siapa membawa kesombongan atau ujub maka ia tak akan diperkenankan masuk surga.

Menggunjing atau membicarakan aib orang. Wah ini juga jangan dianggap sepele karena jatuhnya bisa ghibah maupun fitnah. Ghibah jika apa yang disampaikan benar, fitnah jika ternyata salah. Bila tak ingin amal yang sudah kita kumpulkan susah payah di’debet’ orang lain, maka mulai dari sekarang berhentilah menggunjing.

Banyak mengeluh. Konon perempuan gudangnya keluhan terutama mengeluhkan pasangan hidup alias suaminya. Waspadalah. Waspadalah. Jangan sampai tercecer keluhan mengenai pasangan hidup kita di depan teman hatta urusan sepele sekalipun. “Suami saya orangnya ceroboh. Naroh barang suka sembarangan. Sudah gitu malas bangun pagi sekalinya bangun pengennya sudah tersedia kopi!”

Karena mendengar keluhan menantunya mengenai kondisi perekonomian keluarga tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, diriwayatkan Nabi Ibrohim AS akhirnya menyuruh Nabi Ismail menceraikan istrinya.  Bagaimanapun seorang istri harus menjaga kehormatan suaminya.

Keluhan istri juga bisa diartikan ia tidak ikhlas dengan keadaan. Mengeluhkan suami sama saja ia tidak ikhlas mendampingi. Itulah yang kata Rosululloh SAW mengapa banyak wanita jadi penghuni neraka karena sering berkeluh kesah mengenai suaminya baik soal uang maupun tabiatnya.

Dalam hadits riwayat Al Bukhori dikatakan banyaknya wanita dalam neraka karena mereka kufur terhadap suaminya. Kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Meskipun suaminya berbuat baik sebanyak apa pun namun tatkala sedikit saja seorang istri menemukan kekurangannya yang tidak ia sukai para istri ini dengan mudahnya mengucap, “Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.”

Pernahkah terucap demikian? Buru-buru minta maaf segera deh para istri.

Gampang mencela dan ngata-ngatain orang. Perempuan juga paling jago memberi label jelek pada sesama perempuan. “Dasar jablay. Sundel bolong…, perusak rumah tangga orang” dan sederetan cap jelek lainnya. Sss..ingatlah pepatah “Mulutmu harimaumu.”

Nyinyir dan over penilaian. Nah ini dia penyakit lisan lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan. Bukan karena perfeksionis, tapi dasarnya perempuan memang doyan menilai. “Makanan di situ nggak enak. Asiiin. Ih amit-amit mampir ke situ lagi”. Tapi ludes juga tuh masuk ke perut. Apalagi kalau arisan, “Ah, bu. Bajunya ini sudah bagus. Sayangnya kerudungnya kurang matching...” Adaaaa saja yang dinilai dan kadang tidak prinsipil.

Basa-basi tapi tak mengenakkan. Menanyakan sesuatu boleh-boleh saja asal jangan berlebihan dan kadang kala bikin susah orang untuk menjawab. Basa-basi tapi minus empati. Contohnya begini:
“Kapan menikah? Saya nggak sabar nih pengen jadi panitia.” Padahal tahu dia lagi nunggu jodoh.

“Kapan punya anak? Sudah setahun belum isi juga?”

“Kapan nambah anak lagi? Cuma dua mah masih sepi rumah.”

“Kapan mantu?”

Bla…bla…

Tidak tahukah kadang basa-basi terkesan sepele bisa membekas dalam pikiran seseorang dan membuatnya stress? Berempati sajalah dan doakan saja secara diam-diam tak usah menanyakan berulang-ulang kayak siaran iklan.

Menghasut dan manas-manasi teman.  

“Bu, jangan biarkan anaknya main sama anaknya si A. Dia itu celamitan persis kayak ibunya.”

“Ibu harus segera menurunkan berat badan biar nggak gampang sakit. Tetangga saya kemarin meninggal di usia 45 tahun. Masih muda kan, sakit jantung karena kegemukan.”

Yakin deh sahabat, bukannya mengena malah antipati. Kadang ada orang yang dijauhi karena sikap dan ucapannya tidak memberi kenyamanan bagi yang mendengar.

Betapa lisan yang tak terjaga akan menjatuhkan seseorang ke dalam neraka sudah sering diingatkan oleh Rosululloh SAW di hadits yang lain.

“Tiada lain yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka itu hanyalah karena hal-hal yang diucapkan oleh lidah mereka.” (HR. Ashhabus Sunan dan Ahmad)

Lalu bagaimana cara mencegah lisan dari perkataan yang menyakitkan?

Jawaban tergampang adalah latihan mengendalikan diri. Jangan berdalih ucapan buruk itu karena karakter (sifat) bawaan, atau kesukuan. Tidak, lisan itu merupakan gambaran karakter seseorang. Karenanya saring-saringlah dulu ucapan sebelum kelepasan. Berfikir sebelum bicara, bukan di balik ngomong dulu baru mikir.  

Cara lain adalah mulai berkomitmen untuk tidak berdusta, menggunjing, mencela dan lainnya yang berindikasi menyakiti orang lain. Hal yang juga memungkinkan adalah meninggalkan lingkungan pergaulan yang tidak kondusif.

Banyak di kalangan kita ikutan ghibah karena teman-teman sekeliling kita biasa demikian. Tinggalkan pergaulan yang buruk dan bergantilah mencari kawan-kawan yang mendukung kita dalam kebaikan.

Tentunya dengan cara mensiasatinya karena pada dasarnya kita pun dilarang pilah pilih teman karena kesombongan atau merasa lebih suci. Dan terakhir, isilah waktu dengan kesibukan yang bermanfaat. Insya Alloh dengan banyak beraktivitas positif akan menghindarkan kita dari waktu luang yang kadang sia-sia.

Semoga berguna.

Kamis, 25 Februari 2016

"Agar Di Kalangan Muslimin Tidak Ada Lagi Peduli..."

Suatu hari, 'Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan 'Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,
“Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin! Qishoshlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”

'Umar segera bangkit dan berkata,
“Bertakwalah kepada Alloh. Benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?”

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya,” tukas 'Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya.
“Aku datang dari pedalaman yang jauh. Kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah. Segera kucabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya. Kami bisa mendatangkan saksi untuk itu,” sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Tegakkanlah had Alloh atasnya!” timpal yang lain.

'Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda sholih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat,” ujarnya.

“Izinkan aku meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu,” lanjut 'Umar.

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, “Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridho jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.”

'Umar semakin bimbang. Di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Alloh! Laksanakanlah qishosh atasku. Aku ridho dengan ketentuan Alloh,” ujarnya dengan tegas.

“Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishosh.”

“Mana bisa begitu?” ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?” tanya 'Umar.

“Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin. Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?” pemuda lusuh balik bertanya kepada 'Umar.

“Baik. Sku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu agar kamu kembali untuk menepati janji,” kata 'Umar.

“Aku tidak memiliki seorang kerabat pun di sini. Hanya Alloh, hanya Alloh-lah penjaminku, wahai orang-orang beriman,” rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang,
“Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin.”

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

“Salman?” hardik 'Umar marah. “Kau belum mengenal pemuda ini. Demi Alloh, jangan main-main dengan urusan ini!”

“Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya 'Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya,” jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, 'Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rosululloh SAW yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. 'Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishoshan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

“Itu dia!” teriak 'Umar. “Dia datang menepati janjinya!”

Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan 'Umar.

“Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin,” ujarnya dengan susah payah. “Tak kukira... urusan kaumku... menyita... banyak... waktu. Kupacu... tungganganku... tanpa henti, hingga... ia sekarat di gurun... Terpaksa... kutinggalkan... lalu aku berlari dari sana.”

“Demi Alloh,” ujar 'Umar menenanginya dan memberinya minum, “Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya 'Umar.

“Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin... tak ada lagi ksatria... menepati janji...” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata 'Umar berkaca-kaca. Sambil menahan haru, lalu ia bertanya,
“Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?”

Kemudian Salman menjawab,
“Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya.”

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

“Allohu Akbar!” tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak. “Saksikanlah, wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu.”

Semua orang tersentak kaget.

“Kalian...” ujar 'Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian...?” 'Umar semakin haru.

Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana,
“Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya.”

“Allohu Akbar!” teriak hadirin.

Pecahlah tangis bahagia, haru, dan sukacita oleh semua orang.

Masya Alloh..., saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan al-Islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya.
Allohu Akbar!

Menjadi Jomblo yang Sakinah, Muntijah, wa Barokah

Semua manusia religius pasti ingin membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Sebuah keluarga yang menenteramkan jiwa, memberikan balutan cinta, kasih dan sayang, sehingga kehidupan menjadi indah dan bahagia. Namun keinginan untuk membentuk keluarga kadang harus menghadapi realitas yang berbeda, misalnya karena belum segera ketemu jodohnya. Sudah sangat ingin menikah, namun belum juga datang jodoh yang sesuai kriteria.

Orang-orang yang belum menikah ini sering kali disebut dengan istilah gaul sebagai “Jomblo”. Konon, kata jomblo berasal dari bahasa Sunda, JOMLO, yang artinya gadis tua. Dalam pengucapan, rupanya lebih enak dengan tambahan huruf “b”, sehingga menjadi jomblo. Ternyata kata jomblo tidak dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adanya kata jomlo. Namun saat ini, kata jomblo sudah sangat populer untuk menyebut mereka yang masih lajang atau belum maupun sedang tidak berpasangan.

Seseorang menjadi jomblo ada sangat banyak sebab. Ada yang disebabkan belum siap menikah karena faktor usia, ada yang karena tengah menunggu datangnya jodoh, ada yang karena menjanda atau menduda setelah bercerai ataupun ditinggal mati pasangan tercinta, atau sebab-sebab lainnya. Ada pula “jomblo sementara” karena tinggal secara terpisah dari pasangan, seperti orang yang menjadi TKI dan TKW di manca negara. Situasi dan kondisi para jomblo tentu tidak sama.

Apapun sebabnya, namun kondisi jomblo ini sesungguhnya bukanlah penghalang untuk menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan. Maka jika Anda masih jomblo, atau tengah berstatus jomblo, hendaknya menjadi jomblo yang Sakinah (tenang), Muntijah (produktif), wa Barokah (penuh nilai tambah kebaikan). Jomblo yang kehidupannya lurus, produktif, dan penuh berkah. Jomblo yang membawa nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seperti apakah jomblo yang sakinah, muntijah, dan barokah itu?

Jomblo Sakinah
Yang dimaksud dengan sakinah adalah ketenangan, ketenteraman atau kedamaian. Para jomblo bisa mendapatkan kondisi sakinah dari kegiatan ibadah ruhaniyah dan usaha pendekatan diri kepada Allah. Bagi jomblo muslim, ketenangan bisa Anda dapatkan dengan menjalankan ibadah yang diwajibkan, maupun ibadah yang disunnahkan. Karena semua aktivitas ibadah akan mendatangkan ketenangan jiwa dan ketenteraman raga.

Jomblo muslim bisa memperbanyak tilawah Al Qur’an, dzikir, istighfar, shalat malam, puasa sunnah, dan lain sebagainya. Selain itu Anda juga bisa merutinkan diri mendatangi majlis ilmu, pengajian, dan kegiatan positif bersama orang-orang salih. Dengannya anda akan selalu mendapat ketenangan dan ketenteraman. Anda akan menjadi jomblo yang damai dan tidak lebay.

Jomblo yang tidak sakinah berpotensi merusak diri dan lingkungan. Betapa banyak kegiatan “pelarian” dari perasaan kesepian, atau pelarian dari permasalahan, dengan mabok, narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan lain sebagainya. Mencari kesibukan dan kegiatan yang tidak konstruktif, karena kegelisahan jiwa yang tidak mendapat penyaluran secara benar dan positif.

Jomblo yang teler, jomblo yang tawuran, mabok, pergaulan bebas, jomblo yang merusak, merampok, menjarah, dan membikin keonaran, adalah jomblo yang gelisah. Mereka jauh dari nilai-nilai sakinah, karena tidak melakukan pendekatan diri kepada Allah, tidak melakukan ibadah dengan kesungguhan hati. Akhirnya terjebak dalam perilaku hedonis, memuaskan kesenangan sesaat, dan akhirnya terjatuh dalam kubangan ketagihan yang sulit dikendalikan.

Jomblo Muntijah
Yang dimaksud dengan muntijah adalah produktif. Bukan hanya tenang dan damai, di saat yang sama Anda harus menjadi jomblo penuh karya, kreatif, inovatif, produktif, dan konstruktif. Anda harus melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Betapa banyak orang-orang yang menorehkan karya terbaik bagi negara, memberikan sumbangan berupa karya ilmiah, prestasi, penemuan, kejuaraan, dan lain sebagainya. Inilah yang dimaksud dengan muntijah.

Bangsa ini memerlukan sumbangan karya dan kreativitas dari semua pihak, untuk memajukan dan membangun masyarakat. Betapa banyak hal bisa dilakukan untuk memberikan karya terbaik, prestasi terindah, torehan citra kebaikan bagi bangsa dan negara, dimanapun kita berada. Jika para jomblo selalu produktif dalam karya kebaikan, di bidang keahlian dan keunikan masing-masing, akan memberikan banyak kemanfaatan yang konstruktif bukan hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi bangsa dan negara.

Perhatikan manajemen waktu Anda. Sejak dari bangun tidur pagi hari, lakukan hal-hal yang produktif. Melakukan kegiatan rutin, apakah sekolah, kuliah, bekerja, olah raga, membaca, mengaji, ibadah, silaturahim, dan hal-hal produktif lainnya. Sampai saatnya Anda tidur kembali di malam hari untuk istirahat, tidur pun dalam konteks yang produktif. Yaitu tidur yang benar-benar memberikan rehat bagi jiwa dan raga. Tidur nyenyak yang memberikan tenaga untuk keesokan harinya. Bangunnya produktif, tidurnya juga produktif.

Dalam lintasan sejarah Islam, ada banyak ulama yang tidak menikah hingga akhir hayat mereka. Namun mereka sangat produktif dalam kebaikan. Sebutlah Abu Ja’far Ath Thabari. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadits, fikih, ushul fikih, qira’at, sejarah, lughah, nahwu, dan sastra. Beliau dikenal pula dengan sebutan Ibnu Jarir Ath Thabari. Kitab tafsirnya yang sangat terkenal berjudul Jami’ Al Bayan fi Wujuhi Ta’wili Ayyi Al Qur’an. Al Khathib menceritakan bahwa setiap hari Ibnu Jarir menulis kitab sebanyak 40 lembar selama 40 tahun. Bisa kita bayangkan berapa banyak kitab telah ditulisnya dalam waktu tersebut.

Ada pula Abu Qasim Az Zamakhsyari, seorang imam yang sangat mendalami tafsir, sastra, ilmu nahwu, dan ilmu bahasa. Telah menyusun banyak kitab dalam bidang tafsir, hadits gharib, ilmu nahwu dan lain sebagainya, seluruhnya berjumlah sekitar 50 kitab. Kitab tafsirnya berjudul Al Kasyaf fi Tafsiril Qur’an. Az Zamakhsyari tidak menikah sampai akhir hayat beliau, dan beliau menganggap memiliki banyak kitab lebih utama daripada memiliki anak.

Ada pula Imam An Nawawi. Seluruh waktu beliau habiskan untuk mengkaji, menulis kitab, mengajarkan ilmu, beribadah, berdzikir kepada Allah serta melaksanakan puasa wajib maupun sunnah. Di antara kitab yang sangat terkenal karya beliau adalah Syarh Shahih Muslim, Riyadhus Shalihin, Al Adzkar, Al Arba’in, dan Fatawa. Beliau tidak menikah sampai akhir hayatnya, dan berkonsentrasi pada menambah dan mengajarkan ilmu serta beribadah kepada Allah.

Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah seorang imam besar yang mengarang sekitar 500 kitab, beliau hafizh, ahli fikih, mujtahid, ahli tafsir, dan ahli zuhud. Waktu beliau habis untuk mempelajari ilmu, menulis, dan mengajarkan ilmu. Buku-buku beliau menjadi rujukan hingga saat ini di berbagai belahan bumi. Sampai akhir hayatnya, beliau tidak menikah, namun meninggalkan karya abadi yang sangat bermanfaat bagi umat berupa kitab-kitab. Di antaranya adalah Siyasah Syar’iyah.

Mereka ini adalah para ulama yang salih nan alim. Hendaknya kita semua mengambil pelajaran dari semangat dan motivasi mereka dalam melakukan hal-hal produktif bagi kebaikan. Maka jika Anda menjadi jomblo, jangan menjadi jomblo yang menganggur, merana, melamun, membuang waktu dengan keluyuran yang tidak produktif. Jangan menjadi jomblo yang kerjanya sekedar kongkow tanpa melakukan hal-hal yang membawa produktivitas. Jangan menjadi jomblo yang bingung dengan apa yang akan dilakukan, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Sangat sayang bahwa masa-masa emas produktivitas hilang begitu saja, karena larut dalam pergaulan yang tidak membawa kemanfaatan kebaikan.

Jomblo Barokah
Di antara makna kata barokah (Arab: al-barokah) adalah bertambahnya kebaikan. Waktu yang Anda miliki harus mampu memberikan sangat banyak kemanfaatan kebaikan bagi orang lain, dengan memberikan kontribusi optimal dalam berbagai bidang kehidupan. Di sinilah nilai barokah itu. Selalu memberikan nilai tambah kebaikan, bukan hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain.

Jika Anda menjadi jomblo yang sakinah dan muntijah, maka segala kegiatan hidup Anda akan melipatgandakan nilai kebaikan. Seakan-akan hanya melakukan suatu kegiatan kecil, padahal ternyata nilai kemanfaatan dan nilai produktivitasnya sangat besar bagi orang lain. Ada nilai tambah kebaikan yang Anda berikan, bahkan mungkin saja tidak Anda sadari. Ketika Anda selalu berada dalam jalan kebenaran dan kebaikan, hal ini telah menyelamatkan bukan saja diri Anda, namun juga keluarga, masyarakat bangsa, dan negara.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana masa depan bangsa dan negara di Indonesia, jika generasi mudanya berada dalam kubangan penyimpangan. Bayangan Indonesia yang kuat dan bermartabat sudah pasti akan segera lenyap dan tidak bisa diharapkan jika generasi penerus bangsa tidak memiliki jati diri yang mulia. Maka jangan menjadi jomblo lebay, yang meresahkan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Tapi jadilah jomblo yang sakinah, muntijah, wa barokah.

Tentu saja, Anda harus berusaha untuk mendapatkan jodoh, agar bisa membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah serta penuh berkah melimpah.

Bahan Bacaan: Abdul Fatah Abu Ghaddah, “Ulama Yang Tidak Menikah”, Pustaka Azzam, Jakarta, 2001

@pakcah

Rabu, 24 Februari 2016

Belajar dari Cara Elang Menghadapi Badai

Hewan yang paling sering dijadikan pelajaran dalam menghadapi ujian kehidupan adalah elang. Hewan ini punya sikap yang sangat elegan dalam melawan badai.

Elang punya kemampuan mengetahui kapan saatnya datang badai. Dan ketika ia tahu bahwa badai sebentar lagi datang, apakah ia menjauh? Tidak. Justru ia hadapi dengan cerdik.

Beberapa saat menjelang badai datang, elang akan terbang ke titik yang tinggi. Menunggu angin di sana. Hingga badai benar-benar datang, elang merentangkan sayapnya lebar-lebar. Saat itulah angin akan menerbangkannya lebih tinggi lagi. Lebih tinggi dari badai yang mengamuk di bawah. Dan dia terhindar dari badai dengan “mengangkanginya”.

Kecerdikan itulah yang menjadi pelajaran bagi manusia dalam menghadapi ujian. Sebuah ayat kauniyah yang Alloh permudah untuk dipelajari bagi pembangun peradaban bumi.

Seorang muslim tentu tahu bahwa ujian Alloh akan menghampirinya. Itu adalah konsekuensi beriman kepada Alloh swt. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabuut: 2)

Lantas, apakah muslim akan menjauh dari ujian itu? Berarti, ia harus menjauh dari keimanan. Tapi tentu tidak, dengan istiqomahnya seorang muslim akan melakukan persiapan dalam menghadapi badai kehidupan.

Bila elang akan terbang ke titik yang tinggi sembari menunggu badai, maka seorang muslim akan mempertinggi kondisi ruhaninya dengan amalan-amalan wajib dan nafilah. Dengan kedekatan pada Tuhan-lah ia songsong badai.

Dan ketika badai itu datang, ia paham bahwa sebuah ujian hanyalah media untuk meningkatkan derajat dirinya di hadapan Alloh swt. Oleh karena itu, bila elang melebarkan sayapnya dan membiarkan angin melambungkan badannya tinggi ke atas, seorang muslim akan membuka dirinya dan membiarkan ujian yang dihadapi melambungkan derajatnya.

Wahai muslim, kita harus berdiri di atas badai ujian hidup kita. Tidak boleh kita biarkan terjebak dalam pusaran angin kencang dan terguncang-guncang tanpa daya.

Bila ujian hidup itu adalah sebuah arus liar, jangan biarkan akal sehat kita hanyut diombang-ambing oleh gelombang besar. Biarkan ujian itu mengalir bersama takdir, sementara akal sehat kita ada di atasnya menganalisa apa yang terjadi. Kelak arus liar itu pun akan berlalu dengan sendirinya.

Bila akal sehat kita tidak hanyut, dari atas gelombang akal sehat kita bisa saja membelokkan arus. Dengan berada lebih tinggi, kita menemukan pemandangan yang lebih luas untuk menentukan kemana arus berbelok dengan mengubah jalur sungai.

Yang terpenting, dengan berada di atas arus liar ujian kehidupan, akal sehat kita bisa menganalisa dan memahami tipikal air bah yang suatu saat akan kembali datang. Kita bisa mengambil pelajaran darinya, dan melakukan koreksi atas perilaku kita.

Periksa Dulu...

"Titip uang bisa jadi kurang. Titip omongan bisa jadi lebih"

Sehabis pulang dari sawah, kerbau rebahan di kandang dengan wajah capek dan nafas yang berat. Datanglah anjing. Kerbau lalu berucap:
"Ahh... teman lama. Aku sungguh capek dan besok mau istirahat sehari."

Anjing pergi dan jumpa kucing di sudut tembok, dan berkata: 
"Tadi saya jumpa kerbau. Dia besok mau istirahat dulu. Pantaslah, sebab boss kasih kerjaan terlalu berat sih."

Kucing lalu cerita ke kambing dan berkata: 
"Kerbau komplain, boss kasih kerja terlalu banyak dan berat. Besok gak mau kerja lagi."

Kambing jumpa ayam dan berucap:
"Kerbau gak suka kerja untuk boss lagi, sebab mungkin ada boss lain yang lebih baik."

Ayam jumpa monyet dan berkata:
"Kerbau gak akan kerja untuk bossnya dan ingin cari kerja di tempat yang lain."

Saat makan malam, monyet jumpa boss dan berkata: 
"Boss, si kerbau akhir-akhir ini sudah berubah sifatnya dan mau meninggalkan boss untuk kerja dengan boss lain."

Mendengar ucapan monyet, boss marah besar dan membunuh si kerbau karena dinilai telah mengkhianatinya.

Ucapan asli kerbau: 
"SAYA SUNGGUH CAPEK DAN BESOK MAU ISTIRAHAT SEHARI".

Lewat beberapa teman, akhirnya ucapan ini sampai ke boss dan pernyataan kerbau telah berubah menjadi: 
"Si Kerbau akhir-akhir ini telah berubah sifatnya dan mau meninggalkan boss untuk kerja dengan boss lain."

Sangat baik untuk disimak:
• Ada kalanya suatu ucapan harus berhenti (stop) sampai telinga kita saja. Tidak perlu diteruskan ke orang lain.

• Jangan percaya begitu saja apa yang dikatakan orang lain, meskipun itu orang terdekat kita. Kita perlu check and recheck kebenarannya sebelum bertindak.

• Kebiasaan melanjutkan perkataan orang lain dengan kecenderungan menambahi (mengurangi), bahkan menggantinya berdasarkan PERSEPSI SENDIRI bisa berakibat fatal.

• Bila ragu-ragu akan ucapan seseorang yang disampaikan via orang lain, sebaiknya kita langsung bertanya pada yang bersangkutan. 

Bila ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain, baik juga memakai 3 kriteria yang harus dipenuhi:
- Apakah benar?
Rujuklah sebuah berita kepada orang yang ahli, jika kita tidak memahami. Apakah layak kita konsumsi kemudian boleh disebarkan.

- Apakah baik? 
Pikirkan isi beritanya. Jika isi dan tujuannya baik maka bisa dikonsumsi.

- Apakah berguna?
Jika informasinya sudah dipastikan kebenarannya, maka hendaknya memikirkan efek atau akibat dari disebarkannya informasi tersebut. Apakah menambah kebaikan dakwah atau merugikannya.

Sedangkan dari sisi objek (penerima informasi), juga perlu memperhatikan kaidah dan aturan yang telah digariskan para ahli ilmu.

Di antaranya; jika beritanya menyangkut saudara Muslim, maka kedepankanlah husnuzhzhon sebelum ada pembuktian sebaliknya. Jika datang berita maka carilah sumber lain yang terpercaya beserta bukti-buktinya. Dan jika informasi yang disampaikan kepada kita berupa berita yang susah dipahami, maka hendaknya dikembalikan kepada orang yang ahli di bidangnya.

Karena itu, di zaman dimana media sosial menjadi konsumsi banyak orang, maka setiap kabar dan informasi harus ada tabayyun kepada sumber dan verifikasi terhadap isinya. Tidak asal sharing atau posting.

"Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian."
(QS. al-Hujurot: 6)

Boleh jadi kitalah yang disebut orang "fasiq" itu. Dan tidak selalu istilah "fasiq" tersebut tertuju pada orang lain.

Mudah-mudahan ini menjadikan kita lebih memahami akan pentingnya kebenaran sebuah berita serta membuat kita lebih berhati-hati lagi dalam menyampaikan informasi.

Wallohu a'lam bishshowab.

Fiqih Bencana Nabi Yusuf

Kemampuan untuk melakukan perubahan sangat tergantung dari kapasitas yang dimilikinya. Ada orang yang hanya mampu melakukan perubahan bagi dirinya sendiri, ada yang mampu melakukan perubahan untuk masyarakat, tapi ada pula yang mampu merubah bangsa. Nabi Yusuf termasuk yang ketiga. Dengan izin Alloh, dia mampu menyelamatkan rakyat Mesir dari bencana kekeringan dan kelaparan.

Bencana kekeringan yang dialami terhitung sangat dahsyat. Langit tak menurunkan hujan, tanaman tak bisa tumbuh, binatang mati kehausan. Hal itu berlangsung terus menerus selama 7 tahun. Bagaimana cara Nabi Yusuf menghadapi bencana tersebut?

Pertama, Memiliki Ilmu
Pada masa itu, mimpi memiliki peran penting, karena mampu menyingkap tabir peristiwa gaib dimasa depan. Nabi Yusuf memiliki ilmu untuk menakwilkan mimpi. Panggung sejarah mulai terbuka kala Nabi Yusuf menakwilkan mimpi raja. Dia berkata:

قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلا قَلِيلا مِمَّا تَأْكُلُون

Dia (Yusuf) berkata: “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa, kemudian apa yang kamu tuai hendaklah dibiarkan pada tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf: 47)

Nabi Yusuf mampu memprediksi bencana melalui ilmu yang pasti, dalam hal ini adalah ilmu menakwilkan mimpi. Zaman sekarang, kita dituntut bisa memprediksi potensi bencana dengan beragam ilmu dan peralatan. Mulai dari prakiraan cuaca hingga alat deteksi gempa dan tsunami. Semua perlu dipelajari sebagai alat bantu mengambil keputusan, khususnya untuk tindakan antisipatif.

Kedua, Memunculkan Diri
Seorang negarawan tidak sama dengan seorang pencari kerja. Seorang pencari kerja maju karena melihat kesempatan, sedangkan seorang negarawan maju karena tuntutan tanggung jawab. Karena motifnya berbeda, maka kiprah dan hasilnya juga berbeda. Nabi Yusuf berkata:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ 

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)

Hal ini sekaligus menjadi pelajaran bagi pemimpin dan juga rakyat sebagai pemegang kedaulatan (demokrasi). Jika negerinya tengah dihadapkan pada masalah pelik, maka pilihlah orang yang cakap dan profesional untuk mengemban tugas, bukan karena faktor KKN atau lainnya. Dimanapun mereka berada, harus dicari. Termasuk di dalam penjara sekalipun, seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf.

Ketiga, Membuat Lumbung
Selama 7 tahun pertama, Mesir menjadi negeri yang subur makmur, alias gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Hasil bumi melimpah ruah. Nabi Yusuf membuat lumbung pangan untuk menyimpan hasil bumi tersebut. 

Dalam teori ekonomi, kebijakan tersebut dilakukan agar harga komoditi tidak jatuh karena hasil panen yang melimpah. Nabi Yusuf juga menganjurkan untuk hidup hemat dan sederhana sebagai sarana penyiapan mental menghadapi situasi paceklik. Karena panen melimpah, taraf hidup naik biasanya juga cenderung mengubah gaya hidup.

Selain itu, kebijakan tersebut tentu saja dimaksudkan untuk memenuhi lumbung pangan demi mewujudkan ketahanan pangan Mesir. Kedaulatan pangan menyumbang kemandirian dan eksistensi negaranya dimasa depan.

Ketiga, Melakukan Operasi Pasar
Pada tujuh tahun kedua, Mesir menjadi negeri yang tandus dan kering kerontang. Hujan tak turun, sungai tak mengalir. Pada saat inilah, Nabi Yusuf mengeluarkan hasil simpanan di lumbung pangan untuk dibagikan kepada rakyat Mesir dan sekitarnya.

Bangsa Mesir telah melakukan persiapan matang untuk menghadapi bencana paceklik, sehingga memiliki ketahanan pangan untuk menghidupi rakyatnya, tidak perlu mengimpor dari negara lain. Sedangkan negeri disekitarnya tidak tahu dan tidak melakukan persiapan sehingga harus datang ke Mesir untuk membeli bahan makanan.

Dalam teori ekonomi, operasi pasar bertujuan untuk menekan agar harga tidak membumbung tinggi karena langkanya komoditi. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menekan para spekulan yang mengambil keuntungan di tengah musibah. Tujuan lain adalah sebagai wujud tanggungjawab negara terhadap rakyatnya yang dilanda paceklik. Jika rakyat masih memiliki daya beli, maka dilakukan operasi pasar. Jika sudah tidak punya harta benda, maka komoditi diberikan secara cuma-cuma.

Khotimah
Nabi Yusuf seolah menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional untuk bangsa Mesir pada saat itu. Lebih khusus lagi, dia menjalankan kebijakan sebagai kepala Badan Urusan Logistik. Sayang, di Indonesia lembaga Bulog memiliki citra yang negatif, diantaranya: lahan basah yang jadi rebutan, menjadi sapi perah pejabat, dikuasai kartel beras sampai mengedarkan raskin yang kualitasnya buruk.

Tindakan Nabi Yusuf bisa kita lihat pada makhluk Alloh yang lain seperti semut. Semut tidak rakus menghabiskan seluruh makanan yang ditemuinya. Dia akan membawa dan menyimpan makanan secara bergotong-royong ke “gudang persediaan”, untuk dikonsumsi selama musim hujan.

Kelangkaan pangan juga bukan semata karena kemarau panjang. Tapi juga bisa karena bencana alam, peperangan dll. Semua perlu diantisipasi.

Minggu, 21 Februari 2016

Fiqih Bencana Nabi Luth

Zaman dahulu, ada bencana dahsyat yang di timpakan pada suatu kaum. Tiga jenis bencana yang terjadi secara bersamaan, yaitu suara keras menggelegar yang membinasakan, bumi yang dibalik dan ditimpakan kepada mereka serta hujan batu dari tanah yang terbakar. 

Bencana ini ditimpakan kepada kaumnya Nabi Luth, yang perilakunya menyimpang dari fitrah manusia. Bagaimana kita menarik benang merah fikih bencana dari kisahnya Nabi Luth itu?

Pertama, Memberi Peringatan
Nabi Luth memberi penjelasan kepada kaumnya tentang bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Karena itu, beliau mensifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas. Nabi Luth berkata:

 أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعَالَمِينَ

“... Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. Al A’rof: 80). 

Melihat perbuatan dosa, keji, dan munkar maka orang sholih tidak boleh berdiam diri. Dia harus aktif bersuara, memberikan pengajaran, pemahaman, dan peringatan. Sama halnya melihat ada kerentanan dan potensi bencana, kita tidak bisa berdiam diri. Harus memberikan saran dan peringatan atas bencana yang ditimbulkan.

Seorang da’i harus mampu menjelaskan seruannya dengan dalil agama. Namun, kadangkala itu tidak cukup. Seorang da’i juga dituntut mampu memberi penjelasan dari disiplin ilmu yang lainnya, seperti kesehatan, kedokteran, kemasyarakatan, ekonomi dll.

Kedua, Memberi Solusi
Saat datang utusan (dua malaikat) yang berwajah rupawan, kaumnya mendatangi rumahnya, Nabi Luth berupaya mencegah dan berkata:

قَالَ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي إِن كُنتُمْ فَاعِلِينَ

Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal).” (QS. Al Hijr: 71)

Perbuatan buruk terjadi bisa karena faktor kejahilan atau tidak ada alternatif lain. Nabi Luth memberikan solusi menikah kepada kaumnya agar terbebas dari penyimpangan seksual. 

Hal yang sama bisa dilakukan, misalnya membuka lapangan pekerjaan untuk mengurangi pencurian dan perampokan. Jadi, bukan sekedar melarang dan mengharamkan, tetapi juga memberi solusi alternatif atas masalah yang dihadapi oleh umat.

Ketiga, Pergi Mengungsi
Tamu yang datang ternyata adalah utusan (malaikat) yang membawa azab Alloh. Utusan tersebut berkata kepada Nabi Luth:

  فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ

“Pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu.” (QS. Huud: 81)

Jika posisi kita kuat, kitalah yang akan bertahan. Tapi jika situasi yang dihadapi terlalu berat dan kita tidak memiliki kekuatan untuk menghadapinya, sebaiknya kita pergi meninggalkan tempat para pelaku maksiat tersebut. Dengan itu, kita bisa mendapatkan dua keselamatan, yaitu: selamat dari kemungkinan terpengaruh perbuatan maksiat maupun selamat jika azab Alloh datang.

Keempat, Tegar Melangkah
Saat memberi perintah untuk pergi dari tempat tinggalnya, sang utusan memberikan petunjuk khusus kepada Nabi Luth, yaitu:

 وَلَا يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ

“Janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu.” (QS. Al Hijr: 65).

Dibelakangnya, ada istrinya yang masih tertinggal. Istrinya termasuk yang dibinasakan karena berkhianat, yaitu memberitahukan kedatangan dua utusan (tamunya Nabi Luth) kepada kaumnya. Para ulama bersepakat, bahwa istri para nabi tidak ada yang mengkhianati dalam urusan ranjang.

Bencana (azab) datang, menghancurkan semua yang kita miliki. Harta benda yang kita kumpulkan bertahun-tahun lenyap tak berbekas. Bisa jadi keluarga yang kita sayangi ikut menjadi korban. Jika kita menengok ke belakang, maka hati akan tergoncang dahsyat. Bisa jadi hati dan pikiran menjadi kosong atau pemandangan yang mengerikan itu menjadi mimpi buruk yang terus menghantui. Atau, bisa jadi kita akan terlambat untuk menyelamatkan diri.

Tekad untuk pergi menuju tempat yang diperintahkan mencerminkan semangat yang tinggi untuk memulai lembaran baru. Wallohu a’lam.

Kamis, 04 Februari 2016

Do'a yang Tidak Sopan

Ada do'a yang lebih patut kita sambut dengan istighfar daripada mengucapkan "aamiin". Ada do’a yang kita lebih layak kita tangisi dengan tangisan risau daripada kita sambut dengan pengharapan. Kita memohon ampun kepada Allah Jalla wa ‘Ala atas do’a-do’a tersebut. Do'a apakah itu? Dialah do'a yang tidak sopan.

Do'a seperti apa yang tidak sopan itu? Ia berdo'a, tapi meninggalkan sikap tadharru' (merendahkan diri) di hadapan Allah Ta'ala. Ia berbangga diri. Atau ia membanggakan orang-orang yang hadir mengaminkan do'anya atau salah satu di antara yang hadir. Padahal semestinya semua tunduk merendah di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla memohon karunia-Nya.

"Ya Allah.... Hari ini kami berkumpul di sini, Ya Allah... Dari kader-kader terbaik di antara orang-orang pilihan untuk mengikuti serangkaian workshop. Mereka inilah agen-agen perubahan yang akan menolong generasi penerus agama-Mu, ya Allah..."

Do'a seperti apa yang tidak sopan itu? Ia berdo'a, tapi meninggalkan adab-adab dalam berdo’a. Ia meminta kepada Allah Yang Maha Mengetahui, tetapi kepada-Nya ia bersikap seolah lebih mengetahui atau bahkan serasa memberi kuliah. Ia memohon kepada Allah Yang Maha Besar, tetapi ke hadapan-Nya ia meninggikan dan membesarkan orang-orang yang hadir. Ini misalnya yang kerap terjadi dalam berbagai seminar maupun acara-acara formal, semisal:
"Ya Allah, sesungguhnya di dalam riset terbaru telah ditunjukkan..."
Atau:
"Ya Allah... limpahkanlah ilmu kepada kami. Mampukanlah kami menyerap semua yang disampaikan oleh narasumber kami, seorang pakar kaliber nasional..."

Inilah do’a yang meninggikan diri. Padahal seharusnya kita menundukkan hati dan kesempurnaan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui. Kita mengakui sekaligus menunjukkan pengakuan bahwa Allah Ta’ala lebih mengetahui tentang kita daripada diri kita sendiri. Sungguh, Allah Maha Bijaksana.

Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau senantiasa berdo’a dengan do’a berikut:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِي وَجَهْلِيْ وَإِسْرَافِيْ فِي أَمْرِيْ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، الَلَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ جِدِّيْ وَهَزْلِيْ وَخَطَئِيْ وَعَمْدِيْ وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِيْ، الَلّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, serta sikap berlebihanku dalam urusanku dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. 
Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas keseriusanku dan candaku, kekeliruanku dan kesengajaanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas apa-apa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, apa-apa yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan, serta apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku. 
Engkaulah Yang Maha Mendahulukan (hamba kepada rahmat-Mu) dan Yang Maha Mengakhirkan. Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apa pelajaran yang dapat kita petik dari do’a yang senantiasa dimohonkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut? Sikap tadharru’; merendahkan diri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla seraya mengakui keagungan-Nya. Dan ini merupakan adab berdo’a yang sangat penting. Bukan meninggi-ninggikan diri, bukan bersikap seolah memiliki pengetahuan yang sempurna di hadapan Allah Ta’ala.

Miris sekali rasanya mendapati betapa semakin banyak orang-orang yang berdo’a tanpa menjaga adabnya kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Terlebih jika yang melakukannya justru mereka yang disangka sangat memahami agama, atau memang sungguh memahami agama, tetapi ia melalaikan adab kepada-Nya. Lebih parah lagi jika disertai musik Kitaro hanya karena ingin membangkitkan kesan mendalam pada diri orang-orang yang hadir untuk mengaminkan do’anya.

Inilah di antara do'a sangat tidak sopan yang kadang saya temui di berbagai forum. Saya tidak menyebut contoh secara persis. Tapi kandungan maknanya serupa atau mendekati itu. Sebagiannya bahkan diiringi musik semenjak tukang do'a beranjak menuju mimbar, selama berdo'a hingga kembali ke tempat duduk. Semakin lengkap ketidaksopanan itu manakala demi terdengar indah, ia memaksakan diri bersanjak-sanjak dalam berdo’a sehingga mengabaikan makna, melalaikan apa yang sesungguhnya ingin dimintakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak jarang, iringan musik ini mengikuti lantunan do’a dengan suara yang dikeras-keraskan. Sungguh, sangat berbeda orang yang menggunakan pengeras suara sekedar agar yang paling belakang mendengarkan suaranya dengan orang yang mengeras-ngeraskan suaranya agar menimbulkan efek yang dramatis. Yang pertama, ia tetap dapat melantunkan do’a dengan merendahkan dirinya di hadapan Allah Ta’ala seraya bersuara dengan lembut. Sementara yang kedua, ia mengeras-ngeraskan suara demi mengaduk-aduk emosi pendengarnya. Mungkin di antara hadirin ada yang menangis, tetapi ini bukanlah khusyuk. Bukan tunduknya hati. Ini sekedar emosi yang meledak-ledak, teraduk-aduk.

Marilah sejenak kita ingat seruan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap kita tatkala berdo’a kepada-Nya:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ 
“Berdo'alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf, 7: 55).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Urwah bin Zubair --seorang tabi’in-- dan berbagai kalangan ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan melampaui batas ialah bersanjak-sanjak dalam berdo’a. Ibnu Juraij menyatakan, “Di antara bentuk pelanggaran adalah meninggikan suara, panggilan, do`a dan teriakan. Padahal, mereka diperintahkan untuk tunduk dan merendahkan diri.”

Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari).

Kacau Makna Karena Rima

Di antara do’a yang tidak sopan adalah, seseorang memohon kepada Allah Ta’ala tanpa mendahuluinya dengan pepujian kepada-Nya serta permohonan ampunan. Padahal lapang waktunya, panjang masanya. Bukan ucapan do’a spontan saat bertemu seseorang, lalu mendo’akannya. Bukan do’a saat hendak makan. Tetapi ini do’a yang dilantunkan seusai shalat.

Termasuk yang tidak sopan adalah do’a yang disusun sendiri, tetapi kacau makna karena mementingkan rima, mengutamakan keindahan. Atau ia memaksakan diri dalam berdo’a agar sesuai dengan acara yang untuk itu ia diminta memimpin do’a. Ia menghindari ittiba’ (meneladani, mengikuti Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam), lalu merangkai kalimat yang tak jelas maknanya.

Do’a jenis ini, misalnya (sekedar menyebut contoh):
“Ya Allah Yang Maha Kuasa, usai sudah paparan yang kita semua telah mendengarnya dengan seksama. Berat rasanya tugas sebagai orangtua di tengah tantangan yang semakin menggila. Maka, dengarkanlah do’a-do’a hamba yang masih setia untuk berkumpul bersama.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana, semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang cerdas dan memiliki karakter luar biasa....”

Ini hanyalah sekedar contoh do’a yang sangat tidak sopan. Mungkin yang memimpin do’a inginnya turut menasehati para peserta, tetapi ia lalai memasukkannya ke dalam do’a. Tanpa sadar ia melakukan kesalahan yang sangat fatal, sekurangnya pada dua perkara. Pertama, penggunaan kata kita yang dalam bahasa Indonesia berarti melibatkan pihak pertama dan pihak kedua yang dalam hal do’a berarti Allah Ta’ala. Ini berbeda dengan kata kami yang merupakan kata ganti orang pertama jamak. Kesalahan fatal ini terjadi karena yang memimpin do’a bersikap takalluf (memaksakan diri). Kedua, sangat tidak tepat menggunakan kata semoga saat berdo’a kepada Allah Ta’ala. Seharusnya ia memohonkan pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, semisal, “Ya Allah, berikanlah kepada kami....”

Jika kita mengatakan kepada seseorang, “Semoga rezekimu barakah”, maka kita sesungguhnya sedang mengharapkan pertolongan Allah Ta’ala agar menjadikan rezeki orang tersebut barakah. Lalu, kalau kita berbicara kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saat berdo’a dengan mengatakan “semoga”, kepada siapakah sesungguhnya kita berharap.

Memaksakan Kehendak

Penyebab lain munculnya do’a yang tidak sopan adalah seseorang memaksakan kehendak dikarenakan ia lebih memuliakan hawa nafsunya, lebih meyakini hasratnya, dibanding sifat bijaksana Allah ‘Azza wa Jalla. Ia memaksakan kehendak, padahal ia tak berdaya. Ia memaksakan keinginan, padahal ia sedang berhadapan dengan Allah Rabbul ‘Alamin.

Di antara mereka ada yang berdo’a:
“Ya Allah, jadikan ia pendamping hidupku. Jika ia bukan jodohku, jodohkanlah denganku. Jika ia jodohku, segerakanlah. Jika masih jauh, dekatkanlah.”

Do’a yang sangat tidak sopan semacam itu, bahkan untuk bercanda pun tidak baik. Sebab ia berkaitan dengan adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apalah artinya ia menjadi jodoh, jika Allah Ta’ala jauhkan barakah darinya. Sungguh, jalan barakah itu ada ilmunya, ada adabnya.

Astaghfirullah... Semoga Allah Ta’ala mengampuni kita semua. Semoga kita terjauhkan dari do’a-do’a yang tidak sopan. Sudah saatnya kita mempelajari agama kita dari sumber agama kita sendiri.

Kontributor: Mohammad Fauzil Adhim

Rabu, 03 Februari 2016

Jangan Berhenti Mengenal Pasangan

Senyatanya, pernikahan adalah proses mengenali dan memahami secara terus-menerus antara suami dan isteri, dan juga anak-anak. 

Dalam setiap pertambahan usia biologis suami dan isteri, serta pertambahan usia pernikahan, proses mengenali itu harus terus menerus terjadi. Semua dari kita tumbuh dan berkembang, maka corak interaksi dan komunikasi juga mengalami perkembangan.

Kehidupan rumah tangga itu sering sekali menghadapi persoalan yang berulang, di samping adanya persoalan baru yang ditemukan di sepanjang perjalanan hidup. Keluarga kita berpindah dari satu masalah ke masalah lainnya, kadang bertemu masalah yang sama dan berulang-ulang. 

Maka jangan bosan untuk saling belajar mengenal dan memahami, terus menerus. Karena semua manusia tumbuh dan berkembang setiap saat.

Jika pengenalan kita kepada pasangan berhenti, akan menyebabkan kita tidak lagi bisa mengenalinya. Suami merasa telah mengenali isteri, padahal itu hanya satu fase dalam perkembangan kehidupannya. 

Senyatanya sang isteri tumbuh dan berkembang setiap hari, suami bisa kehilangan pengetahuan tentang hal-hal baru yang terjadi dalam dunia sang isteri, jika ia berhenti mengenali. Mengenali pasangan itu proses setiap hari, tidak boleh berhenti.

Teruslah saling mengerti, saling memahami, saling mengisi, saling menasihati, saling memaafkan, saling mengikhlaskan, saling menguatkan, saling bergandengan tangan menghadapi seluruh kondisi dan situasi kehidupan yang “tak pernah rata”. 

Kehidupan keluarga itu sebagiannya merupakan misteri, karena adanya pertumbuhan dan perkembangan suami, isteri dan anak-anak yang tidak bisa dipastikan kondisinya.

Yang penting jangan berhenti mengenali pasangan Anda, karena hari ini diri Anda dan pasangan Anda adalah dua orang baru yang berbeda dari hari kemarin. Anda dan pasangan Anda adalah dua orang baru yang berbeda dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu, lima tahun lalu, atau sepuluh tahun lalu. 

Banyak perubahan, banyak perkembangan, banyak hal-hal baru Anda miliki secara alami.

Kontributor: Cahyadi Takariawan

K

Senin, 01 Februari 2016

Urip Iku Urup

Seorang sahabat bertanya tentang makna tulisan di profile WhatsApp saya, "Urip Iku Urup".

Saya coba jelaskan dengan ringkas. Kalimat "Urip Iku Urup" adalah salah satu pitutur luhur (kalimat nasihat yang utama) pada masyarakat Jawa. 

Makna secara harfiah, urip (hidup) iku (itu) urup (menyala).

Orang-orang tua zaman dulu memberikan pelajaran tentang kehidupan, bahwa hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain.

Hidup itu seperti nyala api yang menerangi kegelapan. Sepanjang hidup dikandung badan, hendaknya kita selalu "menyala" yang memberikan cahaya bagi lingkungan sekitar.

Kita hidup di dunia ini bukan sekedar untuk diri sendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang harus saling tolong menolong dan saling berbagi kepada sesama. Hidup harus memberi manfaat kebaikan bagi orang lain.

Manfaat yang kita berikan kepada sesama ibarat api yang menyala. Cahaya yang dimunculkan memberikan manfaat bagi sekitar. Menerangi dan memberi petunjuk.

Hidup kita harus memiliki kontribusi bagi kebaikan orang lain. Tidak boleh egois dan memikirkan diri sendiri. Apalagi sampai membuat keonaran di tengah masyarakat, atau melakukan tindakan yang merusak kehidupan bangsa dan negara.

Urup (menyala) juga simbol semangat dan motivasi yang terus menerus. Hidup tidak boleh lemah, loyo, dan mudah menyerah serta putus asa. Jangan sampai hidup tanpa gairah dan tanpa motivasi.

Maka hiduplah dengan semangat, penuh gairah, penuh motivasi, penuh vitalitas untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan peradaban dunia.

Karena, "urip iku urup".

Kontributor: Cahyadi Takariawan

Ketika Suami Istri Belum Mencapai Kesejiwaan

Menikah itu adalah peristiwa bersatunya dua jiwa, dua hati, dua pikiran, dua fisik dalam satu ikatan. Kendatipun ada banyak perbedaan karakter, sifat, dan kecenderungan antara laki-laki dan perempuan, namun mereka harus berusaha untuk menemukan rumus kimia (chemistry) penyatuan jiwa yang membuat suami dan istri berada dalam suasana “sejiwa”. Suasana kesejiwaan inilah yang membuat kehidupan berumah tangga menjadi nyaman, tenang, tenteram, damai, dan bahagia.

Suasana kesejiwaan ini yang membuat berbagai persoalan hidup mudah diselesaikan dan dicarikan jalan keluar. Suasana kesejiwaan ini pula yang membuat suami dan istri mudah berkomunikasi dan tidak kesulitan untuk mengekspresikan harapan serta keinginan. Mereka berinteraksi dengan nyaman, tanpa ada sekat psikologis. Merasa demikian dekat satu dengan yang lain, tanpa ada jarak yang memisahkan mereka berdua.

Suasana kesejiwaan ini pula yang membuat suami dan istri saling bisa berbagi kebahagiaan tanpa ada keinginan untuk mengalahkan dan menjatuhkan pasangan. Yang mereka lakukan adalah usaha untuk memenangkan kebersamaan, sehingga masing-masing telah rela untuk menundukkan ego demi kebahagiaan bersama. Bukan hanya berpikir untuk kebahagiaan diri sendiri dengan melukai pasangan, bukan pula hanya membahagiakan pasangan dengan melukai diri sendiri.

Gejala Pasangan yang Belum Menemukan Kesejiwaan

Pada dasarnya suasana kesejiwaan itu didapatkan dengan proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Bukan tiba-tiba apalagi bim salabim. Tidak pernah berhenti untuk saling mengenali dan memahami diri sendiri serta pasangan. Kadang dijumpai seseorang yang bingung dengan dirinya sendiri. Tidak mengerti kemauannya sendiri. Tidak bisa mendefinisikan keinginan diri. Jangankan mengerti pasangan, bahkan diri sendiri pun tidak dikenali. Kondisi ini membuat semakin lama untuk mencapai kesejiwaan bersama pasangan.

Yang diperlukan adalah usaha tanpa henti untuk belajar mengerti, memahami, mencintai, menerima apa adanya, serta memberikan yang terbaik bagi pasangan tercinta. Yang diperlukan adalah upaya terus menerus untuk menyesuaikan diri dengan harapan pasangan, sepanjang harapan itu tidak bertentangan dengan aturan agama dan kepatutan sosial. Yang diperlukan adalah usaha untuk bisa menerima pengaruh dari pasangan, sepanjang pengaruh itu positif atau tidak membahayakan diri sendiri maupun keluarga.

Ketika suami dan istri belum menemukan kesejiwaan, sebenarnya sangat mudah mereka kenali gejalanya. Mereka akan menemukan suasana saling asing, suasana berjarak, suasana bersekat, yang membuat tidak nyaman dalam interaksi sehari-hari. Walau sudah lima tahun atau sepuluh tahun menikah, jika titik kesejiwaan belum ditemukan, maka bukan kebahagiaan yang didapatkan dalam pernikahan. Yang ditemukan justru suasana saling asing dan dalam kasus tertentu sampai muncul perasaan ketersiksaan dan penderitaan.

Dari pengalaman di ruang konseling, kami menemukan gejala suami istri yang belum mencapai kesejiwaan adalah sebagai berikut:

1. Merasakan suasana tidak nyaman saat bersama pasangan

Saat suami dan istri merasakan suasana tidak nyaman saat berduaan, inilah di antara gejala belum ditemukannya titik kesejiwaan. Ini menyangkut suasana di dalam jiwa. Suami atau istri yang merasa gelisah ketika berada di dekat pasangan. Ada berbagai hal yang membuat mereka menjadi saling tidak nyaman saat bersama. Bertemu pasangan seakan-akan menjadi beban yang memberatkan.

Perasaan ini bisa jadi tidak diketahui oleh orang lain. Mereka berdua yang bisa merasakannya. Tidak nyaman mengobrol, tidak bisa curhat, tidak ingin berduaan, tidak asyik saat berjalan berdua dengan pasangan, adalah perasaan yang menekan. Pada pasangan yang pandai “bermain sinetron”, mereka bisa mengelabui orang lain dengan tampilan yang happy. Padahal hati mereka tidak ada kenyamanan saat sedang berdua.

2. Lebih menikmati kesendirian

Saat suami dan istri lebih merasa nyaman ketika sendirian, ini merupakan gejala yang perlu diwaspadai. Jangan dianggap sebagai sesuatu yang remeh, karena jika perasaan ini dibiarkan berkembang dan bertahan dalam waktu lama, akan membuat cinta mereka semakin sirna. Akhirnya tidak ada lagi ikatan yang menyatukan mereka berdua, karena masing-masing lebih menikmati kesendiriannya.

Semestinya suami dan istri itu merasa nyaman dan bahagia saat bersama pasangan. Mereka merasakan kerinduan saat harus berpisah sementara waktu karena berbagai urusan. Maka saat bertemu, mereka memiliki hasrat yang kuat untuk menuntaskan kerinduan. Ini yang sering saya sampaikan pada pasangan yang menjalani kehidupan long distance relationship (LDR), hendaknya LDR dipahami sebagai keterpaksaan. Jangan sampai dinikmati sebagai sesuatu yang lumrah sehingga tidak ada upaya untuk berkumpul bersama pasangan.

3. Munculnya perasaan hambar

Harusnya suami dan istri itu memiliki perasaan yang istimewa. Namun seiring berjalannya waktu dan menumpuknya persoalan, kadang dijumpai perasaan yang hambar dan bahkan dingin saja. Suami dan istri tidak memiliki keistimewaan perasaan terhadap pasangan lagi. Rasanya biasa saja saat bersama pasangan. Tidak ada kebanggaan, tidak ada keceriaan, tidak ada keistimewaan. Biasa saja, tanpa suatu aroma yang bercorak khusus.

Hal ini menandakan mereka belum menemukan titik kesejiwaan. Perasaan hambar ini tidak semestinya dimiliki oleh pasangan suami istri, mengingat mereka adalah dua insan yang diikat oleh cinta dan kasih sayang. Mengenali suasana hambar ini penting untuk segera melakukan tindakan yang berarti, agar tidak berlanjut menjadi saling menjauh bahkan saling membenci.

4. Mudah muncul emosi

Saat belum menemukan titik kesejiwaan, suami dan istri akan mudah marah dan emosi. Untuk urusan yang sepele dan sederhana mereka mudah meledak emosinya. Hanya karena salah bicara yang tidak sengaja, atau bersikap yang tidak sesuai keinginan pasangan, sudah muncul emosi dan kemarahan yang tidak tertahan. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit marah. Marah kok sedikit-sedikit.

Mudah muncul emosi adalah gejala yang tidak wajar, karena semestinya suami dan istri saling menyayangi sehingga mudah memaafkan kelemahan dan kekurangan pasangan. Jika setiap kali bertemu atau berkomunikasi, yang mucul adalah suasana emosi dan kemarahan, maka membuat suami atau istri cenderung menghindari komunikasi atau bahkan menghindari bertemu dengan pasangan agar tidak emosi. Kondisi ini membuat semakin jauh dari kesejiwaan.

5. Mudah tersulut konflik

Hanya karena hal-hal sederhana, mudah membuat suami dan istri terlibat pertengkaran. Sangat banyak konflik tidak produktif dan tidak semestinya terjadi dalam keluarga mereka. Segala sesuatu pembicaraan di antara mereka selalu menimbulkan pertengkaran, sampai akhirnya merasa lelah untuk berbicara. Memilih mendiamkan masalah serta menumpuk-numpuk persoalan karena tidak ingin meledak menjadi pertengkaran.

Memang konflik suami istri ada sisi positifnya, sebagaimana pernah saya posting di Kompasiana tentang “9 Manfaat Konflik Suami Istri”. Namun jika konflik muncul dengan mudah dan sewaktu-waktu, ini menandakan belum ketemunya titik kesejiwaan di antara suami dan istri. Konflik hendaknya bisa dikelola dengan baik, bukan menjadi sebuah karakter, bukan menjadi sebuah hobi. Tidak ada kebahagiaan yang muncul akibat dari memelihara konflik berkepanjangan.

6. Sering salah paham

Setiap pembicaraan dan komunikasi, tidak berujung kepada pengertian, namun justru menimbulkan kesalahpahaman. Kata-kata dan kalimat sering disalahpahami, pesan yang ingin disampaikan tidak dimengerti maknanya oleh pasangan. Saat suami berbicara, istri langsung memotong dan “meluruskan” kesalahan omongan suami. Hal ini membuat suami tidak nyaman karena merasa tidak dipercayai. Demikian pula saat istri bicara, suami langsung memotong dan “meluruskan” kesalahan omongan istri. Ini juga membuat tidak nyaman istrri karena merasa tidak dimengerti.

Tangis istri tidak dimengerti maknanya oleh suami, diamnya suami tidak dipahami oleh sang istri. Keinginan istri untuk curhat dan mengobrol ditangkap sebagai tuntutan yang berlebihan pada suami. Sementara keinginan suami untuk tidak banyak bicara ditangkap sebagai bentuk tidak tanggung jawab di mata istri. Keduanya mudah salah paham oleh sikap dan perkataan pasangan sehingga ketegangan selalu muncul dalam kegiatan keseharian. Tentu tidak enak hidup dalam suasana seperti ini.

7. Tidak ada yang mau mengalah

Ketika suami dan istri belum mencapai kesejiwaan, masing-masing selalu menganggap dirinyalah yang benar, dan pasangannya berada di pihak yang salah. Keduanya merasa heran, mengapa pasangannya tidak pernah merasa bersalah. Suami merasa dirinya yang benar dan istri yang salah. Sebaliknya, istri merasa dirinya yang benar dan suami yang salah. Keduanya tidak ada yang mau mengalah dalam setiap konflik dan pertengkaran. Ego masing-masing masih sangat dominan.

Ketika suasana mau menang sendiri seperti ini dimiliki oleh suami atau istri atau keduanya, membuat konflik tidak pernah bisa diselesaikan. Rasa tidak mau mengalah ini muncul sebagai akibat ego yang sangat tinggi pada suami atau istri, yang merasa enggan untuk dikalahkan oleh pasangan. Suami merasa gengsi kalau kalah oleh istri dan istri merasa gengsi kalau kalah oleh suami. Perasaan “menang kalah” seperti ini muncul karena mereka belum mencapai titik kesejiwaan.

8. Tidak bisa lagi menikmati aktivitas fisik bersama pasangan

Ketika aktivitas fisik sudah tidak lagi bisa dinikmati, padahal tidak ada kendala usia maupun kesehatan, ini adalah tanda belum menemukan kesejiwaan. Mestinya suami dan istri itu bahagia dengan berbagai aktivitas fisik bersama. Sejak dari cumbu rayu, hubungan seksual, atau sekedar berjalan-jalan dan aktivitas fisik berduaan, merupakan hal yang seharusnya sangat menyenangkan bagi keduanya. Jika aktivitas fisik sudah tidak lagi bisa dinikmati, bahkan dirasakan sebagai beban, ini pertanda mereka belum menemukan titik kesejiwaan.

Pada pengantin baru, ativitas fisik suami dan istri sangat tinggi intensitasnya. Seiring berjalannya usia dan waktu, aktivitas fisik semakin menurun secara frekuensi. Namun mereka tetap menikmati dan tetap bergairah melakukan bersama pasangan walaupun tidak lagi sebanyak saat masih muda. Seharusnya aktivitas fisik tetap bisa dinikmati walaupun usia mereka sudah sama-sama tua.

9. Menganggap dirinya yang selalu mengalah

Suasana belum menemukan kesejiwaan sungguh unik. Suami merasa, selama ini ia selalu mengalah. Ternyata hal yang sama dirasakan oleh sang istri. Ia menganggap selama ini dirinya sudah selalu mengalah. Mereka menuduh pasangannya yang tidak pernah mau mengalah. Bertahun-tahun hidup dalam suasana merasa hanya dirinya saja yang mengalah.

Suami merasa mengalah, demi menjaga keutuhan keluarga. Istri merasa mengalah, demi menjaga keutuhan rumah tangga. Namun keduanya saling menuduh bahwa pasangannya tidak mau mengalah. Terpaksa dirinya yang mengalah supaya tidak menjadi pertengkaran terus menerus. Suasana seperti ini adalah gejala belum ditemukannya kesejiwaan di antara mereka.

10. Lebih percaya orang lain

Jika suami dan istri lebih percaya informasi orang lain daripada pasangan, ini adalah tanda belum menemukan kesejiwaan. Setiap perkataan pasangan sulit dipercaya, namun demikian mudah mempercayai omongan orang lain. Bawaannya selalu curiga dengan pasangan, seakan-akan yang dilakukan pasangan adalah kesalahan dan penyimpangan. Apapun yang dilakukan suami, tampak sebagai kesalahan di mata istri. Sebaliknya, apapun yang dilakukan istri, tampak sebagai kesalahan di mata suami.

Bahkan ada suami dan istri yang lebih percaya kepada gadget daripada kepada pasangannya. Ada suami menuduh istrinya tidak setia, hanya karena tidak segera membalas pesannya lewat fitur komunikasi. Padahal bisa jadi sang istri memang belum membaca pesan suami. Ada istri menuduh suaminya selingkuh, hanya karena pernah chatting dengan perempuan teman kerjanya. Padahal ia chatting urusan pekerjaa, bukan urusan pribadi.

Lalui Prosesnya

Itulah sepuluh gejala belum ditemukannya titik kesejiwaan antara suami dan istri. Karena kesejiwaan adalah suatu proses, maka yang diperlukan adalah kesediaan dari suami dan istri untuk menempuh prosesnya. Jangan mengira bahwa kesejiwaan akan didapat dengan sendirinya tanpa usaha. Suami yang merasa nyaman dan tidak ada masalah dalam kehidupan keluarga, belum tentu seperti itu kenyataannya. Karena bisa jadi ia tidak mengerti dan tidak memahami penderitaan istrinya.

Demikian pula istri yang merasa nyaman dan tidak ada masalah dalam rumah tangganya, belum tentu memang seperti itu kejadiannya. Karena bisa jadi ia tidak mengerti penderitaan batin suami yang tidak bahagia hidup bersamanya. Maka harus ada upaya bersama dari suami dan istri untuk menempuh proses menemukan kesejiwaan. Berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk menemukan titik kesejiwaan, tergantung besaran usaha yang mereka keluarkan sepanjang menapaki prosesnya. Bisa pendek, bisa panjang. Bisa sebentar, bisa lama. Bisa cepat, bisa lambat. Bisa mudah, bisa pula susah.

Anda pilih yang mana? Semua tergantung anda berdua.

Selamat pagi sahabat semua. Selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.

Kontributor: Cahyadi Takariawan

Anak Menangis Keras? Jangan Penuhi Permintaannya!

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah perjalanan dengan pesawat terbang dari Jakarta ke Yogyakarta, para penumpang dibuat tidak nyaman oleh suara tangisan balita. Balita ini menangis terus di sepanjang perjalanan yang lebih dari satu jam dengan suara yang keras. Seperti tidak lelah menangis. Orang tuanya pun gagal membuatnya diam. Saya tidak terlalu merasa terganggu dengan suara tangis balita itu. Namun para penumpang di sekitar saya tampak gelisah dan tidak nyaman dengan gangguan itu.

Perjalanan Jakarta – Yogyakarta yang teorinya hanya memerlukan waktu 50 menit, pada jam tertentu bisa menjadi 100 menit. Hal ini karena antrian terbang di bandara Soekarno Hatta yang cukup lama, dan antrian mendarat di bandara Adisutjipto yang juga lama. Pesawat harus berputar-putar di atas Yogyakarta untuk menunggu antrian mendarat. Bahkan kadang masih ditambah dengan antrian untuk mendapatkan tempat parkir di bandara Yogyakarta.

Sepanjang perjalanan, para penumpang dibuat terganggu oleh tangisan anak yang tidak ada jedanya. Sejak masuk ke dalam kabin pesawat, sampai saatnya turun dari pesawat, balita ini menangis terus. Saya melihat orang tuanya sudah putus asa untuk membuatnya diam. Mainan anak yang diberikan secara gratis oleh pihak Garuda pada semua penumpang balita pun tidak bisa meredakan tangisnya.

Mungkin kita semua pernah mengalami kejadian serupa, apakah di kereta api, di bus umum, atau di kendaraan pribadi. Suara tangis anak bisa memicu suasana tidak nyaman pada orang-orang di sekitarnya, termasuk sopir. Tangisan balita yang wajar, bisa mengundang rasa simpati dan kasih sayang orang lain pada dirinya. Namun ketika tangisan itu sudah berlebihan, tidak wajar, maka bisa menimbulkan kejengkelan dan emosi pada orang yang mendengarnya.

Mengapa ada anak yang sangat "suka" menangis? Bahkan ada anak yang cepat sekali menangis untuk sesuatu yang semestinya tidak perlu ditangisi. Mengapa bisa terjadi? Tentu saja ada banyak sebab dan faktor. Di antaranya adalah kurangnya perhatian terhadap anak, namun bisa juga karena cara memberi perhatian yang salah.

Perhatian yang Salah

Salah satu sebab anak menangis adalah karena ia minta perhatian dari orang tuanya. Perasaan anak yang ingin mendapat fokus perhatian, tidak ingin dinomerduakan oleh ayah atau ibunya, membuat ia menangis saat tidak mendapatkan perhatian seperti yang dikehendaki. Perhatian adalah bentuk kasih sayang orang tua yang dikenali oleh anak. Saat orang tua terbagi perhatiannya dengan hal-hal lain, seperti pekerjaan, tamu, gadget atau hal lainnya, membuat anak merasa kurang mendapat perhatian.

Semua anak balita ingin agar dia adalah satu-satunya bagi kedua orang tuanya. Maka saat memiliki “pesaing” yang membuat perhatian orang tuanya terbelah, balita merasa tidak nyaman. Ia bertingkah untuk meminta perhatian lebih dan bahkan menjadi satu-satunya yang diperhatikan orang tuanya. Termasuk ketika di usia balita ia sudah memiliki adik, baginya adik adalah pesaing yang merebut perhatian orang tuanya.

Anak yang menangis hingga meraung-raung mungkin sedang mencari perhatian, agar dirinya menjadi fokus perhatian. Namun Jacob Azerrad, Ph.D dan Paul Chance, Ph.D dalam artikel “Why Our Kids Are Out of Control” yang dimuat di web Psychology Today menyampaikan peringatan agar orang tua tidak memberikan perhatian yang salah terhadap anak. Ia mengutip pernyataan Betty Hart, Ph.D dari University of Washington bahwa perhatian yang salah terhadap anak bisa berdampak negatif terhadap kejiwaannya.

Yang dimaksud dengan perhatian yang salah adalah bentuk “kekalahan” orang tua atau bentuk “pragmatisme” orang tua saat menghadapi anak menangis. Agar anaknya segera diam, tidak ribut, dipenuhilah apa yang menjadi keinginannya. Ketika anak minta dibelikan mainan sampai menangis, akhirnya dibelikan. Ketika anak minta makanan kesukaannya hingga menangis, segera dibelikan untuknya. Akhirnya anak menjadi memiliki “senjata” agar bisa dipenuhi keinginannya. Senjata itu adalah : menangis. Makin keras tangisnya, makin dipenuhi keinginannya.

Saat anak merasa berhasil menggunakan tangisan sebagai senjata, ia akan semakin “menggoda” orang tuanya. Saat orang tua sedang berbincang bersama teman-teman kantor atau koleganya, si anak segera melancarkan aksi untuk meminta perhatian dengan menangis. Tangisan ini ampuh, membuat orang tua segera memenuhi permintaan si anak, agar anak segera diam dan tidak mengganggu orang tuanya.

Mungkin orang tua merasa terganggu dengan suara tangisan anak, mungkin merasa kasihan, mungkin pula merasa malu dengan lingkungan sekitar. Misalnya saja saat sedang berada dalam suatu pesta, tiba-tiba anaknya menangis keras. Tentu hal ini bisa membuat orang tua merasa terganggu sekaligus malu kepada para tamu yang hadir dalam pesta itu. Agar anak cepat diam, segera diberikan apa yang menjadi keinginannya. Jika hal seperti ini terus menerus dilakukan, akan bisa menjadi watak dan karakter pada si anak hingga usia remaja.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Psikolog Betty Hart dan tim pada seorang anak balita bernama Bill. Anak ini dijuluki 'crybaby' di pre schoolnya, saking sering menangis. Setiap pagi Bill yang berusia empat tahun itu menangis 5 hingga 10 kali. Dia akan menangis saat jatuh atau saat anak lain mengambil mainannya. Semua anak dan guru mengenali tangis Bill, karena hal itu rutin terjadi setiap pagi.

Setiap Bill menangis, guru akan segera mendatangi untuk menenangkannya. Ini mungkin menjadi semacam rasa tanggung jawab guru terhadap Bill yang telah dititipkan untuk belajar di lembaga mereka. Hart dan tim peneliti melihat perhatian yang diberikan kepada Bill untuk menenangkan itu justru menjadi penyebab ia suka menangis. Maka para peneliti meminta guru Bill untuk menerapkan cara baru. Setiap Bill menangis, guru akan mendatangi untuk mengetahui apakah ia terluka atau tidak. Jika Bill tidak terluka, guru tidak akan mendatangi untuk berbicara atau memperhatikannya.

Guru hanya akan memberikan perhatian khusus kepada Bill apabila ia terluka atau jika ia kecelakaan --seperti jatuh--- walaupun tidak terluka, namun Bill tak menangis. Guru kemudian memberikan pujian kepada Bill atas sikapnya itu. Setelah lima hari hal itu diterapkan oleh para guru, ternyata frekuensi menangis Bill makin berkurang. Sepertinya Bill mengerti bahwa menangis tidak lagi bisa menjadi senjata baginya untuk mendapatkan fokus perhatian dari para guru. Bahkan akhirnya ia paham, yang membuatnya mendapat perhatian bukan karena ia menangis, justru ketika ia bisa bersikap tenang.

Perhatian Bijak

Inilah contoh perhatian yang bijak dari orang tua atau guru terhadap balita. Bukannya memberikan perhatian saat anak menangis keras, namun justru memberikan perhatian saat anak mampu bersikap tenang dan kooperatif. Anak akan mengerti bahwa menangis bukanlah senjata untuk “menekan” orang tua atau gurunya. Justru ketika ia menangis, tidak akan bisa mendapatkan apa yang diinginkan.

Sikap seperti ini memang tidak cukup mudah dilakukan oleh orang tua, karena memerlukan pembiasaan yang konsisten. Orang tua harus bersedia berada dalam kondisi sedikit tertekan oleh ulah anak selama masa pembiasaan. Namun jika hal itu dilakukan dengan disiplin, maka akan didapatkan hasilnya. Anak akan mengerti, perhatian orang tuanya dia dapatkan saat ia berlaku baik. Bukan saat ia menangis keras.

Kontributor: Cahyadi Takariawan