Minggu, 23 Agustus 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Surat Raja Sriwijaya

"Dari raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.

Kepada Raja Islam yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Alloh.

Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya."

***

Ini adalah surat dari Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman kepada Kholifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (718-720 M) yang baru raja diangkat menggantikan Kholifah Sulaiman (715-717 M) pada era Kekholifahan Bani Umayyah di abad ke-7 M.

Kholifah Sulaiman merupakan kholifah yang memerintahkan Thoriq bin Ziyad membebaskan Spanyol. Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Kholifah Sulaiman telah memberangkatkan satu armada persahabatan berkekuatan 35 kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Peureulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Sriwijaya.

Inilah awal mula Islam masuk ke bumi Nusantara di abad ke-7 M. Dan inilah yang menjadi titik awal tertariknya Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman (Sri Indravarman, Srindravarman) terhadap Islam.

Kemudian atas ketertarikannya kepada Islam, Raja Srindrawarman mengirim surat kepada Kholifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dari Khilafah Bani Umayyah pada tahun 100 H (718 M). Ia meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.

Kholifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz pun merespon baik dengan mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya.

Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, akhirnya mengucap dua kalimat syahadat masuk Islam menjadi seorang Raja Islam.

Sejak itu Kerajaan Sriwijaya pun disebut dengan Kerajaan Sribuza Islam.

Kronik Islamisasi Nusantara; Atribusi Islam di Jawa

Seperti lazim kita kenal bahwa masyarakat Jawa sangat identik dengan 'tafsir'. Dalam istilah -yang sedikit bercanda, kita sebut sebagai "othak-athik gathuk; dihubung-hubungkan". Begitu juga melalui jalan ini pula nilai-nilai Islam pelan-pelan dilesakkan dalam nadi kehidupan masyarakat Jawa.

Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu tepat ditandatanganinya perjanjian Gianti yang membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Karena latar belakang politik yaitu perang saudara yang makin memanas antara Pangeran Aryo Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono II, akhirnya Kompeni berusaha menengahi sekaligus menjalankan taktik licik Verdeel en Heers membagi dan menaklukkan atau yang lebih tenar dengan sebutan Devide et Impera. Belanda kompeni memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram agar kekuasaannya terpecah belah sehingga lebih mudah dikuasai. Melalui perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta dan kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sementara Sinuhun Paku Buwono III berkuasa di Surakarta. Masyarakat di kedua wilayah ini lalu bertumbuh dengan adanya ‘caranya’ masing-masing. Mulai dari cara pandang, cara hidup, cara bicara, cara berbusana sampai pada seni gamelan, dan seni tarinya.

Ketika Surakarta menggunakan beskap (Belanda= beschaafd) sebagai bentuk duplikasi pakaian pasukan Napoleon, Sultan Hamengkubuwono I membuat baju disebut Surjan (Arab= siroojan) yang mengandung arti bahwa sang pemakai harus menjadi pelita di tengah masyarakat.

Blangkon Jogja pun sisi belakang dipertahankan menggunakan mondolan/tonjolan (Arab= mindholah) yang bermakna sang pemakainya menjadi payung pengayom bagi masyarakat.

Bebet, bahwa di perut dan bawah perut adalah sumber nafsu, maka harus di bebat untuk dikendalikan. Dan nafsu tersebut di bebat dengan motif Parang Rusak Barong menanjak (lereng). Menurut seorang Romo, konon motif Parang Rusak Barong tersebut adalah kaligrafi surat an-Nazi'at ayat 40-41:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
"Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Robbnya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya."

Bahkan akulturasi nilai-nilai tauhid sangat kental dalam ukiran di keraton Jogja, bahwa ornamen ukiran di tiap tiang keraton terdapat ilustrasi lafazh Alloh di sisi atas tiang dan ilustrasi lafazh Muhammad di sisi bawah tiang.

Sampai Hamengkubuwono IV, kurikulum pendidikan untuk calon Sultan terdapat mata pelajaran bahasa Arab. Sehingga, sampai Sultan Hamengkubuwono IV, semua Sultan fasih berbahasa Arab.

Dalam alur perjuangan, salah seorang menantu Hamengkubuwono II adalah seorang Sayyid bermarga as-Saqof (as-Segaf) dari Hadromaut. Di mana di kemudian hari, Sayyid ini di basmi Belanda karena terbongkar sebagai penyandang dana perjuangan Diponegoro. Sampai sekarang, peran Sayyid tersebut di abadikan menjadi nama tempat "Sayyidan" di Jogja (bukan "Kauman" sebagaimana umum disebut untuk perkampungan Arab di wilayah lain).

Kamis, 13 Agustus 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Suksesi Da'wah Para Sunan

Dalam Kropak Farara (Lontar Ferrara) -sebuah catatan sejarah Italia tentang Babad Tanah Jawa- yang disusun di masa Sultan Agung Hanyokro Kusumo disebutkan tentang sejarah da'wah Nusantara.

Da'wah Nusantara dimulai dari "seekor Hud hud" bernama Ibnu Batutah.

Saat mendarat di Samudra Pasai tahun 1320-an, Ibnu Batutah menuliskan catatan perjalanannya.
"Aku mendarat di sebuah negeri yang sangat indah. Pulau yang sedang kudatangi ini mengingatkanku akan Andalusia. Berhutan-hutan, bergunung-gunung, begitu cantik." Maka dikenal nama pulau tersebut sebagai pulau Andalas (Sumatera).

"Aku mendengar ada pulau di tengahnya. Pulau yang jika hujan turun, jelai-jelaian sumber pangan berebut untuk tumbuh, pulau yang sangat subur, dan di sana paling padat penduduknya. Pulau itu namanya Yawaddi (Jawa Dwipa)."

"Kalau engkau berjalan ke Timur maka konon di sana sumber segala wangi. Dan kehangatan rempah-rempah yang pulau-pulau itu setiap pulaunya terdapat raja." Maka pulau itu disebut Jazirotul Muluk (Maluku).

"Kalau engkau pergi ke Timur lagi, maka engkau akan bertemu dengan orang-orang yang ditemui Dzulqornain di suroh al-Kahfi, mereka nyaris tidak berpakaian." Maka pulau itu dinamakan Jazirotul 'Uryan (jaziroh telanjang) yang dahulu kita sebut dengan Irian.

Laporan perjalanan Ibnu Batutah tersebut dibaca seorang Sultan yang sedang meningkat pesat kekuasaannya, namanya Muhammad I; sultan Turki 'Utsmani (kakek dari Muhammad al-Fatih).

Langkah Muhammad I adalah segera menyusun tugas untuk para ulama yang diambil dari berbagai negeri dengan spesialisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan Nusantara.

Inilah pemetaan yang luar biasa yang dilakukan Ibnu Batutah dan disikapi dengan perencanaan yang sangat hebat dari Muhammad I.

Untuk kebutuhan pulau Yawaddi yang paling padat penduduknya, berada di tengah-tengah, strategis untuk da'wah itu, penduduknya agraris, hanya mengandalkan hujan dalam pengelolaan kekayaan alamnya maka dikirimlah seorang ahli irigasi sekaligus 'alim bernama Maulana Malik Ibrohim. Di perbatasan Lamongan dan Gresik, beliau membangun sebuah prototype teknik irigasi berupa bendungan kecil untuk mengairi beberapa petak sawah di mana padi dapat ditanam sepanjang tahun.

Kemudian dilaporkan juga bahwa karakteristik penduduk di pulau Yawaddi itu mendewa-dewakan pepohonan, hutan, gunung-gunung, batu-batu, dan percaya pada dukun sakti maka dikirim Maulana Maghribi I -asal Maroko- di mana beliau seorang ahli ruqyah yang berpostur gemuk-besar. Beliau ditugaskan berda'wah di pedalaman pulau Yawaddi yang agraris di mana beras merupakan makanan pokok yang tidak familier untuk beliau. Maka beliau membuat roti yang serupa mungkin dengan daerah asalnya. Oleh Maulana Malik Ibrohim, Maulana Maghribi I dibekali dengan tepung beras untuk pengganti bahan makanan pokoknya. Hingga saat ini, di daerah Klaten diperingati haul Ki Ageng Gribig (Maulana Maghribi I) dengan sajian kue apem (makanan yang diserupakan dengan makanan pokok di Maroko). Dalam kisah pewayangan Jawa ciptaan Sunan Kalijogo, tokoh Maulana Maghribi I ini disebut "Semar" yang sangat bijak.

Kemudian dikirim pula Muhammad al-Baqir (di Jawa disebut "Syekh Subakir") seorang ahli antropologi dengan ciri fisik berbadan jangkung dan berhidung mancung. Beliau petakan karakteristik masing-masing masyarakat di seluruh Jawa. Beliau datangi beberapa gunung untuk melihat dari atas landscape wilayah untuk mendesain pendirian kota di masa yang akan datang. Terakhir, beliau meninggal di gunung Merapi. Masyarakat Merapi menyebutnya "mbah Petruk". Bahkan sampai sekarang, masyarakat Merapi menyebutkan bahwa penunggu gunung Merapi adalah "mbah Petruk".

Lalu dilaporkan bahwa kerajaan Majapahit yang sedang berjaya, tengah mengalami kerapuhan dari sisi manajemen kenegaraan. Maka dikirimlah seorang ahli tata negara -atas surat permohonan dari Maulana Malik Ibrohim- bernama Maulana 'Ali Rahmatulloh; orang Jawa menyebutnya "Raden Rahmat". Beliau mendirikan akademi tata negara di Ampel Denta, Surabaya. Di sanalah Brawijaya V (raja Majapahit) menyekolahkan para pangeran untuk belajar ilmu tata negara, sehingga masyarakat mengenalnya sebagai Sunan Ampel.

Sunan Ampel merupakan keponakan dari raja Brawijaya V dari istrinya yang merupakan putri Champa (kerajaan Jeumpa, Aceh).

Kemudian dilaporkan bahwa kerajaan Majapahit juga sedang krisis tentara. Maka dikirimlah Sunan Ngudung (nama aslinya sedang dilacak) berasal dari Palestina yang beliau ini seorang trainer kemiliteran, ahli strategi perang, sekaligus 'alim. Beliau mempunyai anak Maulana Ja'far ash-Shodiq, di mana Maulana Ja'far ash-Shodiq berikutnya mendirikan kota Quds (Kudus) dan mendirikan masjid yang beliau namai masjidil Aqsho.

Di sanalah nanti berdiri kesultanan Demak. Para ulama menyebutkan bahwa kesultanan Demak sangat memahami futuhat dengan kejayaan dan keberhasilannya mengirim 300 kapal perang melawan Portugis di Malaka tetapi sampai sekarang tidak pernah diketemukan istana raja Demak.

Para sejarawan mengatakan bahwa Sultan-sultan Demak sangat bersahaja. Mereka membangun istana dan rumah tidak beda dengan rumah rakyatnya yang akan hilang seiring pergantian masa. Para Sultan lebih mementingkan masjid sebagai sentral pemerintahan. Sangat kontras dengan kerajaan Majapahit yang bobrok tetapi pejabatnya hidup bermewah-mewah.

Maka tim da'wah yang dikenal dengan "Wali Songo" ini adalah tim da'wah yang belum ada padanan kesuksesannya di dunia hingga kini. Hanya dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun, sebuah imperium yang berdasar Hindu-Buddha berubah "convert" semua penduduknya menjadi Muslim.

Kronik Islamisasi Nusantara; Teori Masuknya Islam di Nusantara

1. Gujarat
Seperti dikenalkan dalam buku-buku sejarah Indonesia dari produk zaman Orde Baru, bahwa asal mula Islam masuk di Indonesia adalah melalui pedagang dari Gujarat (India) pada abad ke-13. Teori ini disebut Teori Gujarat.

Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam masuk Nusantara tak mungkin langsung dari jazirah Arab tanpa melalui tasawuf yang berkembang di India.

Menurut Snouck, para pedagang dari Gujarat pertama masuk melalui kesultanan Samudra Pasai.

Selain alasan trend tasawuf di India, Snouck juga menyajikan alasan lain, yakni mengacu pada corak budaya Indonesia yang akulturatif (persenyawaan material) dan sinkretis (persenyawaan budaya-spiritual).

Alasan berikutnya adalah ditemukannya makam Malik al Saleh yang wafat pada tahun 1297 dengan corak nisan yang Hinduistis.

Terakhir, adalah didasari oleh hubungan bilateral (dari bidang ekonomi) kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan India yang telah berlangsung lama.

Snouck tidak sendiri dalam mengangkat teori ini. Terdapat beberapa tokoh yang sependapat dengan Snouck, yakni Clifford Geertz -seorang berkebangsaan Amerika yang mencetuskan klanisasi (memilah-milah) golongan Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Dan Harry J. Benda (Amerika) yang menerbitkan buku hasil disertasinya berjudul “Bulan Sabit dan Matahari Terbit” dan “Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin” karya Mitsuo Nakamura dari Jepang.

Kelemahan teori ini, Snouck tidak menjelaskan di Gujarat menganut mazhab apa dan di Samudra Pasai berkembang mazhab apa. Mungkinkah Islam masuk ke Samudra Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik atau kesultanan?

2. Persia
Tokoh Husein Djojodiningrat -seorang sejarawan Indonesia didikan Belanda- mencetuskan kajiannya bahwa masuknya Islam di Nusantara bukan melalui Gujarat, melainkan dari Persia (Iran/Irak) pada abad ke-13. Sehingga teori ini disebut Teori Persia.

Alasan beliau mengangkat teori ini adalah adanya kesamaan budaya antara Indonesia dengan Persia, yakni kesamaan perayaan memperingati wafatnya Hasan-Husain seperti halnya di Persia. Pun di Indonesia terdapat tokoh syaikh Siti Jenar dengan aqidah “manunggaling kawulo gusti; menyatunya Alloh dengan pribadi” yang dibunuh oleh para Sunan seperti halnya tokoh al-Hajjaj ibn Yusuf. Selain itu, adanya kesamaan sistem baca atau mengeja huruf hijaiyah (= fat-hah tanwin, kasroh, dhommah).

Teori ini didukung oleh Prof. Dr. Abubakar Atjeh.

Dengan mengangkat teori ini, tokoh-tokoh tersebut ingin mengatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia bermazhab Syi'ah.

Teori ini mempunyai titik lemah pada kenyataan sejarah bahwa tak semua rakyat Persia saat itu bermazhab Syi'ah. Khilafah Abbasiyah di Irak umumnya penganut ahlussunnah wal jama'ah.

3. Cina
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya berjudul “Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara” menyebutkan bahwa Sultan Demak adalah peranakan Cina. Bahkan menyebutkan para Wali Songo adalah peranakan Cina. Beliau mendasarkan teori Cina ini dari Kronik Klenteng Sam Po Kong.

Dalam “Kronik Klenteng Sam Po Kong”, Sultan Demak disebut Panembahan Jin Bun. Aryo Damar (pengasuh Jin Bun saat di Palembang) bernama Swan Liong. Sultan Trenggono disebut Tung Ka Lo. Sunan Ampel disebut Bong Swi Hoo. Sunan Gunung Jati disebut Toh A Bo.

Tak semua tokoh disebutkan nama Cinanya. Hal ini yang menjadikan Prof. Dr. G. W. J. Drewes (Guru Besar Islamologi Univ. Leiden) meragukan teori ini. Beliau menilai banyak kelemahan pada data dan sistem interpretasinya. Selain itu, Slamet Muljana tidak menjelaskan secara eksplisit tahun atau abad masuknya Islam -versi teori ini- ke Indonesia.

4. Makkah
Berbeda dengan ketiga teori di atas, Prof. Dr. Hj. Abdul Malik bin Abdul Karim (buya HAMKA) memaparkan teorinya dalam “Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Univ. Sumatera Utara.

Menurut beliau, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Teori beliau disebut Teori Makkah.

Buya mendasarkan alasan teorinya pada beberapa bukti, yakni terjalinnya kontak dagang Indonesia-Arab yang telah lama terjalin sejak abad ke-2 sebelum Masehi (saya belum mendapatkan bukti-bukti penguat untuk alasan yang ini, bahkan dari dosen di ma'had waktu itu). Selain itu, terjadinya kontrak yang lebih konkrit dengan raja Ta Ceh (Mu'awiyah) yang mengirimkan duta ke Jawa Dwipa yang saat itu di bawah kuasa Raja Kalingga dan Ratu Shima.

Seperti kita ketahui, Raja Kalingga dan Ratu Shima telah menerapkan hukum potong tangan bagi sesiapa yang mengambil barang tanpa hak; meski barang itu tergeletak di tengah keramaian.

Ekses dari penegakan hukum Islam tersebut mengakibatkan sebagian raja-raja Hindu menyingkir ke lereng Tengger dan Bali.

Beliau juga mendasarkan teori ini dari buku “Berita Cina Dinasti Tang” yang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatera. Sehingga berdirinya kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-13 bukanlah awal masuknya Islam, melainkan perkembangan agama Islam.

Selain itu, Buya memungkasi dalilnya dengan menjelaskan bahwa mazhab yang dominan di Indonesia adalah mazhab Syafi'i, di mana mazhab ini berhasil mencapai puncak keemasannya pada abad ke-7/8 M di Arab.

Teori Buya Hamka ini didukung oleh J. C. Van Leur dari Belanda dan Ahmad Mansur Suryanegara (Guru Besar Univ. Padjadjaran).

Satu lagi teori hasil analisis sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. N. A. Baloch dari Pakistan memaparkan dalam bukunya “Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia”, bahwa masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim yang memiliki keahlian navigator atau muallim sekaligus wirausaha melalui penguasaan maritim. Teori ini disebut Teori Maritim.

Melalui aktivitas inilah Islam diperkenalkan di tempat-tempat mereka singgah. Teori ini menyebutkan bahwa proyek da'wah ini terjadi pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M.

Proses pengenalan Islam ini berlangsung selama 5 abad. Kemudian mulai abad ke-13 terjadi pengembangan Islam hingga ke pedalaman oleh para wirausahawan pribumi. Sedangkan ekspansi Islamisasi di Aceh terjadi pada abad ke-9 M.


Teori Gujarat sejatinya salah satu bentuk pembelokan sejarah oleh kaum Orientalis.

Snouck adalah seorang arsitek.

Beliau pribadi yang cerdas. Pada usia 25 tahun sudah menyabet gelar Doktor dengan disertasi Fiqih Haji. Beliau juga politikus ulung dengan nama samaran 'Abdul Ghofar.

Sahabat Snouck yang namanya Reflin berkomentar, “Yang saya tahu tentang diri Snouck, sampai matinya ia bukan seorang Muslim!” walau beristrikan anak kyai.

Doktrin Snouck untuk mengendalikan pergerakan Islam adalah “Beri kebebasan berbicara agama. Tapi bila berbicara politik, singkirkan!”

Selain itu, ada satu doktrin Snouck yang “sukses” sampai sekarang: Ummat Islam harus digolong-golongkan!