Rabu, 30 Desember 2015

Pernikahan Itu tentang Barokah, Bukan Sakinah

Bukan sakinah yang menjadi tujuan pernikahan. Yang harus kita cari dalam rumah-tangga adalah barokah. Sakinah atau ketenangan itu merupakan buah pernikahan, ketika seorang laki-laki menikah secara sah dengan seorang perempuan. Dan ini merupakan sebagian tanda-tanda kekuasaan Alloh Ta’ala. Maka do’a untuk kedua mempelai pun bukan do’a meraih sakinah, bukan pula do’a untuk memperoleh keharmonisan rumah-tangga. Kedua-keduanya akan hadir mengiringi pernikahan apabila suami-istri saling menegakkan pola hubungan yang baik (mu’asyaroh bil ma’ruf), menjaga kewajiban-kewajibannya dan saling ridho di antara mereka.

Lalu apa yang sangat perlu kita perjuangkan dalam pernikahan? Barokah. Apakah barokah itu? Syaikh Muhammad bin Sholih Utsaimin menunjukkan bahwa barokah berasal dari kata al-birkah yang bermakna tempat berkumpulnya air. Beliau menerangkan, “Barokah berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata al-birkah (ﺍﻠﺑﺮﻜﺔ) yang berarti tempat berkumpulnya air. Dan tabarruk berarti mencari barokah.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menerangkan, “Barokah berarti kenikmatan dan tambahan. Sedangkan hakikat barokah adalah kebaikan yang banyak dan terus-menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Alloh Tabaroka wa Ta’ala.”

Maka, sesiapa ingin meraih pernikahan yang barokah, ia harus melakukan tabarruk (mencari barokah) kepada yang memiliki kekuasaan penuh terhadap barokah, yakni Alloh Tabaroka wa Ta’ala.

Lalu, apa saja hal-hal yang perlu kita perhatikan agar Alloh Ta’ala karuniakan kepada kita pernikahan yang penuh barokah? Apa yang dapat kita lakukan untuk tabarruk (mencari barokah)? Yang pertama, tidak ada jalan untuk meraih barokah kecuali dengan apa-apa yang telah dituntunkan oleh agama ini. Sungguh, tidak ada satu pun perkara yang membawa kepada surga dan mendekatkannya kecuali telah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tunjukkan kepada kita. Tidak pula ada perkara yang menjauhkan kita dari api neraka, kecuali telah pula Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada kita. Maka, tidaklah patut kita mencari jalan untuk tabarruk, kecuali dengan apa-apa yang telah beliau shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa alihi wa shohbihi wa sallam tuntunkan.

Apa hal pertama yang harus kita perhatikan? Niat. Tidak ada yang lebih penting dibandingkan niat ketika seseorang hendak dan sedang menunaikan suatu amalan. Bersebab niat, amalan kecil bernilai sangat besar di sisi Alloh Ta’ala dan bahkan dijadikan sebagai teladan terbaik sepanjang masa. Bukankah amalan ashhabul kahfi adalah amalan yang sederhana? Hanya lari dan tidur panjang. Tetapi dua hal itu ditunaikan dalam rangka sesuatu yang paling besar dalam hidup, yakni menyelamatkan iman, menjaga agama, memelihara ketaatan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Sebaliknya bersebab niat pula, amalan yang sangat besar dan luar biasa berharga tidak bernilai pahala sama sekali, sedikit pun tidak, bahkan ia menjadi keburukan. Bukankah orang yang pertama kali masuk neraka justru orang yang berjihad di jalan Alloh Ta’ala? Tetapi ia melakukan jihadnya bukan karena Alloh ‘Azza wa Jalla, melainkan untuk meraih pujian dari manusia. Padahal seseorang yang mati saat berjihad di jalan Alloh dan niatnya semata karena Alloh ‘Azza wa Jalla, maka tidak ada yang diperolehnya kecuali surga tanpa hisab. Tidak ada penghalang baginya untuk langsung masuk surga-Nya Alloh Ta’ala, kecuali karena hutang yang belum dibayar. Maka, berhati-hatilah terhadap hutang. Dan pelajaran yang paling berharga adalah tentang niat.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya ‘amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang itu mendapat sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka pahala hijrahnya adalah pahala hijrah karena Alloh dan Rosul-Nya. Barangsiapa berhijrah karena ingin mendapat dunia atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia hanya akan mendapatkan apa yang dituju.” (HR. Bukhori & Muslim).

Seseorang dapat berhijrah karena ingin mendapatkan wanita yang dicintainya. Sebaliknya, seseorang dapat melakukan pernikahan justru karena ingin memuliakan sunnah dan menyiapkan ladang amal sholih yang Alloh Ta’ala ridhoi. Semakin bertambah usia kita, semakin perlu kita berusaha lebih gigih agar amalan-amalan yang kita kerjakan adalah amal sholih yang Alloh Ta’ala ridhoi. Ini berarti, kita perlu mengilmui agar amal sholih yang kita tunaikan benar-benar Alloh ‘Azza wa Jalla ridhoi. Dan para ulama menunjukkan bahwa ilmu merupakan salah satu pintu meraih barokah. Tanpa ilmu yang haq, kita tidak dapat mendidik niat, tidak pula mampu melakukan amal sholih maupun ibadah dengan benar sesuai tuntunan.

Sesungguhnya agama ini telah memberi tuntunan tentang bagaimana memulai dan merawat pernikahan. Inilah yang perlu kita ilmui; hal-hal yang patut kita kerjakan dan lebih-lebih urusan-urusan yang wajib kita tunaikan. Kita perlu mempelajari dengan sungguh-sungguh seraya tetap berusaha memperoleh tambahan ilmu. Kadang yang membuat kita kebingungan bagaimana cara melakukan sesuatu dengan baik bukan karena tidaknya ada panduan, bukan pula karena tidak jelasnya petunjuk, tetapi semata karena kita yang tidak mengetahui atau tidak memahami petunjuk yang jelas itu dengan matang.

Ingin berbincang lebih panjang tentang apa saja yang menjadi pintu barokah pernikahan. Tetapi dalam kesempatan yang singkat ini, cukuplah yang ringkas dulu. Semoga ada masa untuk melanjutkan perbincangan.

Sumber: Moh. Fauzil Adhim

Kamis, 17 Desember 2015

Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak

Jangan remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau gembleng mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.

Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.

Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30-40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.

Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?

Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi Muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.

Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.

Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum Muslimin. Takutlah engkau kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.

Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.

Ingatlah hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rosululloh, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!” (HR. Bukhori).

Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.

Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Alloh Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.

Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Alloh Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Alloh ‘Azza wa Jalla.

Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.

Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shohihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.

Ini juga berlaku bagi kita.

Ingatlah do’a yang kita panjatkan:

“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”

“Ya Alloh, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”

Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Alloh Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.

Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.

 ***

Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.

Wallohu a’lam bish-showab. Kepada Alloh Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.

Mohammad Fauzil Adhim

Sumber: hidayatullah

Rabu, 16 Desember 2015

Memantau Perkembangan Anak Sebelum Menjadi Gejolak

Apa sebabnya orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama? Banyak hal, tetapi ada dua alasan yang hampir dapat dipastikan menjadi pertimbangan orangtua. Pertama, orangtua menginginkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak sehingga menjadi pribadi matang, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab. Ini berarti aspek pembentukan karakter merupakan salah satu alasan penting orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama.

Kedua, orangtua mengharapkan pendidikan yang sepenuh waktu dari pagi hingga subuh, setiap hari, memberi kesempatan kepada anak untuk mematangkan ilmu dalam soal agama dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini pun berkait dengan akhlak, tetapi menekankan perlunya anak memahami ilmunya.

Memasukkan anak ke sekolah berasrama berarti mempercayakan penuh kepada pengelola sekolah sekaligus pendamping asrama untuk mendidik anak sehingga menjadi pribadi seperti yang diharapkan. Orangtua memiliki harapan yang sangat tinggi karena menganggap ustadz/ustadzah maupun pendamping asrama merupakan sosok pilihan yang memiliki perhatian, kepedulian, tanggung jawab, kemauan mendidik sekaligus bekal ilmu yang memadai.

Sekolah berasrama (boarding school) memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk pribadi anak. Begitu masuk sekolah berasrama, pengaruh orangtua hampir tidak ada lagi. 24 jam sehari semalam, 7 hari seminggu, dan 12 bulan setahun anak di bawah pengaruh dan didikan sekolah berasrama. Pada saat masuk asrama —yang itu biasanya sudah melalui seleksi dan terkadang sangat ketat— anak memang beragam keadaannya. Tetapi begitu masuk sekolah berasrama, boleh dikata baik buruknya anak ditentukan oleh proses pengasuhan, pendidikan, dan pembimbingan anak oleh sekolah. Secara keseluruhan, ini merupakan proses ta’dib (pendidikan adab) yang berkelanjutan. Ini merupakan pilar penting sekolah berasrama. Salah satu ukuran keberhasilan sekolah berasrama ialah apabila anak-anak berubah menjadi lebih baik setelah masuk asrama. Bukan sebaliknya.

Nah, agar tidak terjadi hal yang kontra-produktif, sekolah berasrama perlu melakukan pengawasan terencana terhadap anak didik. Anak-anak perlu dipantau perkembangannya agar cepat terdeteksi manakala ada gejala yang tidak beres. Bahkan sesungguhnya, pemantauan anak ini merupakan bagian sangat penting dari proses pendidikan akhlak.

Boarding school hendaknya memantau perkembangan anak didik sehingga dapat menangani dengan segera jika sewaktu-waktu menjumpai masalah ataupun gejala masalah. Ini penting agar gejala tersebut tidak berkembang menjadi masalah yang serius, dan jika masalah sudah terjadi tidak semakin parah. Begitu mendapati masalah, sekolah berasrama harus segera melakukan koordinasi antara guru, wali kelas, wali asrama, dan pendamping kamar. Langkah ini diperlukan untuk memastikan akar masalah dan penanganannya. Wali asrama merupakan pengganti orangtua selama di boarding school.

Masing-masing pihak di sekolah berasrama mencari pemecahan masalah yang tepat. Langkah yang telah dirumuskan, kemudian dijalankan sesuai tugasnya. Selanjutnya, masih tetap perlu dipantau dan dievaluasi bersama. Evaluasi diperlukan untuk melakukan perbaikan jika hasil penanganan siswa belum sesuai yang diharapkan. Karena itulah, evaluasi perlu dilakukan dengan sangat cermat.

Dari evaluasi itu juga dapat diketahui langkah mana yang paling efektif dari serangkaian langkah yang diambil. Ini perlu dicatat dengan baik. Apa manfaat pencatatan tersebut? Sekolah mempunyai rujukan jika menghadapi kasus serupa di kemudian hari. Jadi, pencatatannya harus “hidup”.

Bagaimana jika penanganan yang dilakukan sudah membuahkan hasil sesuai yang diharapkan? Evaluasi tetap penting untuk memperkokoh hasil. Tetap penting juga untuk memahami langkah mana yang paling efektif serta apa saja yang berperan besar terhadap keberhasilan penanganan.

Bagaimana jika tidak ada program yang matang untuk pembinaan, pengendalian, dan pengawasan murid selama di asrama? Itu bukan boarding school. Berasrama tapi tanpa program yang jelas, berarti hanya sekolah yang dilengkapi rumah sewa. Anak-anak berada di asrama, tetapi tak memperoleh perlakuan edukatif yang mengubah sikap maupun perilaku mereka. Tak terbimbing. Auto pilot.

Saya pernah mengunjungi boarding school yang wali asramanya sangat jarang menunggui asrama. Padahal ini tanggung jawabnya. Akibatnya, program yang di atas kertas agak bagus, sama sekali tidak berjalan. Parahnya, di asrama tersebut disediakan TV non stop. Lebih ironis lagi, tidak ada pendamping asrama yang bertanggung jawab memantau dan mengarahkan tiap-tiap anak didik anggota kamar. Jika keadaan seperti ini dibiarkan, sangat mungkin asrama justru menjadi penyebab kemerosotan akhlak maupun etos belajar anak.

Kapan sekolah dapat melibatkan orangtua dalam menangani masalah? Pada saat awal muncul gejala masalah, sekolah dapat meminta informasi yang bersifat pribadi (personal information) berkaitan dengan diri anak, yakni hal-hal yang berkenaan dengan keunikan pribadi anak, termasuk peristiwa khusus yang pernah dialami anak. Ini merupakan bahan pertimbangan sekolah dalam mengambil kebijakan. Sampai di sini, penanganan masih dilakukan murni oleh sekolah berasrama, tetapi sebagian pertimbangannya menggunakan informasi dari orangtua. Meskipun demikian, bisa saja sekolah meminta masukan dan pendapat orangtua. Selanjutnya, sekolah melakukan perkembangan hasil penanganan kepada orangtua sebatas yang perlu diketahui orangtua.

Bagaimana jika misalnya sekolah merasa kewalahan menangani anak? Bicarakan dengan orangtua jauh-jauh hari sebelumnya, boleh jadi ada pemecahan masalah yang sangat berguna dan tak terpikirkan oleh sekolah. Komunikasikan perkembangannya, cari aspek yang dapat dikembangkan dari anak sebagai bahan rekomendasi kepada orangtua. Jika sekiranya sekolah sampai pada tingkat harus lempar handuk sebagai pernyataan gagal karena tak lagi sanggup mendidik anak tersebut, jangan lakukan secara tiba-tiba. Apalagi di saat yang sangat krusial. Serumit apa pun, ingatlah tugas sekolah berasrama untuk membentuk pribadi Islami.

Artinya, ketika anak terpaksa harus belajar di tempat lain, meskipun bukan jalan keluar yang baik, tetap saja sekolah sebelumnya perlu mengambil peran sehingga hubungan emosi anak tetap terjaga. Lebih mendasar lagi, tindakan tersebut membawa manfaat dakwah. Bukan sebaliknya, menimbulkan fitnah dakwah. Ingatlah, sesungguhnya tugas sekolah bukan hanya mengajarkan pengetahuan. Tugas sekolah adalah menegakkan dakwah pada diri anak. Ini salah satu tugas penting sekolah berasrama.

Khusus berkait dengan tugas dakwah bagi sekolah, silakan baca kembali tulisan saya bertajuk Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak.

Mohammad Fauzil Adhim

Sumber: hidayatullah

Selasa, 15 Desember 2015

Awas! Usianya Sudah 10 Tahun

Suatu ketika seorang laki-laki datang menemui saya. Usianya kira-kira 30 tahun atau sedikit kurang dari itu. Di teras masjid, ia bertanya perihal kemenakan perempuannya yang mulai menampakkan gejala aneh. Usia kemenakannya waktu itu sekitar 14 tahun; usia kelas 2 atau 3 SLTP.

“Dia kelihatan tidak suka kalau saya ada urusan yang berkait dengan akhwat atau pembicaraan saya menyinggung soal wanita,” demikian laki-laki itu mengeluh, “Sepertinya dia cemburu. Apa yang demikian ini wajar?”

Masih ada berbagai keluhan senada tentang kemenakannya yang semakin menunjukkan sikap menyukai paman, bukan dalam hubungan antara kemenakan terhadap pamannya. Tetapi antara seorang wanita muda yang tengah jatuh cinta kepada seorang lelaki pujaan hatinya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ini sebenarnya? Sebuah pertanyaan yang sangat luas.

Saya kemudian menanggapi pertanyaan laki-laki tersebut dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah masih sering tidur dengan kemenakan ketika dia sudah berusia sepuluh tahun?”

Pertanyaan ini ternyata mengejutkan. Ia balik bertanya dengan raut muka menampakkan keheranan, “Kan wajar? Dia kemenakan saya. Masa paman mempunyai perasaan yang aneh-aneh terhadap kemenakannya sendiri? Apa itu berpengaruh? Lho, kok bisa usia sepuluh tahun?”

Itulah. Perkara ini kelihatan wajar. Ya, seorang paman tidak punya pikiran macam-macam ketika bercerita kepada kemenakan perempuan sambil tiduran dalam satu tempat tidur. Yang terbersit hanya menyenangkan kemenakan yang mungkin dilakukan sembari membacakan cerita-cerita menarik. Masalahnya adalah, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melarang.

Rosululloh SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk sholat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan sholat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (Riwayat Abu Dawud).

Sangat jelas perintah dalam hadits ini. Kita hendaknya memisahkan tidur anak dari orangtua begitu usianya menginjak 10 tahun. Seorang anak perempuan hendaknya tidur terpisah dari saudaranya yang laki-laki. Ia pun tidak lagi boleh tidur bersama dengan orang dewasa laki-laki, sekalipun itu bernama pamannya sendiri. Satu lagi, seorang anak perempuan tidak boleh dalam satu selimut dengan anak perempuan. Seorang anak laki-laki juga tidak boleh tidur dalam satu sarung dengan sesama laki-laki, meskipun itu kakak atau adiknya sendiri.

Inilah petunjuk yang dapat kita petik dari hadits riwayat Abu Dawud tersebut. Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah yang telah dituntunkan oleh Rosululloh SAW. Melanggar ketentuan beliau mengenai hal ini akan sangat riskan. Penyimpangan perilaku seksual dapat terjadi pada diri anak. Bentuk penyimpangan itu dapat secara nyata terlihat dalam perilaku-perilaku seksual, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman bermain, binatang atau boneka. Dapat pula dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, semisal berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenis.

Berbagai kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh remaja belasan tahun, tidak sedikit yang dapat kita runut akarnya dengan memahami hadits ini. Ada memang, dan itu tidak sedikit, anak-anak yang mengalami gejolak seksual sehingga melakukan kejahatan bersebab tayangan pornografis, baik dari melihat VCD porno maupun paparan pornografis yang ada di smartphone miliknya maupun orangtua. Ada orangtua yang menjauhkan diri dari mengakses pornografi, tapi membiarkan grup WA atau yang sejenisnya memuat konten pornografis.

Usia sekitar 9 atau 10 tahun (ingat, dalam hadits tersebut 10 tahun merupakan hitungan Qomariyah yang lebih pendek masanya), merupakan titik yang sangat rawan. Perempuan dapat mencapai aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche (menstruasi pertama). Sementara anak laki-laki pada umumnya akan mengalami ihtilam (mimpi basah) sekitar 2 atau 3 tahun sesudah usia itu. Sekalipun demikian, di masa sekarang semakin banyak anak yang mengalami ihtilam lebih awal dibanding anak-anak di masa sebelumnya. Usia 10 tahun pun boleh jadi sudah ada yang menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi basah).

Pada masa ini, bayangan seksual mulai mengganggu pikiran anak, bahkan dapat berpengaruh sangat kuat jika anak tidak memiliki kebiasaan produktif, sementara pada saat yang sama kerap terpapar pornografi. Tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk menyukai lawan jenis serta mengalami kemesraan dengannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan untuk mengalami kemesraan tersebut, ada jurang yang dapat menggelincirkan mereka ke dalam penyimpangan sehingga mereka menyukai sesame jenis.

Itulah sebabnya, mereka tidak diperkenankan tidur dalam satu sarung dengan sesama jenis.

Inilah hal-hal yang perlu kita perhatikan ketika merenungi kenakalan anak-anak “masa kini” yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual (saya tidak suka menyebutnya sebagai kenakalan) kerap berawal dari kecerobohan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk orangtua. Na’dzubillahi min dzaalik. Karena itu, jangan segan-segan untuk meninggalkan grup WA dan sejenisnya apabila di dalamnya ada anggota yang kerap berkirim gambar maupun konten porno lainnya. Persahabatan dapat Anda jaga dengan cara lain (jika seandainya memang perlu dijaga), tetapi tidak dengan mengorbankan idealisme atas anak.

Semoga Alloh Ta’ala melindungi kita dan anak-anak kita serta keturunan kita dari fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Semoga Alloh Ta’ala sucikan kita dan keturunan kita hingga Yaumil-Qiyamah, betapa pun banyaknya dosa-dosa kita saat ini. Allohumma aamiin.

Saya tidak akan membicarakan berbagai kecerobohan orangtua di saat anak mulai memasuki usia 10 tahun hingga ke masa-masa remaja. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk merenungi kembali dua hal penting berkait dengan aurat dan pendidikan anak. Pertama, menegakkan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla di dalam al-Qur’an surat An-Nuur ayat 58-60 berkait dengan waktu-waktu aurat yang tiga. Ini sangat perlu kita perhatikan. Kedua, menjaga anak-anak dari terpapar oleh maksiat, termasuk akibat primal-scene (melihat orangtua berhubungan) akibat tidak adanya kehati-hatian atau karena lengah.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan mendapatkan barokah dari Alloh Ta’ala. Wallohu a'lam.

Mohammad Fauzil Adhim

Sumber: hidayatullah

Teori ‘Kebetulan’

“Saya kesini kebetulan sedang mencari kerja, pak.”
“... kebetulan saya dikasih amanah sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan.”
“... kebetulan saya ada disitu waktu ada kejadian itu.”
“... kebetulan saya mau berangkat umroh pas tanggal itu.”

Saudaraku,
Pemberian amanah dalam organisasi tidaklah datang tiba-tiba tanpa kita melakukan apa-apa. Pasti melalui proses kerja-kerja hingga kita dinilai layak untuk amanah yang lebih besar tersebut. Apakah proses-proses kerja selama ini kita lakukan secara kebetulan? Padahal suatu saat kita harus bangun dan berangkat lebih pagi, menyelesaikan pekerjaan dengan lembur, sering masuk angin karena begadang mengejar deadline, berkejaran dengan waktu memanfaatkan ojek, kesal hati menunggu saat gajian ketika letih raga dan jiwa telah merajai, dan sebagainya. Kebetulankah?

Saudaraku,
Langkah kaki kita yang mengantarkan kita berada di tempat yang berbeda-beda, akan menyertai kita dalam setiap momen. Keberadaan kita di suatu tempat yang menempatkan kita sebagai saksi suatu kejadian, bukanlah “kebetulan”. Jalan kita, kepindahan kita, keluarnya ongkos untuk kepindahan kita, berkejaran waktu kita hingga kita ada di tempat itu adalah bentuk upaya-upaya kita. Bukan “kebetulan”.

Saudaraku,
Menabungnya kita empat digit, lima digit, bahkan mungkin enam digit, waktu menunggu yang kita sabari, sujud-sujud di kala yang lain belum terbangun untuk dapat berangkat umroh, bukanlah “kebetulan”.

Lisan kita terlalu mudah meluncur licin ketika mengucapkan “kebetulan” dalam setiap penjelasan. Seolah-olah Alloh tak punya tempat berperan secelah pun pada peran-peran kita.

Daun tua yang kering dan lunglai di pohon, lepas dan melayang jatuh ke bumi bukanlah “kebetulan”.

Ankle kaki yang tak di nyana mematah keseleo di jalan yang mulus, pun bukan “kebetulan”.

Ban motor yang terbilang baru kemudian bocor di tengah malam dalam perjalanan pulang pun bukanlah “kebetulan”.

Jika kita cermati, istilah “kebetulan” sering disandarkan pada sesuatu yang menggembirakan. Kita sangat asing ketika mendengar ungkapan, “Kebetulan dosen memarahi saya”, “Kebetulan saya didemo pegawai saya”, “Kebetulan perampok itu menebas tangan saya”, “Kebetulan ibu saya meninggal”...

Teori “Kebetulan” ini saya pungkasi dengan saya menukil penjelasan pak Mario Teguh dalam acara Super Show-nya, “Jika di dunia ini ada ‘kebetulan’, Tuhan pasti kaget. Padahal Tuhan itu Maha Mengetahui. Kalau ada ‘kebetulan’, berarti Tuhan yang Maha Mengetahui itu tidak tahu kalau akan terjadi sesuatu.”

“Apakah Alloh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk [67]: 14)

“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Alloh?” (QS. Al-Baqoroh [2]: 140)

Menakar Ulang Pendidikan Seks

Ketika Saya Kecil
Saya dibesarkan dalam lingkungan Muslim tradisional yang di usia 7-8 tahun berkenalan dengan kitab-kitab fikih dasar semacam Sulam Safinah dan yang serupa dengan itu. Semua itu merupakan kitab-kitab fikih dasar mazhab Syafi’i yang mencakup berbagai masalah secara umum, termasuk soal menstruasi, bersuci dari hadats besar dan berbagai sebabnya (jima’/sexual intercourse salah satunya).

Pengenalan awal tentang hukum Islam dalam kerangka taat kepada Alloh SWT menjadikan anak-anak usia sekolah dasar kelas bawah telah mengenal berbagai hal yang hari ini dianggap sebagai porsi orang dewasa. Salah satu alasan untuk membekali anak-anak dengan pengetahuan dasar hukum Islam adalah karena orangtua berkewajiban menegakkan disiplin ibadah di usia 10 tahun. Salah satu sanksinya adalah memukul. Tapi tidak dibolehkan memukul, kecuali anak sudah mengerti hal-hal dasar tentang hukum Islam. Itu sebabnya, mereka harus memahami aturan-aturan dasar agama ini sebelum berusia 10 tahun. Orangtua mengenalkan sendiri atau melalui guru agama di musholla melalui pembelajaran kitab-kitab fikih dasar.

Walhasil, anak-anak mengerti hal-hal pokok terkait kewajiban yang berkaitan dengan seksualitasnya, tetapi tidak memperolehnya dalam konteks pendidikan seks menurut anggapan sekarang. Anak memahaminya sebagai bekalan penting sebagai hamba Alloh Ta’ala. Anak mengetahui apa itu menstruasi, apa itu ihtilam (wet dream), pun anak paham apa bedanya mani (sperma) dan mazi saat ia berusia sekitar 9 tahunan. Ini semua hasil ikutan dari pendidikan tentang syari’at Islam. Maksudnya, tidak diajarkan sebagai pengetahuan pokok, tetapi anak akan memahami dengan sendirinya karena untuk menguasai fikih, harus memahami berbagai hal terkait istilah-istilah tersebut.

Sepintas anak tak memperoleh pendidikan seks —dan senyatanya memang tidak dimaksudkan sebagai pendidikan seks— tetapi dengan sendirinya memperoleh pengetahuan yang diperlukan dengan cara yang lebih baik, manfaat yang lebih mulia dan tujuan yang lebih terarah. Anak memahami tanpa perlu secara khusus mempelajari alat reproduksi.

Beberapa Tahun Silam
Begitu saya dibesarkan. Ketika saya mengenyam pendidikan di fakultas psikologi dan membaca berbagai literatur mengenai seksualitas manusia dan khususnya tentang pendidikan seks, terlebih ketika dihadapkan pada sejumlah pertanyaan dari orangtua, saya sempat mengalami perubahan cara pandang. Anak-anak harus memperoleh informasi “memadai” (sebuah istilah yang sebenarnya sangat ambigu) tentang seksualitas serta organ reproduksi mereka. Ini sangat penting agar mereka dapat mengendalikan diri karena memahami bahayanya melakukan hubungan seks pra-nikah.

Jika anak meminta bertanya tentang hal-hal yang berkait dengan seksualitas, maka orangtua dan pendidik berkewajiban untuk memberikan informasi yang sesuai. Berikanlah jawaban yang lugas, fair, dan disertai dengan bimbingan agar anak tidak memperbuatnya. Tunjukkan kepada mereka bahayanya seks bebas sesudah menerangkan tentang alat-alat reproduksi dan fungsi-fungsinya secara gamblang. Meski saya tak sepenuhnya setuju, tetapi saya tak cukup alasan untuk menolak.

Menurut konsep ini, penjelasan secara tuntas dan memadai justru memahamkan anak akan bahayanya, sehingga dapat mengambil keputusan dengan baik. Tidak menjadi penasaran. Melalui pemahaman yang lengkap, anak akan dapat menghindari sampai tiba waktunya nanti.

Beberapa Waktu Terakhir
Belakangan saya membaca dan merenungi beberapa hal. Pertama, pergeseran paradigma pendidikan seks di Amerika dari seks bertanggung jawab yang berorientasi kelonggaran melakukan hubungan seks pra-nikah asalkan siap dan mampu bertanggung jawab, lalu bergeser menjadi safe sex (seks yang aman) sebagai reaksi terhadap merebaknya STD alias penyakit menular akibat hubungan seks bebas.

Pada tahun 1980-an, wacana yang menguat adalah kampanye pro-abstinence alias mencegah hubungan seks pra dan di luar nikah. Tetapi ini justru memperoleh penentangan dari warga negaranya sendiri, termasuk industri terkait seks, semisal kondom yang kemudian melebarkan sayapnya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia melalui berbagai LSM. Saat di negerinya sendiri ada ancaman pendidikan seks yang berorientasi pro-abstinence (tak ada hubungan seks di luar nikah), justru industri melalui berbagai LSM gencar melakukan kampanye yang dikemas dengan nama pendidikan seks, tetapi arahnya untuk membentuk pola pikir safe sex (seks aman) yang menguntungkan industri kondom dan sejenisnya.

Kedua, ada realitas menarik di berbagai negara kawasan Timur Tengah bahwa remaja umumnya tidak mengalami krisis identitas sebagaimana yang diyakini dalam psikologi perkembangan. Mereka tidak mengalami keguncangan (storm and stress) yang selama ini diyakini mutlak terjadi pada remaja. Lalu, apa sebabnya mereka tidak mengalami krisis identitas maupun keguncangan?

Ada dua hal. Pertama, apa yang disebut sebagai identity foreclosure. Mereka memiliki kejelasan identitas sebelum mereka memasuki masa remaja. Mereka memiliki arah dan idealisme yang kuat. Kedua, jelas dan kuatnya orientasi mereka terkait hubungan dengan lawan jenis, sementara terpaan media yang memberi rangsang seksual relatif rendah.

Ketiga, saya meyakini sebaik-baik masa adalah para salafush-sholih. Dan tidak ada satu pun perkara yang terabaikan dalam agama ini. “Inna ashdaqol hadiitsi kitabulloh; sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh, yakni Al-Qur’anul Kariim”. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Rosululloh Muhammad SAW. Kita dapati bahwa agama ini mengajarkan agar para pemuda memiliki orientasi menikah yang kuat. Bekal awalnya ditanamkan semenjak kanak-kanak dengan mengenali taklif (bebanan syari’at) dalam segala hal, termasuk ketika seseorang telah ihtilam (polutio).

Mari kita pikirkan sejenak. Jika terhadap lawan jenis saja kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan, tidak pula diperkenankan melihat aurat dari yang sesama jenis, maka bagaimana mungkin kita memberi pendidikan dengan cara justru menyeksamai aurat paling rahasia bernama organ reproduksi? Bagaimana mungkin cara itu justru meredakan gejolak seksual. Belakangan kita mendapati banyak data riset yang menunjukkan bahwa semakin dini pendidikan seks diberikan, justru meningkatkan aborsi di usia lebih dini. Data terkini misalnya sebagaimana ditunjukkan oleh HCM City Development Research Institute di Vietnam. Pendidikan seks yang berorientasi kesehatan reproduksi di negeri itu yang diberikan semenjak SD, menyebabkan anak-anak usia 10 tahun pun banyak yang melakukan aborsi. Dan tidak mungkin terjadi aborsi jika tidak melakukan hubungan seks sebelumnya. Ini juga diperkuat oleh data dari WHO.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan berkah. Wallohu a’lam bish showab.

Mohammad Fauzil Adhim

Sumber: hidayatullah

30 Tahun Mendatang Anak Kita

Jangan remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau siapkan mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.

Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.

Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30-40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.

Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?

Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.

Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.

Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum muslimin. Takutlah engkau kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.

Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.

Ingatlah hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rosululloh, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!” (HR. Bukhori).

Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.

Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Alloh Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.

Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Alloh Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Alloh ‘Azza wa Jalla.

Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.

Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shohihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.

Ini juga berlaku bagi kita.

Ingatlah do’a yang kita panjatkan:

“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”

“Ya Alloh, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”

Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Alloh Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.

Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.

***

Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.

Wallohu a’lam bish-showab. Kepada Alloh Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.

Moh. Fauzil Adhim

Senin, 14 Desember 2015

Teori Motivasi McClelland dan Teori Dua Faktor Hezberg

Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Menurut Robbins (2001:166) menyatakan definisi dari motivasi yaitu kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.

Sedangkan menurut Sondang P. Siagian sebagaimana dikutip oleh Soleh Purnomo (2004:36) menyatakan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.

Dari pengertian ini, jelaslah bahwa dengan memberikan motivasi yang tepat, maka karyawan akan terdorong untuk berbuat semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugasnya dan mereka akan meyakini bahwa dengan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, maka kepentingan-kepentingan pribadinya akan terpelihara pula.

Sunarti (2003:22) menyatakan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi yaitu perbedaan karakteristik individu, perbedaan karakteristik pekerjaan, dan perbedaan karakteristik lingkungan kerja. Dalam rangka mendorong tercapainya produktivitas kerja yang optimal maka seorang manajer harus dapat mempertimbangkan hubungan antara ketiga faktor tersebut dan hubungannya terhadap perilaku individu. Pada dasarnya motivasi individu dalam bekerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja individu yang berdampak pada pencapaian tujuan dari organisasi.

Soleh Purnomo (2004:37) menyatakan ada tiga faktor sebagai sumber motivasi, yaitu:
(1) kemungkinan untuk berkembang;
(2) jenis pekerjaan; dan
(3) apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagi dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Di samping itu ada beberapa aspek yang berpengaruh terhadap motivasi kerja individu, yaitu rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja, dan perlakuan yang adil dari manajemen. Dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik dan menantang, kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan standar keberhasilan serta bangga terhadap pekerjaan dan perusahaan dapat menjadi faktor pemicu kerja karyawan.

Pada dasarnya motivasi individu dalam bekerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja individu yang berdampak pada pencapaian tujuan dari organisasi. Di samping itu ada beberapa aspek yang berpengaruh terhadap motivasi kerja individu, yaitu rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan yang adil dari manajemen. Dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang menarik dan menantang, kelompok dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan, kejelasan akan standar keberhasilan serta bangga terhadap pekerjaan dan perusahaan dapat menjadi faktor pemicu kerja karyawan.

Sekilas David McClelland
David Clarence McClelland (1917-1998) mendapat gelar doktor dalam psikologi di Yale pada 1941 dan menjadi profesor di Universitas Wesleyan. McClelland dikenal untuk karyanya pada pencapaian motivasi. David McClelland memelopori motivasi kerja berpikir, mengembangkan pencapaian berbasis teori dan model motivasi, dan dipromosikan dalam perbaikan metode penilaian karyawan, serta advokasi berbasis kompetensi penilaian dan tes. Idenya telah diadopsi secara luas di berbagai organisasi, dan berkaitan erat dengan teori Frederick Herzberg.

David McClelland dikenal menjelaskan tiga jenis motivasi, yang diidentifikasi dalam buku “The Achieving Society”:
1. Motivasi untuk berprestasi (n-ACH);
2. Motivasi untuk berkuasa (n-POW);
3. Motivasi untuk berafiliasi/bersahabat (n-AFF).

Model Kebutuhan Berbasis Motivasi McClelland
David McClelland (Robbins, 2001:173) dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland juga digunakan untuk mendukung hipotesis yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. Dalam teorinya McClelland mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia.

Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan akan prestasi (achievement), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi.

Model motivasi ini ditemukan di berbagai lini organisasi, baik staf maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi tersebut.

A. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima risiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.

n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi. Karena itu, karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.

B. Kebutuhan akan kekuasaan (n-POW)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.

n-POW adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.

C. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-AFF)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif, dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.

McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut. Akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.

Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala McClelland:
a) Pencapaian adalah lebih penting daripada materi;
b) Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan;
c) Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).

Penelitian David McClelland
Penelitian McClelland terhadap para usahawan menunjukkan bukti yang lebih bermakna mengenai motivasi berprestasi dibanding kelompok yang berasal dari pekerjaan lain. Artinya, para usahawan mempunyai n-ACH yang lebih tinggi dibanding dari profesi lain.

Kewirausahaan adalah merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumberdaya untuk mencari peluang sukses (Suryana, 2006). Kreativitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang (Suryana, 2006). Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang (Suryana, 2006). Ciri-ciri pokok peranan kewirausahaan (McClelland, 1961 dalam Suyanto, 1987) meliputi Perilaku kewirausahaan, yang mencakup memikul risiko yang tidak terlalu besar sebagai suatu akibat dari keahlian dan bukan karena kebetulan, kegiatan yang penuh semangat dan/atau yang berdaya cipta, tanggung jawab pribadi, serta pengetahuan tentang hasil-hasil keputusan; uang sebagai ukuran atas hasil.

Ciri lainnya, minat terhadap pekerjaan kewirausahaan sebagai suatu akibat dari martabat dan ‘sikap berisiko’ mereka. Seorang wirausaha adalah risk taker. Risk taker dimaksudkan bahwa seorang wirausaha dalam membuat keputusan perlu menghitung risiko yang akan ditanggungnya. Peranan ini dijalankan karena dia membuat keputusan dalam keadaan tidak pasti. Wirausaha mengambil risiko yang moderat, tidak terlalu tinggi (seperti penjudi), juga tidak terlalu rendah seperti orang yang pasif (Hanafi, 2003). Dari hasil penelitiannya, McClelland (1961) menyatakan bahwa dalam keadaan yang mengandung risiko yang tak terlalu besar, kinerja wirausaha akan lebih tergantung pada keahlian -atau pada prestasi- dibanding pekerjaan lain.

Seorang wirausaha untuk melakukan inovasi atau pembaruan perlu semangat dan aktif. Mereka bisa bekerja dalam waktu yang panjang, misal 70 jam hingga 80 jam per minggu. Bukan lama waktu yang penting. Namun karena semangatnya, mereka tahan bekerja dalam waktu yang panjang. Bagi individu yang memiliki n-ACH tinggi tidak begitu tertarik pada pengakuan masyarakat atas sukses mereka. Akan tetapi mereka benar-benar memerlukan suatu cara untuk mengukur seberapa baik yang telah dilakukan.

Dari penelitiannya, McClelland menyimpulkan bahwa kepuasan prestasi berasal dari pengambilan prakarsa untuk bertindak sehingga sukses, dan bukannya dari pengakuan umum terhadap prestasi pribadi. Selain itu juga diperoleh kesimpulan bahwa orang yang memiliki n-ACH tinggi tidak begitu terpengaruh oleh imbalan uang, mereka tertarik pada prestasi. Standar untuk mengukur sukses bagi wirausaha adalah jelas, misal laba, besarnya pangsa pasar atau laju pertumbuhan penjualan.

Sekilas Frederick Herzberg
Frederick Herzberg (1923-2000), adalah seorang ahli psikolog klinis dan dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori motivasi. Frederick I Herzberg dilahirkan di Massachusetts pada 18 April 1923. Sejak sarjana telah bekerja di City College of New York. Lalu tahun 1972, menjadi Profesor Manajemen di Universitas Utah College of Business. Hezberg meninggal di Salt Lake City, 18 Januari 2000.

Teori Dua Faktor Hezberg
Frederick Herzberg (Hasibuan, 1990:177) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor, yaitu faktor higiene dan motivator. Dia membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bagian, yaitu kebutuhan tingkat rendah (fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.

Menurut Hezberg, faktor-faktor seperti kebijakan, administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan menentramkan karyawan. Bila faktor-faktor ini tidak memadai maka orang-orang tidak akan terpuaskan (Robbins, 2001:170).

Menurut hasil penelitian Herzberg, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990:176), yaitu:
a. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat menikmati pekerjaan itu sendiri, dan adanya pengakuan atas semua itu.
b. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat, dan lain-lain sejenisnya.
c. Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.

Herzberg menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu:
a. Maintenance Factors
Adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus. Karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi.

b. Motivation Factors
Adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang berkaitan langsung denagn pekerjaan.

Penerapan Teori Dua Faktor Herzberg dalam Organisasi
Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994:173) sebagai berikut:
a. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin tidak boleh tidak harus bekerja bersama-sama dan melalui orang lain atau bawahan. Untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan.

b. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Dan untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan. Di samping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda satu sama lain.

Untuk memahami motivasi karyawan digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg:
Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro, yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya.

Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.

Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker and Hall dalam Timpe, 1999:13).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway and Lodge, 1995:138). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau extrinsic motivation.

Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi, yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Jadi, karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (dalam Sondang, 2002:107).

Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (recognition), tanggung jawab (responsible).

Menurut Herzberg, faktor higienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berperforma baik. Akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995:139).

Sedangkan faktor motivasi/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi, pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berperforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999:13).

Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan oleh para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. (Cushway & Lodge, 1995:139)

Kamis, 10 Desember 2015

Menetralkan Jiwa yang Sedang Silau

Harus ada upaya membenahi jiwa agar tak gampang terpesona dengan segala yang menyilaukan. Ini memang tidak ringan. Tetapi sebuah kesuksesan memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Beberapa langkah berikut semoga bisa menjadi bahan renungan.

Pertama, Ingatlah bahwa Kesempurnaan Ini Hanya Milik Alloh
Semua yang ada di sekeliling kita adalah makhluk. Setiap makhluk mempunyai keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Termasuk kita. Bisa jadi kita begitu hebat di suatu bidang ilmu. Tetapi tentu kita mengakui bawa kita tidak mampu di bidang yang lain. Alam ini terlalu luas untuk bisa dijangkau oleh akal kita yang terbatas kemampuan dan kapasitasnya.

Setiap kita juga pernah terjatuh ke dalam suatu kesalahan dan khilaf. Sekecil apapun itu. Para nabi saja kelak merasa keberatan untuk memberikan syafaatnya dikarenakan mereka masing-masing  merasa pernah berbuat sesuatu yang tidak diridhoi Alloh. Maka, marilah bertanya dan mengaca, sesungguhnya siapakah diri kita ini?

Kesempurnaan memang hanya milik Alloh. Kita tidak bisa menuntut kesempurnaan dari siapa pun. Sebagaimana kita tidak dapat menuntutnya dari diri kita. Walau itu bukan legitimasi untuk tidak semakin baik. Kita harus tetap berusaha untuk selalu baik dan semakin baik seiring dengan perjalanan waktu.

Gemerlap nama orang-orang besar, dari artis hingga pejabat, dari politikus hingga konglomerat, seringkali membuat kita terpukau. Seorang mukmin harus memberi catatan, bahwa kebesaran mereka hanya punya arti dan nilai manakala mereka memiliki ketakwaan. Kesadaran ini perlu kita tanamkan agar seorang mukmin tidak lantas murung, patah semangat, dan bahkan tergoda untuk luluh dalam arus kehidupan mereka dengan cara yang kotor.

Di balik gemerlap kehidupan para selebritis yang menggiurkan, misalnya, tidak sedikit yang ternyata menyimpan luka mendalam pada sisi-sisi kehidupan mereka yang sangat pribadi. Tidak semuanya, memang. Tetapi ini hanya gambaran, betapa tidak semua yang tampil gemerlap di luarnya adalah juga gemerlap di dalamnya. Banyak kerikil dan batu ganjalan yang membuat kehidupan mereka seperti lukisan yang retak-retak. Ada yang terkena kasus narkoba, pergaulan bebas, perselingkuhan, dan kasus lain yang secara nurani tidak dapat kita terima.

Di balik kekuatan negara-negara adidaya yang kini menguasai dunia, seorang mukmin tidak boleh terpukau dengan cara yang tidak dibenarkan. Segala kecanggihan teknologi tidak bisa mengalahkan kehendak Alloh swt. Ini, sekali lagi soal keimanan. Sarana fisik memang perlu, tetapi tidak akan berguna bila tidak dilandasi iman. Alloh berkuasa atas segala hamba dan makhluk-Nya. Pada jari-jari-Nya bergantung nasib jiwa-jiwa manusia.

Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari kecanggihan teknologi mereka. Atau mengadopsi keilmuan yang memang hari ini mereka kuasai. Tetapi, rasa silau yang berlebihan dan melampaui batas harus kita hilangkan dari benak kita. Agar kita tidak terjerumus kepada budaya menelan mentah-mentah setiap yang datang dari mereka. Atau bahkan kemudian kita menjadi corong-corong mereka.

Ketika kita sempat terperangah dengan setiap yang mereka miliki, cepatlah sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Alloh. Semua teori dan usaha manusia bisa macet dalam sesaat, ketika sudah berbenturan dengan kemurkaan Alloh. Segala yang besar adalah kecil bila berhadapan dengan kekuasaan-Nya.

Alloh swt berfirman, "Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Alloh-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Alloh akan menyalahi janji-Nya kepada Rosul-rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan." (QS. Ibrohim [14]: 46)

Kedua, Kikislah Kecintaan yang Berlebihan terhadap Dunia
Mengikis kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Ya, itulah salah satu caranya. Agar diri ini tidak cepat silau. Keinginan untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin, sering menjerumuskan orang. Dia akan selalu melihat ke atas. Kecintaan yang tak terbendung itu, bisa membuatnya menghalalkan segala cara. Tidak peduli walaupun cara itu haram. Tidak peduli walau harus menginjak orang lain. Tidak peduli walau tertawa di atas derita dan tangis orang lain.

Dunia hanya tempat kita untuk singgah. Ada saatnya perjalanan ini harus dilanjutkan. Kita harus meninggalkan dunia itu. Setelah itu, dunia hanya akan menambah beban kita di akhirat kelak. Beban, manakala dunia yang pernah kita nikmati ternyata tidak halal. Padahal yang halal sekali pun, dunia akan menjadi beban, karena ia akan memperlambat hisab seseorang. Rosululloh menjelaskan, orang kaya akan masuk surga lebih lambat dibandingkan orang miskin selama limaratus tahun.

Hajjaj al-Khurosany suatu hari berada di sekumpulan orang yang sedang berdo'a di tanah suci. Di antara mereka hadir seseorang yang memang sangat mencolok kekayaannya. Bisa dilihat dari penampilannya. Hajjaj kemudian berdo'a, "Ya Alloh, jangan engkau fitnah kami dengan rezeki dinar dan dirham." Do'a itu diamini oleh semua yang hadir kecuali oleh satu orang, yaitu orang kaya itu. Dengan do'a itu, Hajjaj bukan hanya sekadar ingin mengajarkan cara hidup sederhana. Lebih dari itu, ia ingin memberikan pelajaran bagaimana agar orang-orang itu tidak cepat silau dengan penampilan orang kaya yang ada di samping mereka.

Bukan berarti kita tidak boleh kaya. Tetapi kecintaan berlebihan terhadap kekayaan itulah yang harus dikikis. Islam selalu menjaga keseimbangan.

Keseimbangan antara mencari dunia dan mengejar kehidupan akhirat. Dunia adalah jembatan menuju akhirat. Di sini kita menanam dan di sana kelak kita memetiknya.

Dengan mengikis kecintaan terhadap dunia yang membara di hati, maka kita akan merasa biasa saja ketika melihat mereka yang besar. Apalagi Alloh telah memperingatkan kita tentang kehebatan orang-orang fasik, "Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Alloh menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah [9]: 55)

Ya, banyak yang tersiksa justru di saat hartanya banyak. Banyak yang merasa gelisah dan terbuang di saat anak-anaknya sukses. Banyak yang merasa hidupnya semakin hampa ketika ia sedang naik daun. Banyak yang merasa bingung ketika usaha duniawinya justru sedang berkembang pesat.

Ketiga, Renungkanlah Kisah Mereka yang Hancur Setelah Sukses
Di dunia ini semua diberi kesempatan untuk besar dan sukses. Muslim, fasik, munafik, dan kafir sekali pun. Kita tahu bahwa kebesaran itu ada batas waktunya. Ada saatnya mereka harus hancur dan terkubur untuk selamanya. Bahkan terkadang harus meninggalkan nama buruk dalam sejarahnya.

Qorun, misalnya. Adalah gambaran manusia terkaya saat itu. Kekayaannya tam terhitung. Kunci-kunci gudang hartanya berat untuk dipikul oleh pegawai-pegawainya yang kuat. Sebagian masyarakatnya sangat silau dengan kekayaannya. Mereka hanya bisa berdecak kagum dengan kesuksesan duniawi Qorun. Apalagi Qorun berusaha untuk selalu menjaga penampilannya. Ditambah lagi dengan pengakuannya, bahwa segala keberhasilannya itu diraihnya dengan teori dan ilmu bisnis serta kehebatan manajerial yang dimilikinya.

Dengarlah apa yang dikatakan mereka yang silau, "Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. (QS. Al-Qoshosh [28]: 79)

Ternyata Alloh ingin menegur mereka yang silau. Bahwa tidak semua yang sukses akan selalu sukses dan berakhir dengan kesuksesan. Terlebih kesuksesan yang kemudian berbuah kecongkakan, seperti pengakuan Qorun bahwa semua kesuksesan itu semata karena kehebatan dirinya. "Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadao azab Alloh. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (QS. Al-Qoshosh [28]: 81)

Dengan merenungi kisah di atas, kita sadar bahwa kesilauan terhadap orang atau institusi atau negara besar harus dinetralkan. Kita butuh ketenangan sikap seperti sikap sebagian masyarakat Qorun yang berkata, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Alloh adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholih. Dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (QS. Al-Qoshosh [28]: 80)

Keempat, Carilah Sisi Lain dari yang Menyilaukan Itu
Kekuatan diri setiap kita berbeda. Masing-masing mengetahui seberapa kuat kemampuan dirinya. Ketika kita merasa bahwa diri kita lemah di tengah badai gelombang, maka seharusnya kita tidak menantang badai itu.

Kalau jiwa kita masih sering silau dan latah terhadap sesuatu, maka berhati-hatilah. Cobalah mencari sisi lain dari sesuatu yang menyilaukan itu. Bersabarlah, lalu perhatikan dengan betul, apakah yang menyilaukan itu benar-benar murni ada cahaya kebenaran di baliknya. Atau justru ada banyak kenistaan di baliknya. Dengan menggali lebih dalam, dengan kesabaran yang tulus, insya Alloh, Alloh akan membuka jalan petunjuk-Nya, lalu menyadarkan kepada kita apakah yang memukau itu baik atau buruk.

Melihat sisi lain dari hal-hal yang memukau, terutama sisi-sisi buruknya, akan menguatkan jiwa. Untuk tidak terlalu gagap dan mudah terpedaya.

Imam Abu Walid al-Baji pernah menasehati anaknya agar tidak latah mempelajari ilmu filsafat. Alasannya bukan karena tidak ada manfaat sama sekali dalam ilmu filsafat. Tetapi ia menjelaskan alasannya, "Anakku, kalian masih terlalu kecil. Tunggulah saatnya kalian sudah dewasa dan sudah mapan secara keilmuan. Saat itu bacalah buku-buku filsafat dan buktikan sendiri kelemahan ilmu itu."

Bila dengan cara itu masih juga tidak bisa, apa boleh buat. Cara lainnya adalah kita harus meminimalisir berinteraksi dengan hal-hal yang bisa menyilaukan. Lebih karena kita harus menyelamatkan jiwa kita sendiri. Ibaratnya, yang tidak tahan panas jangan main-main dengan api. Yang tidak kuat dingin jangan bermain-main dengan hujan.

Kita harus terus menguatkan jiwa, agar bisa memandang biasa sebuah kehebatan dan kebesaran, bila ia tidak berdasar iman. Karena dari sana sumber mata air kebahagiaan yang sesungguhnya. Dengarlah ucapan seorang salafushsholih, Harits ibn Miskin, "Segala puji bagi Alloh yang telah membuat kami istirahat dari interaksi dengan para pejabat. Hingga kami bisa menjulurkan kaki semau kami. Kami bisa menangis tanpa ada yang menghalangi. Dan kami bisa berbuat semau kami tanpa intervensi."

KelimaMohonlah Kekuatan Kepada Alloh yang Maha Kuat
Langkah lain yang tak boleh dilupakan adalah berdo'a. Ya, setiap mukmin harus memohon kekuatan kepada Alloh, sumber segala kekuatan. Termasuk untuk menghadapi dunia yang melenakan, beserta segala isinya itu, kita harus memohon kekuatan kepada Alloh.

Karenanya, salah satu do'a penting yang diajarkan Rosululloh adalah memohon agar kita tidak diuji dengan fitnah dalam urusan agama. Selain itu juga memohon agar Alloh tidak menjadikan dunia sebagai tujuan dan puncak kemauan kita.

Maka dalam segala aktifitas duniawi yang kita lakukan, kita tidak boleh lupa untuk berdo'a. Memohon kepada Alloh agar ia berada di jalan yang diridhoi-Nya. Belajar, bekerja, berusaha, berdagang, mengasuh, dan mendidik anak, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya harus senantiasa di'bismillah'kan. Selain agar pekerjaan itu diterima Alloh, juga agar dalam proses teknisnya, kita tetap terjaga dari kemungkinan terjerumus ke jalan yang salah.

Do'a adalah kekuatan, senjata, sekaligus perisai bagi seorang mukmin. Jangan pernah lupa untuk berdo'a. Terlebih di kala dunia semakin kacau seperti saat ini.

Keseluruhan upaya di atas mungkin hanya sebagian kecil. Dari segala cara yang bisa dilakukan seorang mukmin untuk tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Masih banyak cara lain yang juga bisa dilakukan. Yang pasti, sebuah perjuangan menaklukkan dunia sama pentingnya dengan perjuangan menaklukkan hati, agar tak terpedaya oleh dunia itu.

Dinukil dari Tarbawi edisi 55 tahun 4.

Selasa, 08 Desember 2015

Waspadai Sumber-sumber Keterpukauan

Banyak hal di dunia yang bisa menyilaukan manusia. Dari yang kecil hingga yang besar. Dari yang sederhana hingga yang luar biasa. Dunia adalah titian, ada yang sukses melewatinya, banyak pula yang gagal dan terlempar.

Beribu petuah telah dibuat. Berjuta nasehat telah diucap. Agar setiap orang berhati-hati dengan dunia. Tetapi tetap saja, banyak yang berguguran ditelan gemerlap dunia. Ini masalah serius. Karenanya, Al-Qur'an memberi penekanan khusus pada soal ini. Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan berbeda, Al-Qur'an menegaskan tentang pentingnya berhati-hati dengan dunia, tidak mudah silau, apalagi terjebak di dalamnya. Beberapa catatan berikut, menunjukkan hal-hal yang secara khusus ditegaskan Al-Qur'an tentang apa-apa yang bisa menipu dan memukau manusia.

1. Segala Unsur Kuantitas yang Berjumlah Banyak
Soal kuantitas besar dan banyak -dalam hal apa saja- memang bisa mewakili dimensi apa saja. Bisa dimensi politik, ekonomi, atau hal-hal kecil yang kita jalani sehari-hari.

Pengertian inilah yang bisa kita hayati dari firman Alloh, "Sesungguhnya Alloh telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak. Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai." (QS. at-Taubah [9]: 25)

Ayat tersebut bertutur tentang kisah perang Hunain, di mana kaum muslimin berjumlah 12 ribu orang. Sebuah jumlah yang waktu itu sangat besar. Namun, kebesaran itu ternyata menyilaukan, hingga di antara mereka ada yang mengatakan, "Hari ini kita tidak dikalahkan oleh karena jumlah." Kenyataan kemudian membalik dan memporak-porandakan semuanya. Mereka lari kocar-kacir.

Pesona jumlah atau kuantitas -sekali lagi- berpeluang melenakan dan menjerumuskan orang ke jurang kehancuran. Ia tidak selalu harus perang. Ia bisa dalam konteks kelompok dan pengikutnya. Di pentas partai politik, di medan pertarungan bisnis, atau apa saja. Ia bisa jabatan, kekuasaan, kerajaan usaha, atau apa saja yang membuat orang punya segala sesuatu dengan kuantitas yang sangat melimpah.

Inti masalahnya -sekali lagi, pada soal sikap. Apakah orang menjadi congkak atas segala kekuatan pada sisi kuantitas yang ia miliki. Karena kuantitas adalah sarana dan kebutuhan yang logis, bagi keberlangsungan hidup apa saja. Tetapi, menjadikan kekuatan kuantitas segala-galanya adalah tindakan arogan. Ia bisa menjadi titik-titik awal keengganan untuk menyadari bahwa kemenangan dan kekuatan itu hanya datang dari Alloh swt. Inilah yang kemudian menjadi bibit kemusyrikan.

Maka, berhati-hatilah dengan segala sesuatubyang bersifat kuantitas. Terlebih bila volumenya sangat besar. Sekali penyakit sombong menghinggapi, ia bisa menggerogoti sendi-sendi kebesaran itu, untuk kemudian menghancurkannya hingga tak berbekas.

2. Performa Keindahan
Selain soal jumlah, Al-Qur'an juga bicara tentang performa keindahan sebagai salah satu sumber keterpukauan. Secara lebih spesifik, sumber performa yang dimaksud adalah kecantikan dan ketampanan. Sebab, keduanya merupakan pusaran bagi segala norma tentang keindahan jasadi yang mengiringinya. Yang kemudian berkembang pesat dan sangat revolusioner. Lalu melahirkan efek-efek negatif yang luar biasa.

Lihatlah bagaimana industri-industri raksasa tumbuh di mana-mana dengan bidikan produknya adalah wanita atau pria yang ingin tampil mempesona. Inilah yang mungkin bisa disebut rahasia, mengapa soal performa keindahan, Al-Qur'an mengambil setting kecantikan dan ketampanan. Meskipu secara umum itu sudah masuk dalam terminologi umum, Al-Qur'an menyebut kehidupan dunia sebagai senda gurau dan permainan belaka.

Alloh swt berfirman, "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Alloh mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. al-Baqoroh [2]: 221)

Alangkah mulianya Al-Qur'an ketika ia menjadikan ukuran performa kesukaan kepada laki-laki atau perempuan itu adalah 'menarik hati'. Karena sesuatu yang menarik hati bisa bermacam-macam, bisa wajah yang cantik atau rupawan, bisa kepintaran, keterampilan, juga yang lainnya. Sementara ketertarikan kepada semua itu bisa saja didasarkan pada hawa nafsu. Di sinilah inti masalahnya. Sebab, ketertarikan berdasarkan hawa nafsu bisa mengaburkan sisi-sisi objektif keimanan, atau juga sisi rasional akal sehat. Itulah mengapa Rosululloh mewanti-wanti ummatnya agar berhati-hati dengan wanita cantik tetapi tumbuh dalam lingkungan yang buruk.

Pada contoh di atas, dengan mengambil dimensi ketertarikan untuk menikahi seseorang, suasananya memang sangat berlawanan secara diametral: musyrik dan beriman, budak dan orang merdeka. Ini merupakan puncak pertimbangan tertinggi yang harus disadari seorang mukmin. Lalu dari sana kita bisa menarik benang pelajaran, pada kasus-kasus performa keindahan lainnya.

Lebih jauh bahkan Al-Qur'an memuarakan semua itu pada dua ujung yang sangat jauh: surga dan neraka. Alangkah seriusnya masalah ini. Ya, dan memang ini masalah serius. Sebuah performa keindahan -apapun bentuknya- harus ditimbang dari sudut kesudahan yang jauh, surga atau neraka.

3. Performa Keburukan
Kadang, sesuatu yang buruk justru sangat memikat hati. Terlebih di zaman ini. Ketika keburukan menemukan kemasannya yang indah dan menawan. Ketika keburukan mendapatkan pembenaran dan pengakuan dari konvensi-konvensi sosial. Ini bisa menipu dan memperdaya. Karenanya, ini menjadi soal berikut yang dijelaskan Al-Qur'an, di antara sumber-sumber keterpukauan lainnya.

Dengan tegas, Alloh swt mengingatkan hal ini jauh-jauh hari. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu maka bertakwalah kepada Alloh, hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Maidah [5]: 100)

Ayat tersebut menggarisbawahi dua hal. Pertama, soal banyaknya keburukan. Artinya, bisa jadi keburukan itu sudah sangat banyak jumlahnya. Sudah tersebar dalam kehidupan masyarakat, atau bahkan sudah mendarahdaging dalam denyut kehidupan jutaan manusia. Tetapi ia tetap keburukan. Lalu, yang kedua, Al-Qur'an kembali menjadikan soal 'menarik hati' sebagai inti masalah yang harus diperhatikan.

Performa keburukan yang banyak dan menarik hati itu, saat ini bisa kita lihat dengan mudah di sekitar kita. Terlalu banyak untuk dicontohkan di sini. Dahulu orang malu-malu melakukan hal-hal yang buruk apalagi hina. Tetapi hari ini, justru banyak keburukan menjadi tren dan gaya hidup. Bahkan banyak perilaku-perilaku murahan yang justru dilombakan dengan kemasan sedemikian rupa.

Kenyataan memang menunjukkan demikian, keburukan kini mendapatkan dukungan dari banyak unsur. Bila diperluas, pembahasan soal performa keburukan yang menarik hati ini akan menyangkut banyak hal dalam hidup. Yang pasti tentu soal norma-norma, gaya hidup, dan tata nilai kehidupan yang kini banyak berantakan.

4. Orang-orang yang Suka Membuat Kerusakan
Lebih lanjut, Al-Qur'an meletakkan kelompok orang-orang yang suka membuat kerusakan sebagai salah satu sumber keterpukauan yang harus diwaspadai. Mereka orang-orang yang hatinya busuk, tetapi berusaha tampil dengan wajah yang manis. Di dalam diri mereka tersimpan gumpalan nafsu keserakahan, tetapi mereka berusaha nampak sopan dan bersahaja. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang munafik.

Alloh swt berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan mempersaksikannya kepada Alloh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya dan merusakkan tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Alloh tidak menyukai kebinasaan." (QS. al-Baqoroh [2]: 204-205)

Para ahli tafsir menjelaskan, tradisi merusak ternak dan tanaman itu untuk menggambarkan betapa mereka adalah golongan orang-orang yang hobinya membuat kerusakan dan mempersulit kehidupan kaum muslimin. Pada dasarnya, golongan ini adalah orang-orang yang pekerjaannya hanya menebarkan kerusakan di muka bumi dengan berbagai cara. Mereka adalah orang-orang yang hobinya menumpahkan darah di mana-mana. Tetapi berusaha menampakkan diri sebagai manusia pembangun, penjamin-penjamin keamanan. Mereka benar-benar serigala berbulu domba.

Dalam tataran hidup yang lebih luas, manusia-manusia seperti itu banyak berkeliaran di segala tempat. Mereka bisa menelusup ke mana saja. Lalu memainkan perannya sedemikian rupa.

Begitulah, sumber-sumber keterpukauan memang banyak. Al-Qur'an juga berbicara soal lainnya, selain empat hal di atas. Setiap kita harus waspada, jangan sampai terlena, terpukau dengan dunia yang hanya sementarabini. Mewaspadai silaunya dunia -lebih dari itu- adalah bekal penting agar kita bisa pulang ke kampung akhirat dengan selamat. Alloh swt berfirman, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. al-Qoshsosh [28]: 28)

Maka, pentingnya kita menjaga diri dari kesilauan dunia adalah kepentingan bagi bahagia atau sengsara kita di kampung akhirat kelak. Tempat setiap kita akan pulang kembali.

Sumber: Tarbawi edisi 55 Th. 4; "Jangan Cepat Silau, Jangan Gampang Terpukau!"