Jumat, 21 Juli 2017

Otoritas Islam di Nusantara dan Kedatangan Imperialis Eropa

Berkenaan dengan kehadiran Islam di Nusantara, Ricklefs memberikan penggambaran tentang warna Islam yang lebih nyata dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan, era “Indonesia modern” dimulai sejak kedatang-an Islam. Agama ini telah mempersatukan suku-suku Nusan-tara menjadi satu “kesatuan sejarah yang padu” (a coberant historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam telah menjadi simbol identitas pribumi dan kebangkitan daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof. Dr. George McTurnan Kahin di dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, serta Prof. Dr. Harry Jundrich Benda di dalam The Crescent and the Rising Sun.
Pasca jatuhnya Malaka dan pasai, kehadiran Putri Ong Tien ke Cirebon merupakan kisah adanya hubungan erat antara penguasa-penguasa di Cina terhadap Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seorang Senopati Sarwajala yang di masa itu bertugas membangun armada gabungan Demak-Cirebon, Palembang, dan Cina untuk menggempur Portugis di Malaka. Kemudian setelah runtuhnya Kesultanan Demak, aliansi untuk melancarkan serangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka maupun Maluku, tetap dilanjutkan oleh Jepara bersama dengan Aceh, Ternate, Hitu, dan Johor.
Sementara itu di Jawa −setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam ekspedisi Demak menundukkan Jawa Timur dikarenakan elit dari Majapahit menjalin persekutuan dengan Portugis, konsentrasi kekuatan Islam di Jawa kemudian mengerucut di antara Banten, Jepara, dam Giri; di mana masing-masing dari ketiga kekuatan tersebut juga memiliki persoalan di dalam teritorinya masing-masing.
Ketika Jepara masih bisa melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka dan Maluku, di Jawa Barat, Banten masih harus menghadapi Pajajaran yang telah menjalin persekutuan dengan Portugis. Sementara itu di Jawa Timur, selain mesti menjadi arbriter atas perseteruan yang pecah antara Pajang –kemudian juga Mataram− dengan Surabaya (yang memimpin para adipati di Jawa Timur), Giri juga harus melakukan ekspedisi ke Bali dan Nusa Tenggara guna mencegah Portugis masuk ke perairan Timor. Sebab di masa itu, Portugis telah berhasil menarik Ternate ke dalam pengaruhnya melalui peran sejumlah elit istana, sehingga Sultan Ternate harus menunggu dukungan dari luar (Jepara dan Hitu) sebelum akhirnya ia berhasil membersihkan monopoli Portugis dari Maluku.
Selain kehadiran Portugis, yang cukup menarik adalah kedatangan kapal Victoria milik Spanyol di tahun 1521 yang secara tidak sengaja tiba di kepulauan Maluku dan turut mendapatkan keuntungan mencapai lebih dari 2500 persen melalui perdagangan rempah-rempah, terutama dari komoditi cengkeh dan pala yang hanya dihasilkan dari Maluku. Selain karena monopolinya yang terancam, Portugis berang karena Spanyol telah melanggar perjanjian pembagian kawasan pengaruh (“sphere of eventual interests”) yang dibuat di Tordesillas pada tahun 1499. Namun, meskipun mendapat kecaman keras, Spanyol tetap mengirim armada lagi terdiri dari 7 kapal, di mana hanya dua kapal yang sampai setelah satu kapal terdampar di Mindanao dan yang lainnya mendarat di Tidore.
Kedatangan kapal Spanyol di Tidore pada waktu itu mendapat sambutan baik dari Sultan, yakni dengan maksud dijadikan alat penekan bagi Ternate yang menjadi saingannya dan telah jatuh ke dalam pengaruh Portugis. Dan oleh karena itu pula, Paus segera memprakarsai diadakannya perjanjian Zaragosa (22 April 1529) yang menjadi penegas lanjutan dari perjanjian Tordesillas. Hal ini dilakukan untuk meredam adanya persaingan yang berujung pada peperangan terbuka antara Portugis dengan Spanyol di Maluku.
Sementara itu, di seberang Semenanjung Malaka, Aceh mulai menunjukkan supremasinya berkat dukungan militer dan teknologi persenjataan dari Turki, sehingga Portugis kesulitan untuk masuk lebih jauh ke Laut Jawa ataupun pantai Barat Sumatera. Dan dalam jangka waktu yang panjang, hal ini turut memberi jalan bagi pesatnya perniagaan di Selat Sunda.
Selain itu, pedagang-pedagang Muslim dari belahan Timur Nusantara segera dialihkan jalur pelayaran dan langsung memusatkan perniagaannya ke Jepara, Banten, Aceh, atau Johor. Dengan demikian, langkah strategis untuk mengunci dan memonopoli perdagangan di Nusantara yang dulunya dilakukan oleh Portugis melalui pendudukan atas Malaka seolah menjadi sia-sia. Bahkan, untuk mendapatkan rempah-rempah Maluku, Portugis “terpaksa” merintis jalur baru melalui perairan di Utara Pulau Kalimantan. Selain karena waktu tempuh yang lebih cepat, hal ini dilakukan untuk menjaga pasokan dagang Portugis dari gangguan kapal-kapal Aceh, Banten, dan Jepara yang mendominasi di sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat Malaka.
Akan tetapi, di antara segala kepungan yang mengan-cam Portugis di Malaka, perkembangan kekuatan Aceh yang justru terbentur oleh Johor merupakan keberuntungan tersendiri. Johor yang merupakan keturunan dari Kesultanan Malaka tidak membiarkan Malaka jatuh selain ke tangannya. Sementara itu, baik Aceh maupun Johor, juga meminta bantuan dari Jawa (Demak/Jepara) dalam rangka mengusir Portugis dari Malaka.
Selain itu di Jawa, naiknya kekuasaan Mataram (Islam) justru mengawali kemunduran hegemoni pelaut-pelaut Jawa di Nusantara. Mataram memulai eksistensinya dengan merebut kekuasaan dari Pajang dan bersikap konfrontatif terhadap Tuban, Giri, Surabaya, dan Banten, yang mengaki-batkan terpecahnya antara kekuatan Jawa di pesisir dan pedalaman (Selatan). Dan di saat Mataram mencapai masa keemasannya, kebijakannya secara pasti berhasil memindah-kan orientasi militer maupun basis perekonomian Jawa ke darat. Sedangkan untuk menstabilkan posisinya di laut, Mataram menyiasatinya dengan membangun persekutuan bersama Kesultanan Gowa.

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sebelumnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Selanjutnya: Peralihan Hegemoni Nusantara ke Tangan Imperialis Eropa

Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa

Eropa mulai mengalami masa penemuan (Age of Discovery) dan masa perluasan kekuasaan (Age of Expansion) pada kisaran tahun 1450 sampai 1650. Pada masa itu peradaban di Barat secara tersendiri berkembang dengan mengadopsi unsur-unsur atau wujud-wujud budaya yang bermanfaat dari dunia Islam dan Byzanz. Kekuatan kolonial utama Eropa pada saat itu adalah Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis. Bangsa-bangsa ini sebelumnya begitu tertinggal, sehingga baru pada tahun 1350 mereka bisa melayari laut Tengah, ujung Barat di Spanyol dan ujung Timur di Turki. Padahal lebih dari 1000 tahun sebelumnya orang-orang Romawi telah melakukan hal yang serupa. Dan −pada abad ke-15− orang-orang Eropa hanya mengetahui sedikit hal tentang permukaan bumi.
Peta dunia yang dibuat pada tahun 1511 oleh Vessente Maggioli masih berdasarkan pada teori bumi sebagai tanah yang sambung menyambung. Teori yang sudah usang ini diciptakan pada abad ke-2 oleh Ptolomeus, orang Yunani-Mesir. Akibat dari anggapan tentang bumi yang salah itu, Maggioli menggambarkan Amerika sebagai kelanjutan dari Asia. Ia tidak tahu bahwa beberapa benua dipisahkan oleh laut.
Di akhir abad pertengahan, perkembangan ilmu pengetahuan kemudian menyebabkan munculnya perubahan besar dan cepat (revolusi) di Eropa. Hal itu ditandai pula dari penemuan Nicolaus Copernicus yang membawa teori Heliosentris (helios= matahari, centrum= pusat), artinya tata surya ini berpusat pada matahari. Teori Heliosentris ini membantah teori lama yang bersifat Geosentris (geos= bumi, centrum= pusat) yang didukung dan disahkan oleh gereja sebagai salah satu ajaran resmi para penganut Katholik. Ajaran geosentris ini pada perkembangannya telah melahir-kan suatu pandangan bahwa bumi ini datar seperti meja.
Bersamaan dengan masa Heliosentris, bangsa-bangsa Eropa juga mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang geografi dan teknologi. Sebelumnya, mereka memang tertinggal selama berabad-abad lamanya oleh bangsa Romawi dan bangsa Islam. Tetapi, mereka tetap berlomba-lomba untuk mengarungi samudra meskipun belum yakin betul apakah dunia ini benar bulat seperti bola atau datar seperti meja. Mereka amat berambisi membangun wilayah-wilayah pendudukan atau koloni di mana hal ini kemudian menjadi cikal-bakal kolonialisme oleh Eropa. Seiring dengan kejatuh-an Muslim di Andalusia dan adanya Piagam Todesillas antara Portugis dengan Spanyol, jungjung yang sebelumnya menguasai jalur perdagangan antara Laut Tengah dan Samudra Hindia lambat laun juga digeser oleh kapal-kapal Eropa yang memiliki kemampuan tempur lebih unggul seperti Carravel, Carrack, Galleon, Frigate, dan lainnya.
Di Nusantara, pada era yang mula-mula sekali kedatangan orang Portugis diawali oleh Marcopolo, seorang Venesia yang datang sebagai (anehnya) utusan Khan, Kaisar Mongolia yang saat itu menjadi penguasa Cina. Salah satu catatan yang bermanfaat dari perjalanannya itu, Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat itu (1292) penduduk kota kecil Perlak di ujung Utara Sumatera sudah menganut Islam. Akan tetapi, ketika orang-orang Islam baru saja memuncaki otoritasnya di Nusantara pada abad-abad sesudah kedatangan Marcopolo, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara mulai terganggu oleh kedatangan pelaut-pelaut Portugis lain yang bersikap anti terhadap Islam. Dan, fenomena ini tentunya bukan sebuah kebetulan belaka.
Pasca keberhasilan Reconquesta, Perjanjian Tordesillas yang disetujui pada 7 Juni 1494 oleh Portugis dan Spanyol secara angkuh telah membagi dunia di luar Eropa ke dalam lingkup kepentingan yang sama, yang dilakukan persis seperti membelah jeruk. Garis Tordesillas membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verde di sebelah Barat benua Afrika. Ke Barat untuk Spanyol dan ke Timur untuk Portugis. Perjanjian diantara dua kerajaan dari Holy Roman Empire ini juga berjalan atas restu dari Paus dengan dikeluarkannya dekrit berjudul Inter Caetera Divinae; “Keputusan Ilahi”.
Sedangkan bagi dunia Islam, setelah lama kehilangan khilafah besarnya akibat serbuan Timur Lenk ke Baghdad, tentunya keberhasilan Reconquesta pada akhirnya juga memunculkan kekhawatiran baru bagi wilayah-wilayah Islam yang lain. Perjanjian Tordesillas yang direstui oleh Paus dengan sendirinya telah mencetuskan lagi berkobarnya Perang Salib, yang kali ini akan dilancarkan oleh Portugis dan Spanyol ke seluruh samudra.
Pada abad ke-15, bangsa-bangsa di Eropa berada dalam babak baru di mana konstelasi perdagangan dunia mulai berubah dikarenakan penjelajahan yang menyebar ke seluruh benua dan kolonialisasi yang dilakukannya. Secara gencar Portugis dan Spanyol mengirimkan serangkaian ekspedisi.
Tahun 1488, orang Portugis –Bartolomeus Dias− berhasil melakukan ekspedisi hingga sampai dan mengitari Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika dan kembali ke Portugis. Tahun 1492, Columbus menemukan benua Amerika, dan dimulailah penjajahan terhadap suku Indian. Tahun 1500, Pedro Alvares Cabral –pelaut Portugis− menemukan rute perjalanan ke Brazil. Tahun 1497, Vasco da Gama memulai ekspedisi mencari rute jalur laut antara Eropa, India, dan Timur Jauh; kemudian di tahun 1502, ia sudah berhasil membangun daerah koloni Portugis di Timur Afrika. Di awal abad ke-16, pelaut Portugis lainnya, Ferdinand Magellan, bahkan melakukan ekspedisi keliling bumi, konon untuk yang pertama kalinya.
Setelah adanya “Keputusan Ilahi”, mereka berambisi untuk merebut jalur-jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang selama ratusan tahun telah dikuasai oleh orang-orang Hindu dan Muslim. Di Afrika, Amerika, dan Asia, pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol kemudian menjadi tangan-tangan kolonialis Barat yang pertama menancapkan kukunya. Di seluruh daratan yang berhasil dibukanya, mereka tidak sekadar berniaga dan membangun hubungan multilateral seperti yang telah ratusan tahun dilakukan oleh orang-orang Arab, India (Gujarat), Cina dan lainnya. Dan, selain dalam rangka memenangkan Perang Salib, hal tersebut juga dilakukan untuk menjaga supremasi di kampung halamannya sendiri (Eropa) melalui kekayaan yang diperolehnya dari dunia baru.
Pada tahun 1512, Vasco da Gama dikirim kembali ke Calciut, India, dengan dalih melakukan pembalasan atas terbunuhnya beberapa anak buah Pedro Alvares Cabral (1500). Ekspedisi kali ini menunjukkan kekejaman perilaku Da Gama. Di luar perairan pantai India, ia merampas sebuah kapal Arab yang sedang lewat. Da Gama kemudian memindahkan muatan kapal Arab itu, tapi tidak penumpang-nya. Setelah semua muatan dipindah, kapal Arab yang tinggal berisi penumpangnya –termasuk wanita dan anak-anak, dibakar di tengah laut hingga musnah.
Sesampai di Calciut, Da Gama dengan congkak meminta Zamorin –penguasa Calciut– untuk menghalau semua Muslim dari pelabuhan. Ketika Zamorin bimbang, Da Gama menangkap dan membunuhnya. Da Gama lalu menyisihkan 37 pelaut-pelaut India sebelum pelabuhan Calciut di bombardir olehnya. Murka tapi tak berdaya, orang-orang Zamorin pun mengabulkan permintaan Da Gama. Dan dalam perjalanan pulang, Da Gama berhasil pula mendirikan beberapa koloni Portugis di Afrika Timur.
Pembukaan jalur perdagangan baru ke India oleh Vasco da Gama membawa dampak yang luar biasa. Jalur perda-gangan lewat darat antara India dan Eropa menjadi tidak berguna karena jalur laut yang dirintis oleh Portugis melewati Afrika jauh lebih murah. Dan, hal ini merupakan pukulan pahit bagi orang-orang Turki yang sebelumnya telah menutup perdagangan dengan Lisbon.
Setelah berhasil membuat pangkalan militer di Goa (India), Portugis segera menaklukkan Malaka dan Samudra Pasai dengan maksud mengunci jalur perdagangan yang melintas dari Laut Persia, Kepulauan Hindia (Nusantara), dan Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, tumbuhnya pilar-pilar baru kepemimpinan Islam di Timur seperti yang dibangun oleh Walisongo di pesisir Utara Jawa –juga otoritas-otoritas Islam di wilayah lain, dalam hal ini tentunya dapat dipahami berjalan dalam orientasi global. Tumbuhnya aliansi-aliansi Muslim di Timur tentunya dapat dibaca sebagai “efek domino” dari kehancuran Baghdad (1258), keberhasilan Turki menaklukkan Konstantinopel (1453) yang mengakibat-kan terputusnya jalur perdagangan antara Lisbon dengan kawasan Laut Tengah, kejatuhan Andalusia (1492), dan adanya Perjanjian Tordesillas (1494).
Ramainya perdagangan dunia yang telah dijalankan melalui wilayah-wilayah Islam, serta adanya tradisi perjalanan haji, tentunya membuat berbagai peristiwa yang berlangsung di suatu wilayah bisa dengan mudah tersiar dan memberikan pengaruh terhadap daerah-daerah di tempat lain. Selain itu, penyebaran kabar tersebut juga dimungkinkan sebagai akibat dari adanya mata rantai perdagangan dan budaya yang telah terbentuk sekian lama. Maka, kehancuran suatu daerah –apalagi terjadi pada wilayah yang strategis– tentunya akan sangat berdampak terhadap stabilitas ekonomi maupun politik di daerah-daerah lain.

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sebelumnya: Kejayaan Nusantara (Era Hindu-Buddha)
Selanjutnya: Otoritas Islam di Nusantara dan Kedatangan Imperialis Eropa

Selasa, 18 Juli 2017

Kejayaan Nusantara (Era Hindu-Buddha)

Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia telah menginformasikan bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, didorong oleh pertumbuhan dan perkembangan emporium-emporium besar di ujung Barat dan ujung Timur benua Asia. Di ujung Barat, terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) dan Bani Abbasiyah (750-870 Masehi), dan ujung Timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi). Akan tetapi, di antara dua titik imperium besar tersebut, peranan Sriwijaya sebagai sebuah otoritas yang menguasai Selat Malaka di abad ke-7-11 Masehi tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Otoritas ini adalah kerajaan maritim yang menitikberatkan pada pengembangan pelayaran serta perdagangan sehingga memiliki peranan yang jauh lebih strategis terhadap rute perdagangan yang beralih dari jalan darat ke laut. Bermodalkan kekayaan alam serta letak kekuasaannya yang strategis, pada masanya Sriwijaya berkembang sebagai “toko serba” ada (emporium) yang mengendalikan keluar-masuknya pasokan berbagai komoditi unggulan dari Barat dan Timur.
Dalam salah satu kronik Cina yang diterjemahkan J. Takakusu (A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I Tsing beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi (mula-mula disebut-nya Che-li-fo-tsi) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung (960-1279) dan Yuan (1279-1368), juga Ming (1368-1644), untuk merujuk ke sebuah kerajaan di “Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni Sriwijaya.
Dalam pengelanaannya (671-695) mencari “pohon pencerahan” hingga ke India, I Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim, perdagangan, dan penyebaran agama (Buddha). Kebesaran penguasa “Laut Selatan” ini bukan sekadar imbas dari runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga berkat politik bertetangga yang baik dan didukung oleh adanya armada laut yang besar. Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) menyebutkan sebagai kepiawaian Sriwijaya membentuk aliansi yang kuat. Di mana untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang sangat strategis Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.
Mengutip O.W. Wolters, Dick-Read menambahkan,
“... dari ibukotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya Sriwijaya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”
Bahkan, menjelang akhir masa kejayaannya setelah diserang oleh Chola pun, kronik Cina dari Dinasti Yuan dan Ming masih mengakui eksistensi Sriwijaya sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di “Laut Selatan”. “Pelabuhannya memakai rantai besi. Ibukotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” demikian antara lain laporan Chau Ju Kua –pengelana laut lainnya dari Cina− tentang Sriwijaya pada 1225 Masehi.
Wilayah kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut Jawa. Sebagai penguasa laut Nusantara –oleh sebagian peneliti− Sriwijaya diyakini pula telah berhasil menanamkan pengaruhnya hingga ke Madagaskar. Gabriel Ferrand dalam L’Empire Sumatranais Criwijaya bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang datang dari Sriwijaya. Sebab, kata Ferrand, “Hanya Sriwijaya yang memiliki pengetahuan kelautan yang handal untuk dapat mencapai Madagaskar.”
Sebagai tinjauan atas adanya informasi-informasi tersebut, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa Sriwijaya dengan kapal-kapalnya telah memainkan peran signifikan dalam “perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang dipakai –baik sebagai kekuatan ‘militer’ maupun berniaga− mampu mengangkut barang 450-650 ton. Bahkan −dalam perkembangan berikutnya− dengan panjang kapal mencapai 60 meter, daya angkutnya pun bertambah hingga 1000 ton.
Sriwijaya tampil menjadi kekuatan ekonomi yang besar dengan mengekspor antara lain timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kamper, di mana pedagang-pedagang dari Arab dan India menjualnya ke pasaran Eropa. Rempah-rempah tersebut dibeli dari Tanjung Pura, Banggai di pantai Timur Sulawesi, serta Maluku dan Timor. Kala itu, tingkat peradaban di Cina (pada dinasti-dinasti T’ang, Sung, dan Ming) dan dunia Islam (antara abad 8 sampai 12 tahun, Bysanz dari abad 8 sampai 11), mempunyai tingkat kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan peradaban Kristen yang baru memulai bentuknya di abad ke-8 dan ke-9.
Sriwijaya di tahun 671 bahkan juga menjadi pusat pendidikan teologi yang penting. I Tsing yang belajar di Sriwijaya mengoleksi begitu banyak transkripsi, sampai-sampai ia harus pulang ke Cina guna mengambil kertas dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk menyelesaikan transkripsi-nya. Ia membawa pulang lebih dari 4000 teks Buddhisme yang berbeda ke Cina. I Tsing menganjurkan kepada calon-calon mahasiswa Cina bila ingin masuk universitas di India agar mempersiapkan dirinya lebih dulu di Universitas Sriwijaya selama 2 tahun. Universitas di Sriwijaya tercatat masih berdiri sampai tahun 1023. Salah satu guru besar yang mempunyai reputasi internasional kala itu adalah Dharmakirti.
Dari hal-hal tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa Sriwijaya pernah pula tercatat sebagai pusat pengembangan ilmu di Asia. Dan di balik semua itu −meminjam ungkapan Denys Lombard, terdapat masyarakat heterogen yang mendukungnya. Mereka itu adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, petualang, bahkan para lanun alias perompak sekali pun. Mereka inilah, kata Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya, “... yang merentangkan jaringan-jaringan tua yang menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini.”
Selain Sriwijaya, di Sumatera ada pula kerajaan Hindu besar, yakni Melayu, yang kira-kira berpusat di daerah Jambi. Sementara itu, di Jawa ada kerajaan Taruma yang berpusat di Jawa Barat dan keberadaannya mungkin lebih tua dari kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah. Walaupun tidak ada prasasti yang ditinggalkan, tetapi Taruma telah meninggalkan jejak-jejak keturunan kerajaan Mulawarman di daerah Kutai, Kalimantan. Selain itu, di Jawa Tengah −di dataran tinggi Dieng (1800 mdpl)− terdapat situs keagamaan yang sangat mungkin telah ada sebelum pengaruh Hindu datang dari Jawa. Di lokasi tersebut −sejak abad ke-7, juga telah berdiri kompleks candi-candi Shivaisme. Prasasti dari tahun 732 itu menyebutkan bahwa raja dinasti Sanjaya adalah pemeluk Shivaisme dan disebut sebagai Dinasti Mataram Kuno.
Kerajaan-kerajaan besar dari periode Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa juga meninggalkan monumen-monumen tingkat dunia, antara lain Borobudur, sebuah bangunan Buddhisme yang kolosal dan sarat dengan nilai. Bangunan candi terbesar ini tidak ada di negeri asal Buddhisme, India, di mana terdapat tak kurang dari 400 patung dan 1400 relief yang menggambarkan perjalanan spiritual Buddha Gautama yang menghiasi candi ini.
Setelah tahun 900 M, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa mulai beralih antara ke Timur dan Barat pulau Jawa. Di wilayah Jawa Timur, mereka tetap mengklaim sebagai penerus dinasti Mataram Kuno. Dan, pada kisaran tahun 900 M, terjadi pula pemecahan antara Mataram dan Sriwijaya, di mana Wangsa Syailendra tetap memerintah Sriwijaya dan menjadikan negara ini pusat perdagangan dan pendidikan, bahkan melebarkan sayap dengan partisipasinya terhadap universitas Buddhis di Nalandra, India (850-860 M).
Setelah surutnya Wangsa Syailendra yang membangun Sriwijaya di Sumatera, dinasti-dinasti di Jawa Timur ganti menjalani masa keemasannya dan mampu mencapai tataran budaya yang tinggal di berbagai bidang. Banyak karya sastra telah ditulis dari dinasti ke dinasti. Seni bangunan dan tempa logam juga mencapai mutu yang sangat tinggi. Dan seperti halnya Sriwijaya, kehidupan ekonomi Jawa pun berkembang hingga menyeberangi batas-batas kepulauan. Sistem pemerin-tahan Jawa pada masa itu telah sedemikian tertata.
Sejarah Majapahit di Jawa Timur dapat dibaca relatif lebih lengkap karena secara tidak sengaja ditemukan kitab Nagarakretagama saat berlangsung penyerangan Puri Cakra-negara oleh Belanda di Bali. Dalam penyerangan itu, raja dibunuh, puri dibakar, dan hartanya dijarah. Dan, salah satu benda yang berhasil dirampas oleh Belanda adalah sebuah naskah kuno dari tahun 1365, yakni kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca. Kitab ini berisi kisah kebesaran Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Untuk menjalankan pemerintahannya, Majapahit telah melengkapi diri dengan prinsip-prinsip kebijakan berkenaan dengan bidang-bidang etika, pendidikan filsafat, dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh rakyatnya yang terdiri dari berbagai kalangan dan suku bangsa. Di bidang hukum dan perundang-undangan, Majapahit memiliki kitab yang disebut Kutara Manawa-dharmasastra. Di dalam kitab tersebut terdapat 19 macam masalah (bab) yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilanbelas permasalahan atau bab tersebut adalah astadusta (delapan dusta). Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh. Sedangkan permasalahan lainnya adalah: kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian), sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai, utang-piutang, titipan, tukon (mahar/mas kawin), perkawinan, paradara (mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya (perusakan) dan daparusya (penyiksa-an fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.
Kitab perundang-undangan yang dipergunakan di Majapahit dalam abad 14-15 Masehi tersebut pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen (1885), kemudian diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-undangan Madjapahit) yang diterbitkan tahun 1967.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribhuwana Tungga Dewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu, agama Siwa dan Buddha ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan setidaknya hingga akhir tahun 1447. Di masa awal berdirinya Majapahit –di bawah Raden Wijaya (Kertarajasa), pejabat resmi keagamaan dipegang oleh dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharma-dyaksa ring Kasogatan, kemudian ada lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Namun demikian, di antara keberadaan dua arus keagamaan yang besar tersebut, berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwasanya agama Islam juga telah sejak lama bermukim di Majapahit. Salah satu buktinya adalah Situs Kuno Makam Troloyo di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Makam-makam Islam di situs Troloyo memiliki angka tahun yang beragam, mulai dari tahun 1369 (abad 14 Masehi) hingga tahun 1611 (abad 17 Masehi).
Pada nisan-nisan makam di petilasan Troloyo terdapat tulisan Arab sehingga keadaannya pun mirip dengan prasasti. Tulisan-tulisan Arab tersebut mengambil lafal dari bacaan doa, kalimah thayibah, dan petikan ayat-ayat Al Qur’an dengan bentuk huruf sedikit kaku. Isinya pun bukan tentang data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih bersifat dakwah, antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais −seorang peneliti dari Perancis yang mengikutinya, menyebutkan angka tahun pada nisan berkisar pada abad 14 hingga 16. Nisan-nisan itu pun membuktikan, pada masa pemerintahan Hindu-Buddha berkuasa di Majapahit, orang-orang Islam telah banyak yang bermukim di sekitar ibukota.

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sebelumnya: Indonesia dari Kacamata Asing
Selanjutnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa

Indonesia dari Kacamata Asing

Di dalam Kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur (baca: Indonesia), yang berlangsung sampai dengan paruh pertama abad ke-20, terekam begitu banyak dokumentasi baik yang berasal dari arsip VOC maupun arsip Kementerian Tanah Jajahan. Jumlah arsip tersebut bahkan tidak dapat ditandingi oleh arsip aparat pemerintahan kolonial yang mana pun. Di antara dokumen-dokumen itu, terdapat dokumen-dokumen yang bersifat pribadi seperti surat, buku harian (dagboek), kisah perjalanan (reisverhalen), dan catatan harian para awak kapal (scheepjournalen). Di samping itu, tak terhitung jumlah karya sastra yang berkisah atau mendapatkan inspirasi dari masa pendudukan itu berupa roman, novel, sandiwara, dan puisi. Semua merupakan aset sastra Hindia-Belanda.
Secara substansial, dalam sebagian besar karya-karya tersebut, baik yang berupa dokumen pribadi maupun karya sastra terjalin benang merah yang hampir sama. Keduanya cenderung menaruh ego Eropa sebagai subjek dan memandang “pihak lain” (the others), penduduk pribumi sebagai objek. Posisi itu sekaligus menempatkan Belanda sebagai poros dan “pihak lain” sebagai periferi. Akibatnya, dunia di luar Belanda, secara stereotip dilukiskan sebagai suatu wilayah yang penuh dengan keindahan yang berbahaya, hutan belantara penuh dengan monster dan ular, laut tanpa dasar serta daerah yang dihuni oleh para kafir yang tidak bisa dipercaya.
Bagi pengalaman kolektif Belanda, khususnya oleh para pemuda, pemilikan tanah jajahan dapat membangkitkan citra diri yang mistis. Pemilikan tanah jajahan menunjukkan bahwa pemuda Belanda berorientasi mondial dengan jiwa pelaut, dan berbakat menjadi penguasa. Potensi ini didukung oleh watak dasar mereka yang religius, bisa dipercaya, dan patriotis, menjadikan mereka pengaruh samudra dan pengelana di tanah jajahan yang tangguh. Oleh sebab itu, tidak aneh jika keberhasilan penjajahan mereka pahami sebagai sesuatu yang sudah semestinya dan merupakan bukti karunia Tuhan.
Prasangka semacam itu menumbuhkan keyakinan bahwa kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur merupakan kewajiban moral. Kepulauan Hindia diyakini sebagai negara yang dihadiahkan oleh Tuhan dan sejarah sebagai wilayah Belanda. Kepulauan yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang menurut orang-orang Belanda masih terbelakang itu tidak akan dapat berkembang tanpa pemerintahan Belanda yang kuat dan beradab.
Studi ketimuran -orientalisme- yang lahir dan mencapai kematangannya melalui imperialisme Eropa telah menempatkan Barat sebagai ego yang menjadi subjek dan menganggap non-Barat sebagai the others yang menjadi objek. Orientalisme bertolak dari pandangan ego Eropa sebagai subjek pengkaji terhadap the others. Dan, dalam posisinya sebagai subjek pengkaji, muncullah kompleks superioritas dalam diri ego Eropa. Di luar itu, akibat posisinya sebagai objek yang dikaji, terjadi pula pemarjinalan terhadap diri the others, non-Eropa.
Melalui imperialisme yang pada abad ke-19 kemudian dikemas sebagai mission civilisatrice (misi pemberadaban), Eropa menjarah tanah jajahan dan memperlakukan manusia-manusia terjajah sebagai sosok yang seolah layak dicampakkan dan “dibinatangkan”. Imperialisme melihat tubuh terjajah sebagai objek kepuasan dan ejekan. Si terjajah diberi peran wadag, liar, instingtif, dan kasar sehingga terbuka bagi penguasaan dan dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan.
Dalih penjajahan untuk melakukan misi pemberadaban juga menyebabkan negara terjajah harus dianggap tidak memiliki kebudayaan, ilmu pengetahuan, peradaban, dan sejarah. Bahkan, sejarah negara terjajah dianggap baru dimulai bersamaan dengan datangnya masa penjajahan. Bangsa penjajah beranggapan bahwa merekalah yang akan membawa negara terjajah dari kegelapan menuju cahaya dan dari tiada menuju ada.
Keberhasilan imperialis Eropa yang melesat hingga melampaui batas geografisnya menyebabkan kesadaran Eropa tidak pernah membicarakan sumber-sumber peradaban Eropa yang mendahului sumber Yunani. Hal ini dikarenakan negara-negara penyumbang peradaban itu adalah negara-negara terjajah yang dengan sendirinya tidak pantas menjadi sumber kesadaran dan peradaban negara penjajah. Sedangkan penyebab lain disembunyikannya sumber-sumber tersebut adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa.
Clive Day, Guru Besar sejarah ekonomi di Yale University yang menyatakan bahwa orang Jawa dibanding dengan orang Sumatera atau luar Jawa lainnya secara tradisional memang kalah pintar dan kurang semangatnya dalam berdagang, ia menulis antara lain:
“Now, the characteristic of the native of the tropics, that is of prime importance when he is regarded in his relations to the outside civilized and commercial world, is the smallness of his wants. If we can believe the traditional descriptions of tropical life, he may pick breakfast, dinner, and supper from a tree that grows wild in his backyard, he may clothe himself with leaves stripped from another tree, and build his house by a day’s labor on another… Nature is so beautiful that he relies almost entirely upon her, and the educating influence of labor is lost to him. The characteristic proverb of hot countries is to the effect that it is better to sleep than to wake, that it is better to lie down than to sit up, that is better to be seated than to stand, that it is better to rest than to work, and that death is better than all.”
Tulisan tersebut tidak berhenti, melainkan juga menjadi sumber disertasi doktor Boeke dan Mohr. Orang Indonesia tetap ketinggalan dan bodoh tidak lain karena alamnya yang tropis, terisolasi di pulai masing-masing, dan karena tidak mempunyai kemampuan teknologi, berarti tidak berani melaut, atau takut dengan laut yang mengelilingi pulaunya.
Akan tetapi, di antara segala ilustrasi tentang ketertinggalan itu, kenyataan sejarah yang lain justru menyeruak ke permukaan. Di bidang ekonomi, para pedagang Jawa, Sumatera, dan orang dari pulau-pulau lain ternyata meninggalkan jejak-jejak yang sangat aktif. Jacob Cornelis van Leur menyatakan bahwa ketika Vasco da Gama sampai di perairan Asia, yang ditemukannya adalah lalu lintas perdagangan di laut yang sangat ramai dengan diatur oleh institusi-institusi pemerintah yang tingkat perkembangannya sama dengan di Eropa. Intensitas perdagangannya sama atau malahan melebihi Eropa Selatan. Van der Kroef menambahkan, bahwa: A supposed superiority of the Western trading companies over the Oriental, including the Indonesians, is out of question.
Tesis Leur kemudian memicu tampilnya para peneliti-peneliti Indonesia yang baru untuk memperbaiki, mengkritik, dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru, yang pada dasarnya setuju dengan tesis Leur. Meilink-Roelofz, dalam Asian Trade and European Influence ingin mengetahui siapa yang paling dominan: orang-orang Indonesia, Portugis atau Belanda. Dan, ia pun tiba pada kesimpulan bahwa pertemuan Eropa dan Indonesia adalah pertemuan antara dua peradaban yang setara, bukan antara Eropa yang lebih maju dengan Indonesia yang terbelakang.
Selain itu, ada pula kisah yang diuraikan oleh Ludovico di Vaerthema, orang Italia yang bersama temannya orang Persia tiba di Indonesia pada tahun 1503-1508. Ia dan beberapa teman-teman lainnya menyewa kapal Indonesia untuk berlayar dari Kalimantan ke pulau Jawa dengan sewa kapal 100 Ducat. Pada masa itu ternyata kapten kapal Indonesia sudah menggunakan kompas dan peta yang ditandai dengan garis-garis pelayaran seperti peta-peta di Eropa. Bahkan, teknologi perkapalan di Indonesia telah dikenal sejak milenium pertama dengan dibangunnya kapal-kapal yang cukup besar dengan dua tiang layar serta kaal yang dilengkapi cadik (outrigger) di kiri-kanannya. Kapal jenis ini adalah karya orang Nusantara yang kemudian tersebar hingga Afrika Timur. Kapal tersebut kemungkinan satu jenis kapal yang sama dengan yang terukir di relief pada Candi Borobudur.
Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, namun hingga abad VII, kecil sekali peran kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Jungjung Cina lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai. Tentang hal ini, Oliver W. Wolters mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan Cina -juga antara Cina dan India Selatan serta Persia- pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa Cina hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I Tsing, pengelana dari Cina yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di “Laut Selatan”. Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di “Jalur Sutra” melalui laut -meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary- sangat bergantung pada peranan pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan berbicara lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Pada bukunya, Prof. Soedjoko menulis: Aspects of Indonesian Archeology. Ancient Indonesian Technology ship building and fire arms production around the sixteenth Century (1981). Nampaknya ia risau dengan penulisan sejarah Indonesia yang Neerlandosentris, yang mengabaikan fakta-fakta dan capaian-capaian bangsa Indonesia yang datang dari sumber-sumber informasi (juga dari Barat) yang tidak menguntungkan pencitraan Barat sebagai superior. Selain itu, kebanyakan sejarawan Indonesia juga justru lebih sibuk dengan sejarah raja-raja, imperium yang datang dan pergi, tanpa sama sekali menengok sejarah budaya materi yang dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan teknologi bangsa Indonesia di masa lalu, terutama pada abad XVI.
Selain tentang teknologi maritim yang sudah dikuasai oleh orang Indonesia, Soedjoko juga menulis tentang teknologi pembuatan senjata api, meriam maupun senapan. Mengenai senjata api, tulisan dari Barbosa menyebutkan tentang kemampuan orang Jawa ketika ia tinggal di Asia Tenggara (1500-1517), The Javanese are great masters in casting artillery. They make here spingarde (one-pounders), muskets, and fire-works, and in every place are considered excellents in casting artillery, and in the knowledge of discharging it.
Tidak hanya orang Jawa saja yang mempunyai keahlian pengecoran logam untuk meriam atau pembuatan senapan (Arquebuss), Vaerthema, orang Italia yang pernah ke Sumatera antara tahun 1503 dan 1508 mencatat kemampuan orang setempat dalam membuat mesiu. Marsden (Marsden, 1811) menyebut bahwa: In the country of Menangkabau they have from the earliest times, manufactures arms for their own use and to supply the Northern inhabitats… ets.
Kemampuan yang sama berkenaan dengan senjata api juga tampak pada orang-orang Aceh, yang berkali-kali menyerang Portugis di Malaka dan mengganggu pelayarannya, serta orang-orang di Ternate yang rajanya dikawal oleh 3000 tentara dan 1000 diantaranya bersenjata api. Sementara tulisan Soedjoko cukup sampai di sini, demi untuk menjelaskan bahwa ketika Portugis, Belanda, dll yang datang ke Indonesia, orang-orang Indonesia bukanlah sekelompok petani yang tak berdaya dan dengan gampang bisa dihabisi seperti yang terjadi di Amerika Selatan pada rakyat Inca yang ditumpas oleh Pisaro dan Cortes di tahun 1500. Orang Indonesia pada masa itu merupakan sebuah entitas suku-suku bangsa yang sudah mampu menandingi keunggulan persenjataan Barat.
Sejarah membuktikan, Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk mengukuhkan kekuasaannya yang baru terlaksana pada tahun 1905. Sedangkan untuk menaklukkan Afrika, yang luasnya beberapa kali Indonesia imperialis Eropa hanya memerlukan waktu 100 tahun; dan sampai tahun 1859 Inggris baru bisa “mengamankan” seluruh India (sebelum terbagi). Selain itu, kemenangan Eropa atas negara-negara lain di dunia juga lebih bertumpu pada penggunaan kekerasan, dan bukan karena keunggulan nilai-nilai dari budayanya. Mereka memetik kejayaan sebab menemukan sistem organisasi militer, disiplin logistik, teknologi persenjataan, kekuatan maritim, juga ilmu kedokteran yang lebih baik. Barat dapat merebut kekuasaan juga bukan dengan ajaran-ajaran agamanya (hanya sedikit pribumi yang mengganti agamanya), bukan pula dikarenakan adatnya yang lebih tinggi, melainkan dengan “paksaan yang terorganisir” (Organisierter Gewalt). Kebanyakan orang Barat lupa akan sebab-sebab ini, tetapi orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya (Huntington). “Mission Sacre” yang pada awalnya menjadi motivasi telah tersapu oleh berlimpahnya harta dari negeri jajahan. Dan, campaign Perang Salib tentunya juga surut ketika terjadi konkurensi negara-negara di Eropa ke Asia yang pada akhirnya meruntuhkan hegemoni Portugis dan Spanyol.
Akan tetapi, sebuah ironi justru dikenalkan kepada anak-anak didik di Indonesia berkenaan dengan pewacanaan dirinya sebagai sebuah bangsa. Hikayat tentang nenek moyangnya yang pernah menguasai navigasi pelayaran, teknologi perkapalan, administrasi niaga internasional, teknik tata kota, seni arsitektur, pengecoran logam, dan pembuatan senjata api sejak jauh sebelum kedatangan orang Eropa, justru tidak diterangkan dalam literatur-literatur sekolah. Padahal, fakta-fakta sejarah tersebut adalah romantisme yang amat berpengaruh dalam membangun rasa percaya diri di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kepercayaan diri yang bahkan secara luar biasa dilaporkan oleh seorang Portugis bernama Diego de Couto, bahwa orang Jawa misalnya, ketika lewat di jalan dan melihat ada orang bangsa lain sedang berdiri pada onggokan tanah atau tempat lain yang lebih tinggi dari tanah di mana ia berjalan, ia bisa membunuh orang itu jika tidak segera turun dari tempatnya. Atau, perihal ketakutan atas rangkaian kapal layar yang cemerlang milik para pelaut Bugis, dan telah begitu menggentarkan pelaut Eropa yang mula-mula datang sehingga mereka kembali ke tanah airnya untuk memperingatkan anak-anaknya, “bersikaplah yang baik, atau orang Bugis akan menangkapmu.”

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sabtu, 01 Juli 2017

Kiai Sadrach; Tokoh Kristen Kejawen yang Dibenci Belanda

[Di masa kolonial, agama Kristen sempat dicap sebagai agama kaum Londo atau agama orang Eropa. Tapi, Kristen yang disebarkan oleh Sadrach lain. Ia menggabungkan ajaran Kristen dengan tradisi dan kepercayaan lokal.]

Sejak awal milenium kedua, orang-orang Nusantara banyak berlayar ke berbagai tempat seperti Tiongkok, bahkan sampai Afrika. Mereka berdagang dalam skala global dan banyak bertemu dengan berbagai latar belakang lintas-budaya.

Dari aktivitas tersebut, selain bertukar barang dalam transaksi perdagangan, juga terjadi penyebaran agama, baik langsung maupun tidak langsung. Agama atau kepercayaan lokal bertemu dengan agama dan kebudayaan lain. Termasuk di Jawa. Akulturasi dan asimilasi terjadi ketika pengaruh agama-agama dari subbenua India seperti Hindu dan Buddha mulai masuk dan menyebar.

Hal ini juga berlanjut saat bergantinya periode persebaran agama Islam yang terjadi lewat pendekatan budaya dan tradisi lokal, layaknya yang dilakukan oleh Walisongo untuk Islam di Jawa. Juga penyebaran agama Kristiani.

Topik ini diteliti oleh beberapa sarjana, salah satunya J. Henry Wolfe dengan disertasinya yang berjudul berjudul Insider Movements: An Assessment of The Viability of Retaining Socio-Religious Insider Identity in High-Religious Contexts. Karya ini tak hanya menjelaskan proses asimilasi yang terjadi saat agama Hindu, Buddha, dan Islam datang, namun penyebaran Kristen setelahnya.

Awal abad ke-19 ditandai dengan gejolak dan gerakan rakyat Jawa membangkang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun para penguasa pribumi yang tunduk pada Belanda. Gerakan ini juga menyeret basis religius Islam-Jawa, yakni di kalangan penganut Islam dan Kejawen.

Di dalamnya juga terkandung narasi mistik akan harapan datangnya Ratu Adil untuk membawa pemulihan dan kesejahteraan. Menurut Jan. S Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, berbagai gerakan ini berpusat di sekitar tokoh-tokoh keagamaan yang umumnya disebut kiai atau guru.

Dalam situasi seperti ini, selain banyaknya tokoh-tokoh pejuang dari kalangan Islam, ada juga figur gerakan keagamaan Kristen lokal.

Adalah seorang putra dari keluarga Islam-Kejawen Jawa bernama Radin yang lahir di antara Demak dan Jepara pada 1835. Karena keinginan besarnya untuk ngelmu agama, ia mondok di beberapa pesantren di Jawa Timur. Radin juga pernah ke Mojowarno, sebuah desa di Jawa Timur yang dibangun oleh orang-orang Kristen Jawa. Ia lantas melanjutkan ke pesantren di Ponorogo hingga beralih kembali ke Semarang menetap di daerah Kauman, dengan menambahkan nama Abas sebagai penanda kesantriannya.

Perjumpaan dengan kekristenan terjadi saat bertemu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dari lereng Gunung Muria yang telah lebih dahulu menjadi seorang Kristen. Ia seorang penginjil yang memulai aktivitasnya sejak awal abad ke-19 di hampir seluruh wilayah Jawa dan berhasil meyakinkan Radin Abas untuk dibaptis di Batavia oleh pendeta Indische Kerk atau Gereja Protestan.

Nama baptis Sadrach yang disematkan mengacu pada Sadrakh dalam Kitab Daniel, penentang penindasan Raja Nebukadnezar dari Babilonia. Semangat ini yang tampaknya sejalan dengan Radin yang menentang penghilangan identitas kejawaannya, dibanding menjadi Kristen dengan budaya religiusitas ala Eropa yang dibawa Belanda.

Sadrach kemudian berkelana ke seantero tanah Jawa masuk ke desa-desa. Ia membawa ajaran Kristen yang dipadukan dengan kebudayaan Jawa. Sadrach juga menemui guru-guru setempat yang ia datangi dan mengajaknya ngelmu guna meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen.

Ia juga melakukan tanding di depan umum terkait siapa yang lebih hebat ilmunya. Dalam konteks ngelmu ketika itu, adalah hal lazim jika seorang mengulik hal yang dianggap ngelmu tertinggi, dan orang tidak akan puas sebelum mencapai tingkat ilmu tertinggi. Maka, lazim pula seseorang berpindah dari satu guru ke guru lain, dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain untuk terus memperdalam ilmu spiritual, termasuk berdiskusi bahkan berdebat.

Jika Sadrach kalah ia akan kembali ke ajaran sebelumnya, namun sebaliknya, jika ia menang maka ia menuntut lawannya untuk tunduk kepadanya dan menjadi Kristen. Pendekatan perdebatannya menggunakan ilmu-ilmu kebudayaan Jawa, juga ilmu-ilmu yang dipelajarinya di pesantren, yang kemudian dipadukan dengan ajaran Kristen.

Sinkretisme inilah yang menjadi kunci sukses Sadrach. Ia membuat banyak orang yang mengikut ajarannya. Sadrach berhasil meyakinkan orang-orang bahwa menjadi seorang Kristen tidak perlu meninggalkan kejawaannya. Orang tak perlu khawatir bahwa kekristenan akan berkontradiksi dengan tradisinya.

Ketenaran Sadrach mendorong berdirinya komunitas Kristen Sadrach di Karangjasa, sekitar 25 km dari Purworejo. Lembaga keagamaan dikelola seperti sebuah pesantren. Ia kemudian mendapat nama belakang baru, Surapranata. Nama ini sekali lagi mengandung aroma mesianik. Oleh pengikutnya, Kiai Sadrach Surapranata juga dianggap tokoh mesianik, semacam juru selamat yang dirindukan.

Hal inilah yang justru menjadi titik konflik Sadrach dengan para zending Belanda maupun dengan pemerintah kolonial. Beberapa zending di Jawa maupun yang dipusat Belanda, misalnya Lion Cachet, rajin menulis laporan bahwa Sadrach dan para orang-orang Kristen yang dipimpinnya belumlah hidup secara Kristen yang benar.

Mereka, orang-orang Belanda melihat ajaran Kiai Sadrach ini sesat karena menggabungkan ilmu-ilmu Kejawen dan kepercayaan lokal lainnya dengan kekristenan. Belum lagi pemerintah kolonial mencurigai adanya bau-bau pemberontakan dalam kiprah Kiai Sadrach.

Dalam buku Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, C. Guillot menyebutkan bahwa gerakan penyebaran keagamaan Kristen di masa kolonial Belanda memang tampak kurang bergairah. Belanda khawatir akan muncul rasa dan kedudukan yang sama antara penduduk lokal dengan golongan para pendatang dari Eropa jika mereka menyebarkan agama Kristen. Kontras jika dibandingkan dengan bangsa kolonial lain macam Spanyol dan Portugal yang meninggalkan jejak Katholik di tiap jengkal tanah jajahannya.

Juga soal metode dakwah. Belanda bukannya tak punya para penginjil. Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) adalah serikat misionaris Belanda yang mulai masuk ke Indonesia semasa pendudukan Inggris pada 1814. Tokoh penginjil awal adalah Joseph Kam yang memulai dakwahnya di kepulauan Maluku, juga termasuk Sumatera dan Jawa.

Pada kenyataannya, Sadrach tidak lagi dianggap dalam NZG. Ia tak kunjung diangkat menjadi pendeta untuk bisa memimpin sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus bagi jemaatnya sendiri. Maka, sejak 1893, Sadrach memutuskan tidak lagi berhubungan dengan Belanda dan orang Eropa lainnya. Meskipun begitu, sebagian besar pengikutnya masih setia kepada Sadrach.

Para pengikut Sadrach, yang disebut orang Kristen Jawa, punya hubungan rumit dengan sesama rakyat maupun dengan orang Eropa. Mereka kerap dicemooh dengan ungkapan "londo wurung jowo tanggung" (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung sebagai orang Jawa) atau "lali jawane" (lupa bahwa mereka orang Jawa).

Lambat laun, cap Kristen sebagai agama Belanda terkikis meski tidak sepenuhnya hilang. Hubungan antara umat Islam dan Kristen pun cenderung lebih baik dan perbedaan tak lagi terlihat jomplang. Mereka sama-sama orang Jawa, orang desa. Sadrach, dalam hal ini, lebih paham pendekatan yang lebih mengena di hati masyarakat dibanding para zending dari Belanda.

Sadrach, menurut Hoekama dan Sutarman dalam buku Jan S. Aritonang, menjadikan Injil sebagai norma hidup. Baginya, norma itu mirip dengan pitutur (nasihat, arah) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat umat Islam.

Para pengikutnya menilai Sadrach pandai menemukan kata-kata yang menyentuh perasaan orang Jawa. Itulah kenapa Sadrach juga menyandang gelar kiai, sebagaimana banyak guru agama Islam di Jawa. Bagi masyarakat Jawa, seorang kiai adalah orang yang memiliki kedudukan karena apa yang dia katakan akan didengar oleh banyak orang dan tentunya punya banyak pengikut. Seorang kiai juga tidak ditahbiskan oleh badan atau lembaga tertentu layaknya para pendeta atau pastor.

Sadrach semakin berpengaruh, dan kejengkelan para zending-zending Belanda terus terpupuk, sampai akhirnya mereka mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk menangkap sang kiai. Tahun 1882, mereka berhasil mendakwa Kiai Sadrach sebagai penghalang program vaksinasi cacar yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

Sadrach kemudian ditahan di penjara Kutoarjo selama 21 hari sampai kemudian dibebaskan karena bukti-bukti diragukan. Belum lagi terdapat laporan bahwa kebaktian-kebaktian di Karangjasa dilarang dan dihalang-halangi oleh polisi.

Ini menggambarkan bahwa para rohaniawan Belanda bisa menggunakan tangan besi pemerintahan Hindia Belanda untuk membungkam Sadrach. Namun, ada satu orang Belanda yang mengerti akan alam pikiran dan dunia masyarakat Jawa, yaitu J. Wilhelm. Peristiwa penangkapan Kiai Sadrach dianggapnya sebagai kesalahan besar.

Buku Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya karya Sutarman Soediman Partonadi menyebut Karangjasa, kediaman Kiai Sadrach, kemudian jadi tempat berkumpulnya orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya melesat hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873) hingga mencapai hampir 2.500 orang. Selama masa itu pula, lima gereja didirikan di Karangjasa, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.

Perkembangan jemaat Sadrach hanya mampu bertahan di kisaran 1939. Masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan pendirian Gereja Kristen Jawa memupus habis gereja ala Sadrach. Gejala ini sudah terasa saat Kiai Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924. Waktu itu telah jemaat pengikutnya sudah mencapai 20 ribuan.

Yotham anak angkatnya, juga tak mampu mengimbangi kharisma Kiai Sadrach dalam memimpin jemaat.

Kini, masih ada beberapa desa sederhana yang menjadi tempat tinggal komunitas Kristen ala Sadrach di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kendati secara resmi mereka mengikuti jalan Kristus, akan tetapi kehidupan keseharian mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat desa pada umumnya. Nilai-nilai Jawa masih menjadi bagian inheren dari sistem berpikir dan cara mereka hidup.

Sadrach kadang dirujuk sebagai bukti sahih dari bahaya Kristenisasi. Bagaimana kolonialisme Belanda dicurigai bukan hanya menghisap kekayaan Nusantara, namun juga menggerogoti harmoni masyarakat melalui misi zending-kristenisasi. Pilihan Sadrach yang tetap memakai predikat kiai dianggap sebagai taktik untuk mengelabui masyarakat desa yang polos.

Namun posisi Sadrach sendiri ambigu. Ia tentu murtad dari sisi Islam, namun ia pun tak pernah diterima sepenuhnya oleh misi zending yang dipimpin para pendeta Eropa. Sampai-sampai, seperti sudah disinggung di bagian atas tulisan ini, ia bahkan sampai ditangkap  Belanda. Ajarannya dianggap tidak sepenuhnya "murni", namun sinkretik, bahkan ada yang menganggap masih mengadopsi nilai-nilai mistik Jawa yang dimuati spiritualitas Islam.

Kredit: tirto.id