Senin, 31 Desember 2018

Kemenangan dan Akhir Hayat


Pada saat Penaklukan Makkah, Muhammad sudah berusia enam puluh tahun, dianggap sepuh untuk ukuran masa itu. Melalui sabdanya dan wahyu Al-Qur’an yang terus diturunkan, ajaran Islam telah diformalkan, membahas segala sesuatu mulai dari rukun iman, tata cara peribadatan, sampao pedoman bagi pemerintahan Islam. Sebuah tatanan sosial baru telah dikukuhkan, nilai-nilai kesukuan dan nasionalisme digantikan oleh persatuan Islam di bawah hukum ilahiyah. Muhammad menyatakan hal ini dalam khutbah terakhirnya, yang bersabda, “Wahai manusia, ingatlah bahwa kamu adalah keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Alloh adalah orang yang paling sholih. Orang Arab tidak menjadi lebih utama ketimbang non-Arab, kecuali karena ketakwaan.”

Pesan agama dan sosialnya saling terkait dengan pesan politik yang membentuk kerajaan Muslim bersatu yang membentang di seluruh Semenanjung Arab. Dan untuk pertam akalinya dalam sejarah, semua orang Arab bersatu. Ia bahkan berhasil membuat suku-suku yang tinggal di tepi selatan Kekaisaran Byzantium dan Persia memeluk Islam. Prestasi yang bukannya tidak disadari oleh kedua kerajaan besar tersebut yang akan segera memandang penyebaran Islam yang cepat dengan sangat serius.

Setelah Penaklukan Makkah, Muhammad kembali ke kampung halaman keduanya, Madinah. Bagaimana pun, ia telah berjanji untuk memimpin umat Islam dari oasis itu sejak delapan tahun sebelumnya ketika klan Auz dan Khozroj mengundangnya. Di sini, ia mulai melakukan persiapan bagi komunitas Muslim yang akan terus berlanjut lama setelah kematiannya. Ia terus-menerus membahas tentang kewajiban Mukmin sejati, kelestarian Al-Qur’an serta Sunnah-Nya. Pada awal tahun 632, Muhammad berangkat ke Makkah untuk ziarah akhir, haji. Ia berbicara kepada riabuan pengikutnya, yang sama-sama mengenakan jubah putih sederhana tanpa memandang status keuangan masing-masing, mengingatkan akan kesetaraan seluruh manusia. Ia memperingatkan para pengikutnya agar menghindari penindasan, memperlakukan para wanita dengan penuh hormat dan cinta, dan meninggalkan persaingan suku lama yang telah menjadi bencana bagi peradaban Arab selama berabad-abad. Khutbah Terakhir itu meringkas sejarah kenabiannya: revolusi lengkap dalam segala hal. Di mata para pengikutnya, tatanan baru terbit di dunia, salah satu yang akan didasarkan pada hukum Tuhan dan terilhami oleh teladan Muhammad.

Setelah melakukan ibadah haji, Muhammad kembali ke Madinah, tempat diletakkannya dasar untuk terus memperluas Islam. Para cendekiawan dikirim ke provinsi jauh seperti Yaman dan tepi timur Arab untuk mengajarkan dasar-dasar agama kepada umat yang baru memeluk Islam. Madinah, komunitas yang bersentuhan paling dekat dengan Rosululloh, akan beroperasi sebagai pusat pengetahuan Islam, berfungsi untuk mendidik seluruh Muslim dunia, bahkan setelah Nabi wafat. Pasukan militer melakukan perjalanan ke utara untuk melawan Kekaisaran Byzantium. Etika perang Islam, yang akan memandu ratusan tahun pasukan Muslim, kembali ditegaskan.

Menurut keyakinan Islam, peran Muhammad adalah sebagai utusan Tuhan, menyampaikan firman-Nya, Al-Qur’an, dan bertindak sebagai teladan bagi umat Islam. Setelah duapuluh tiga tahun bertindak sebagai Rosululloh, misinya berakhir. Al-Qur’an diselesaikan dan dicatat pada potongan perkamen, kulit, serta tulang, dan juga dihafal dengan benar oleh banyak sahabat Muhammad. Tradisi pra-Islam yang mampu menghafal puisi-puisi panjang memberi orang-orang Arab ini kemampuan untuk menjaga serta menjamin pelestarian kitab suci Islam. Narasi dan tindakan serta ucapan Muhammad juga dipandang penting, dan disebarkan ke seluruh Arab dari mulut ke mulut. Menurut tradisi Islam, salah satu ayat terakhir Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad menyatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Muhammad jatuh sakit pada musim panas tahun 632. Ia mengalami sakit kepala dan demam yang melemahkan, dan segera saja tak dapat berjalan tanpa bantuan sepupunya, ‘Ali, serta pamannya, Abbas. Ketiak ia tidak mampu memimpin sholat lima waktu di masjid, ia menunjuk sahabat terdekat sekaligus pendamping, Abu Bakar, untuk memimpin mereka menggantikan tempatnya. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah istrinya, Aisya, putri Abu Bakar. Dari dinding yang membatasi rumah dengan masjid, Muhammad dapat menyaksikan umat Muslim mengikuti instruksinya untuk menyembah Tuhan, bahkan dalam ketidakhadirannya. Tak diragukan lagi, itu merupakan masa-masa yang emosional bagi para pengikutnya, yang telah mendampinginya melalui hari-hari yang sulit di Makkah, melalui pertempuran sengit melawan suku Quroisy di mana ia menegaskan kekuasaannya, dan penaklukannya yang gemilang tanpa menumpahkan darah atas Makkah. Mereka menjadikan Muhammad sebagai pembimbing sekaligus pemimpin dalam segala aspek kehidupan. Pembahasannya yang semakin sering tentang kematian, dan fakta bahwa sekarang ia bahkan tak dapat bangkit untuk memimpin mereka dalam sholat, memberatkan hati kaum Muslim.

Hari-hari terakhir dihabiskan dengan berbaring di rumah, dengan kepala di pangkuan sang istri, Aisyah. Anggota keluarga dekat dan teman-temannya menjenguk, berharap melihat tanda-tanda pemulihan pada diri pemimpin mereka. Tapi salah satu aspek utama Islam adalah ketauhidan tanpa kompromi. Muhammad mengajarkan bahwa tak ada Tuhan selain Alloh; menurut kepercayaan Islam, semua makhluk hidup, entah ia hewan, manusia, atau bahkan malaikat akan mengalami kematian. Sementara itu, meskipun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kematian junjungannya, memgakui bahwa Islam memang akan terus hidup sepeninggal beliau, para pengikut Muhammad –yang telah sangat emosional mendampingi pria yang memimpin mereka keluar dari era jahiliyah pra-Islam dan perang suku ini− tetap tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya. Pada tanggal 8 Juni 632, era pertama dari sejarah Islam, yang mencakup duapuluh tiga tahun kenabian, berakhir saat Nabi Muhammad saw –dengan kepala di pangkuan Aisyah dan dengan para pengikut yang berkumpul di masjid berharap untuk mendengar kesembuhannya− mengembuskan napas terakhir.

Oleh: Firas Alkhateeb

Selasa, 18 Desember 2018

Kemenangan


Begitu posisinya di Madinah sudah kuat, Muhammad akhirnya dapat menghadapi orang-orang Quroisy dalam kedudukan yang setara. Dengan keyakinan terhadap stabilitas negara Muslim dan diilhami oleh wahyu terakhir yang menjanjikan datangnya kemenangan, Muhammad pun berangkat bersama 1500 pasukannya ke Makkah pada tahun 628. Namun kepergiannya ini tidaklah untuk berperang. Mereka mengenakan pakaian peziarah sederhana, dan hanya membawa pedang bepergian. Tidak ada baju besi, tidak ada kavaleri, dan tidak ada bendera perang. Muhammad berharap memperoleh akses ke Makkah dan Ka'bah dengan damai untuk melakukan ziarah. Ia berkemah di luar perbatasan Makkah, di Hudaibiyyah, menunggu izin kaum Quroisy untuk memasuki tanah suci.

Penduduk Makkah yang tentunya tercengang oleh kelancangan kaum Muslimin –hanya 6 tahun setelah pelarian mereka dari Makkkah– menghadapi pilihan yang sulit. Jika mereka membiarkan Muhammad dan pengikutnya memasuki Makkah, mereka akan terlihat lemah di mata suku-suku Arab lainnya, karena tidak dapat mencegah pasukan yang hampir tak bersenjata memasuki kota. Di sisi lain, peran utama mereka di Makkah adalah untuk memfasilitasi ziarah bagi siapa saja, tugas yang mereka emban dengan sangat serius. Pada akhirnya mereka mengikuti negosiasi perjanjian dengan Muhammad. Mereka sepakat untuk mengosongkan Makkah selama 3 hari, sehingga Muhammad dan umat Muslim dapat menyelesaikan ziarah –pada tahun berikutnya. Muhammad harus kembali ke Madinah pada tahun tersebut tanpa dapat menginjak kampung halamannya. Selanjutnya, mereka pun sepakat melakukan gencatan senjata. Makkah dan Madinah (serta suku-suku yang berafiliasi dengan mereka) akan menahan diri untuk tidak berperang selama 10 tahun. Beberapa Muslim jelas tidak puas dengan isi Perjanjian Hudaibiyyah, setelah mengharapkan akses langsung ke Makkah atau bahkan penaklukan kaum Quroisy sepenuhnya.

Tapi perjanjian itu menyediakan jeda yang berharga dari konflik, sehingga Muhammad memiliki kesempatan untuk memperluas Islam jauh melampaui Madinah. Kini, tanpa ancaman perbedaan pendapat internal dan invasi eksternal, ia memiliki kebebasan untuk mengirim pendakwah-pendakwahnya ke sepenjuru Semenanjung Arab dan bahkan keluar kekaisaran Byzantium dan Persia di utara. Suku-suku Baduy beralih menganut Islam secara massal, bersekutu dengan Rosululloh. Bahkan beberapa orang Makkah mulai memeluk Islam. Kholid bin Walid dan Amru bin Ash –dua komandan militer terbesar Quroisy– meninggalkan Makkah dan bergabung dengan Muhammad di Madinah pada tahun-tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian ini memang gagal memberikan umat Islam kontrol langsung atau situs paling suci mereka, tapi memungkinkan Islam tumbuh dengan pesat di seluruh Arab. Perkembangan ini sangat mencemaskan kelompok garis keras di Makkah, yang hanya beberapa tahun sebelumnya berharap dapat mengakhiri Islam.

Kemudian, kesucian gencatan senjata itu sempat ternodai hanya 2 tahun setelah penandatanganannya. Suku yang bersekutu dengan kaum Quroisy melancarkan serangan mendadak terhadap suku yang bersekutu dengan Muhammad di luar perbatasan Makkah. Tindakan ini melanggar kesepakatan yang telah menjanjikan perdamaian total selama 10 tahun. Dengan batalnya perjanjian itu, Muhammad dapat memanggil sekutu-sekutu barunya di seluruh Semenanjung untuk ikut serta dalam perjalanan menuju Makkah. Namun kali ini, mereka tidak akan berpergian dengan niat damai sebagai peziarah. Muhammad akhirnya berada dalam posisi memegang kekuasaan. Ribuan umat Islam dari seluruh Semenanjung sekarang berada di bawah perintahnya, terikat oleh aliansi dan pertobatan untuk bergabung dengan pasukannya setiap saat dibutuhkan. Pada titik ini, orang-orang Makkah tahu benar bahwa mereka tak dapat mengalahkan militer Rosululloh. Yang terjadi adalah Makkah melawan puluhan suku lainnya, yang bersatu untuk pertama kalinya dalam sejarah Arab. Upaya negosiasi antara Muhammad dengan kaum Quroisy pun berakhir gagal. Dan pada awal tahun 630, pasukan yang terdiri atas lebih dari 10.000 Muslim yang didatangkan dari seluruh penjuru Arabia, ber-longmarch menuju kota suci.

Mayoritas penduduk Makkah menyadari bahwa sia-sia saja melakukan perlawanan. Selain sejumlah pertempuran kecil, pasukan Muhammad memasuki Makkah tanpa pertumpahan darah. Kemenangan dalam kembali ke tempat kelahirannya, dipandang oleh para pengikut Muhammad sebagai kemenangan akhir Islam melawan kemusyrikan, kebenaran melawan kebatinan. Ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka'bah, dihancurkan. Membuat tempat kudus peribadatan kaum Muslim itu diperuntukkan bagi satu Tuhan. Bagi banyak orang di Makkah –termasuk pemimpin kaum Quroisy, Abu Sufyan, penaklukan menyeluruh ini merupakan tanda bahwa berhala yang mereka sembah tidak lebih dari sekadar patung batu dan kayu yang kasar. Mereka pun menyerahkan diri kepada Muhammad –orang yang pernah mereka tindas, mereka usir dari kota, dan mereka perangi. Muhammad pada gilirannya terbukti menjadi penakluk yang toleran. Sebagian besar penduduk Makkah selamat tanpa terluka, tindakan yang dipandang mengagumkan oleh orang-orang yang terbiasa dengan perang antarsuku brutal yang tidak menunjukkan belas kasihan. Sekali lagi, Muhammad menetapkan contoh bahwa kenabiannya menandai awal era baru dengan aturan serta kebiasaan baru pula. Periode jahiliyah pra-Islam –yang berarti kebodohan– akan selamanya ditinggalkan.

Kembalinya Muhammad ke Makkah dipandang luar biasa hanya karena situasi kehidupannya pada tahun-tahun sebelumnya. Tepat 8 tahun setelah pelariannya di tengah malam dari para penindas, Muhammad kembali ke kampung halamannya sebagai pemimpin yang berjaya dengan ribuan prajurit. Di Makkah, ia berkembang dari seorang pedagang terpercaya menjadi pemberontak yang tidak diinginkan terhadap politeisme, menjadi musuh yang jauh, menjadi penakluk yang murah hati atas tanah kelahirannya sendiri. Tidak diragukan lagi, aksesi secepatnya dalam meraih kekuasaan dan kemampuannya untuk menghancurkan persaingan suku lama di bawah bendera persatuan dalam Islam di pandang sebagai mukjizat dan tanda-tanda kenabian oleh banyak orang. Kaum Muslim pada masa itu –termasuk mereka yang telah menderita selama bertahun-tahun awal penindasan di Makkah dan orang-orang yang baru memeluk Islam setelah penaklukan kota– menyakini ada sesuatu yang istimewa tentang Islam. Di mata mereka, agama tersebut dibimbing dan dilindungi oleh Tuhan, dan mereka sedang berada dalam sebuah misi khusus untuk menyebarkan agama sejati ini ke seluruh dunia. Pola pikir tersebut akan memainkan peran besar dalam cara pandang umat Muslim terhadap diri mereka sendiri di panggung dunia sepanjang sejarah.

Oleh: Firas Alkhateeb

Peperangan


Konflik dengan suku Quroisy belum berakhir dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Madinah. Para Muhajirun masih sulit menerima perlakuan anggota klan mereka di Makkah, sementara para Ansor bersemangat menghukum siapapun yang pernah menindas saudara seiman mereka yang baru. Namun Rosululloh belum memberi izin komunitas Muslim untuk berperang. Peperangan tentu saja merupakan upaya yang serius terutama di Semenanjung Arab, tempat masih dipegang eratnya aturan-aturan rumit berkaitan dengan kehormatan serta balas dendam selama berabad-abad. Selain itu, Al-Qur’an sendiri memberi kesaksian tentang kesetaraan kehidupan dan bertapa tercelanya mengambil nyawa seseorang secara tidak adil. Oleh karena itu, komunitas Muslim ragu-ragu untuk menggunakan kekuatan militer melawan Makkah, terlepas dari bertahun-tahun penindasan yang mereka alami di tangan penduduk Makkah.

Namun situasi tersebut berubah pada awal masa tinggal Muhammad saw di Madinah. Ia menyampaikan wahyu baru dari Alloh yang berfirman:

Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi. Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Alloh”. (QS Al-Hajj: 3-40)

Ayat-ayat ini menjelaskan kepada pengingkut Muhammad bahwa peperangan itu diperbolehkan, bahkan diwajibkan, apabila umat Muslim mengalami penindasan. Ayat tersebut juga menandakan aspek penting peran Islam di dunia, bahwa agama ini bukan sekadar seperangkat keyakinan tentang yang tak terlihat, tetapi juga pedoman hidup secara lengkap yang mencakup segala sesuatunya mulai dari ritual peribadatan sampai ke hubungan luar negeri dan teologi. Seperti yang mereka lakukan dengan ajaran lain dalam Al-Qur’an, komunitas Muslim Madinah bersemangat untuk menunjukkan kelayakan mereka dan mematuhi perintah baru ini.

Kesempatan itu datang pada tahun 624 ketika komunitas Muslim mengumpulkan pasukan kecil yang berisi sekitar 300 orang untuk mencegat kafilah milik suku Quroisy yang berjalan melewati Madinah. Para Muslim tidak dapat mencapai kafilah tersebut dan malah berakhir berhadapan dengan pasukan koalisi lebih besar yang dikirim untuk melindungi kafilah tadi. Pada perang Badar sekitar 100 km di barat daya Madinah, orang-orang Muslim memperoleh kesempatan pertama untuk secara fisik memerangi mantan penindasan mereka. Meskipun kalah jumlah, pasukan Muslim yang dipimpin oleh paman Muhammad, Hamzah, berhasil menghancurkan pertahanan Quroisy dan mengambil beberapa tawanan. Secara monumental, Perang Badar dipandang sangat penting bagi komunitas Muslim baru di Madinah. Perang tersebut menetapkan kaum Muslim sebagai kekuatan politik dan militer yang nyata. Dan di lain pihak, berhasil menurunkan prestise suku Quroisy di seluruh Arab.

Tentu saja orang-orang Quroisy tidak tinggal diam dipermalukan begitu saja. Setahun kemudian, mereka mengumpulkan pasukan yang lebih besar, hanya untuk menghancurkan Madinah dalam rangka merendahkan Muhammad dan membuat kemampuannya untuk melindungi umat dipertanyakan. Pasukan tersebut ditempatkan beberapa kilometer di utara kota, dalam bayang-bayang Gunung Uhud yang megah. Di sana mereka dapat dengan mudah menyerang desa-desa pertanian di sekitar Madinah. Dalam konstitusi Madinah, Muhammad telah bersumpah untuk melindungi kota serta penduduknya. Dan oleh karena itu, terdorong mengirimkan angkatan perang dan mengonfrontasi orang-orang Quroisy tadi. Namun demikian, ada sekelompok orang di dalam kota yang menentang rencana tersebut. Mereka yakin akan lebih baik jika membiarkan para petani desa membela diri sendiri dan mempertahankan tentara melindungi kota dari dalam. Mereka bergabung dengan dua suku Yahudi di kota, yang menolak bergerak ke Uhud memerangi pasukan yang lebih unggul. Dengan demikian, Muhammad terpaksa berperang ke Uhud dengan jumlah tentara yang jauh lebih sedikit daripada yang telah ia antisipasi.

Hasil peperangan itu merupakan pukulan telak bagi kaum Muslim. Orang-orang Makkah yang dipimpin oleh Kholid bin Walid –yang belakangan akan menganut Islam dan memimpin tentara Muslim ke Suriah– berhasil mendesak Muslim dari medan perang ke lereng Gunung Uhud. Hamzah, pahlawan Perang Badar, tewas dalam perang itu dan tubuhnya dimutilasi oleh suku Quroisy. Muhammad sendiri sempat terkepung bersama segelintir Muslim oleh orang-orang Makkah dan terluka dengan dalam pertarungan jarak dekat yang mengikutinya. Orang-orang Quroisy yang telah mengalahkan pasukan Muslim dalam pertempuran dan ia meyakini bahwa mereka sudah cukup menghancurkan reputasi Muhammad, mundur kembali ke Makkah.

Perang Uhud tidak berhasil mengakhiri Islam ataupun otoritas Nabi Muhammad di Madinah sebagaimana yang diharapkan orang-orang Quroisy, meskipun menunjukkan benih-benih ketegangan antara orang Muslim dan Yahudi Madinah, yang kebanyakan menolak menghormati ketentuan Konstitusi serta bergabung dalam pertempuran. Namun jelas, bahwa baik umat Islam maupun Quroisy tidak akan bisa secara tegas mengalahkan yang lain di medan perang. Oleh karena itu, kedua belah pihak terpaksa berusaha menggalang dukungan di antara suku-suku Arab lain. Masing-masing berharap menaikkan peluang melawan musuh. Orang-orang Quroisy secara khusus berharap memperoleh dukungan dari suku-suku Yahudi Madinah –yang tampaknya ingin mengusir Rosululloh dari tengah-tengah mereka. Lima tahun setelah Muhammad hijrah, pasukan Quroisy mengepung kota Madinah dari utara dan memperoleh bantuan dari salah satu suku Yahudi Madinah, Bani Quroizhoh, yang tinggal di pinggiran sebelah selatan kota. Bagi pihak Yahudi, itu pertarungan yang terkalkulasi. Pengepungan itu tampak menjanjikan. Dan dengan bergabung dengan suku Quroisy, mereka bisa menyingkirkan Muhammad serta pengikutnya untuk selamanya. Namun demikian, rupanya persekutuan orang-orang Makkah dengan suku Yahudi itu tidak membuahkan hasil. Muhammad, atas saran seorang imigran Persia bernama Salman memerintahkan pembangunan parit di sekitar kota untuk menggagalkan pengepungan Makkah. Perang Parit (Perang Khondaq) –demikian sebutannya– merupakan kegagalan fatal bagi kaum Quroisy yang bahkan tidak berhasil menggoyahkan kekuatan Muhammad di kota. Namun keadaannya bahkan lebih buruk bagi Bani Quroizhoh. Mereka telah melanggar Konstitusi, dan oleh karenanya harus dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Arbitrase untuk kasus ini memutuskan bahwa kaum pria yang telah mengambil bagian dalam pengepungan untuk di eksekusi, sedangkan wanita dan anak-anak diasingkan dari kota. Muhammad menetapkan standar yang penting dalam menangani orang-orang Yahudi Madinah. Ia menegaskan bahwa hukum Islam tidak memiliki masalah dengan kehadiran non-Muslim yang hidup dalam sebuah negara Muslim. Selama bertahun-tahun, orang-orang Yahudi Madinah telah di toleransi. Tetapi ketika mereka gagal mematuhi ketentuan yang berlaku dan mengancam keamanan negara Islam, hukum pun harus ditegakkan. Seperti setelah perbuatannya yang lain, cara Muhammad menangani Bani Quroizhoh akan menjadi contoh bagi ratusan tahun hubungan Muslim dengan non-Muslim.


Oleh: Firas Alkhateeb

Kamis, 13 Desember 2018

Madinah; Harapan Baru


Pelarian Nabi Muhammad dari Makkah dikenal sebagai hijroh yang berarti pindah. Ini menandai titik balik dalam sejarah Islam awal dan sampai hari ini digunakan sebagai awal kalender Islam. Komunitas Muslim tidak lagi menjadi kelompok yang terpinggirkan dan Muhammad bukan lagi buangan sosial. Komunitas Muslim mengubah Madinah menjadi negara Islam pertama dan Muhammad diangkat sebagai pemimpinnya. Teladan yang ditunjukkan oleh Rosululloh dalam 10 tahun hidupnya di Madinah akan menginspirasi ratusan tahun politik tatanan sosial dan perekonomian negara Muslim.

Namun demikian, hidup di Madinah tentu saja bukannya tanpa tantangan sama sekali. Di Madinah, kelompok komunitas yang menonjol adalah campuran emigran baru dari Makkah, yang disebut sebagai Muhajirun, dan penduduk asli Madinah, Anshor. Muhajirun bukanlah satu unit tunggal yang kohesif. Tidak satu pun dari klan di Makkah yang menganut Islam sepenuhnya, jadi komunitas emigran tersebut terdiri atas beragam kelompok orang, yang berdiri sendiri-sendiri tanpa perlindungan klan atau suku. Sebaliknya, Anshor termasuk dalam suku Auz dan Khozroj, kedua suku yang terlibat perang saudara di oasis. Lebih jauh lagi ada beberapa individu yang tidak termasuk ke dalam kelompok manapun: para imigran dari negeri-negeri jauh, seperti Afrika, Kekaisaran Persia, dan Byzantium. Bagi kebanyakan Muslim, timbul pertanyaan tentang di manakah kesetiaan mereka harus diletakkan. Dalam menanggapi hal ini, Rosululloh menegaskan bahwa ide-ide kesetiaan pra-Islam yang lama sudah using. Sebagai gantinya, mereka harus meletakkan kesetiaan kepada umma atau ummat, bangsa Muslim. Di mata Muhammad, tidaklah penting apakah seseorang Muslim berasal dari suku Quroisy, Auz, Khozroj, atau bahkan suku-suku Yahudi. Begitu mereka memeluk Islam, mereka merupakan bagian dari komunitas persaudaraan baru yang berdasarkan pada keyakinan yang sama, bukan pada garis keturunan yang sama.

Kaum Yahudi adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi, agama mereka; dan bagi kaum Muslim, agama mereka juga. Kebenaran itu berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri kecuali bagi yang zholim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
(Konstitusi Madinah)

Tatanan politik dan sosial baru Muhammad di Madinah dikodifikasikan dalam sebuah naskah yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah”; sebuah konstitusi yang merinci bahwa di bawah wewenang Muhammad, Madinah akan beroperasi sebagai negara yang berdasarkan pada syariat Islam. Umma akan beroperasi sebagai satu kesatuan politik. Lebih jauh lagi, Muhammad akan bertindak sebagai arbiter tertinggi. Kebiasaan Arab lama mengenai balas dendam dan kehormatan dalam menghadapi ketidakadilan, dihapuskan dan digantikan oleh sistem peradilan terstruktur yang berdasarkan hukum Islam. Konstitusi tersebut memberi orang Yahudi kebebasan di kota oasis ini untuk mempraktikkan agama masing-masing. Tetapi mereka tetap harus mengakui otoritas politik Muhammad dan bergabung dengan sistem pertahanan ketika mendapat serangan dari orang Quroisy. Entitas politik Muhammad yang baru lahir di Madinah akan berfungsi sebagai modal negara Islam bagi pemerintah Muslim selama berabad-abad; khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap non-Muslim minoritas. Sifat dari wahyu yang terus berubah sesuai dengan perubahan zaman bagi komunitas Muslim. Ayat dan surat yang diturunkan kepada Muhammad di Madinah cenderung lebih panjang daripada yang di Makkah. Merinci hal-hal seperti bentuk peribadatan, perpajakan, sistem waris, serta hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Al-Quran menyediakan gambaran tentang sebuah masyarakat Muslim secara umum. Dan bila perlu, Muhammad menjelaskan perincian yang tepat. Kata-kata serta tindakannya yang dikenal sebagai hadits adalah sumber penting dari pedoman dan hukum, berfungsi sebagai pegangan kedua setelah wahyu Tuhan sendiri. Tapi Al-Quran tidak melulu berisi tentang hukuman dan tatanan sosial. Banyak ayat Madaniyah (ayat yang diturunkan di Madinah) menggambarkan kisah-kisah nabi sebelumnya. Cerita Nuh, Ibrohim, Musa, Daud, dan Isa dijelaskan dengan sangat prinsip bagi para pengikut Muhammad, menjelaskan bahwa Muhammad hanya nabi terakhir dalam deretan panjang nabi, dan bahwa pesannya tidak berbeda dari pesan yang nabi-nabi terdahulu sampaikan.

Sebagian besar ayat ini ditujukan bagi komunitas Yahudi dari Madinah. Di permukaan, mereka memiliki banyak kesamaan dengan umat Muslim. Keduanya merupakan penganut agama Tauhid di sebuah negeri yang dikenal dengan politeismenya, menghormati nabi-nabi yang sama, dan pada awal kenabian Muhammad, kedua kelompok iman ini sama-sama berkiblat ke arah Yerusalem. Alhasil, beberapa orang Yahudi Madinah mengakui Muhammad sebagai nabi dan memeluk Islam. Kitab suci Yahudi berbicara tentang Mesias. Dan bagi mereka, Muhammad adalah pria yang dijanjikan itu. Namun demikian, ada lebih banyak lagi yang menyangkal Muhammad. Agama Yahudi itu unik dalam hal keyakinan dan etnis yang berkaitan dengan konsep Orang Terpilih. Pesan Muhammad yang egaliter serta kesatuan umat Islam tanpa memandang etnis, menentang beberapa ide utama yang diyakini orang-orang Yahudi. Beberapa mungkin benar-benar percaya Muhammad seorang nabi. Tetapi kenyataan bahwa ia bukan orang Ibrani, menjadi masalah bagi mereka yang mengikuti teologi Yahudi secara ketat. Perbedaan antara komunitas Yahudi yang percaya bahwa mereka secara khusus dipilih oleh Tuhan dengan komunitas Muslim yang menghancurkan persatuan semua manusia, akan berkembang menjadi ketegangan serius di antara kedua kelompok iman.

Oleh: Firas Alkhateeb

Penindasan Pasca Wahyu


Pada akhirnya, jumlah komunitas Muslim menjadi terlalu besar untuk diabaikan seluruh suku Quroisy. Awalnya, para Muslim bisa melakukan sholat berjamaah di area terpencil di pinggir kota. Namun saat pengikut sholatnya semakin banyak peluang mereka terlihat jadi semakin besar. Itulah tepatnya yang terjadi saat sekelompok Muslim yang sedang sholat terlihat oleh para pemuja berhala, dan reaksi pertama mereka adalah mengolok-olok Muslim serta peribadatannya. Awalnya, orang-orang Quroisy cukup puas memandang komunitas kecil tersebut sebagai abnormalitas yang dapat diolok-olok, sampai mereka menyadari keseriusan gagasan baru itu. Monoteisme, keadilan sosial, kesetaraan dan kepatuhan terhadap aturan Tuhan yang kesemuanya mengancam teori-teori suku Quroisy di mata banyak anggota mereka yang terkemuka, solusi untuk menyingkirkan agama baru, dan gerakan sosial ini adalah dengan menyingkirkan sumbernya: Muhammad.

Namun masyarakat Arab masih memiliki struktur dan aturan. Meskipun Muhammad seorang yatim-piatu ia berada di bawah perlindungan pamannya, Abu Tholib, yang merupakan pemimpin klan Quroisy Bani Hasyim. Abu Tholib sendiri menolak memeluk Islam, tetapi martabat dan penghargaannya terhadap adat istiadat sosial Arab menuntut agar ia melindungi keponakannya. Lebih jauh lagi, terdapat sebuah aturan Arab kuno yang menyatakan bahwa jika Muhammad dibunuh, klannya diizinkan untuk mengejar pembunuhnya, dan oleh karena itu, perang sipil bisa pecah di jalanan Makkah. Jadi Muhammad sendiri tidak bisa disentuh tetapi perlindungan yang dia nikmati tidak meluas ke para pengikutnya, yang kebanyakan tidak memiliki perlindungan klan atau keluarga mana pun. Orang-orang Quroisy memutuskan untuk mengancam dan menganiaya mereka dengan harapan dapat mencegah orang-orang lain bergabung dengan agama baru ini. Umat Muslim dilecehkan dan dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan kaum politeis di Makkah. Meskipun Muhammad sendiri mendapat perlindungan, ia tak berdaya menghentikan penindasan terhadap pengikutnya.

Suku Quroisy juga mengambil langkah-langkah lain yang mencegah penyebaran agama baru ini di luar Makkah. Sekelompok pengungsi Muslim yang melarikan diri ke Abisiniah dijanjikan perlindungan oleh raja Kristennya, sang Negus. Orang-orang Quroisy mengirimkan utusan mengejar mereka berharap dapat meyakinkan sang raja untuk melepaskan perlindungannya dan mengirim para Muslim ke Makkah untuk menjalani hukuman. Namun Negus mendengar sepupu Muhammad, Ja’far, melaporkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang keyakinan Islam sehubungan dengan Isa dan Maryam, sehingga dia menolak untuk mengabaikan teman monoteisnya, dan orang-orang Quroisy harus kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Namun bahkan jika para Muslim ini tidak melarikan diri ke negeri-negeri jauh, Islam masih dapat menyebar keluar Makkah. Ada ribuan orang Arab yang mengunjungi kota tersebut setiap tahunnya, dan jika sejumlah pendatang mendengar pesan Muhammad serta melihat ketidakmampuan suku Quroisy mencegah keluarnya ide-ide tak ortodoks ini, status suku Quroisy sebagai salah satu suku terkemuka di Semenanjung akan mulai melemah. Sebagai kemungkinan lain, para pengunjung akan mempercayai Muhammad, menerima agamanya, dan membawa ajaran tersebut kembali ke kampung halaman masing-masing, menyebarkan Islam di luar Makkah, sehingga sulit untuk menghentikannya.

Semua ini mengarah pada tindakan ekstrem yang diambil oleh suku Quroisy. Pada tahun 617, sekitar 7 tahun setelah diturunkannya wahyu pertama, suku Quroisy memutuskan untuk melakukan boikot total terhadap klan Muhammad, Bani Hasyim, yang mayoritas menganut Islam. Tak seorang pun boleh mengadakan transaksi dagang ataupun menikah dengan anggota klan tersebut. Mereka bahkan diusir ke lembah tandus tepat di luar Makkah. Ini menimbulkan efek kemanusiaan yang buruk bagi komunitas Muslim. Perlakuan buruk ini mendatangkan kelaparan, isolasi sosial, serta masalah ekonomi bagi umat Muslim, dan bahkan non-Muslim yang kebetulan menjadi bagian dari Bani Hasyim, seperti Abu Tholib. Segelintir Muslim yang tidak termasuk dalam klan Bani Hasyim, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, melakukan segala yang mereka bisa untuk membekali kelompok pembuangan ini dengan melangkahi aturan-aturan boikot, meskipun dengan kerugian pribadi yang amat besar. Boikot ini menguras seluruh komunitas Muslim, tidak hanya anggota klan Bani Hasyim, tetapi juga yang lainnya. Pada akhirnya, upaya boikot ini gagal membujuk Muhammad agar tidak melanjutkan dakwahnya. Dan setelah 1 tahun pelaksanaannya, aturan ini pun diakhiri. Terlepas dari upaya-upaya suku Quroisy, justru ada semakin banyak orang yang memeluk Islam. Boikot juga memperlihatkan kekuatan ikatan dalam komunitas yang masih muda ini, karena mereka yang bukan bagian dari klan Bani Hasyim bersedia mengorbankan kekayaan serta keselamatan masing-masing demi membantu saudara seiman yang dizholimi. Dalam kasus ini, salah satu konsep inti Islam–bahwa kesetiaan terhadap agama melampaui kesetiaan terhadap suku atau keluarga– ditunjukkan dengan sangat jelas.

Namun demikian, boikot tersebut bukannya tak membawa dampak sama sekali. Bertahun-tahun tidak diberi akses ke makanan dan tempat tinggal disertai siksaan fisik, akhirnya memakan korban di kalangan kaum Muslim. Pengasingan tersebut barangkali turut berperan dalam kematian istri Rosululloh, Khodijah, pada tahun 619. Khodijah adalah pemeluk Islam pertama dan ia mendampingi Muhammad melalui kesukaran yang ditimbulkan suku Quraisy. Selama tahun-tahun awal, Rosululloh sangat membutuhkan dukungan emosional dari Khodijah yang membesarkan semangatnya untuk terus berjuang melawan penzholiman. Muhammad sangat kehilangan istrinya, tetapi rasa kehilangannya tidak sampai di situ. Segera setelah kematian sang istri, paman yang telah melindunginya, Abu Tholib, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Meskipun Abu Tholib tidak memeluk Islam, dia mengalami siksaan seperti anggota Bani Hasyim lainnya dan tidak pernah melepaskan perlindungan terhadap sang keponakan. Selain menjadi kehilangan emosional lain bagi Muhammad, kematian Abu Tholib juga memiliki dampak besar bagi komunitas Muslim. Tanpa seorang pemimpin yang kuat, tak ada yang dapat melindungi Muhammad dan seluruh komunitas Muslim dari para pemimpin Quroisy, yang semakin terang-terangan melakukan serangan terhadap umat Muslim, secara verbal maupun fisik. Terlepas dari rasa cintanya terhadap kota Makkah, Muhammad memutuskan untuk mencari kota lain yang dapat menerimanya dan memberinya lebih banyak kebebasan dalam menyampaikan dakwah dibanding dengan suku Quroisy. Secara alami, pilihannya jatuh ke Tho’if, sebuah kota yang dipimpin oleh suku Tsaqif, yang berjarak 65 km di tenggara Makkah. Ia berkendara ke Tho’if dan menemui ketiga saudara yang memimpin suku. Dengan tegas mereka menolak usulan Muhammad agar mereka memeluk Islam dan menolak untuk memberinya segala bentuk perlindungan. Yang menjadikan masalah lebih buruk lagi, dalam perjalanannya keluar dari kota dan kembali ke Makkah, berpenduduk Tho’if berkumpul untuk melontarkan batu dan caci maki kepadanya, membuatnya berdarah-darah pada saat dia aman dari jangkauan kota. Menurut tradisi Islam, konon Nabi Muhammad dikunjungi oleh malaikat Jibril yang bertanya apakah ia ingin Jibril meremukkan kota Tho’if diantara dua gunung sebagai hukuman atas perlakuan mereka terhadap sang utusan Tuhan, Muhammad menolaknya, menyatakan bahwa ia berharap salah satu keturunan mereka akan memeluk Islam. Peristiwa ini akan memainkan peranan besar dalam koneksi spiritual antara Muslim India dan Rosululloh pada abad-abad berikutnya.

Setelah kehilangan dukungan keluarganya, ditolak mentah-mentah oleh suku-suku yang berdekatan, dan menyaksikan pengikutnya sendiri mendapat perlakuan buruk karena keyakinan mereka, Muhammad sadar akan perlunya perubahan radikal jika ingin Islam terus bertahan. Kesempatan untuk perubahan ini datang dari sebuah kota oasis yang berjarak 300 km di utara Makkah, Yatsrib. Dua suku utamanya, Auz dan Khozroj terlibat dalam perang saudara yang berlarut-larut, yang berubah mematikan pada tahun 610-an. Yang lebih memperburuk situasi, beberapa suku Yahudi juga yang tinggal di Yatsrib mengalami kesulitan hidup berdampingan dengan suku Arab setempat. Reputasi Muhammad sebagai seorang pria yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan sudah terkenal luas di Yatsrib. Dan pada tahun 620, beberapa warga terkemuka dari kota itu pergi ke Makkah dan memintanya pindah ke Yatsrib untuk bertindak sebagai pemimpin sekaligus mediator pertikaian mereka. Muhammad menerima tawaran tersebut dan mendorong pengikutnya di Makkah untuk berhijrah bersamanya ke tempat yang berada diluar jangkauan suku Quroisy. Muhammad sendiri merupakan salah satu orang terakhir yang meninggalkan Makkah pada tahun 622, ketika ia melakukan perjalanan bersama sahabatnya, Abu Bakar, hampir tidak lolos dari rencana suku Quroisy untuk membunuhnya sebelum ia sempat angkat kaki di Yatsrib yang namanya segera diubah menjadi Madinah Al-Munawaroh (Kota yang Bercahaya) yang secara resmi dikenal sebagai Madinah (kota), Muhammad akan menemukan rasa aman dan kemampuan untuk menyebarkan ajaran Islam jauh dari tekanan suku Quroisy.

Oleh: Firas Alkhateeb

Rabu, 12 Desember 2018

Nabi Muhammad saw; Kelahiran yang Mengancam


Nabi Muhammad lahir di Makkah sekitar tahun 570 M. Beliau berasal dari klan Bani Hasyim, salah satu klan dari suku Quroisy yang terhormat di Makkah –yang waktu itu merupakan pusat perdagangan serta keagamaan di jantung Semenanjung Arab. Terletak sekitar 80 km dari pantai Laut Merah, kota lembah itu sangat diuntungkan dengan perdagangan utara-selatan yang menghubungkan bangsa Romawi di utara dan Yaman di selatan. Namun, Makkah jauh terpisah dari kedua tempat itu. Dikelilingi oleh ratusan kilometer gurun pasir memungkinkannya untuk terbebas dari kendali atau pengaruh asing mana pun. Makkah terhubung secara internasional dan pada saat yang sama juga terisolasi. Tetapi dalam hal agama, tempat itu merupakan titik pusat bagi seluruh kelompok masyarakat di Semenanjung Arab. Di sanalah Ka’bah berada dan disana pulalah ibadah ziarah yang menarik masyarakat Arab dari seluruh semenanjung dilaksanakan setiap tahun. Jadi, meskipun masyarakat berada cukup jauh dari jangkauan kendali kekaisaran Byzantium dan Persia, letaknya cukup sentral untuk memiliki dampak besar bagi masyarakat Arab. Kedua karakteristik ini akan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam.

Kehidupan Awal
Kehidupan awal Muhammad ditandai oleh kesukaran dan kehilangan. Ayahnya, Abdulloh, meninggal sebelum dia dilahirkan saat melakukan perjalanan dagang ke Yatsrib, di sebelah utara Makkah. Ibunya, Aminah, meninggal ketika usianya 6 tahun, dan Muhammad akhirnya ditanggung serta dibesarkan oleh sang kakek, Abdul Mutholib. Dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal dan Muhammad pun tinggal bersama paman dari pihak ayah, Abu Tholib. Meskipun termasuk dalam suku Quroisy yang kaya, Muhammad tidak tumbuh besar bergelimang harta. Mengingat statusnya sebagai anak yatim-piatu dan asalnya dari klan Bani Hasyim –yang dipandang sebagai cabang rendah dari suku Quroisy– dirinya bukan termasuk bagian kelas penguasa. Namun demikian, sewaktu kecil ia pernah menyertai pamannya dalam berbagai perjalanan dagang ke Suriah, yang memperkenalkan dirinya ke tradisi nomaden kuno bangsa Arab. Reputasinya sebagai pedagang jujur membuatnya dikenal dengan dua julukan: ash-Shodiq dan Al-Amin, yang berarti “yang benar dan yang dapat dipercaya”. Dengan demikian, Muhammad memperoleh penghormatan dari suku Quroisy dan sering dipercayai memegang uang serta melakukan transaksi bisnis, dan dalam banyak kasus diminta bertindak sebagai arbiter. Pada usia dua puluhan, Muhammad sudah menjadi pedagang sukses, bekerja sebagai agen bagi seorang janda kaya bernama Khodijah. Pada akhirnya, reputasinya sebagai pria jujur dan dapat diandalkan menarik perhatian sang atasan, dan ketika usia Muhammad 25 tahun, Khodijah melamarnya. Muhammad menerima lamaran tersebut meskipun wanita itu jauh lebih tua darinya.

Meskipun dikelilingi oleh masyarakat politeis penyembah berhala, Muhammad muda tidak terlibat dalam kegiatan agama suku Quroisy. Bagi sebagian besar bangsa Arab, pesan monoteistik Ibrohim dan Isma’il hanya tinggal kenangan samar, namun masih ada segelintir orang yang menganggapnya penting. Kaum ini disebut sebagai Hunafa’ (dengan bentuk tunggal Hanif), yang berarti “monoteis”. Mereka menolak menerima ratusan berhala baru dan kayu sebagai Tuhan. Muhammad merupakan salah seorang diantaranya. Alih-alih ikut menyembah berhala yang begitu merajalela di masyarakat, Muhammad memilih menyendiri.  Ia terbiasa mengasingkan diri ke sebuah gua di puncak gunung sekitar 5 km dari pusat Makkah, bertafakur dan merenungkan kondisi masyarakat serta kepercayaan yang mengelilinginya di Makkah.

Wahyu Pertama
Menurut tradisi Islam, pada 610, saat menyendiri di gua yang sudah sering dikunjunginya, Muhammad mengalami sesuatu yang baru. Sesosok malaikat mendatanginya di gua tersebut, dan berkata, “Bacalah!” Muhammad menanggapi bahwa dirinya tidak bisa membaca seperti sebagian besar masyarakat Makkah, Muhammad buta huruf. Sekali lagi malaikat itu memintanya membaca. Lagi-lagi, Muhammad menjawab bahwa ia tidak bisa membaca. Untuk ketiga kalinya, malaikat itu tetap memintanya membaca. Dan untuk ketiga kalinya pula, tanggapannya tetap sama. Kemudian sang malaikat membacakan ayat-ayat Al-Qur’an pertama yang diwahyukan kepada Muhammad:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)

Muhammad pun mengikuti ucapan sang malaikat yang kemudian memberitahukan bahwa dirinya bernama Jibril, malaikat yang dikirim oleh Alloh dan menyatakan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Dalam keadaan terguncang dan ketakutan, Muhammad bergegas pulang, tidak tahu harus melakukan apa. Ia punditenangkan oleh Khodijah yang mempercayai penuturan sang suami. Khodijah menanyai sepupunya yang akrab dengan naskah-naskah Yahudi serta Nasrani tentang makna dari pertemuan tersebut. Begitu sang sepupu mendengar apa yang telah terjadi, dia langsung mengakui Muhammad sebagai utusan Tuhan pada masanya, seperti Musa dan Isa sebelum dirinya. Setelah ditenangkan oleh istri dan sepupunya, Muhammad menerima misi yang diembannya sebagai utusan Tuhan, dan kehidupannya sebagai Nabi pun dimulai.

Orang pertama yang mendengar dan mengakui kenabian Muhammad adalah Khodijah, yang bisa dibilang langsung memeluk Islam sekembalinya sang suami dari gua. Tak lama kemudian, Muhammad memperkenalkan agama baru ini kepada orang-orang terdekatnya. Sahabat-sahabat Muhammad –Abu Bakar; sepupunya, Ali; dan pelayan rumahnya, Zaid– menghormati serta mempercayainya, dan dengan demikian langsung mengakuinya sebagai Nabi. Mereka mulai menyebarkan wahyu itu pada orang-orang terdekat mereka sendiri dan secara perlahan-lahan jumlah orang yang mengakui kenabian Muhammad semakin besar. Upaya-upaya dakwah pertama dilakukan secara diam-diam, mengingat Makkah pada saat itu merupakan masyarakat politeistik, dan ide tentang satu Tuhan yang menggantikan banyak berhala di dalam Ka’bah tak pelak lagi dianggap sebagai ancaman. Dengan demikian, bulan-bulan dan tahun-tahun pertama perkembangan Islam dilakukan dalam kelompok rahasia dan tersembunyi, yang mencemaskan reaksi masyarakat terhadap mereka, namun tetap tunduk terhadap ide-ide agama baru ini. Mereka pun disebut sebagai Muslim yang berarti “orang yang tunduk”. Kata Islam sendiri –yang menjadi akar kata Muslim– menandakan penyerahan diri terhadap Tuhan dan kehendak-Nya.

Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. (QS. Al-Humazah: 1-4)

Pada saat yang sama ide-ide inti Islam mulai terbentuk melalui penyampaian Wahyu yang berkesinambungan yang akan disampaikan ke seluruh masyarakat monoteisme ketat yang sangat berbeda dari kepercayaan yang berlaku di Makkah merupakan tema utamanya menurut Muhammad, hanya ada satu Tuhan. Berhala-berhala yang disembah oleh penduduk Makkah tidak lebih dari patung batu dan kayu yang tak berguna, dan tidak mampu membawa manfaat bagi siapa pun. Ayat-ayat itu juga mengingatkan tentang Hari Pembalasan, ketika semua jiwa akan dibawa ke hadapan Tuhan untuk ditimbang amal perbuatannya. Mereka yang percaya kepada Tuhan dan melakukan amal baik, akan memasuki surga yang kekal. Mereka yang tidak percaya, akan dimasukkan ke neraka dan menjalani siksaan abadi. Namun Islam tidak melulu mengurusi teologi dan kehidupan akhirat. Ayat-ayat pertama juga mengecam penyakit sosial yang melanda Makkah. Dengan meningkatnya kemakmuran dari rute dagangan, kesenjangan kelas sosial di dalam masyarakat pun semakin mencolok. Golongan kaya akan menggunakan harta mereka untuk membiayai lebih banyak kafilah yang pada akhirnya akan mendatangkan kekayaan lebih besar. Sedangkan golongan miskin akan semakin terpinggirkan. Kondisi kekurangan tersebut akan berlipat ganda jika mereka tidak termasuk ke dalam klan penguasa. Al-Qur’an menyatakan bahwa pengabaian terhadap fakir miskin seperti itu merugikan pembentukan tatanan sosial yang adil, dan akan mendapat hukuman di akhirat. Baru bertahun-tahun kemudian, aturan yang berkaitan dengan kemasyarakatan ditegakkan. Namun sejak awal jelas, bahwa kedatangan Muhammad tidak saja untuk mengubah keyakinan keagamaan tiap individu, tetapi juga masyarakat itu sendiri.

Wahyu-wahyu yang pertama diturunkan terus mengulang-ulang tema ini selama beberapa kali. Ayat dan surat yang diturunkan di Makkah yang dapat ditemukan menjelang akhir Al-Qur’an cenderung pendek-pendek dan langsung ke titik permasalahan. Sifat Al-Qur’an ini sesuai bagi komunitas Muslim yang baru lahir yangkeberadaannya masih belum diketahui oleh seluruh kota. Ketika berada didekat sesama umat, para Muslim akan mendiskusikan wahyu-wahyu terakhir di antara mereka sendiri dan mengajarkannya terhadap satu sama lain. Ketika berada di sekitar non-Muslim, mereka harus menyembunyikan percakapan serta keyakinan mereka. Lagi pula ide-ide baru ini akan mengancam tatanan sosial Makkah yang sudah mapan. Kesetaraan sosial, ekonomi, dan kesukuan dianggap menyimpang oleh anggota suku Quroisy yang kaya dan berkuasa. Revolusi sosial jarang diterima oleh mereka yang memegang kekuasaan.

Bahkan jika Muhammad tidak menganjurkan perubahan apapun dalam masyarakat, keyakinan baru itu sendiri merupakan ancaman bagi posisi ekonomi dan sosial para penganut politeis. Karena Ka’bah, Makkah merupakan pusat keagamaan bagi bangsa Arab di seantero Semenanjung Arab. Setahun sekali orang-orang Arab akan bepergian ke Makkah untuk melakukan ziarah dan menyembah ratusan berhala yang dipajang di sekitar Ka’bah. Keadaan ini menguntungkan suku Quroisy. Perdagangan adalah hasil samping alami dari perziarahan; dengan begitu banyaknya orang dari negeri-negeri jauh berada di tempat dan waktu yang sama, secara alami berkembanglah pasar yang membuat Makkah menjadi titik pusat politik, ekonomi, serta agama di tanah Arab. Sebagai fasilitator, perdagangan suku Quroisy mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun demikian, pesan Muhammad menolak arti penting berhala, menekankan keesaan Tuhan. Tanpa berhala, tak akan ada perziarahan. Tanpa perziarahan, tak akan ada perdagangan. Ini bukan skenario yang menyenangkan bagi Quroisy, dan pengikut awal Muhammad menyadarinya. Karena alasan ini, tidak ada yang berani menyebut-nyebut soal agama baru di sekitar para pemimpin suku. Komunitas Muslim masih cukup kecil dan lemah, sehingga belum mampu terlibat dalam konflik ideologis dengan orang-orang yang memegang kekuasaan. Terutama mengingat fakta bahwa kebanyakan Muslim pertama dianggap sebagai kelas sosial terendah. Budak, pelayan, dan orang-orang miskin merupakan mayoritas dalam komunitas Muslim awal. Mereka tertarik oleh kesetaraan manusia dihadapan Tuhan dan sifat egaliter dari agama baru tersebut, tempat kekayaan dan status sosial tidaklah menentukan nilai seseorang.

Oleh: Firas Alkhateeb