Rabu, 25 Mei 2016

Apakah Sekolah Kita Sudah "Beradab"?

Setahun terakhir ini saya terlibat membantu program Teaching Respect for All UNESCO. Saya juga membantu sejumlah sekolah agar menjadi sekolah welas asih (compassionate school). Dua hal di atas membawa saya bertemu dengan sejumlah sekolah, pendidik, hingga aktivis revolusioner dalam menciptakan pendidikan alternatif. Di benak saya ada satu pertanyaan: sudah se-compassionate apa sekolah kita? Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap respect pada siswa dan guru, serta semua unsur di lingkungan sekolah? Karena compassion (welas asih) dan respect (sikap hormat dan emphaty) adalah bagian dari adab (akhlak) maka pertanyaannya bisa sedikit diubah dan terdengar kasar: sudah seberadab apakah sekolah kita?

Rekan saya melakukan sebuah eksperimen yang menarik. Dia berkunjung ke Sekolah Ciputra, sekolah millik pengusaha Ciputra yang menekankan pada karakter, leadeship, dan entrepreneurship serta memberi penghargaan pada keragaman agama dan budaya. Pada kunjungan pertama rekan saya itu datang dengan baju necis menggunakan mobil pribadi. Di depan gerbang, Pak Satpam langsung menyambut hangat, "Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" Rekan saya menjawab bahwa dia ingin bertemu dengan kepala sekolah, tetapi dia belum buat janji. Dengan sopan pak Satpam berkata, "Baik, saya akan telepon pak Kepala Sekolah untuk memastikan apakah bisa ditemui. Bapak silakan duduk. Mau minum kopi atau teh?" Pelayanan yang begitu mengesankan! 

Di waktu lain, rekan saya datang lagi dengan penampilan yang berbeda. Baju kumal, dengan berjalan kaki. Satpam yang bertugas memberikan sambutan yang tak beda dengan sebelumnya, diperlihakan duduk dan diberi minuman. Saat berjalan menuju ruang Kepala Sekolah, Satpam mengantarkan sambil terus bercerita menjelaskan tentang sekolah, bangunan, serta cerita lain seolah dia adalah seorang tour guide yang betul menguasai medan. Bertemu dengan Kepala Sekolah tak ada birokrasi rumit dan penuh suasana kehangatan. Padahal rekan saya itu bukan siapa-siapa, dan datang tanpa janjian sebelumnya. Melatih Satpam menjadi sigap dan waspada adalah hal biasa. Tetapi menciptakan Satpam dengan perangai mengesankan pastilah bukan kerja semalaman. Pastilah sekolah ini punya komitmen besar untuk menerapkan karakter luhur bukan hanya di buku teks dan di kelas. Tapi semua wilayah sekolah, sehingga saat kita masuk ke gerbangnya, kita bisa merasakannya. Itulah hidden curricullum, culture

Di kesempatan lain, saya bersama rekan saya itu berkunjung ke sebuah sekolah Islam yang lumayan elit di sebuah kota besar (saya tidak akan sebut namanya). Di halaman sekolah terpampang baliho besar bertuliskan, "The most innovative and creative elementary school" sebuah penghargaan dari media-media nasional. Dinding-dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang menjuarai berbagai lomba. Ada dua lemari penuh dengan piala-piala. Pastilah sekolah ini sekolah luar biasa, gumam saya. Kami berjalan menuju gerbang sekolah menemui Satpam yang bertugas. Setelah kami mengutarakan tujuan kami ketemu Kepala Sekolah, Satpam itu dengan posisi tetap duduk menunjuk posisi gerbang dengan hanya mengatakan satu kalimat, "Lewat sana". Kami masuk ke sekolah tersebut. Di tangga menuju ruangan Kepala Sekolah, ada seorang ibu yang bertugas menjadi front office menghadang kami dengan pertanyaan, "Mau kemana?" dengan wajah tanpa senyum. Saat tiba di ruangan Kepala Sekolah, mereka (guru dan Kepala Sekolah) sedang rapat. Sehingga kami harus menunggu sekitar 45 menit. Selama kami duduk, berseliweran guru datang dan pergi tanpa ada yang menghampiri dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?" Akhirnya Kepala Sekolah mempersilakan kami untuk masuk ke ruangannya. Baru ngobrol sebentar, tiba-tiba seseorang dari luar membuka pintu dan memasukkan kepalanya menanyakan sesuatu kepada Kepala Sekolah yang tengah mengobrol dengan kami. Tak lama dari itu, tiba-tiba seorang guru masuk lagi langsung minta tanda tangan tanpa peduli bahwa kami sedang mengobrol. Karena kesal, akhirnya Kepala Sekolah itu mengunci pintu agar tak ada orang masuk. Dalam obrolan, saya sempat bertanya, "Apa kelebihan sekolah ini?" Kepala Sekolah terlihat berpikir keras selama beberapa menit sampai akhirnya menjawab, "Ini seperti toko serba ada. Semua ada." Dari jawaban itu, saya baru faham: pantas saja Satpam sekolah ini tak punya sense of excellent service, Kepala Sekolahnya saja tak bisa menjelaskan apa value preposition sekolahnya. Kemegahan bangunan, serta berbagai prestasi yang telah diraih, rasanya menjadi tak ada apa-apanya. Karena bukan itu yang membuat kita terkesan, melainkan atmosfir sekolah, hidden curricullum, culture

Perjalanan kami lanjutkan ke sekolah Islam di tengah kampung. Bangunannya kecil sederhana. Pendiri sekolah ini seorang lulusan STM, tetapi mengabdikan separuh hidupnya untuk merumuskan dan menerapkan konsep sekolah kreatif yang dapat memanusiakan manusia. Saat ditanya tentang sekolahnya, dengan lancar dia menjelaskan konsep sekolah kreatif yang memberikan garis besar pada kreativitas anak dan guru. Ruang kelas dibuat tanpa daun pintu. Hanya lubang-lubang besar berbentuk kotak, lingkaran, bulan sabit, bintang. Sehingga ketika guru tidak menarik, siswa boleh keluar kapan saja. Tak ada seragam sekolah dan buku pelajaran. Kami duduk di pelataran sekolah sambil menyaksikan keceriaan anak-anak yang tengah bermain. Selama kami duduk, ada tiga orang guru dalam waktu yang berbeda menghampiri menyambut kami dan bertanya, "Ada yang bisa yang saya bantu?" Saya menangkap semangat melayani para guru tersebut. Mereka ingin memastikan tak ada tamu yang tak dilayani dengan baik. Saat mengamati anak-anak bermain, saya melihat ada seorang anak yang jatuh dan menangis. Saya menebak bahwa guru akan segera membantu. Tetapi tebakan saya salah, ternyata dua teman sekelasnya datang menghibur dan membantunya untuk berdiri dan memapahnya ke kelas. Saya cukup terkesan. Di sekolah yang sederhana ini saya menangkap aura kebahagiaan dari siswa dan guru-gurunya. Saya tak perlu tahu kurikulum dan sistemnya, saya sudah bisa merasakannya. Konsep dan visi pendirinya, ternyata bukan hanya di kertas. Saya bisa melihat dalam praktik. Itulah hidden curricullum, culture

Pada kesempatan lain rekan saya pernah juga terkesan oleh siswa sekolah internasional yang kebanyakan siswanya berkebangsaan Jepang. Saat itu rekan saya akan mengisi acara di depan siswa pukul 10 pagi. Setengah sepuluh, aula masih kosong. Tak ada orang, tak ada kursi. Lima belas menit sebelum acara para siswa datang, mengambil kursi lipat dan meletakkannya dalam posisi barisan yang rapi. Seusai acara, setiap siswa kembali melipat kursi dan meletakkannya di tempat penyimpanan, hingga ruangan kembali kosong dan bersih seperti semula. Itulah culture

Dari cerita di atas, saya semakin tidak tertarik pada prestasi apa yang diraih sekolah, semegah apa sebuah sekolah. Saya lebih tertarik bagaimana budaya sekolah dibangun dan diterapkan. Banyak sekolah yang menginvestasikan begitu banyak waktu dan pikiran untuk menyabet berbagai penghargaan. Tapi tak banyak yang serius membuat sekolah menjadi berharga dengan karakter dan budi pekerti. Banyak guru dan pelatih didatangkan untuk memberikan pembinaan tambahan pada siswa agar dapat menang lomba. Tapi sedikit sekali pelatihan service excellence untuk Satpam dan karyawan. Dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang juara ini juara itu, tapi jarang sekali foto seorang siswa dipajang karena dia melakukan sebuah kebaikan. Kehebatan lebih dihargai daripada kebaikan. Prestasi lebih berharga dari budi pekerti. 

Kita harus segera mengubah sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada ta'lim (mengajarkan) menjadi ta'dib (penanaman adab). 

Dalam konsep compassionate school, ta'dib harus diterapkan secara menyeluruh (wholse school approach) meliputi tiga area:

Pertama; SDM yaitu guru, karyawan, orangtua, hingga satpam. Kedua; kurikulum, dan yang ketiga; iklim atau hidden curricullum

Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar. Tapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih beradab. 

Untuk mengukur apakah sebuah sekolah sudah menjadi compassionate school tak serumit standar ISO. Cobalah berinteraksi dengan Satpam sekolah, amatilah bagaimana guru berinteraksi, siswa bersikap. Rasakan atmosfirnya. Jika prestasi akademik bisa dilihat di selembar kertas, budi pekerti hanya bisa kita rasakan.

Sabtu, 21 Mei 2016

Nasehat Imam Syafi'i Kepada Penuntut Ilmu

Inilah nasehat Imam Syafi'i rohimahulloh kepada para penuntut ilmu. Inilah nasehat yang dulu dipegangi dengan kuat dan mengantarkan banyak orang meraih manfaat menuntut ilmu. Mari sejenak kita perhatikan:


أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ  بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان

"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”

Inilah sikap mental yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik kita. Siap berpayah-payah, semangat bertekun-tekun belajar.

Sesungguhnya yang dimaksud dirham bukanlah banyaknya harta, tetapi terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Berpijak pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar, lapar itu lebih disukai santri asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya pegang saat kuliah. Bukan untuk nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong plastik belanja). Tapi karena buku lebih utama.

Teringat kawan-kawan masa kecil yang cemerlang. Mereka justru akrab dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat bersemangat. Lapar kerap jadi pilihan karena mendahulukan ilmu dan mereka justru menjadi cemerlang justru karena itu. Perhatian hanya tertuju pada belajar. Tidak disibukkan oleh urusan makanan. Maka sulit saya memahami penjelasan "sebagian ahli": tidak sarapan sulitkan belajar.

Bersahabat dengan Ustadz bukan karena mengharap nilai yang bagus, tapi untuk meraup ilmu yang barokah dan berlimpah. Dulu kesempatan memijat ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat. Memijat merupakan kesempatan mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah soal joyful learning. Justru ini soal kesediaan berpayah-payah demi meraih ilmu yang lebih utama. Ada semangat di sana.

Bersahabat dengan ustadz bahkan tak hanya terkait kesempatan meraup kesempatan lebih banyak untuk memperoleh curahan ilmu darinya. Lebih dari itu adalah ikatan jiwa antara murid dan guru. Teringat, ketika guru sakit, sedih sekali perasaan ini dan bersegera mendo'akan. Ikatan semacam ini menjadikan kehadiran guru senantiasa dinanti dan tutur katanya didengarkan sepenuh hati. Inilah bekal amat berharga.

Ketika murid benar-benar memiliki keterikatan hati dengan guru, cara mengajar yang monoton pun tetap membangkitkan antusiasme. Sebaliknya, ketika guru semata hanya mengandalkan metode mengajar, cara yang atraktif pun tak jarang hanya memikat sesaat di kelas. Murid betah mendengarnya karena menarik dan lucu, tapi tak menumbuhkan antusiasme untuk belajar lebih serius di luar kelas. Apalagi jika salah memahami istilah belajar tuntas sehingga seakan tak perlu lagi belajar setiba di rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari. Padahal antusiasnya anak belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda belajar otentik. Jika kita sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi untuk menekuninya.

Maka membekali murid dengan menumbuhkan sikap percaya kepada guru, hormat serta ikatan emosi dengan guru amat mendesak dilakukan. Dalam hal ini, kita dapat membincang dari kacamata efektivitas pembelajaran. Tapi saya lebih suka melihat dari segi kebarakahan belajar. Masalah "barokah" memang terasa makin asing dalam pembicaraan tentang pendidikan, hatta itu sekolah Islam. Padahal ini sangat penting.

Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi'i rohimahulloh bagi penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان (memerlukan waktu lama). Seorang santri (murid) harus menyiapkan diri menghabiskan waktu yang panjang untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu.

Jauhi sikap instan dan tergesa-gesa (isti'jal) ingin menguasai ilmu dengan segera. Penghambat tafaqquh (upaya memahami secara sangat mendalam) adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat, tetapi pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih dengan kesabaran dan kesungguhan. Grabbing informations dapat dicapai dengan speed reading. Tetapi untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan adalah deep reading.

Kesediaan mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama merupakan kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi. Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi untuk menghasilkan penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski demikian, sekedar siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna apabila tidak disertai ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.

Sebagian ilmu menuntut ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada orang yang cerdas sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu yang menuntut ketekunan, masa yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam bidang sains pun sabar, tekun, dan cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal untuk bidang yang memerlukan observasi longitudinal.

Jika ada guru yang bertanya, apa bekal penting bagi seorang murid, maka nasehat Imam Syafi'i rohimahulloh ini yang seharusnya ditanamkan kuat-kuat. Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas. Bukan sekedar menjadi pengetahuan sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar yang kuat dan mantap.

Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar dalam diri murid, maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian. Lebih-lebih guru yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar mengajar, tak bermakna jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.

Sekian. Meski masih tertatih mengais hikmah, semoga ada yang dapat kita amalkan. Mohon koreksi.

Mohammad Fauzil Adhim

Salam Untuk Dia

Ada hal menarik yang diungkap dalam acara Legislators Summit PKS 2016. Yakni, preferensi berita aleg PKS menempatkan Detik dan Portal Piyungan sebagai peraih tertinggi. Sengaja kami sebut dua situs sebagai Top of Mind, sekaligus mengikuti kaidah strategi pemasaran Jack Welch dari General Electric. Dia punya filosofi bisnis bahwa produknya harus jadi nomor 1 atau nomor 2 di pasar. Jika lebih dari itu maka akan dilikuidasi.

Fenomena ini sedikit unik, mengingat belakangan ini konten berita Portal Piyungan tidak sejalan dengan garis kebijakan PKS. Khususnya dalam kasus FH, dimana Portal Piyungan memberi ruang yang besar untuk “second opinion”. Toh nyatanya, Portal Piyungan tetap menjadi primadona referensi berita bagi aleg PKS. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari fenomena ini.

Pertama, Kejujuran Hasil Survei
Aleg PKS disurvei tentang sumber preferensi berita dan mereka secara sadar menuliskan Portal Piyungan sebagai sumber beritanya. PKS mengolah dan menampilkan data tersebut apa adanya. Baik aleg maupun PKS sama-sama menghadirkan data riil tanpa beban, tanpa tekanan. Ini tradisi yang baik. Mengingat zaman sekarang banyak lembaga survei yang suka mengutak-atik data survei untuk kepentingan tertentu. Bisa dengan menggiring pertanyaan dan jawaban, merekayasa sampel hingga penyajian data secara tidak utuh.

Jika survei ini diperluas ke kader dan simpatisan, sangat mungkin hasilnya tidak jauh berbeda. Portal Piyungan ada dalam gadget dan termasuk yang paling sering diakses. Bagi para penulis sendiri, ada sedikit kebanggaan saat narasinya di copas oleh Portal Piyungan. Meski prosesnya kadang tanpa permisi dan konfirmasi. Beberapa nama juga melejit karena sering di copas oleh Portal Piyungan seperti halnya Jonru. Tulisan kami juga pernah 4 kali dimuat didalamnya, meski kadang tanpa disertakan nama. 

Sulit dipungkiri bahwa Portal Piyungan sudah menjadi rezim berita yang hegemonik dan superior bagi kader, simpatisan, dan massa akar rumput PKS. Seperti halnya kewajiban pengamat dan pemerhati bola untuk mendengarkan celoteh Jose Maurinho di ajang Premier League. Memang begitulah faktanya.

Kedua, Pilihan Interaksi
Pilihan untuk berinteraksi dengan Portal Piyungan berada di tangan kita sendiri. Para pemerhati dan pengamat mengaksesnya untuk melihat dan memonitor isu. Para aktivis medsos mengaksesnya untuk mencari tambahan sudut pandang berita. Facebooker mengaksesnya untuk berbagi isu dan men-share di media. Beda orang beda motif, karena lain ladang biasanya juga lain belalang. Kita tidak bisa menghukumi mereka yang mengakses Portal Piyungan dengan satu tafsiran tunggal.

Dengan posisinya sebagai pemain bebas, maka Portal Piyungan cenderung independen dalam menghidangkan menu bacaan kepada publik. Lain dengan beberapa portal yang berada dijalur struktur resmi. Meski ada pembatasan, pendiskreditan, dan pemutusan akses, namun Portal Piyungan tetap eksis dan menjadi pemimpin dalam pembentukan opini publik. Lagi-lagi pilihannya ada ditangan kita, apakah mau berjalan beriringan, bermitra, berkompetisi atau saling menegasikan. 

Sebelum kita memutuskan pilihan interaksi, harus dipahami bahwa Portal Piyungan itu lekat dengan citra PKS. Secara sederhana, isi pemberitaannya adalah cermin isi kepala orang PKS atau materi topik diskusi dan orientasi politik orang PKS, baik yang pro maupun kontra. Dititik ini, kita memang harus berhitung cermat dalam berinteraksi dengan Portal Piyungan, apakah menjadi aset bersama atau berstatus sebagai anak nakal yang harus dibuang.

Ketiga, Menu Hidangan
Situs berita biasanya memiliki wartawan di lapangan, redaktur dan editor serta standar kerja jurnalistik. Dalam hal ini, Portal Piyungan memang kurang memadai untuk disebut sebagai situs berita. Karena pola kerjanya yang copas dari situs berita pihak lain atau status opini yang beredar luas di media sosial. Artinya, kabar yang disajikan oleh Portal Piyungan berstatus munqoti atau mursal.

Namun meramu menu berita dengan pola ini juga tidak bisa dianggap remeh. Menyeleksi berita dari banyak laman dan situs dan berbagai macam status di media sosial jelas membutuhkan kerja ekstra. Terlebih dalam beberapa kasus, Portal Piyungan sering menjadi media yang terdepan, tercepat, dan terakurat mengabarkan. Meski sering pula akhirnya harus mengklarifikasi berita. Kurang rapi, meski itu masih tetap lebih baik ketimbang situs online yang secara sadar membuat berita yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak mau melakukan klarifikasi. Ini menjadi titik lemah Portal Piyungan yang harus dibenahi jika ingin tampil menjadi media yang berkelas.

Banyaknya situs berita juga membuat masyarakat pusing dan pening. Masih ingat konsep The Battle of Your Mind dari Hermawan Kertajaya kan? Jadi, adanya situs yang merangkum dan menyajikan beragam berita dari beberapa situs akhirnya menjadi alternatif utama. Lebih praktis untuk membaca rangkuman, ketimbang harus membuka satu persatu situs berita. Menghabiskan banyak waktu serta membuat kita jadi kurang produktif. Jika ingin berkompetisi dengan Portal Piyungan, sebaiknya bermain pada konsepsi yang serupa juga.

Khotimah
Keberadaan Portal Piyungan tidak bisa diingkari, posisinya sebagai rezim hegemonik di komunitas PKS juga sulit dipungkiri. Tercampur dalam Portal Piyungan berita yang shohih dan yang dhoif. Termuat didalamnya tulisan dari para asatidz maupun pihak eksternal dan bahkan akun anonim. Hal terbaik (menurut hemat kami) adalah dengan meningkatkan kedewasaan kader dalam mencerna berita. Dan ini berlaku umum, baik untuk Portal Piyungan maupun situs berita lainnya. Wallohu a’lam

Eko Junianto, ST

Minggu, 15 Mei 2016

Tanpa Ta'dib, Sekolah Berasrama Ibarat Rumah Kost Belaka

Kita dapat lebih mudah memacu prestasi anak di sekolah berasrama karena lingkungan yang terkendali sepenuhnya. Tetapi jika tidak memperoleh perhatian memadai, anak akan lebih mudah merasa bosan. Dia merasa tidak nyaman. Feel bad. Merasa sekolah berasrama sebagai tempat yang buruk. Lebih-lebih jika iklim yang berkembang di kamar asrama maupun kelas tidak baik. Berprestasi terbebani, sedikit berkekurangan terpojokkan.

Sebaik apa pun fasilitas yang tersedia, jika faktor yang paling menentukan kenyamanan emosi itu terabaikan, anak tidak betah di asrama. Lebih buruk lagi jika terdapat dua penguat; bullying oleh senior maupun sebaya, terutama secara emosi, serta penguatan kebosanan berasrama. Kerapkali, bullying secara emosi "lebih melumpuhkan" daripada gangguan secara fisik.

Yang saya maksud penguatan kebosanan berasrama ini adalah kecenderungan pembicaraan yang merangsang anak semakin tidak betah di pondok. Ini dapat kita ketahui dari pembicaraan langsung antar anak, maupun ungkapan anak di status facebook mereka. Sampai ada istilah penjara suci atau istilah yang lebih buruk daripada itu.

Jika ini terjadi, sulit berharap anak akan menghayati dan bangga dengan prinsip-prinsip dien yang mereka terima. Paham, tapi tak menghayati. Inilah yang justru perlu kita khawatiri. Berpengetahuan luas tapi tak meyakini dengan kuat justru dapat menjadi benih nifaq (kemunafikan). Na'udzubillahi min dzaalik.

Maka, sekolah berasrama (pondok pesantren) harus benar-benar memperhatikan hal ini. Salah satu pilar penting mewujudkannya adalah ta'dib (pendidikan adab). Ta'dib di awal masuk pesantren (sekolah berasrama) dan dikuati hingga lulus, menjadi landasan penting menumbuhkan iklim positif santri.  Ta'dib inilah hal penting yang perlu kita perhatikan saat mencari sekolah berasrama (pesantren). Bukan semata prestasi akademik. Tanpa ta'dib yang kuat, pesantren atau sekolah berasrama (boarding school) tak ubahnya sekedar tempat kost sangat besar yang dilengkapi sarana belajar. Tidak lebih.

Salah kesalahan asumsi umum yang belakangan muncul adalah, pemahaman itu penanda keyakinan. Padahal kita telah melihat sangat banyak contoh, betapa pemahaman yang baik tidak sama dengan keimanan dan ketundukan kepada agama Alloh subhanahu wa ta'ala. Tidakkah kita lupa bahwa mereka yang liberal dan menginjak-injak agama ini justru banyak yang memiliki pengetahuan luas tentang agama? Mereka fasih membaca kitab, luas pengetahuannya, tapi hampir-hampir tak ada iman di hatinya atau bahkan telah hilang sama sekali.

Menekankan pendidikan agama kepada pembelajaran secara kognitif dan menjadikannya sebagai tolok ukur penting justru sangat tidak bersesuaian dengan tradisi keilmuan Islam. Menegakkan adab dulu sebelum memacu kemampuan kognitif murid.

Contoh heroik tentang pendidikan adab (ta'dib) adalah pengalaman Imam Ibnu Qosim rohimulloh, salah satu murid senior Imam Malik bin Anas rohimahulloh. Mari renungi perkataan Imam Ibnu Qosim rohimahulloh sebagaimana termaktub dalam Tanbihul Mughtarrin seraya memikirkan ulang arah pendidikan kita, "Aku telah mengabdi kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Dari masa itu, 18 tahun aku mempelajari adab sedangkan sisanya 2 tahun untuk belajar ilmu."

Inilah tradisi generasi awal Islam yang cemerlang; tradisi yang berakar pada bagusnya keyakinan dan keta'atan kepada dienul Islam ini. Inilah generasi yang tidak tergesa-gesa menjadikan anak segera tampak pandai, lalu fasih bertutur, padahal iman belum berakar di hati. Inilah masa ketika para 'ulama sangat berhati-hati. Mereka menguati fondasi terlebih dahulu sehingga saat belia, anak-anak justru haus ilmu.

Sungguh, tanpa pendidikan adab (ta'dib) yang baik, terlebih perhatian dan kedekatan hubungan guru-murid rendah, akan mudah berontak dari pesantren. Mereka merasa sekolah berasrama sebagai tempat pembuangan yang tidak menyenangkan, sehingga mencari pelarian-pelarian. Inilah yang mengkhawatirkan,

Meski demikian, yang paling perlu kita khawatiri bukanlah larinya mereka dari pesantren atau boarding school; baik secara fisik maupun pikiran serta hatinya saja yang lari dari pesantren. Yang lebih mengkhawatirkan justru jika mereka fasih bicara, bagus tutur katanya, tapi jelek amalnya, kosong imannya.

Mari kita renungi peringatan Rosululloh shollallohu `alaihi wa sallam:

سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي اخْتِلَافٌ وَفُرْقَةٌ قَوْمٌ يُحْسِنُونَ الْقِيلَ وَيُسِيئُونَ الْفِعْلَ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ عَلَى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ طُوبَى لِمَنْ قَتَلَهُمْ وَقَتَلُوهُ يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِي شَيْءٍ مَنْ قَاتَلَهُمْ كَانَ أَوْلَى بِاللَّهِ مِنْهُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا سِيمَاهُمْ

"Akan ada perselisihan dan perseteruan pada umatku; terdapat suatu kaum yang memperbagus ucapan dan memperjelek perbuatan (buruk akhlaknya). Mereka membaca Al-Qur'an namun tidak sampai melewati kerongkongan. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya, dan mereka tidak akan kembali lagi hingga anak panah kembali ke busurnya. Mereka adalah seburuk-buruk manusia. Maka beruntunglah orang yang membunuhnya dan orang yang mereka bunuh. Mereka mengajak kepada Al Qur'an, tetapi mereka sendiri tidak termasuk darinya sedikit pun. Siapa memerangi mereka, maka yang demikian lebih mulia di sisi Alloh." (HR. Abu Dawud).

Apa yang perlu kita renungkan terkait pembicaraan kita saat ini? Betapa pentingnya meletakkan landasan iman dan adab yang kuat sebelum mengajarkan Al-Qur'an kepada anak dan menghafalkannya. Iman dan adab merupakan dua hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Ia mendahului sekaligus tetap menyertai pembelajaran Al-Qur'an hingga masa-masa berikutnya.

Menghafal tanpa memahami kandungan Al-Qur'an, memahami tanpa meyakini dan meletakkan penghormatan yang sangat tinggi terhadap ayat-ayat Alloh Ta'ala, dapat menggelincirkan mereka ke dalam kerusakan yang sangat besar. Boleh jadi mereka hafal Al-Qur'an, tetapi yang mereka yakini dengan sebenar-benar keyakinan bukanlah Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dan ini merupakan petaka besar. Na'udzubillahi min dzaalik.

Sebagai penutup, mari kita ingat firman Alloh subhanahu wa ta'ala:

فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم

"Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari syaitan yang terkutuk." (QS. An-Nahl [16]: 98).

Bahkan membaca Al-Qur'an pun, kita diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada Alloh Ta'ala (isti'azhoh) dari godaan setan. Maka, apakah kita mengira hafalan dan pemahaman saja telah cukup untuk menjadikan anak-anak kita di sekolah berasrama (boarding school) bagus wataknya serta kokoh imannya? Tidak cukup. Sungguh tidak cukup. Penentunya bukan pada luasnya pengetahuan kognitif. Apalagi jika pengetahuan pun pas-pasan.

Cobalah tengok sejenak anak-anak kita. Adakah mereka membawa semangat dan idealisme saat pulang? Ataukah masa dua minggu saja telah cukup untuk meruntuhkan apa yang disangkakakan sebagai idealisme dan adab yang dibangun sekolah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun?

Ini anak kita; anak kandung atau pun anak-anak ideologis pelanjut perjuangan dakwah ini. Pikirkan. Setiap anak yang diamanahkan kepada kita, di rumah maupun sekolah, menjadi tanggung-jawab kita untuk mendidik mereka dengan sungguh-sungguh, membekali jiwa mereka dengan iman yang kuat dan berusaha sekuat tenaga menutup pintu-pintu kemunafikan agar kepandaian mereka tidak justru membawa kepada kekhawatiran Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:

"إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ أُمَّتِيْ كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمِ اللِّسَانِ"

"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah setiap munafik yang pandai bersilat lidah." (HR Ahmad).

Mohammad Fauzil Adhim

Sabtu, 14 Mei 2016

Remaja Tanpa Krisis Identitas

MITOS besar itu adalah remaja merupakan masa krisis identitas. Kita manggut-manggut dan percaya, lalu memberi toleransi yang sebesar-besarnya terhadap berbagai perilaku yang tidak patut. Alasannya? Mitos lagi: remaja sedang mencari identitas diri. Lho, memangnya identitas mereka ketinggalan dimana? Jika hilang, apa sebabnya identitas diri mereka hilang begitu memasuki usia remaja? Jika mereka belum memiliki identitas diri yang jelas, pertanyaan serius yang perlu kita jawab adalah, “Apa saja yang kita kerjakan selama bertahun-tahun sehingga membiarkan anak-anak kita memasuki usia remaja tanpa memiliki identitas diri yang jelas?” Apa akibat serius mempercayai mitos ini? Pertama, kita abai terhadap keharusan menyiapkan anak-anak kita agar memiliki identitas diri yang kuat semenjak usia kanak-kanak. Kita abai karena menganggap belum masanya, sehingga mereka benar-benar mengalami krisis identitas saat memasuki usia remaja.

Mereka mengalami krisis karena kita memang mengabaikan tanggungjawab untuk menumbuhkan, menyemai, dan menguatkan. Kedua, tanpa identitas diri yang kuat, anak lebih mudah terpengaruh teman sebaya. Bukan bersibuk mengejar apa yang menjadi tujuannya karena ia memang belum memilikinya secara kuat. Ini pun menyisakan pertanyaan penting, yakni mengapa ada anak yang mudah terpengaruh oleh temannya, sementara yang lain justru menjadi sumber pengaruh. Ketiga, dalam kondisi tak memiliki identitas diri yang kuat, remaja cenderung mengidentifikasikan diri dengan sosok yang dianggap besar. Inilah idolatry (pemujaan, pengidolaan).

Siapa yang mereka idolakan? Tergantung kemana media membawa mereka dan apa yang paling membekas dalam diri mereka. Dan hari ini, media sedang bergerak menjadikan artis, atlet, dan siapa pun menjadi idola. Kita tak mengenal mereka, kita tak mengetahui akhlaknya (atau justru sudah sampai pada tingkat tidak mau tahu), tetapi media menggambarkan mereka sebagai sosok luar biasa, sehingga remaja dapat mengalami histeria karena memperoleh apa-apa yang berhubungan dengan idola. Rasanya, “sesuatu banget” (gue banget).

Masalahnya adalah, orang-orang yang mereka idolakan itu tidak memberi arah hidup yang jelas. Kita hanya memperoleh info sepotong-sepotong. Dan masalah yang jauh lebih serius, sosok tersebut bahkan tidak memiliki integritas pribadi yang dapat diandalkan. Apatah lagi kalau kita bertanya tentang keteguhan iman dan kelurusan aqidah…. Jadi, ada dua hal penting yang perlu kita benahi dalam diri kita dalam masalah remaja. Pertama, mengoreksi diri sendiri agar tidak menganggap remeh persoalan-persoalan yang muncul pada para remaja sebagai kewajaran. Kaidah pentingnya, tidak akan muncul masalah jika tidak ada yang salah. Begitu kita mengabaikan, maka kita tidak cepat tanggap sehingga persoalan dapat berkembang sedemikian jauh.

Kita menganggap biasa persoalan yang seharusnya diselesaikan segera. Kedua, menyiapkan anak-anak memasuki masa remaja semenjak mereka masih kanak-kanak. Ini bukan terutama dengan memberi keterampilan atau mengasah kecerdasan. Tetapi yang jauh lebih penting adalah: membangun orientasi hidup yang jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi belajar. Lebih lengkap lagi jika semenjak awal anak diajak untuk mengenali diri sendiri dan menerima sepenuhnya kelebihan maupun kekurangannya. Hanya membekali anak dengan keterampilan dan kemampuan akademik maupun kesenian, tidak menjadikan mereka memiliki arah hidup yang jelas.

Mereka tak mempunyai pegangan yang kokoh. Boleh jadi mereka cerdas, tapi tanpa orientasi yang kuat memudahkan mereka mengalami krisis kepribadian (salah satunya krisis identitas) begitu mereka memasuki masa remaja atau bahkan sebelum itu. Nah, mari kita bertanya, siapakah yang salah jika remaja bermasalah sementara kita hanya bekali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan saja saat kanak-kanak? Mengenali dan menerima sepenuhnya kelebihan dan kekurangan ini sangat penting bagi anak agar tidak minder tatkala berada di tengah-tengah teman sebaya.

Jika pengenalan diri ini disertai dengan empati (dan ini perlu kita tumbuhkan dalam diri mereka, bukan hanya berharap) anak akan lebih mudah menghargai orang lain, ringan hati memberi tahniah (ucapan selamat) saat ada teman yang meraih prestasi, dan ringan langkah membantu temannya yang lemah. Dalam lingkup kelas, ini memudahkan pembentukan iklim kelas yang positif (positive classroom climate) dimana yang cemerlang akan berkembang, sementara yang lemah akan memperoleh dukungan dari teman sekelas untuk mengatasi kelemahannya. Mereka merasa menjadi “satu keluarga”. Inilah yang agaknya kerap terlalaikan dari sekolah-sekolah kita.

Pertanyaannya, bukankah buku-buku psikologi modern menyatakan bahwa krisis identitas sebagai keniscayaan? Ya. Dan inilah akibat arogansi Amerika yang menganggap fakta di negerinya sebagai realitas yang berlaku untuk warga seluruh dunia. Padahal di banyak negara, terutama negeri-negeri timur, remaja tidak mengalami itu. Yang menarik kita perhatikan, remaja di Timur Tengah tak mengalami krisis identitas sampai negeri mereka mengadopsi model pendidikan a la Amerika. Lebih lanjut, silakan baca buku The 50 Great Myths in Popular Psychology. Empat Sebab Kenakalan Di luar masalah krisis identitas, bisa saja remaja maupun anak-anak melakukan perilaku yang tidak patut secara sengaja. Ada empat sebab anak bertindak demikian.

Pertama, anak melakukan tindakan-tindakan tidak menyenangkan tersebut untuk memperoleh perhatian. Dalam hal ini, yang dapat kita lakukan adalah menunjukkan kepada mereka apa yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh perhatian. Di samping itu, kita berusaha memberi perhatian yang memadai. Kedua, anak bertingkah karena motif kekuasaan, yakni mereka bertingkah untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat dipaksa. Anak semacam ini dapat “dikendalikan” antara lain dengan memberinya tanggung-jawab mengatur.

Ketiga, anak bertingkah sebagai balas dendam. Tindakan dilakukan untuk maksud menyakiti hati (orangtua atau guru) dan bahkan sampai ke taraf ingin mempermalukan. Anak tak peduli risiko yang dihadapi. Keempat, anak bertingkah karena merasa dirinya tidak akan berhasil. Ia merasa pasti gagal. Maka, untuk menjadikan kegagalan (yang belum tentu menimpanya) sebagai hal yang wajar terjadi, ia justru nakal. Dalam hal ini, kenakalan terjadi untuk “menghindari kegagalan”.

Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengetahui secara tepat apa yang menjadikan anak melakukan kenakalan. Ada empat sebab, tetapi hanya ada satu yang benar-benar mendorong anak bertingkah tidak patut; apakah untuk mencari perhatian, kekuasaan, balas dendam atau menghindari kegagalan. Mengetahui sebabnya dengan pasti memudahkan kita mengambil langkah penanganan. ‘Alaa kulli haal, kitalah yang bertanggung-jawab mengantarkan anak-anak memasuki masa remaja dengan orientasi hidup yang jelas, tujuan hidup yang kuat serta orientasi belajar yang mantap. Jika anak-anak menampakkan gejala melakukan kenakalan, kita perlu berbenah agar anak tak salah arah.

Terakhir…. Ada satu pertanyaan serius. Anak-anak kita telah tampak kehebatannya saat usia TK atau SD kelas bawah. Mereka sudah pandai membaca dan terampil berhitung, di saat teman-temannya yang di Jepang dan berbagai negara lain bahkan belum mampu mengeja. Tetapi, mengapa para remaja di Jepang mencapai kegilaannya belajar setelah memasuki SLTA dan terutama saat kuliah? Sementara anak-anak di negeri kita yang semata wayang ini justru memperoleh kemerdekaan sebesar-besarnya setelah lulus SLTA. Sekolah menjadi penjara, sehingga kelulusan mereka rayakan dengan hura-hura!

Mohammad Fauzil Adhim

Selasa, 10 Mei 2016

Membangun Kepercayaan Murid Kepada Guru

TRUST –Kepercayaan adalah unsur paling penting yang harus ada dalam hu-bungan murid dengan guru. Jika murid tidak memiliki kepercayaan yang bulat dan mendalam kepada gurunya, maka sebaik apa pun kemampuan guru menguasai materi, tak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan pendidikan. Murid mungkin menguasai mata pelajaran dengan baik, tetapi ia tidak berhasil membangun jiwanya. Kualitas pribadinya tidak berkembang dan ketaatannya pada nilai-nilai yang dibangun oleh guru hanya berlaku selama guru tersebut masih memiliki kepribadian.

Agar anak-anak yang mewarisi masa depan ini mampu menjadi pemimpin yang mendasarkan pada kebenaran, bertumpu pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kepercayaan yang mutlak, mereka harus memperoleh pengalaman pendidikan yang di dalamnya terdapat iklim kepercayaan yang kuat terhadap guru. Mereka kita siapkan dalam lingkungan yang memiliki penghormatan dan adab yang tinggi terhadap guru.

Menancapnya kepercayaan yang kuat dalam dada setiap murid –bukan sekadar siswa— akan melahirkan dorongan untuk melihat, mendengar, meniru, dan menghayati setiap tutur dan perilaku guru. Mereka memiliki sikap positif terhadap guru, mencintainya dan menjadikannya sebagai figur teladan. Jika guru mengembangkan hubungan yang hangat dan empatik, maka para murid akan mengarahkan diri mereka masing-masing untuk siap memerhatikan dan mematuhi setiap yang mereka dengar dari gurunya.

Itu berarti, sekiranya guru tidak memiliki keterampilan mengajar yang memadai, sementara kualitas pribadi sebagai figur yang layak diteladani dan dipercaya mampu menjalin kedekatan emosi dengan murid, maka proses pembelajaran dan pendidikan akan tetap berlangsung efektif. Kata-kata guru akan tetap berpengaruh kuat pada diri murid meski suara mereka lemah dan cara penyampaiannya tidak atraktif.

Artinya, mengajar (ta’lim) sebagai proses transfer ilmu hanya bagian permukaan dari keseluruhan kegiatan mendidik di sekolah.

Jika ini terjadi, insya Alloh, guru mampu mengelola para muridnya di kelas secara mandiri dan efektif. Tidak perlu dua orang guru untuk mengelola satu kelas yang terdiri dari 40-50 orang murid di dalamnya, sekalipun untuk SD kelas bawah.

Apa jumlah murid sebanyak itu tidak menciptakan keributan? Jawabnya sederhana. Jika kelas tidak efektif, 24 murid dengan 2 guru sekalipun tetap menghasilkan kegaduhan. Sebaliknya kelas besar yang efektif akan menciptakan iklim pembelajaran yang sangat kondusif dan dinamis. Chua Chu Kang, sebuah sekolah dasar di Singapura menerapkan pembelajaran kelas besar dan hasilnya… luar biasa, baik dari segi karakter maupun kompetensi.

Artinya, bukan rasio guru-murid yang menjadi faktor penentu utama keberhasilan kelas. Rasio guru-murid 1:10 tidak menunjukkan kualitas apa pun bagi sebuah sekolah jika guru tidak memiliki kemampuan dipercaya (trustworthiness) yang tinggi dan kualitas hubungan yang hangat. Sama seperti laboratorium bahasa atau komputer, kehadirannya tidak serta merta menjadikan sekolah memiliki kualifikasi tinggi jika perubahan fisik tidak disertai dengan perubahan paradigma dan cara berpikir.

Itu sebabnya, perlu kerjasama yang baik antara guru dan orangtua agar setiap murid memiliki tingkat kepercayaan (trust) tinggi pada guru. Sebagaimana murid, para orangtua juga harus menjalani, menghormati dan menjaga adab sebagai orangtua murid terhadap guru selaku murobbir ruh (pendidik dan penata jiwa) serta sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan para murid untuk menjadi orang yang berilmu, gemar mencari ilmu, suka beramal sholih dan memiliki rasa tanggung-jawab untuk senantiasa mengingatkan saudaranya agar menetapi kebenaran. Apa pun yang dilakukan oleh guru dan sekolah, orangtua tidak boleh protes dan menunjukkan celaan di hadapan anaknya. Sebaliknya, orangtua justru harus menjadi penengah yang membantu anak memahami guru dan sekolah, atau memberi perspektif positif pada diri anak dalam memandang guru maupun sekolah.

Ini bukan berarti tak ada jalan bagi orangtua untuk memperbaiki dan bahkan mengoreksi guru secara total –jika memang harus terjadi. Tetapi upaya untuk mengingatkan, menasihati, dan memperbaiki guru maupun sekolah harus dilakukan dengan cara yang santun, menjaga kredibilitas guru dan sekolah, serta memerhatikan waktu dan tempat yang tepat. Dalam hal ini, sekolah bisa memfasilitasi dengan menyediakan forum dan sarana bagi orangtua untuk menyampaikan kritik, teguran dan masukan.

Nah.
Jika orangtua harus menjaga tingkat kepercayaan anak terhadap guru, maka guru pun memiliki tugas untuk menumbuhkan kecintaan, kepercayaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap orangtua pada diri setiap murid. Upaya ini, insya Alloh, jauh lebih efektif dibanding jika masing-masing menyibukkan diri untuk mengingatkan murid agar menghormati diri. Perintah guru agar anak menghormati orangtua jauh lebih didengar daripada perintah untuk menghormati guru itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, iklim penghormatan terhadap guru yang berkembang di rumah lebih mudah membangkitkan kepercayaan dan ketaatan. Wallohu a’lam bish-showab.

Menghargai, menyambut dengan hangat ujaran dan nasihat, bergairah, dan menghormati gagasan dan pendapat guru merupakan pilar kedua keberhasilan pendidikan di sekolah. Kita lebih mudah menerima, menyerap, mencerna, dan memahami apa yang diajarkan kepada kita apabila ada rasa hormat yang amat dalam pada diri kita terhadap sang pengajar, yakni guru.

Itu berarti, sebelum berbincang tentang kompetensi guru atas materi yang diajarkan serta keterampilan dalam mengajarkan di kelas, kita harus lebih dulu membangun sikap hormat pada setiap diri murid. Jika iklim penghormatan terhadap guru muncul, insya Alloh, akan mudah bagi sekolah untuk menumbuhkan dua iklim berikutnya, yakni motivasi dan belajar. Artinya, motivasi sudah merupakan bagian dari iklim sekolah. Bukan hanya kegiatan yang dilakukan pada waktu tertentu.

Tumbuhnya iklim penghormatan (respect climate) di sekolah menjadikan pembelajaran di kelas maupun luar kelas sebagai proses yang menyenangkan. Ada keinginan yang kuat pada diri murid untuk secara terus menerus menemukan pengalaman belajar. Mereka juga belajar membangun kompetensi personal berupa kemampuan menghargai diri, menilai diri, mengendalikan diri, serta menghargai orang lain. Jika suasana ini berkembang secara berkesinambungan, maka setiap murid dapat menjadi penguat bagi murid lain. Di sinilah gairah belajar yang sesungguhnya akan tercipta. Di sinilah pembelajaran yang mandiri akan terbangun.

Pada tingkat ini, keterampilan mengajar yang kurang memadai menjadi ”tidak terlalu mengganggu”. Tentu saja bukan berarti guru boleh mengabaikan aspek ini. Justru sebaliknya, guru harus terus- menerus mengembangkan kemampuan mengajar agar lebih komunikatif. Ingat, salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah tabligh (komunikatif) .

Nah, aspek yang sangat menentukan bagi tumbuhnya sikap respect murid terhadap guru adalah kepercayaan yang bulat. Ini berarti, menumbuhkan rasa hormat murid terhadap guru harus berbarengan dengan upaya membangun kepercayaan. Secara terus menerus kita perlu membangun dan menjaganya, meski guru tersebut sudah tidak lagi mengajar anak-anak kita.

Terakhir, adalah ikatan emosi antara murid dan guru. Ruang kelas yang bisa kita sediakan bagi murid-murid kita mungkin tak begitu nyaman. Tapi bila terdapat hubungan emosi yang sangat hangat dan kuat, maka apa pun bentuk ruangan kelasnya, pembelajaran akan senantiasa terasa menyenangkan. Wallohu a’lam bish-showab.

Mohammad Fauzil Adhim

Pilar Itu Bernama Adab

Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan dan bahkan tata-krama maupun temperamen. Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat kita tempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun sekolah?

Apa perbedaan antara karakter dan kebiasaan? Karakter itu serangkaian kualitas pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Ia menuntut adanya penghayatan nilai, proses mengindentifikasikan diri dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang diyakini dan pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap dan sulit diubah, tetapi bukan berarti sekali terbentuk tak mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk—melahirkan berbagai perilaku. Tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat sertamerta kita katakan sebagai karakter.

Nah, perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk kebiasaan, meskipun sebagian hanya menjadi perilaku berulang (repeated behavior), yakni manakala perulangan perilaku tersebut terjadi semata karena takut terhadap ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya hilang.

Ini perlu kita perhatikan agar kita tidak cepat-cepat merasa puas tatkala melihat perilaku anak-anak kita. Jangan sampai kita mengira anak-anak telah memiliki kebiasaan yang baik, padahal cuma perilaku berulang semata. Tidak lebih.

Ada pelajaran di sini. Karakter itu tidak terlepas dari keyakinan dan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya, tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Sederhananya begini. Orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik. Apalagi jika sekadar tersenyum. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang menakutkan.

Lalu darimana kita memulainya? Izinkan saya menengok apa yang ditulis oleh para ulama kita. Mengapa? Karena dalam perbincangan tentang karakter, saya sangat kesulitan menemukan sosok yang dapat menjadi model panutan. Padahal ketika kita berbincang tentang budaya karakter, role model (sosok panutan) merupakan salah satu pilar penting. Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok panutan? Padahal kita tahu, Bapak Pendidikan Karakter ini justru matinya mengenaskan. Ia mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.

Lalu istilah apa yang bersesuaian dengan karakter? Sepanjang yang saya pahami, istilah Islam yang terdekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah batin. Ini menarik untuk kita cermati, sebab ketika kita memaksudkannya sebagai aspek lahiriyah, ia adalah kholq. Begitu Ibnu Manzhur menuturkan. Ia menunjukkan bahwa khuluq –terpuji maupun tercela— akan tercermin dalam kholq yang berupa perilaku dan sifat-sifat lahiriyah. Ini berarti pula bahwa yang harus kita perhatikan bukan hanya perilaku yang tampak, tetapi apa-apa yang darinya tercermin dalam bentuk perilaku.

Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghozali menulis dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, “Akhlak merupakan ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu berpikir panjang dan banyak pertimbangan.”

Agar tak salah arah, marilah kita tengok pendapat dari Imam Qurthubi rohimahulloh (600–671 H/1204–1273 M). Menurut Imam Qurthubi, akhlak adalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya.

Dalam peristilahan sekarang, adab meliputi manner & etiquettes (tata krama & etiket). Ia bukan sekadar serangkaian perilaku. Di dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses pembentukan adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni menumbuhkan sikap batin yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang terkait, menanamkan ilmu sehingga perilaku yang muncul sebagai kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi serta menunjukkan fadhilah dari adab tersebut.

Wallohu a’lam bishowab.

Dalam Ta’limul Muta’allim karya Syaikh Burhanuddin Az-Zurjani, adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses pembentukan adab (ta’dib) merupakan tahap penting menyiapkan murid menuntut ilmu sekaligus menumbuhkan akhlak mulia dalam diri mereka. Adab merupakan pilarnya dan keyakinan pada dien merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat afektif. Bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya. Sebaliknya tanpa menyadari dan meyakini, pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai ke perilaku.

Nah, yang terjadi sekarang, begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Tak ada proses membentuk adab pada diri mereka sehingga tak ada kesiapan belajar, pun tak ada bekal awal untuk membentuk akhlak dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta merta mereka harus belajar untuk tujuan akademik sebelum sikap dan motivasi belajar mereka dibangun. Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang terencana; dari segi mental mereka punya motivasi akademik yang baik, sedangkan dari aspek tata krama dan etiket mereka memiliki kesiapan belajar. Bagusnya memudahkan belajar secara akademik, memudahkan pula pembentukan akhlak.

Menarik untuk kita renungkan bahwa Rosululloh Shollallohu ’alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tetapi apakah yang dilakukan di masa awal risalah dakwahnya? Bukan akhlak yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah!

Apa artinya?
Akhlak merupakan cerminan keyakinan yang telah melekat kuat dalam jiwa. Bukan karena bagusnya pemahaman, tetapi karena kuatnya penghayatan. Ia menyandarkan diri pada nilai-nilai tersebut dan berusaha secara sengaja bertindak dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai apa yang ia imani. Boleh jadi seseorang adakalanya bertindak yang tidak sesuai dengan keyakinannya, tetapi ia melakukannya bukan dengan ringan hati. Ia tetap mengingkari perbuatannya dan berusaha agar sesuai dengan dien.

Ada yang perlu kita renungkan tentang pendidikan anak-anak kita. Ada yang harus kita kaji kembali apakah sekolah-sekolah kita sudah melaksanakan proses ta’dib secara sadar, sengaja dan terencana. Jika ta’dib pun tidak, nyaris tak ada yang bisa kita harapkan. Dan ini merupakan tanggung-jawab seluruh unsur sekolah, terlebih guru yang setiap hari bertemu anak-anak. Jika adab hanya menjadi tanggungjawab guru yang mengampu mata pelajaran terkait agama dan budi pekerti, maka ketahuilah bahwa di sekolah tersebut tak ada pendidikan. Ia hanya lembaga kursus yang bernama sekolah. Dan ini bukan pendidikan yang sebenarnya (the real education).

Semoga bulan depan kita dapat bertemu kembali untuk membincang ruang lingkup adab. Insya Alloh. Doakan saya.

Inside teks (inspiring word):
Adab merupakan pilarnya dan keyakinan pada dien merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat afektif. Bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya.

Mohammad Fauzil Adhim

Sekolah yang Mendidik

Mengajarkan kepada anak untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku baik tidak cukup untuk melahirkan anak-anak yang baik. Apalagi sekadar membiasakan anak dengan kebaikan, tidak cukup untuk menjadikan sebuah sekolah dianggap sebagai sekolah yang baik.

Ada hal lain yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Ada budaya sekolah, iklim kelas yang mendukung anak untuk senantiasa berpikir, bersikap, dan berperilaku baik, guru-guru yang memiliki perhatian total serta kecintaan terhadap tugas mendidik, dan orangtua yang memiliki kepercayaan tinggi (trust) terhadap sekolah.

Khususnya poin terakhir, ini menuntut sekolah untuk mampu menjadi lembaga yang memiliki tingkat kelayakan untuk dipercaya yang sangat kuat. Tanpa itu, tidak bisa membangun kepercayaan dari orangtua meskipun sekolah sudah berkali-kali menyelenggarakan acara untuk meningkatkan reputasi sekolah di mata orangtua.

Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.

Sekolah merasa senang terhadap niat baik orangtua meskipun boleh jadi apa yang disampaikan orangtua tidak tepat. Sekolah merasa senang karena melihat iktikad baik orangtua, sehingga sekolah tidak sibuk membela diri.

Sesungguhnya lembaga yang memiliki integritas sangat tinggi lebih mencintai kebaikan –termasuk di dalamnya niat baik orangtua— sekaligus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya di sekolah. Ia lebih suka untuk menambah kesempatan berbenah. Sebaliknya, sekolah yang kehilangan visi akan sibuk membangun reputasi. Caranya dengan menciptakan prestasi, pengakuan dan rekam jejak yang positif.

Di luar itu, ada sekolah-sekolah yang buruk, meskipun di luar tampak sangat baik. Sekolah jenis ini bukan membangun reputasi, tetapi melakukan pencitraan melalui prestasi yang tampaknya memukau. Padahal prestasi tersebut bukan merupakan hasil jerih-payah sekolah, atau prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas inti sekolah, yakni pendidikan. Bukan tidak boleh berprestasi dalam bidang olahraga dan seni. Tetapi tanpa prestasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok sekolah, berbagai gelar tersebut tak ada nilainya.
Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?

Pertama, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan wakil-wakilnya (principalship) beserta lembaga yang mengelola. Kedua, totalitas mendidik dari para pengajar. Ini tampak dari tinggi rendahnya passion (kegairahan mengajar yang sangat tinggi) dari para guru yang meliputi kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, kecintaan yang sangat besar terhadap anak didik, obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para siswanya menjadi manusia ideal dan terikat secara emosi dengan cita-cita tersebut, memiliki kesediaan meluangkan waktu untuk memperhatikan para siswanya dan sekaligus memiliki kemauan belajar dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan maupun kualitasnya sebagai guru.

Sesungguhnya, unsur yang ada pada passion antara lain mencakup obsesi, antusiasme, dan ikatan emosi yang kuat sehingga bersemangat (zeal) dengan apa yang digeluti. Jika tiga hal tersebut tidak ada, hampir pasti guru tidak memiliki kegairahan (passion) sebagai pendidik.

Tetapi, tanpa kesediaan untuk belajar, guru akan jumud atau bahkan frustasi meskipun ia memiliki obsesi, entusiasme, dan semangat yang menyala-nyala (zeal) disebabkan adanya ikatan emosi yang kuat.

Masalahnya adalah, guru-guru semacam itu sulit sekali kita peroleh melalui proses rekrutmen terbuka. Yang paling memungkinkan adalah melalui proses pencarian dan pendekatan kepada orang-orang yang memenuhi kriteria agar mereka bersedia menjadi guru. Masing-masing membawa konsekuensi bagi sekolah.
Nah.

Kemitraan Sekolah dan Orangtua
Sekolah yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia. Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut, sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh lembaga.

Sekolah yang mudah ikut arus, menuruti kemauan “pasar”, dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga yang misi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.

Ini bukan berarti sekolah mengabaikan peran orangtua. Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran, pembiasaan, dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Tetapi sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan orangtua.

Di samping itu, sekolah juga harus menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua –termasuk guru— secara alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara pandang sama. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khoththob, ‘Ali bin Abi Tholib, dan Utsman bin ‘Affan rodhiyallohu ‘anhum ajma’in merupakan Sahabat utama yang penuh kemuliaan, dan kholifah yang mendapat petunjuk (khulafaur rosyidin). Tetapi mereka masing-masing memiliki kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.

Itu Sahabat utama rodhiyallohu ‘anhum. Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini. Maka, bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah. Jenjang pendidikan berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat dan latar belakang sekolah sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah punya anak.

Orangtua tidak memiliki persiapan khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang memang sedari awal –seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para murid, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di rumah.

Lalu apa harus sama antara sekolah dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Ini merupakan tugas sekolah untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar bersama-sama anak menghormati, memuliakan dan merasa bangga dengan nilai-nilai itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai tersebut dimana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka bangga. Wallohu a’lam bish-showab.

Mohammad Fauzil Adhim

Sekolah yang Aneh

Bagaimana mungkin kita bicara cara (metode), tetapi tidak jelas apa tujuannya. Sangat mengherankan kalau kita sibuk berbicara tentang metode pembelajaran, tetapi belum merumuskan apa yang ingin kita hasilkan dari pembelajaran itu. Sama anehnya dengan pembicaraan yang riuh rendah tentang kurikulum, tetapi tidak ada pembicaraan tentang lulusan seperti apa yang ingin kita hasilkan dan mengapa itu kita perlukan.

Banyak guru yang terbiasa menuliskan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus dari materi yang diajarkan, tetapi sedikit sekali yang mampu merumuskan sendiri. Padahal, sangat berbeda antara menuliskan dengan merumuskan. Seorang guru yang hanya menuliskan, hampir pasti hanya mengajarkan materi yang ada tanpa mampu mengantarkan peserta untuk untuk benar-benar memahami. Atau mereka memahami yang sepotong, tetapi sulit melihat gambarannya secara keseluruhan. Akibatnya, pembelajaran di kelas hanya menyiapkan murid untuk mampu menjawab pertanyaan, mengerjakan soal, dan menyebutkan kembali apa yang telah diterima. Mereka memiliki kemampuan (ability) untuk mengerjakan soal-soal, tetapi tidak memiliki kompetensi. Sepintas sama, tetapi sangat berbeda antara keduanya.

Tanpa memahami yang umum (mujmal) dari yang rinci, sebagaimana memahami yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), maka proses pembelajaran akan cenderung terjebak pada cara. Tidak ada kreativitas, tidak ada inovasi. Yang lebih parah, pengajar bahkan bisa menolak ide-ide unik siswa dalam menyelesaikan masalah. Sebabnya, pengajar tidak memahami arah pembelajaran. Atau pengajar bisa merespon dengan baik ide-ide unik murid, tetapi tidak mampu menautkan dengan tujuan pendidikan.

Sulit membayangkan, tetapi inilah yang terjadi dalam pendidikan kita. Bukan hal yang aneh jika Anda bertanya kepada guru tentang tujuan pendidikan, arah pembelajaran atau yang serupa dengan itu, lalu memperoleh jawaban yang indah tapi tidak jelas gambarannya. Jangan kaget juga jika Anda bahkan tidak memperoleh jawaban minimal yang memuaskan. Sebabnya, banyak guru yang menjalani pekerjaan tanpa memiliki misi yang kuat, visi yang jelas, dan kecintaan yang tinggi (passion) terhadap profesi. Lebih parah lagi, jangankan guru, sekolah pun tidak memiliki impian yang jelas karena mereka memang tidak memiliki alasan mendasar yang kuat mengapa harus mendirikan lembaga pendidikan. Padahal, alasan mendasar inilah yang seharusnya senantiasa mengawal sekaligus memandu proses pembelajaran dan pendidikan agar tidak kehilangan “ruh.”

Jika guru tidak memiliki misi ideologis yang kuat mengapa memilih profesi sebagai pendidik dan pada saat yang sama miskin konsep. Maka hampir pasti ia hanya memperhatikan efektivitas pembelajaran. Bentuknya bisa berupa perhatian besar terhadap metode-metode paling praktis yang memudahkan pembelajaran hingga yang mencari jalan pintas agar anak-anak bisa jenius secara instant. Bisa juga berupa upaya sungguh-sungguh agar anak mengerti apa yang diajarkan, tetapi tidak jarang yang hanya mencari segala cara agar siswa mampu mengerjakan soal meskipun ia tahu bahwa siswa sebenarnya tidak memiliki penguasaan materi yang matang. Sikap yang pertama, yakni kesungguhan agar anak mengerti apa yang diajarkan, merupakan hal yang baik dan sepatutnya dimiliki setiap guru. Tetapi sekali lagi, tanpa penguasaan konsep yang matang, guru mengajar hanya sebatas agar murid mampu memahami pelajaran. Tidak lebih dari itu. Murid tidak mampu melihat hubungan antara apa yang ia pelajari dengan kehidupan sehari-hari maupun dengan pelajaran-pelajaran lain.

Sementara tidak adanya misi ideologis pada diri guru menyebabkan tidak mungkin ada proses integrasi antara nilai-nilai dengan materi pelajaran. Boleh jadi ada penggabungan antara agama dengan materi pelajaran, tetapi itu bukan integrasi. Bukan terpadu. Penggabungan itu hanya menempelkan saja.

Nah.

Keharusan untuk Berbeda
Ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh setiap guru sekolah Islam, terlebih untuk sekolah yang mengklaim sebagai sekolah Islam terpadu –apa pun istilahnya. Pertanyaan mendasar ini jika benar-benar dijawab secara serius, maka harus melahirkan perbedaan yang juga sangat mendasar dibanding sekolah yang ada. Pertanyaan itu sangat sederhana, yakni mengapa sekolah ini harus berdiri. Jika sekedar untuk mencerdaskan, sesungguhnya telah banyak sekolah yang melahirkan para juara. Dan setiap sekolah juga merasa mencerdaskan peserta didiknya.

Ini berarti, harus ada jawaban yang lebih mendasar dan kemudian melahirkan perbedaan signifikan. Jika sekolah Islam terpadu (atau integral) hanya bertujuan mencetak siswa cerdas, terampil, dan memiliki pemahaman Islam yang baik, maka kita bisa berkata bahwa telah banyak madrasah ibtidaiyah di mana-mana. Begitu juga sekolah yang berbasis pondok pesantren atau pun sekolah yang dilengkapi dengan pondok pesantren maupun sekedar asrama yang dilengkapi dengan kegiatan dieniyah. Mungkin agak membingungkan, tetapi tiga jenis sekolah asrama ini sangat berbeda arah dan kebijakannya.

Jika pertanyaan mendasar ini mampu dijawab dengan baik oleh guru maupun sekolah, maka dengan sendirinya akan tercermin pada bagaimana mereka berkomunikasi, lebih-lebih dalam masalah kebijakan.

Secara sederhana, ada tiga jenis perbedaan. Pertama, sekolah menciptakan perbedaan dibanding sekolah lain semata-mata karena ingin berbeda, tetapi tidak ada pijakan ideologis yang kuat. Serupa dengan itu adalah perbedaan yang muncul secara alamiah. Keduanya termasuk perbedaan yang “asal beda”. Kedua, sekolah secara serius melakukan pembedaan, berusaha mencari dan menemukan hal-hal berbeda yang unik dan bisa menjadi nilai lebih agar memiliki daya tarik yang tinggi. Sekolah sengaja memunculkan perbedaan sebagai strategi pemasaran. Inilah yang biasa disebut diferensiasi. Ketiga, sekolah secara sadar berbeda dan menjaga perbedaan tersebut secara serius, karena terikat dengan alasan mendasar mengapa sekolah itu berdiri dan terobsesi oleh apa yang menjadi tujuan besar sekolah yang bersifat khas. Inilah perbedaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap sekolah Islam, terlebih bagi sekolah yang telah memberi julukan “wah” untuk dirinya sendiri.

Pertanyaannya, dimana kita bisa menjumpai sekolah semacam ini? Hari ini banyak sekolah Islam yang lebih suka berbicara dan menulis di brosurnya tentang hal-hal menarik, tetapi tidak menunjukkan ruh Islam di dalamnya. Sekolah Islam lebih fasih berbicara tentang moving class, quantum learning, dan sejenisnya daripada tarbiyah atau syakhsiyah. Bukan tidak boleh mempelajari itu semua. Tetapi seharusnya pertanyaan mendasar tersebut sudah dijawab dengan tuntas dan dijabarkan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran sehari-hari.

Wallohu a’lam bish-showab

Mohammad Fauzil Adhim

Mengawali Ta'dib

Adab pilarnya, aqidah landasannya. Kuatnya fondasi memudahkan kita membangun apa saja, setinggi apa pun di atasnya. Tegaknya pilar mengokohkan bangunan yang kita dirikan, baik melebar maupun meninggi, tanpa menjadikannya retak, rapuh, dan goyah. Lemah pilar tapi kuat fondasi, menyebabkan sulitnya kita membangun sesuai harapan. Fondasi tetap ada, tetapi makin tinggi makin berat beban yang harus ditanggung.

Maka pilar dan fondasi harus sama-sama kita perhatikan dengan baik. Kuat pilar lemah fondasi, menjadikan mereka tahu dan bersemangat terhadap kebaikan, tetapi mereka sulit mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya. Kuat pilar lemah fondasi menjadikan perilaku mereka tampak baik, sikap mereka mengagumkan, tetapi ia sesungguhnya lemah. Mudah merobohkan apa yang telah ada. Jika pun kebaikan itu tetap mereka kerjakan, boleh jadi tak bernilai karena berbagai kebaikan itu tanpa niat yang lurus semata-mata untuk Alloh Ta’ala dan karena Alloh Ta’ala.

Karenanya, ta’dib (proses pembentukan adab) di sekolah menjadi keharusan, sebagaimana tidak adanya tawar menawar dalam masalah penanaman aqidah. Dan yang paling mendesak sekaligus mendasar untuk dibangun adalah tauhid dan niat.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Bukankah anak-anak usia TK dan SD kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya, jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat.

Mari kita ingat sejenak nasehat Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah. Dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illalloh muhammadurrosululloh, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illalloh (mengenal Alloh) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Alloh bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”

Catatan penting, menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh pada anak bukan berarti penyampaian secara kognitif agar mereka memahami dengan baik. Pada usia TK dan SD kelas bawah, belum saatnya memberi pembelajaran aqidah dengan penekanan secara kognitif. Yang mereka perlukan adalah dorongan, motivasi, dan sentuhan hati agar mereka mengingini, mencintai, dan bersemangat memegangi sekaligus melakukan apa-apa yang diserukan oleh agama. Ini yang paling pokok.

Mari kita ingat ketika Rosululloh Shollallohu ’alaihi wassalam menasehati Ibnu Abbas RA yang ketika itu masih kecil. Apa hal pokok yang beliau tanamkan ke dalam dada Ibnu Abbas? Tauhid. Keyakinan yang kuat bahwa tidak ada yang dapat memberikan maslahat dan madhorot kecuali Alloh ‘Azza wa Jalla. Ini pula yang seharusnya kita bekalkan kepada anak-anak kita. Di sekolah, guru-guru TK dan SD paling bertanggung-jawab dalam menumbuhkan keyakinan –bukan hanya pemahaman— tentang kekuasaan Alloh Ta’ala yang tiada sekutu baginya.

Mari kita renungi pesan Rosululloh kepada Ibnu Abbas, “Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Alloh, niscaya Alloh pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Alloh, niscaya Alloh akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Alloh. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Alloh.

Ketahuilah bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Alloh di dalam takdirmu itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Alloh. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (Riwayat At-Tirmidzi).

Apa yang dapat kita petik? Keyakinan kepada Alloh Ta’ala, menyandarkan diri hanya kepada Alloh sehingga tidak merasa lemah di hadapan manusia, serta mengikatkan diri kepada Alloh sebagai penentu takdir.

Pada jenjang selanjutnya, pembelajaran secara kognitif untuk memahamkan mereka tentang tauhid dan niat mulai perlu kita berikan. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa ta’lim itu bukan hanya memahamkan secara kognitif dan memberi gambaran yang jelas kepada anak. Kita harus ingat bahwa ‘alim adalah seorang yang apabila semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula rasa takut sekaligus kecintaannya kepada Alloh. Ini berarti, ta’lim itu merupakan paket yang memuat pembelajaran secara kognitif, tadabbur untuk menyadari dan menghayati kebesaran serta nikmat Alloh, sekaligus nashihah agar mereka merasa takut kepada Alloh dan mencintainya dengan penuh keimanan.

Alloh Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Faathir [35]: 28).

Ini berarti, harus ada langkah penting dalam mendidik anak-anak kita di sekolah. Sekadar perubahan pada mata pelajaran, tak berpengaruh besar pada diri murid. Tanpa guru-guru yang terasah imannya, pelajaran aqidah hanya akan bersifat kognitif saja. Dan ini tidak dapat menjadi landasan yang kokoh bagi proses ta’dib.

Maka, kita memerlukan guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar, dan penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya, menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien ini.

Jika kita sudah menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh, barulah kita berbincang tentang ruang lingkup adab. Kita melakukan ta’dib sembari terus memberi pendidikan (tarbiyah) untuk masalah tauhid dan niat ini.

Lalu apa saja ruang lingkup yang harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru, orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Adapun dalam hal apa saja adab harus bangun, salah satu hal pokok adalah adab menuntut ilmu.

Semoga dengan ini, bekal sukses sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru.
Wallohu a’lam bish-showab.

Mohammad Fauzil Adhim

Senin, 09 Mei 2016

Kuncinya pada Guru

Apakah yang dapat kita harapkan dari guru-guru yang datang ke kelas hanya untuk menerangkan mata pelajaran? Apakah yang dapat kita minta dari para guru yang datang ke kelas hanya berbekal pengetahuan sederhana? Apakah yang dapat kita jaminkan atas anak-anak kita jika guru hanya peduli jam mengajar? Sementara tentang murid-muridnya, ia nyaris mengenali kecuali sekadar nama, wajah, dan suaranya saja.

Sungguh, kunci keberhasilan guru terutama terletak pada kompetensi sebagai pengajar, baik kompetensi mengajar maupun kompetensi dalam bidang studi yang ia ajarkan. Tapi sungguh, bukan itu yang paling pokok. Ada yang lebih mendasar lagi, yakni adakah kerisauan besar dalam dirinya yang ia hayati sepenuh hati dan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Ia risau atas keadaan anak-anak di zaman ini. Ia menginginkan kebaikan yang besar pada diri muridnya. Dan ia menghabiskan waktunya dengan memberi perhatian, berjuang dengan sungguh-sungguh dan belajar secara gigih agar dapat mengantarkan anak didiknya menjadi manusia-manusia terbaik sesuai apa yang ia yakini sebagai kualitas ideal manusia.

Tanpa obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para murid menjadi manusia ideal, maka kegiatan mengajar hanya sekadar rutinitas saja. Begitu pula sekadar mampu merumuskan cita-cita secara tertulis, tapi tidak memiliki ikatan emosi dengan cita-cita tersebut, sulit baginya untuk meluangkan waktu bagi murid-muridnya sekaligus melapangkan telinga untuk mendengarkan penuturan murid dengan sepenuh jiwa. Mengajar hanya sekadar kegiatan fisik saja. Ia tidak membekas pada diri guru, tidak pula pada diri murid.

Jika materi yang mudah diingat saja tak membekas, apalagi dengan adab yang memerlukan kesabaran, dorongan, dukungan, dan pendampingan dalam membentuknya. Maka, kunci sangat penting memulai ta’dib (proses pendidikan adab) adalah guru. Adakah para guru yang melakukan ta’dib memiliki kecintaan terhadap murid-muridnya? Adakah para guru amat mengingini bagusnya akhlak anak didik? Bukan agar mudah menangani mereka, tetapi karena mengingini keselamatan anak didik di Yaumil-Qiyamah. Tampaknya tipis perbedaannya, tetapi jauh sekali akibatnya. Merisaukan akhlak anak didik karena mengingini keselamatan mereka di akhirat mendorong kita lebih sabar menghadapi kesulitan. Sementara merisaukan akhlak hanya karena mengingini penanganan anak jadi lebih mudah, membuat kita mudah berpuas diri. Mencukupkan diri dengan yang tampak dan mudah abai terhadap apa yang kurang.

Berkenaan dengan keprihatinan yang amat dalam ini, teringatlah saya dengan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rosul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128).

Sangat mengingini keimanan dan keselamatan. Inilah perkara penting yang harus dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar berkeinginan membangun adab pada diri murid-muridnya. Ia bersungguh-sungguh mendidik, memiliki belas-kasih lagi penyayang. Kecintaan itu memang ada di dalam hati. Begitu pula besarnya keinginan untuk membaguskan murid-murid. Tapi ia amat berpengaruh pada kata yang kita ucapkan, adakah ia menjadi perkataan yang membekas ataukah sekadar lewat saja.

Selebihnya, seorang guru perlu memperhatikan adab-adab mengajar. Semoga Alloh Ta’ala mudahkan upaya membangun adab pada diri murid.

Lalu, apa saja yang penting untuk diperhatikan:

Tulus Mengajar
Bekal penting yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah ketulusan mengajar. Tidak berharga suatu amal tanpa keikhlasan. Boleh jadi seorang guru memang bekerja pada sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di atas itu semua, ia adalah orang yang sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak didik. Maka lebih dari sekadar tugas mengajar, ia harus memiliki ketulusan yang amat dalam sehingga ringan hatinya menyambut kehadiran dan keingintahuan anak didiknya.

Sama pentingnya dengan ketulusan adalah bagusnya penyambutan terhadap anak didik sehingga mereka merasa dicintai oleh gurunya atau pengasuhnya di asrama. Inilah yang akan melahirkan rasa hormat pada diri anak didik terhadap guru. Ini pula yang menjadikan anak didik lebih mudah menerima nasehat dan ilmu dari guru.

Tentang menyambut penuntut ilmu, teringatlah saya pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobroni dari Shofwan bin ‘Asal Al-Muradi. Ia berkata, ”Saya mendatangi Rosululloh Shollallohu ’alaihi wassalam dan beliau di masjid bersandar dengan memakai burdah merah. Saya berkata kepada beliau, ‘Ya Rosul Alloh, saya datang untuk menuntut ilmu.”

Beliau bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian mereka saling menumpuk hingga langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dia pelajari.” (Riwayat Ath-Thobroni).

Ketulusan mengajar itu juga ditampakkan dengan sikap saat bicara, ditampakkan juga saat mendengar murid berbicara. Bukankah kita ingat bagaimana Rosululloh mencondongkan badan ketika mendengarkan lawan bicara?

Tawadhu’
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancap lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.

Mari kita ingat sejenak perkataan Anas bin Malik tentang pribadi Rosululloh. Ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para Sahabat melebihi Rosululloh. Walau begitu, ketika melihat Rosululloh mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rosululloh tidak menyukai hal itu.” (Riwayat Bukhori, Ahmad, At-Tirmidzi & Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi).

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita tentang sosok guru paling sempurna, Rosululloh. Kecintaan para muridnya –para Sahabat rodhiyallohu ‘anhum ajma’in– tak diragukan lagi. Tetapi kecintaan yang besar itu tidak menyebabkan mereka berdiri menghormat. Ini merupakan salah satu saja dari sekian banyak pertanda tentang kerendah-hatian beliau sehingga justru menjadikan beliau makin dicintai.

Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk disambut dengan cara berdiri, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Riwayat Abu Dawud).

Mengenali Murid
Hal lain yang perlu dimiliki guru adalah kesediaan dan keinginan untuk mengenali pribadi muridnya dengan baik. Bukan hanya tahu nama dan wajah. Jangankan berbicara dalam konteks pendidikan adab, lebih khusus lagi pendidikan Islam, bicara pendidikan secara umum pun pengenalan yang baik terhadap murid memegang peranan penting. Banyak masalah yang berkembang di kelas maupun asrama karena guru tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap murid, sehingga tidak mampu membaca apa yang sedang menjadi keresahan muridnya. Kadang guru bahkan seperti tak peduli dengan keadaan murid.

Pengenalan yang baik terhadap murid memudahkan guru bertindak secara lebih tepat. Selain itu, juga meringankan hati mereka untuk lebih toleran terhadap murid.

Mohammad Fauzil Adhim