Senin, 28 September 2015

Belajar dari Kesabaran Orang Jepang Saat Naik Haji

“Subarashi..! Subarashi..!” atau “Luar Biasa.! Luar Biasa!”, itulah yang berulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami.

Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah. Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut haji tahun ini dari kloter haji embarkasi Jepang.

Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam 3 tahun lalu, ini adalah kali pertamanya naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya jumlah jama’ah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang saat bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama.

Ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang secara sukarela datang ke tanah suci. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.

Berangkat haji bersama orang Jepang menarik. Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, Kristen atau Yahudi). Kebanyakan tidak memilih agama tertentu, mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang agama.

Sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama tertentu. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

Agama, datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia. Saya pun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.

Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran “agamanya”.

Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia.

Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi, menurut Omar-san, orang Jepang masih memerlukan agama.

Hal itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya, tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang.

Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada ideologi, namun pada urusan praktikalitas ritual. Menjalankan ibadah sholat sebanyak 5 kali sehari, puasa sebulan, dan melaksanakan haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dalam lingkungan orang Jepang.

Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Bekerja di perusahaan Jepang misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi cuti ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan halal yang amat jarang di Jepang.

Namun berbeda dengan barat yang memiliki prejudice tentang Islam, di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam tidak seburuk di barat. Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih gampang diterima banyak orang Jepang.

Omar-san sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah perusahaan konstruksi milik sendiri. Perusahaannya tergolong besar di daerah Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi, ia bisa mengatur praktik ritual agama, termasuk saat ia memutuskan naik haji bersama istrinya, yang juga orang Jepang.

Selain Omar-san ada Saif Takehito, diplomat Jepang di Kedutaan Besar Jepang di Dubai. Jago bahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja sampai minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara yang lainnya Muhammad Syarief seorang wirausaha tinggal di Tokyo.

Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun, tercermin saat menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam Maret lalu.

Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari kedatangan di Arab, prosesi ibadah, aktifitas sehari-hari, hingga kembali ke Jepang, ujian kesabaran silih berganti. Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jama’ah lain. Tapi saya melihat para jama’ah haji dari Jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang tertib dan teratur.

Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab kami, saat kembali dari melempar jumrah, tenda kami dipindahkan pengelola. Akibatnya, barang-barang semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan. Beberapa jama’ah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan panitia karena tidak menjaga barangnya dan bahkan sampai ingin menuntut ganti rugi. Masya Allah!

Mereka sampai harus ditenangkan oleh semua yang ada di tenda, “Sabar haji. Sabar. Istighfaar. This is Hajj…”. Barulah kemudian mereka mengucapkan istighfar dan meminta maaf karena menimbulkan kekacauan di tenda.

Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan sleeping bag-nya hanya celingak celinguk tapi diam saja tanpa protes dan mengeluh. Ia malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet dalam diam. Simpati jamaah di tenda kami pun diarahkan pada dirinya. Kami pun meminjamkannya sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jama’ah simpati pada kesantunan orang Jepang ini.

Hal serupa saya juga perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah di tutup. Akibatnya bis rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah. Banyak jama’ah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat, sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jama’ah yang tidak terima, perdebatan pun terjadi bahkan cenderung memanas.

Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir).

Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Saif berkata yang terjadi di luar kehendak manusia, kita tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi, janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti perintah pimpinan kita. Masya Allah, jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam.

Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap sabar. Mereka tidak mengeluh dan menyalahkan keadaan.

Hal tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan, tapi lebih pada kebiasaan.

Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan dididik berbuat baik, sabar, dan memerhatikan kepentingan orang lain. Di sekolah, di rumah, di masyarakat, ajaran, dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama yang hanya diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.

Itulah sebabnya dulu Nabi Muhammad Saw senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik. Biasakanlah berbuat baik” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan berbuat baik. Tentu tujuannya agar kita menjadi orang baik, yang sebaik-baiknya. Semoga bermanfaat.

Sumber: fimadani

Minggu, 27 September 2015

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Alloh jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Alloh, niscaya Alloh baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Alloh yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Alloh, Kau salah rancang dan keliru cetak!”

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Alloh”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Alloh lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”
Alloh yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Alloh yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Alloh yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Alloh yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Alloh yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”
Alloh yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Alloh dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Alloh bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Alloh lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Alloh menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.
***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath-Thobroni, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar-Rohman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.

Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Alloh, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Alloh, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Alloh, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.
***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Alloh yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Alloh mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya, wahai Robbana!”

Dia mengingatkan kita pada sabda Rosululloh. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al-Ghozali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Alloh akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Alloh akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Alloh akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Alloh yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
***

Ada dua cara Alloh mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imron, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.

Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imron untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al-Quds, pengurai Taurot yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Alloh yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.

“Maka Robbnya menerima nadzar keluarga ‘Imron dengan penerimaan yang baik. Alloh tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Alloh jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrob, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Alloh.” Sesungguhnya Alloh mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS. Ali ‘Imron [3]: 37)

Betapa jua, Alloh yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Isroil, Ahbar, dan para Rohib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Alloh mengamanahkan Maryam pada Zakaria.

Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrob Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Alloh. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Robbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Alloh bagi gadis suci ini.

Tapi setiap insan diuji Alloh dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Alloh memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.

Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.

Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrobnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”

“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam [20]: 23)

Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Alloh,” lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”

Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Alloh itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini,” seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Isroil yang sebagiannya suka usil.

“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”

Alloh Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Robbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [20]: 24-25)

Yang pernah bertamu pada Alloh dan menjenguk Rosululloh, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al-Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.

Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.

Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Alloh harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthob pun lepas dari tangkainya.

Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrob dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Alloh. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan mengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.

Alloh menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugerahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.

Dinukil dari buku Lapis-lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah
http://salimafillah.com/cicak-di-dinding-dan-keyakinan-utuh/

Sabtu, 26 September 2015

Bersyukur Sebelum Tidur

Ada do'a menjelang tidur yang didahului oleh ucapan hamdalah. Bukan basmalah. Kita memuji Alloh Ta'ala, mensyukuri nikmat-Nya dan lebih utama lagi mengingat seraya menghayati betul betapa berharganya nikmat yang telah Alloh Ta'ala berikan, terutama nikmat tempat tinggal yang aman melindungi saat kita hendak tidur.

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengajarkan do'a sebagai berikut:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ
"Segala puji bagi Alloh Yang telah memberi makan dan minum kepada kami, mencegah kami (dari segala keburukan) dan menampung kami (dalam tempat-tempat tinggal). Alangkah banyaknya orang yang tidak memiliki pencegah dan penampung." (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Berangkat tidur dalam keadaan tidak didera rasa lapar yang sangat sehingga sulit memejamkan mata, merupakan nikmat yang sangat besar. Alangkah banyak orang yang tidak mendapatkan sekedar pengganjal perut di saat sangat memerlukan sehingga berangkat tidur dalam keadaan gemetar lapar. Adapun tidur dalam keadaan kenyang, padahal ia tahu ada tetangga yang kelaparan, merupakan hal buruk. Tidak beriman orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia mengetahui ada tetangganya yang kelaparan.

Perlu kita bedakan antara tidak lapar dengan kenyang. Salah satu nikmat adalah tidur dalam keadaan tidak lapar, tetapi bukan berarti dalam keadaan kenyang.

Dari Anas bin Malik rodliyallohu 'anhu, dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا آمَنَ بِى مَنْ بَاتَ شَبْعَانٌ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
"Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang padahal tetangganya yang di sampingnya dalam keadaan lapar sedangkan ia mengetahuinya." (HR. Thobroni).

Di dalam hadits shohih yang lainnya bahkan ada peringatan yang lebih tegas. Saya merinding membacanya dan khawatir kalau-kalau termasuk di dalamnya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
"Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan." (HR. Baihaqi).

Ibnu Katsir rohimahulloh ta'ala menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-jar al-junub (tetangga jauh) adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Ini sebagaimana riwayat dari 'Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas. Tetangga jauh juga bermakna tetangga yang tidak beragama Islam, baik Yahudi maupun Nasrani yang tidak memusuhi Islam. Nah, jika memperhatikan yang haknya sebagai tetangga lebih kecil saja menjadi ukuran beriman-tidaknya seseorang, apalagi terhadap al-jar dzul qurba (tetangga dekat) yang memiliki hak jauh lebih besar. Yang dimaksud al-jar dzul qurba atau tetangga dekat adalah tetangga yang memiliki hubungan kerabat. Makna lainnya, tetangga yang seiman dengan kita.

Masih berkaitan dengan makanan dan tetangga, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menasehatkan kepada Abu Dzar rodhiyallohu 'anhu:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
"Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak maroq, maka perbanyaklah kuahnya, dan hadiahkanlah kepada tetanggamu." (HR. Muslim).

Maroq adalah masakan berkuah; sejenis soup yang aromanya kuat. Secara lebih luas maknanya mencakup segala jenis masakan berkuah, mengundang selera dan aromanya kuat. Lebih-lebih jika tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita kecil sekali kemungkinannya untuk dapat menikmati makanan semacam itu disebabkan oleh kemiskinan mereka, misalnya. Padahal masakan tersebut sangat menggoda selera. Aroma menggoda di malam hari, terlebih di saat mereka tidak mampu untuk sekedar mendapatkan pengganjal perut agar tidak terlampau lapar saat mau tidur, merupakan penghalang untuk dapat segera beristirahat.

Maka tatkala kita dapat berangkat ke pembaringan dalam keadaan tidak lapar, terlindung, aman, dan nyaman, sepatutnya kita bermunajat mengucapkan do'a menjelang tidur dengan diawali pujian kepada Alloh Ta'ala sebagaimana tuntunan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam tersebut. Semoga kita tertidur lelap dalam keadaan bersyukur kepada Alloh Ta'ala, tenang dan bahagia.

Wallohu a'lam bish-showab.

Mohammad Fauzil Adhim
@kupinang

Jumat, 25 September 2015

Tren Ngustadz dan Kebingungan Umat

Larangan Berserupa
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa dalam Islam terdapat hukum yang melarang umat Islam untuk berserupa (tasyabbuh). Umumnya, tasyabbuh dikaitkan dengan larangan bagi umat Islam untuk berserupa dengan orang-orang kafir dalam hal simbol-simbol khas mereka; seperti memakai topi khas natal, kostum khas biksu, terlibat dalam perayaan hari-hari besar agama-agama lain, dan semacamnya. Diharamkannya tasyabbuh dalam hal ini sudah jelas, meski belakangan selalu diperdebatkan gara-gara munculnya syubhah libroliyyah (pemikiran sesat liberalisme).

Tapi di samping itu, sebetulnya dalam hukum Islam juga ada larangan untuk berserupa dengan para ulama, meski tentu antara haramnya tasyabbuh dengan orang kafir dan haramnya tasyabbuh dengan ulama ada perbedaan yang tajam dalam hal raison d’être-nya. Larangan berserupa dengan ulama lebih disebabkan agar orang awam tidak tertipu, sehingga mereka meminta fatwa kepada orang yang tidak mempunyai kapasitas yang semestinya dimiliki seorang ulama.

Oleh sebab itu, dalam sebagian kitab ada larangan bagi umat Islam untuk memakai serban hijau. Konon karena pada masa lampau serban itu adalah khas para zuriyah Rosululloh. Jika orang yang bukan habib memakai serban itu, maka dikhawatirkan orang awam memperlakukannya bak seorang habib, dalam hal penghormatan dan lain sebagainya, termasuk yang fatal jika sampai “habib palsu” atau “habib oplosan” itu sampai dimintai fatwa oleh masyarakat awam, padahal ia bukan ahlinya.

Tentu saja, larangan tasyabbuh dengan ulama atau habaib seperti dicontohkan di atas area dan durasi waktunya terbatas. Artinya, larangan memakai serban hijau agar tak dikira habib itu mungkin hanya berlaku di sebagian masyarakat wilayah Arab, yang memang secara wajah dan perawakan sulit dibedakan mana yang habib dan mana yang bukan. Karenanya jika ada orang Indonesia yang wajah dan perawakannya sama sekali tak ada kemiripan dengan habaib, maka meskipun ia memakai serban hijau berlapis tujuh tak ada masalah, karena tak akan ada orang yang terkecoh lalu mengira ia habib. Malah ia termasuk orang yang masih beruntung jika tak ada yang meneriakinya “snewen”, hehe...

Begitu pula halnya dengan durasi waktu larangan berserupa dengan ulama; artinya jika misalnya pakaian yang pada awalnya menjadi ciri khas ulama itu kini sudah menjadi kiblat fashion yang juga dipakai oleh hampir seluruh orang awam, maka hukum larangan berserupa dengan kostum ulama dalam hal ini sudah tidak berlaku lagi. Semisal di Arab, di mana jubah dan serban menjadi pakaian keseharian setiap orang, baik ulama maupun bukan. Jika sudah demikian, maka larangan berserupa dengan ulama sudah beralih pada segmen yang lebih khas lagi, seperti berpidato, membuka pengajian, dan berfatwa.

Tren Ngustadz
Yang penulis maksud dengan “ngustadz” di sini adalah orang yang sejatinya tak memenuhi kapasitas sebagai seorang ustadz, ustadzah, kyai, atau ibu nyai, tapi karena sejumlah dorongan dan tuntutan ia menjadi ustadz atau ustadzah instan yang dipopulerkan, yang selanjutnya masyarakat mengira jika ia adalah orang yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam. Jadi, secara sederhana orang tipe ini bisa kita sebut sok ustadz.

Nah, menurut hemat penulis, tren ngustadz yang merebak belakangan ini tentunya tidak jauh dari ketentuan hukum di atas. Yakni diharamkan bagi siapa saja untuk ngustadz (sok menjadi ustadz), karena dapat menyebabkan orang awam mengira dia ustadz sungguhan, lalu meminta fatwa kepadanya mengenai hukum-hukum Islam, padahal ia tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai ajaran agama Islam yang sangat luas.

Di sini perlu segera dicatat, bahwa tren ngustadz ini tidak saja tertentu kepada mereka yang kita jumpai di hampir semua stasiun televisi, tapi orang-orang yang ngustadz juga bisa kita identifikasi keberadaannya di berbagai lini kehidupan masyarakat, mulai di dunia nyata hingga di dunia maya, mulai dari pelosok desa hingga di pusat-pusat kota, mulai dari mushala kampung hingga masjid-masjid jami’.

Namun demikian, tren ngustadz yang kita saksikan di layar kaca tampaknya lebih mudah kita tarik ke dalam tulisan ini sebagai sampel, karena memang kepada ‘ustadz’ atau ‘ustadzah’ itulah masyarakat kita lebih sering mengaji, ketimbang kepada ustadz/ustadzah di tempat lain. Maka pada sebagian mereka, betapa sering kita jumpai fatwa-fatwa serampangan yang dilontarkan begitu saja, karena masyarakat dipersilakan “curhat” secara live.

Dalam hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat secara langsung tentunya sangat sulit, karena kadang mereka mempertanyakan fenomena yang benar-benar baru yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu. Untuk menjawab pertanyaan semacam ini dibutuhkan kemampuan istinbâtul-ahkâm (menggali hukum dari sumber-sumbernya, atau dengan cara mengkiaskan peristiwa baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan peristiwa lama yang sudah ada ketetapan hukumnya).

Nah, untuk menjawab kepastian hukum bagi kasus-kasus yang benar-benar baru itu, jangankan orang yang ngustadz, ustadz sungguhan yang benar-benar top sekalipun masih perlu berpikir beberapa lama, bahkan berhari-hari, untuk nenemukan kepastian hukumnya. Karena ustadz sungguhan yang sudah memiliki ilmu untuk istinbâtul-ahkâm itu masih perlu memastikan secara cermat dalil mana yang pas untuk menjawab pertanyaan itu, atau apakah ‘illah pada kasus baru yang ditanyakan hukumnya itu sudah sama persis dengan ‘illah pada kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya.

Bahkan untuk kemampuan istinbâtul-ahkâm itu, jangankan seorang ustadz sungguhan, seorang mujtahid sekalipun tidak akan terburu-buru untuk menjawab kasus-kasus baru yang dilontarkan kepada mereka. Itulah sebabnya al-Haitsam bin Jamil berkata: “Aku menyaksikan Malik bin Anas (Imam Malik, pendiri mazhab Maliki) ditanya 48 permasalahan, tapi beliau menjawab 32 pertanyaan darinya dengan jawaban ‘tidak tahu’.” Artinya, saat itu Imam Malik masih perlu berpikir panjang dalam rangka istinbâtul-ahkâm.

Lebih dari itu, 'Abdurrohman bin Abi Laila berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshor, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya saja yang menjawabnya.” Bahkan konon suatu ketika al-Imam Hasan al-Bashri, pemuka ulama Tabiin di Bashroh, pernah berang dan berujar: “Dahulu Abu Bakar dan 'Umar masih perlu mengumpulkan para sahabat untuk menjawab suatu persoalan, sedangkan orang di hari ini malah menjawab pertanyaan dari atas keledainya!”

Selanjutnya, kini mari kita bertanya, pernahkah kita dapati seorang ‘ustadz’ di televisi yang ketika ditanya mengatakan “tidak tahu”? Dari sisi ini saja sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa fenomena ngustadz itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, dan sebetulnya dari sanalah kebingungan umat bermula. Sayyidina 'Ali bin Abi Tholib mengatakan: “Andai orang yang tidak tahu apa-apa itu diam saja, tentu perselisihan di dalam umat tidak perlu terjadi.”

@AchyatAhmad

Jumat, 18 September 2015

Ada Saat Harus Lembut, Ada Saat Harus Keras

Siapakah nama Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu? Dia adalah salah satu sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang sangat terkenal karena begitu banyak hadits diriwayatkan darinya. Tetapi siapakah nama aslinya? Sangat sedikit muslimin yang tahu. Banyak pula yang pernah tahu, tetapi segera lupa nama aslinya karena julukan (label) yang disandangnya jauh lebih terkenal daripada nama aslinya.

Kurang dikenalnya nama 'Abdurrohman bin Shokhr ad-Dausi merupakan contoh sederhana tentang betapa julukan ketika begitu kuat melekat pada diri seseorang, bahkan dapat menyebabkan manusia tak lagi akrab dengan nama aslinya. Itu pun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa nama asli Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu bukanlah 'Abdurrohman bin Shokhr ad-Dausi, melainkan ‘Abdulloh bin Amin.

Inilah yang kita dapati dari agama ini. Kita mengenal nama Abu Bakar Ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu, tetapi banyak yang tidak mengenal nama aslinya. Meskipun tidak sedikit juga yang kita kenal nama dan sekaligus julukannya. ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu memiliki julukan Al-Faruq, ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu –menantu kesayangan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam—bergelar Abu Turob. Dan masih banyak lagi deretan nama sekaligus gelar yang dapat kita paparkan.

Jika kita pelajari agama ini, kita akan dapati bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama yang buruk dengan nama yang memiliki nama yang baik. Nama memang bukan julukan, tetapi ia melekat pada diri seseorang, menjadi do’a baginya dan seolah menjadi gelaran (label) baginya. Maka, jangan asal-asalan memberi nama anak. Jika salah memberi nama, jangan segan-segan untuk menggantinya dengan nama yang baik.

Berbeda dengan julukan yang baik, sejauh ini saya tidak mendapati petunjuk yang shorih (terang, gamblang) dan nash yang shohih tentang memberi julukan (label) yang buruk kepada anak. Kita mendapati gelaran yang amat buruk dalam Al-Qur’an, gelaran yang Alloh Ta’ala berikan kepada seorang pendurhaka dengan kedurhakaan luar biasa. Tetapi ini hanya berlaku untuk orang yang luar biasa keburukannya. Itu pun orang dewasa. Bukan anak-anak.

Saya berusaha menggali dan bertanya kepada orang yang memiliki kapasitas keilmuan tentang tafsir dan tidak mendapati bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam mendidik anak. Artinya, julukan buruk yang kita temukan dalam Al-Qur’an tidak dapat menjadi hujjah bolehnya kita memberi julukan buruk kepada anak, terlebih anak-anak yang masih belum mencapai masa tamyiz.

Wallohu a’lam bish-showab.

Mengapa kita perlu memeriksa dulu di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memahami petunjuk dari nash tersebut secara tepat? Ada beberapa alasan. Pertama, sebaik-baik perkataan adalah kalimat Alloh ‘Azza wa Jalla, yakni kitabulloh Al-Qur’anul Kariim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ini perkara pertama yang harus kita yakini sekaligus kita pegangi dengan sungguh-sungguh. Kedua, jika kita memang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah sebagai pedoman, maka semestinya apa pun yang kita akan ambil kita periksa dulu adakah ia bertentangan dengan keduanya ataukah tidak. Jadi, bukan mengambil dulu pendapat yang bersesuaian dengan keinginan kita, lalu mencari-carikan dan bila perlu mengepas-ngepaskan dengan “dalil” yang ada. Ketiga, apa yang disebut sebagai ilmiah-empiris saat ini, kadang tidak memerlukan waktu lama untuk melihat bantahannya disebabkan apa yang disangka sebagai ilmiah tersebut, ternyata bertentangan dengan hasil penelitian di kemudian hari.

Berkenaan dengan mendidik anak, terutama di usia kanak-kanak, mari kita ingat hadits yang diriwayatkan dari Abu Hafsh, yakni ‘Umar bin Abu Salamah rodhiyallohu ‘anhu, anak tiri Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ia menuturkan:

Semasa kecil, ketika aku berada dalam pangkuan Rosululloh, aku sering berganti-ganti tangan dalam memegangi mangkuk. Melihat itu, beliau menegurku, “Hai Anak, bacalah basmalah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat denganmu.” Semenjak itu, aku selalu demikian ketika makan. (Muttafaqun ‘Alaih).

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari hadits ini? Teguran langsung ketika anak melakukan hal-hal yang tidak bersesuaian dengan adab seorang muslim. Perhatikan, teguran semacam ini dilakukan terhadap hal-hal yang berkait dengan adab. Bukan hukum.

Ada tiga hal yang patut kita catat dalam hadits tersebut. Pertama, teguran disampaikan secara langsung dan segera. Teguran disampaikan ketika anak melakukan perbuatan tersebut. Tidak menunggu waktu berlalu agak lama, apalagi setelah lama sekali. Kedua, mengawali teguran dengan menggunakan panggilan sayang yang akrab (ya ghulaam). Ketiga, langsung menunjukkan tindakan apa yang patut. Seakan tak mengoreksi kesalahan, tetapi dengan menunjukkan apa yang seharusnya, kekeliruan yang dilakukan anak dengan sendirinya terkoreksi.

Wallohu a’lam bish-showab. Semoga Alloh Ta’ala baguskan anak-anak kita hingga Yaumil-Qiyamah.

Adapun terhadap kesalahan yang bersangkut-paut dengan hukum halal-haram, dalam hal ini terkait makanan, maka kita dapati tuntunan lebih tegas. Meski makanan tersebut sebenarnya kita ganti dengan makanan serupa, tetapi untuk tujuan pendidikan justru harus kita tunjukkan secara tegas bahwa memakan harta yang haram benar-benar tercela. Inilah proses meluruskan kesalahan yang member kesan yang sangat mendalam. Ada perkataan yang menyentak, ada tindakan tegas yang sangat dramatis, dan ada teguran yang bersifat memperingatkan secara keras.

Harap dicatat! Tindakan seperti ini berlaku untuk anak-anak yang masih kecil.

Mari kita perhatikan hadits berikut ini:

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, ia menuturkan: Hasan bin ‘Ali rodhiyallohu ‘anhuma pernah mengambil sebutir kurma sedekah (zakat) dan memakannya. Melihat itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kakh…kakh…! Buang kurma itu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh makan sedekah?” (HR. Bukhori & Muslim).

Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi maupun Imam Ahmad rohimahumulloh. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad kita dapati bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kurma tersebut dari mulut cucunya. Jadi, bukan sekedar perkataan. Seseorang berkata, “Apa masalahnya, ya Rosulalloh, jika anak ini memakan kurma tersebut?”

“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak halal memakan harta sedekah.” (HR. Ahmad).

Nah. Apakah pelajaran yang dapat kita petik dari hadits ini? Kita tak boleh memberi label buruk kepada anak atas perbuatan yang buruk. Tetapi ini bukan berarti kita patut berdiam diri. Bahkan kita melihat contoh dan sekaligus tuntunan betapa kadang kita bahkan harus bersikap sangat tegas. Ini terutama menyangkut halal haram, berkait dengan masalah hukum.

Dalam hadits lain, sebagaimana dapat kita temukan dalam Riyadhush Sholihin, ada teguran yang lebih keras lagi. Ini terjadi ketika anak-anak yang sudah memasuki usia remaja. Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma yang menegur mereka dengan perkataan sangat keras; mencela perbuatan tersebut (catat: perbuatan, bukan orangnya) sebagai terlaknat.

Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ia pernah melewati beberapa anak muda Quroisy sedang memasang seekor burung untuk dijadikan sasaran memanah. Tetapi masing-masing di antara mereka tidak ada yang tepat bidikannya. Begitu melihat Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma, mereka berpencar. Ibnu ‘Umar lalu berkata, “Siapa yang melakukan ini? Alloh telah mengutuk orang yang berbuat begini. Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengutuk orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran.” (Muttafaqun ‘alaih).

Apa yang dapat kita catat dari hadits ini terkait pembicaraan kita tentang melabeli anak? Kita memang tidak mendapati contoh yang jelas, apalagi perintah yang kuat untuk mencela serta memberi julukan yang buruk kepada anak. Tetapi kita mendapati tuntunan sunnah bahwa terhadap perbuatan yang perlu diluruskan, ada saat ketika kita harus sangat tegas dan bahkan menyatakan celaan yang sangat tajam. Teguran keras itu terhadap perbuatan. Bukan memberi julukan terlaknat kepada anak.

Hal yang dapat kita catat. Ada perbedaan cara memberi teguran terhadap anak yang melakukan tindak tak sesuai tata-krama dengan tindakan yang berkaitan dengan masalah hukum. Ini terutama berkenaan dengan halal-haram, meskipun terhadap anak yang belum memahami bahwa makanan tersebut haram. Dalam hal ini, zatnya (kurma) halal, tetapi makanan tersebut diharamkan bagi keluarga Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam dikarenakan harta zakat. Berbeda pula sikap yang harus kita ambil ketika anak melakukan perbuatan melanggar hukum yang lebih berat terkait keselamatan nyawa, meskipun nyawa hewan. Ini merupakan perbuatan zholim. Dan kezholiman lebih mendesak untuk dihentikan dengan segera.

Ini semua merupakan catatan betapa ada saat harus lembut, ada pula saat harus tegas, bahkan ada saat harus menyertainya dengan tindakan dramatis. Kurma itu dapat diganti. Tapi untuk tujuan pendidikan, bahkan yang harus kita lakukan bukan mengganti. Tapi mengeluarkan paksa.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari as-sunnah ash-shohihah. Inilah sebaik-baik petunjuk bagi orang beriman, termasuk dalam mengasuh anak.

Wallohu a’lam bish-showab.

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
@kupinang

Orangtua Digital

Suatu malam di stasiun kereta api Tugu, Yogyakarta. Seorang ibu sedang menebar senyumnya, entah dengan siapa. Tapi bukan kepada orang di sekelilingnya, bukan pula kepada anaknya yang masih balita di sampingnya. Tampak sangat asyik. Diselai lorong sempit, suaminya duduk hampir berhadapan, tepatnya sejajar dengan anak lelaki mereka, juga tengah asyik dengan gadget ukuran cukup lebar di tangannya. Mungkinkah suami-istri sedang itu asyik bercanda melalui gadget? Sepertinya tidak. Ekspresi mereka menunjukkan keasyikan yang berbeda.

Anak lelakinya sesekali merajuk meminta perhatian, tetapi segera ditepis oleh ibunya, bahkan kadang agak ketus. Anak itu masih berusaha merebut perhatian ibunya, tapi tetap gagal. Lalu ia mencoba lagi meraih perhatian ayahnya. Tetap sama: gagal. Beberapa saat kemudian ibunya tiba-tiba dengan wajah penuh semangat berbicara kepada anaknya, meminta berdiri, lalu berpose sejenak untuk diambil gambarnya melalui gadget. Belum puas, sekali lagi anaknya diminta bergaya. Senyum lebar merekah dari keduanya. Tetapi sesudahnya, ibu itu kembali tenggelam dengan gadgetnya, membiarkan anak lapar perhatian.

Tak kehilangan akal, anak ini lalu menendang trolley bag miliknya. Jatuh. Ibunya segera merenggut tangannya dan memelototinya dengan marah. Anak laki-laki itu segera menangis, menunjukkan pemberontakannya. Gagal mendiamkan anaknya, meski upayanya belum seberapa, ibu itu segera meminta suaminya turun tangan. Tak kalah galak, ayah anak lelaki yang “malang” itu segera menampakkan kemarahan dan memaksanya diam. Tapi anak tetap menangis. Berontak. Anak itu baru diam sesudah jurus ancaman meninggalkan anak itu sendirian di stasiun, dilancarkan ayahnya.

Pemandangan menyedihkan. Inilah orangtua digital yang luar biasa sibuk, bukan karena banyaknya urusan, tetapi karena banyaknya percakapan di sosial media yang mereka ikuti. Orangtua memperoleh keasyikan dengan gadgetnya, tetapi anaknya menderita kelaparan perhatian.

Diam-diam saya bertanya, seperti apakah saya? Jangan-jangan saya pun telah menjadi orangtua digital yang menganggap semua persoalan dapat diselesaikan dengan up-date status twitter maupun facebook. Mesra di media sosial, tapi kering dalam berbincang tatap muka. Penuh jempol di laman facebook, tetapi yang bergerak hanya jari tengah dan telunjuk. Bukan jempolnya sendiri.

Pada anak-anak balita, mereka tak dapat mengimbangi dengan aktivitas internet. Tetapi mereka pun mulai belajar menikmati dunianya sendiri dengan gadget, game dan tontonan sembari pelahan-lahan belajar menganggap kehadiran orangtua sebagai gangguan. Di saat seperti itu, masihkah kita berharap tutur kata kita akan mereka dengar sepenuh hati?

Astaghfirullohal ‘adzim. Kepada Alloh Ta’ala saya memohon atas lalai, lengah dan teledor saya terhadap anak-anak dan keluarga.

Tapi bukankah kita tidak dapat mengelak dari kehidupan digital? Emm… Mungkin ya, mungkin tidak. Berkenaan dengan ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

Pseudo-Attachment: Seakan Dekat, tapi Tak Akrab

Jika anak aktif di social media, orangtua memang sebaiknya berteman ataupun saling menjadi follower. Tetapi ini saja tidak cukup. Orangtua tetap perlu memperhatikan tingkat konsumsi anak terhadap social-media. Merespon status anak di social media juga sangat bagus, tetapi jika tidak mengimbangi dengan aktivitas nir-luring (off line) yang baik, kita dapat terjebak dalam pseudo-attachment (kedekatan semu), seakan saling dekat, padahal masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri; sibuk narsis. Orangtua merasa dekat dengan anak, padahal mereka sebenarnya belum benar-benar saling mengenal.

Privasi atau Alienasi: Tetap Harus Ada Kontrol Orangtua

Salah satu kata sakti di era digital ini adalah privasi. Terlebih sejumlah gadget memang menyediakan fitur yang memberikan privasi penuh. Tetapi satu hal yang harus kita ingat, memberi pupuk (padahal ini sangat bermanfaat) sebelum waktunya justru menjadikan tanaman mati. Bukan sekedar tidak berkembang. Begitu pun privasi, tanpa kendali yang baik dari orangtua di satu sisi, dan kepedulian serta empati yang kuat pada diri anak, member privasi penuh justru menjadi pintu awal alienasi. Anak terasing secara sosial, selfish dan egois. Jika ini terjadi, kecakapan sosial anak akan tumpul.

Apakah ini berarti kita tidak memberikan privasi? Kita tetap memberikannya sesuai tuntunan agama dengan takaran yang tepat. Kita memberikannya untuk hal-hal tertentu, misal berkenaan dengan penjagaan aurat, tetapi tidak membiarkan anak tenggelam dengan dunianya sendiri atas nama privasi. Soal gadget yang berkemampuan untuk melakukan aktivitas online misalnya, kita perlu mengingat bahwa anak perlu bekal memadai berkait etika berinternet dan memahami betul apa yang perlu dilakukan untuk memperoleh manfaat dari gadget. Bukan sekedar memperturutkan keasyikan.

Privasi juga hanya akan baik apabila sudah tepat waktunya untuk memberikan. Ibarat api. Jika anak belum dapat cukup matang, jangan biarkan anak bermain-main api sendirian.

Nah.

Mesin Pembunuh Itu Bernama Game Online

Jangan kaget. Saya harus menyebut dengan ungkapan menyeramkan karena memang sangat banyak kasus yang saya temukan. Gegara game online, anak yang tinggal setengah juz saja sudah hafal Al-Qur’an penuh 30 juz, akhirnya terdampak menjadi pecandu game online. Sanggup bermain terus-menerus hingga lebih dari 2 hari 2 malam tanpa istirahat. Mereka berhenti bermain hanya karena badannya sudah tidak kuat lagi menyanggah keinginannya. Berhenti karena tertidur. Ini berarti, anak yang telah kecanduan game online kelas berat hampir tak melakukan aktivitas lain di luar bermain game. Ini sangat mengerikan.

Ada pula yang sampai melakukan penipuan demi membeli level bermain game online yang lebih tinggi. Ini semua tentu tidak tiba-tiba. Ada tahapnya. Nah, yang perlu kita jaga adalah, anak yang belum kenal game online jangan sampai diantarkan ke pintu-pintunya semata karena temannya banyak yang bermain game online. Tiap orangtua punya arah (termasuk yang tidak tahu harus kemana). Kita harus mengendalikan arah pendidikan anak kita.

Time to Go Online: Kapan Kita Beri Kesempatan Anak Berselancar

Boleh saja anak melakukan aktivitas online, tetapi kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, apakah budaya belajarnya telah tertanam kuat. Budaya belajar, bukan sekedar kebiasaan belajar. Jika budaya belajar belum mereka miliki, maka kegiatan online akan mematikan hingga ke akar-akarnya. Kedua, apakah anak telah memahami betul etika dunia maya serta manfaat apa yang akan mereka dapatkan. Jika mereka memiliki arah yang jelas, internet dapat menjadi fasilitas yang sangat bermanfaat. Tetapi jika tidak, mereka akan terkalahkan oleh internet dan tenggelam di dalamnya, termasuk tenggelam dalam aktivitas pacaran online. Ketiga, apakah anak memiliki kecakapan sosial yang memadai dan memiliki ikatan sosial yang baik dengan teman-teman maupun keluarga. Jika ini tidak ada, kita perlu persiapkan anak agar memiliki lingkungan hubungan sosial yang baik terlebih dahulu agar kelak tidak teralienasi dari kehidupan sosial atau bahkan kehidupan nyata pada tingkat minimal.

Usia berapa sebaiknya anak boleh melakukan kegiatan online? Jika benar-benar sampai pada tingkat kebutuhan, anak dapat memiliki alamat email dan kegiatan internet untuk mencari pengetahuan di usia sekitar 10 tahun. Syaratnya, tiga hal tadi telah ada.

Wallohu a’lam bish-showab.

***
Tulisan ini merupakan artikel yang dimuat di majalah Hidayatullah edisi September 2015 (bulan ini). Secara rutin saya menulis di majalah Hidayatullah kolom Parenting, selain menulis di majalah Demi Cinta (Kualalumpur) dan beberapa majalah lainnya.

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
@kupinang

Kamis, 17 September 2015

Tak Cukup dengan Cinta; Sebuah Iftitah buku Positive Parenting

Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Harus ada yang kita ubah. Kalau kita mengingat nasihat Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu tentang anak-anak kita, tentang betapa mereka lahir untuk zaman yang akan datang dan bukan zaman saat kita menepuk dada hari ini, terasa betul bahwa kita harus membangun visi hidup mereka. Harus kita siapkan pendidikan mereka dengan pendidikan yang menghidupkan jiwa, menguatkan tekad, membangkitkan hasrat untuk berbuat baik, dan menempa sikap mental yang unggul untuk menentukan wajah masa depan mereka.

Kita takkan pernah cukup jika hanya mencerdaskan otak mereka. Apalagi jika kita hanya mengisi kepalanya dengan pengetahuan, informasi yang bertumpuk, atau data yang tak berguna (data smog, istilah David Shenk). Padahal, sebagian besar yang disajikan oleh stasiun televisi kita adalah kotoran data (data smog) dan bukannya informasi yang bermanfaat.

Pengorbanan para ibu yang harus mengandung selama sembilan bulan disertai dengan beban berat sejak awal kehamilan—mulai dari mual, muntah-muntah, punggung sakit, dan seterusnya—hingga saat melahirkan, harus kita tebus dengan pendidikan yang sebaik-baiknya. Ini agar setiap anak dapat menjadi pembuka pintu surga yang tinggi. Tak sedikit waktu yang kita habiskan untuk mengantarkan seorang anak agar tampak lucu—sekadar tampak lucu saja!—dan menjadi penghapus penat bagi jiwa yang lelah.

Sesudah pengorbanan selama sembilan bulan, anak-anak itu lahir dalam keadaan yang masih memerlukan tenaga, kesabaran, kasih sayang, dan juga kesehatan. Tidur kita yang kurang, istirahat yang tak mencukupi, kesehatan yang kadang ikut terganggu, dan waktu-waktu produktif kita yang tergerogoti, takkan pernah cukup untuk menghargai karunia Allah ’Azza wa Jalla yang bernama anak ini.

Maka, anak-anak yang terlahir itu harus kita antarkan menuju masa depan untuk memberi bobot kepada bumi dengan kalimat lâ ilâha illallâh. Kalau memang harus sakit, biarlah hari ini kita sakit. Asalkan mereka dapat kita antar ke gerbang masa depan sebagai hamba Allah yang banyak bersujud kepada-Nya. Apa pun yang ada di tangannya, kepada Allah ia abdikan. Kalau ia menggenggam dunia beserta segala isinya, maka di hatinya ada Allah. Ia menjadikan shalatnya, ibadah dan perbuatannya, hidup dan matinya untuk Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.

Itulah sebabnya, anak saya yang kedua saya beri nama Muhammad Husain As-Sajjad. Semoga kelak Allah perjalankan dia sebagai ahli sujud (as-sajjâd) yang menyujudkan keningnya, menyujudkan dirinya, menyujudkan pikirannya, menyujudkan hatinya, menyujudkan hidupnya, menyujudkan kariernya, dan menyujudkan harta bendanya kepada Allah ’Azza wa Jalla. Semoga dengan demikian, anak-anak itu dapat menjadi hadiah Allah di muka bumi yang membawa dua kebaikan—kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Itu pula sebabnya, anak saya yang ketiga saya beri nama Muhammad Hibatillah Hasanin.

Bagi saya, memberi nama anak adalah urusan pendidikan anak yang paling awal. Saya letakkan cita-cita pada nama mereka. Sedapat mungkin dalam namanya ada tokoh yang dapat dia contoh kebaikan dan kemuliaannya. Anak pertama saya, sejak dalam kandungan sudah saya nazarkan bernama Fathimatuz Zahra jika yang lahir perempuan, karena berharap kelak dia bisa berada dalam barisan Fathimah Az-Zahra, putri Nabi Shallalâhu ’alaihi wa Sallam, ketika hari perhitungan tiba.

Saya berharap dengan sungguh-sungguh agar dia memiliki kecerdasan, kedermawanan, sikap zuhud, dan kesediaan memperjuangkan agama ini sepenuh hati sekuat tenaga. Semoga dengan itu, dia dan adik-adiknya dapat menjadi penolong agama Allah ’Azza wa Jalla; menolong dengan segala yang dimilikinya. Kalau tangannya menggenggam harta, maka ringan hatinya untuk berinfak karena Allah. Kalau dia memiliki kecerdasan yang menakjubkan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, atau apa pun yang baik, dia akan gunakan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.

Sesungguhnya menolong agama Allah itu tidak sama dengan berceramah ke sana-kemari tentang agama. Tidak setiap yang berdiri di mimbar untuk berbicara tentang kebenaran Dîn Al-Islâm yang haqq adalah penolong agama Allah Ta’âlâ. Boleh jadi ada yang berbicara tentang agama, tetapi yang ia cari adalah dunia atau nama besar. Bukankah Allah Ta’âlâ sudah mengingatkan, Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu (Muhammad) dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal dia adalah penantang yang paling keras (Q.s. Al-Baqarah [2]: 204).

Keinginan untuk mengantarkan anak-anak agar menjadi manusia sukses, beruntung, dan menjadikan kesuksesannya untuk menolong agama Allah itulah yang menggerakkan kami—bapak ibunya—memberi nama anak yang keempat Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Semoga pula mereka bisa belajar dari tokoh-tokoh besar agama ini yang kami ambil namanya untuk dia.

Ketika anak kelima lahir pada pertengahan bulan Ramadhan, saya harus berdiskusi cukup lama untuk namanya. Ada sejumlah nama yang telah saya persiapkan. Dan visi yang terkandung dalam nama menjadi pertimbangan yang lebih besar bobotnya daripada bagaimana nama itu terdengar indah di telinga. Ketika istri bermaksud memasukkan kata Ramadhan, kami perlu berdiskusi agar kata tersebut tak sekadar menjadi penanda. Semoga kelak dia mensyukuri nama Muhammad Navies Ramadhan yang kami berikan kepadanya, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberi manfaat bagi umat manusia di muka bumi karena Allah.

Tetapi…
Nama yang baik saja tidak cukup. Nama yang memuat cita-cita besar hanyalah permulaan. Harus ada bekal yang kita berikan kepada setiap anak-anak kita agar kuat jiwanya, lembut hatinya, keras kemauannya, tangguh mentalnya, dan bersemangat hidupnya. Harus kita asah pikirannya, kita sentuh perasaaanya, dan kita kuatkan jiwanya.

Sekadar cerdas saja tidak cukup jika kita ingin mempersiapkan anak-anak itu mampu mengemban amanah pada zamannya. Sekadar cerdas saja tidak cukup jika kita ingin mereka mampu menggenggam dunia di tangannya, dan memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah ’Azza wa Jalla. Sungguh, anak-anak itu lahir untuk zaman yang berbeda dengan zaman kita.

Maka, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak-anak itu menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur mereka, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.

Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan, dan kasih sayang.

Betapa banyak orangtua yang merasa telah memberi bekal terbaik dengan memasukkan anak-anak di sekolah unggulan. Padahal, yang sesungguhnya terjadi, anak-anak itu sedang dilemahkan jiwanya karena tak pernah menghadapi tantangan, dukungan, dorongan, dan apresiasi yang seimbang. Ibarat ayam, mereka menjadi ayam potong yang mudah patah oleh angin berembus.

Sungguh, inilah yang banyak merisaukan saya belakangan ini. Itu sebabnya tulisan-tulisan saya dalam buku ini kadang terasa mengentak dan penuh kecamuk, kadang tenang dan mengalir. Kadang saya menangis saat menulis karena mengingat masa depan anak-anak itu dan mengingat betapa saya selaku orangtua lebih sering berlaku zalim daripada adil terhadap anak. Saya khawatir, mereka menyesal punya bapak seperti saya (Maafkan bapakmu, Nak…).

Tulisan-tulisan dalam buku ini sebagiannya saya persiapkan agar kelak kita tidak menyesal menjadi orangtua, baik karena salah niat maupun salah tingkah.

Waktu dan tenaga sudah banyak kita habiskan, maka kita harus mengarahkan pendidikan bagi anak-anak kita agar kita bisa petik hasilnya di akhirat nanti.

Agar anak-anak itu kelak mampu memberi warna bagi zamannya dan bukan diwarnai, mereka harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan kukuh. Mereka harus memiliki kekuatan penggerak dalam diri mereka untuk berbuat dan melakukan yang terbaik.

Kita persiapkan mereka untuk menjadi pemimpin dunia. Bukan pemimpi yang sibuk berpanjang angan-angan, insya Allah.

Selebihnya, semoga kita bisa saling mengingatkan. Sudah banyak hari mereka—anak-anak kita—yang terlewat begitu saja tanpa kita maknai. Semoga Allah mengampuni kezaliman kita, saat kita membiarkan anak-anak itu tidak memaknai waktu yang Allah berikan kepada mereka. Semoga pula kita mampu berbenah dan mengasah ilmu. Sungguh semakin jauh perjalanan, semakin terasa betapa sedikitnya ilmu yang saya miliki untuk mengasuh dan membesarkan anak. Saya tidak tahu dengan keadaan Anda. Sekiranya Anda memiliki kelebihan ilmu, ingin rasanya saya menimba ilmu dari Anda.

Itu saja. Salam saya untuk Anda sekeluarga.

Rabu, 09 September 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Surat Permintaan Izin Penyerangan Batavia Kepada Kholifah Turki 'Utsmani Tahun 1850

Surat Paduka Seri Sultan 'Alauddin Manshur Syah Johan Berdaulat Dhilulloh fil 'alam kepada Sultan 'Abdul Majid Khan, kholifah Turki 'Utsmani di Istanbul.

[1] اللهم إن قلوبنا لم تزل برفع إخلاص الدعاء صادقة وألسنتنا في حالة السر والعلانية ناطقة سائلين بلسان الضراعة وقلب الانكسار باسطين أيدي الذل والافتقار أن تسعفنا بامداد رئيس الدولة
[2] الميمونة السلطانية العثمانية بمزيد العلا والتمكين وأن تحقق لنا آمالنا فيها بإعلاء كلمة الله العليا وإقامة دعائم الدين وقمع مكائد الكفار الملحدين لأنها الدولة التي برئت من غشيان الجنف والحيف
[3] وسلمت من طغيان القلم والسيف أخص بذلك حضرة السلطان الأعظم والخاقان الأفخم وارث الخلافة والسلطنة والملك سلطان العرب والعجم والترك الدافع لأعلام الرايات الدينية القامع لمعاندي الملة المحمدية
[4] وناصر الاسلام والإيمان وباسط بساط الأمن والأمان حضرة سعادة مولانا السلطان عبد المجيد خان خلد الله سلطنته وملكه وجعل الدنيا بأسرها ولايته وملكه
[5] ولا يزال لواء عدله المنثور باقيا إلى يوم النشور آمين بجاه طه الأمين صلى الله عليه وسلـم وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد تقبيل الأعتاب السامية التي هي ملجأ العفاة ومحل الكرم الذي ما خاب من اقتفاه فالمنهي
[6] إلى المسامع الكريمة والعواطف الرحيمة إننا معاشر سكان إقليم آشي بل وجميع سكان جزيرة سماطرا كلهم محسوبين من رعايا الدولة العلية العثمانية جيلا بعد جيل من مدة مولانا المرحوم السلطان سليم خان
[7] ابن المرحوم مولانا السلطان سليمان خان ابن المرحوم مولانا السلطان سليم أبي الفتوح خان عليهم من المولى الرحمة والرضوان وذلك مثبوتا في الدفاتر السلطانية وكانت تلك الجزيرة عظيمة مستطيلة
[8] تحتوي على جملة أقاليم ولكل إقليم وال من الدولة العلية العثمانية غير أن كل وال منهم لقبوا سلطانا وملكا بحسب أسلوبهم نظرا لكون كل واحد منهم مستقل بالتصرف والتدبير في أهل إقليمه
[9] لا يعارض فيه معارض وكانت أحوالهم مستقيمة لكون المرحوم حضرة الوزير الأعظم سنان باشا قرر سلطان كل إقليم على سلطنته في أهل إقليمه وكان نصف الدائرة الشرقية تحتوي على جزاير كبار
[10] وصغار منها جزيرتنا سماطرا ومنها بورنيو ومنها جزيرة سنده ويقال لها جاوة منها جزيرة بوقيس وكل جزيرة تحتوي على أقاليم شتى وكل إقليم يحتوي على بنادر في
[11] ساحل البحر المالح وعلى بلدان كثيرة في البرور فأراد الله بما أراد جاءت طائفة من النصارى يقال لهم هولندا ويقال لهم الفلمنك (؟) ودخلوا جزيرة سنده وأقاموا فيها بمراضاة سلطانهم بقدر معلوم
[12] من محصول كل سنة بسنته مكرا وخديعة إلى أن يتمكنوا منها فحينئذ ينقصونهم كل سنة شيئا كثيرا إلى أن أخذوا الجزيرة كلها بسائر أقاليمها وأخذوا السلاطين عندهم فمن انقاد لهم في كل شيء قد
[13] أبقوه على ملكه بماهية (؟) من عندهم ويسر له في إحكام الرعية شيء وسلطوه على الرعية في إهانتهم وتسخيرهم في أشغالهم الشاقة طول النهار والذي عصاهم نفوه إلى جهة بعيدة وسلطوا الرعية بعضها
[14] على بعض حتى أهانوا أهل الجزيرة كلها بسائر أقاليمها فبعضهم جعلوهم عسكر ومنهم حمال ومنهم مسخرون رجالا ونساء في الزرع والقلع وغرموهم كل واحد قدرا معلوما ومنعوهم من الحج
[15] وإتيان الحرمين الشريفين ومن أراد الحج منهم ما يفسحوا له إلا بتسليم خمسين ريال فرانسه ومن لم يسلم ذلك ونفذ إلى الحج خفية فعند رجوعه يحطون عليه ريال أضعاف ذلك ومنعوا أهل العلم من
[16] من الاشتغال بالعلم الشريف وجعلوهم أخس من العبد هذا ما فعلوه في خصوص سنده ويقال لها جزيرة جاوة وجعلوا كرسي مملكتهم في بندر بتاوي فهو مقر الجندرال
[17] حقهم دائما وأبدا وأخذوا من جزيرة بورنيو بندر فونتيانق وبنجر وسيمبس وأخذوا من جزيرة بوقيس بندر منكاسر وأخذوا من جزيرة سماطرا بندر فلمبان وأخذوا سلطانهم
[18] ونفوه واستملكوا الرعية وأهانوهم وأخذوا من جزيرة سماطرا أيضا بندر فادان وبنكاهولو وفريامن وناتر والبنادر المذكورة لهم سلطان يقال له المهرجا وكرسي مملكتهم مكان
[19] يقال فاقرريون فتحايلوا على الوصول إلى السلطان المذكور بمراسلات وهدايا إلى أن وصلوا إليه وحصلت بينهم صحبا بنداء مكر وخديعة إل أن يتمكنوا منهم فأخذوا السلطان
[20] المذكور ونفوه إلى بندر بتاوي وقتلوا العلماء ومنعوا أهل العلم من الاشتغال بالعلم وأخذوا أولاد الناس وأمروهم بتعلم كتبهم ورغبوهم بالمشاهرات وسخروا البا
[21] قين في اشتغالهم الشاقة رجالا ونساء وأطفالا بغير أجرة وفعلوا في النساء الفواحش جهارا وأهانوا المسلمين والمسلمات وليس مرادهم من المسلمين إلا الخروج من دين الاسلام
[22] مرة واحدة هذا ما فعلوا في إقليم مننكابو وأرادوا أن يجهزوا علينا إلى إقليم آشي فحمانا الله تعالى بسبب أثار انعامات المرحوم مولانا السلطان سليم خان بواسطة المرحوم الوزير
[23] سنان باشا رحم الله تعالى وأخذنا الغيرة وأردنا أن نجهز عليهم لطلب ثأر السلطان الذي نفوه لكون ذلك السلطان من بنى عمنا ويجمعنا وأباه جد واحد فيلزم إننا نستأذن
[24] من الدولة العلية العثمانية بحيث أننا محسوبين من رعيتهم حررنا كتابا سنة 1253 رفعناه الى الأستانة العلية صحبة القبطان تون المريكاني لعله يحضر إلينا جواب بالإذن لأن أسلافنا
[25] إذا رفعوا كتابا إلى الدولة العلية يحضر إلينا جواب فلم يحضر إلينا الجواب ثم حررنا كتابا أخر سنة 1253 صحبة قبطان كانفين الفرنساوي فلم يحضر إلينا جواب ثم بعثنا سنة 1261
[26] صحبة قبطان استلون الفرنساوي فلم يحضر إلينا جواب أيضا وصحبة كل كتاب في الثلاث النوبات هدية تليق بقدر المهدي لا بقدر المهدى إليه (المذكورة في الكشف في طرف الكتاب) ثم إننا أرسلنا
[27] جماعة من أوادمنا وكبيرهم يقال له محمد غوث بكتاب من عندنا وعمدناهم أنهم يتوجهون إلى الأستانة العلية لتقبيل الأعتاب السامية من طريق الحرمين الشريفين يحجون ويزورون
[28] النبي صلى الله عليه وسلـم ويتوجهون إلى اسلامبول وذلك سنة 1265 فإلى حال التاريخ ما جاءنا عنهم علم ولا خبر ولا ندري عنهم أنهم وصلوا أو ما وصلوا فحررنا أيضا هذا الكتاب
[29] وبعثناه في مركب الدخان إلى مكة المشرفة لعله يصل إلى الأستانة العلية لأجل أن يحيط علمكم الشريف مما حل بالمسلمين من هؤلاء الطائفة النصارى الهولندا فالمرجو من مراحم سعادتكم
[30] أن تنعموا علينا بمأمورية سلطانية يجمع بها أكابر رعيتنا من المسلمين لأجل أن تصير كلمتهم متوافقة في إقامة الجهاد في سبيل الله وإخراج هؤلاء الكفار النصارى من بلاد
[31] المسلمين لأننا إن لم نخرجهم من بلدان المسلمين نخاف على أهل الجزيرة كلها من الارتداد والخروج من دين الإسلام مرة واحدة والعياذ بالله تعالى ربنا لا يقدر ذلك فترسلون تلك المأمو
[32] رية ولجواب إلى أدميتنا محمد غوث أو إلى صح (صاحب) حضرة الباشا والي مكة المشرفة ومنه إلى المكرم الشيخ إسماعيل ابن عبد الله الخالدي هو الذي يرسل إلينا بنظره إن شاء الله الله الله هذه غاية ما نترجى من مراحم سعادة الدولة
[33] العلية العثمانية المجيدية وإن أسأنا معه الأدب في ذلك هذا ونسأل المولى الكريم الرحمن الرحيم متوسلين إليه بنبيه سيدنا محمد الرؤف الرحيم أن يديم لنا سلطاننا أجل الملوك قدرة وقدرا
[34] وأفخر السلاطين عنصرا وعصرا حامي الحرمين المحترمين مؤيد شريعة سيد الكونين بلا مير (؟) مولانا السلطان ابن السلطان ابن السلطان مولانا السلطان عبد المجيد خان ابن
[35] المرحوم مولانا السلطان عبد الحميد خان اللهم أيده وانصره واسرح برياح النصر أعلامه آمين بجاه النبي الأمين صلى الله عليه وسلـم
[36] وعلى آله وصحبه أجمعين آمين محرر في 13 جمادى الأول سنة 1266

Terjemahan:
Ya Alloh, sesungguhnya hati kami masih sejujurnya memanjatkan doa yang tulus, dan ucapan kami baik dalam kesendirian maupun di depan orang masih saja menuturkan serta memohon dengan kata-kata yang penuh kerendahan dan dengan hati yang luluh, sambil merentangkan tangan kerendahan dan ketergantungan, semoga Engkau menolong kami dengan menganugerahkan kepada Kepala Negara (daulah) yang Diberkahi Kesultanan Utsmaniyyah tambahan ketinggian dan kemantapan [dalam kekuasaan], dan semoga Engkau mewujudkan bagi kami berbagai harapan kami kepadanya dalam [upaya] meninggikan kalimatulloh (agama Alloh) yang luhur, dan dalam menegakkan fondasi-fondasi Agama serta dalam menghancurkan berbagai tipu muslihat orang-orang kafir yang tidak bertuhan. Itu dikarenakan ia adalah Negara yang catatannya bersih dari kezholiman dan ketidakadilan, dan tidak berada di bawah tekanan mata pedang dan mata pena.

Saya istimewakan dengan semua itu Hadarot Sultan yang agung dan Khoqon yang besar; Pewaris khilafah, kesultanan dan kerajaan; Sultan orang-orang Arab, ‘Ajam dan Turki; Pembela panji-panji keagamaan; Penghancur orang-orang yang bersikap keras kepala terhadap Agama Muhammad [saw.]; Pembela Iman dan Islam; Pembentang hamparan kedamaian dan keamanan, Hadarat yang Berbahagia Tuan kami Sultan ‘Abdul Majid Khan—semoga Alloh mengekalkan kerajaan dan kesultanannya, menjadikan segenap penjuru dunia sebagai kerajaan dan wilayahnya, dan semoga senantiasa panji keadilannya yang bertebaran kekal abadi sampai dengan hari dibangkitkan. Perkenankanlah semua itu dengan berkat kehormatan Thoha (Nabi Muhammad) Al-Amin (yang terpercaya)—semoga Alloh menyampaikan sholawat dan salam ke atas beliau, keluarga dan para sahabat beliau sekalian.

Setelah mengecup “Jenjang-jenjang tangga yang tinggi” (kiasan diplomatik untuk menyebut Sultan dari Dinasti Utsmaniyyah) yang merupakan tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya, maka telah sampai kepada “Pendengaran yang mulia dan Perasaan yang penuh kasih sayang” (kiasan diplomatik) bahwa sesungguhnya kami seluruh penduduk Negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk Pulau Sumatera tergolong ke dalam rakyat Daulah ‘Aliyyah Utsmaniyyah, dari generasi ke generasi semenjak Tuan kami Al-Marhum Sultan Salim Khan anak Al-Marhum Tuan kami Sultan Sulaiman Khan anak Al-Marhum Tuan kami Sultan Salim Abul Futuh Khan (Abul Futuh: bapak pembebasan)—semoga terlimpah rohmat dan ridho Alloh ke atas mereka semuanya. Dan itu telah tercantum dalam arsip kesultanan.

Pulau itu (Sumatera) adalah pulau yang besar dan terhampar memanjang. Ia meliputi sejumlah negeri. Setiap negeri memiliki seorang wali (gubernur) dari pihak Daulah ‘Aliyyah Utsmaniyyah. Namun setiap wali itu digelar dengan sultan dan raja sesuai cara mereka masing-masing lantaran setiap mereka bebas (merdeka) untuk mengurus dan bertindak terhadap penduduk negeri mereka, serta tidak dapat dihalang seorang pun.

Mereka hidup dalam keadaan stabil sebab Al-Marhum Wazir (menteri) Agung Sinan Basha telah mengakui sultan setiap negeri atas kesultanannya terhadap penghuni negeri itu.

Adalah separoh Kawasan Timur terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil. Di antaranya adalah pulau kami, Sumatera, lalu Pulau Borneo, Pulau Sunda yang juga disebutkan dengan Pulau Jawa, dan Pulau Bugis. Setiap pulau terdiri dari berbagai negeri, dan setiap negeri memiliki bandar-bandar di pesisir laut yang asin dan kota-kota yang sangat banyak di daratan.

Lalu, Alloh menghendaki segala yang Dia kehendaki.

Telah datang satu golongan Nasrani yang bernama Belanda, dan juga disebut dengan Flemings (?). Mereka memasuki Pulau Sunda dan menetap di dalamnya setelah dengan penuh tipu muslihat dan makar mereka membeli perkenan sultan dengan jumlah tertentu dari penghasilan setiap tahunnya. Setelah mereka memantapkan diri di Sunda barulah kemudian mereka mengurangi hak sultan dalam jumlah yang banyak di setiap tahunnya. Sampai kemudian mereka berhasil menguasai Pulau secara keseluruhan berikut seluruh negerinya pula. Mereka mengangkat sultan-sultan dari pihak mereka. Orang yang bersedia tunduk patuh kepada mereka dalam segala sesuatu, mereka pertahankan di atas tahta kerajaan dengan [aturan] dari pihak mereka. Mereka juga mempermudah orang seperti itu untuk mengendalikan rakyatnya, memberikannya kekuasaan untuk merendahkan serta memperkerjakan rakyat dengan berbagai pekerjaan berat sepanjang hari. Sementara orang yang tidak mau patuh kepada mereka, dibuang ke tempat yang jauh.

Mereka juga memberi kewenangan untuk rakyat mezholimi sesamanya sehingga mereka berhasil merendahkan seluruh rakyat pribumi; sebagian rakyat ada yang direkrut untuk menjadi tentara, sebagian yang lain dijadikan kuli pikul, dan lainnya lagi, laki-laki dan wanita, diperkerjakan untuk menanam dan mencabut, dan rakyat dikenakan denda dalam jumlah yang sudah ditentukan.

Rakyat juga dilarang untuk menunaikan haji dan pergi ke dua tanah haram yang mulia. Mereka tidak memberikan izin perjalanan kepada orang-orang yang hendak menunaikan haji sebelum membayar 50.000 riyal Franc. Orang yang tidak membayar, dan pergi haji secara sembunyi-sembunyi, maka pada waktu pulang ia akan dikenakan bayaran berkali-kali lipat dari itu.

Mereka juga melarang para ulama belajar dan mengajarkan ilmu yang mulia. Mereka memperlakukan ulama sebagai manusia yang lebih rendah dari hamba sahaya.

Inilah yang mereka lakukan secara khusus di Pulau Sunda, yang juga disebut dengan Pulau Jawa. Dan mereka menjadikan pusat pemerintahan mereka di Bandar Betawi, tempat Jenderal berkedudukan, sebagai hak mereka yang tidak dapat diganggu gugat sepanjang masa.

Sedangkan di Pulau Borneo mereka mengambil Bandar Pontianak, Banjar, dan Sambas. Di Pulau Bugis mereka mengambil Bandar Munkasar. Dan di Pulau Sumatera, mereka mengambil Bandar Palembang. Mereka mengambil Sultan Palembang dan membuangnya. Rakyat Palembang direndahkan dan diperbudak.

Di Pulau Sumatera, mereka juga mengambil Bandar Padang, Bangkahulu, Pariaman, dan Natar. Bandar-bandar tersebut memiliki sultan yang mereka panggil Maharaja. Pusat pemerintahan mereka di Pagaruyung. Orang-orang Belanda melakukan tipu muslihat untuk menjatuhkan sultan tersebut dengan cara menyurati dan mengiriminya hadiah hingga mereka berhasil dan terjalin persahabatan di antara mereka diiringi dengan ajakan yang penuh tipu muslihat dan makar. Sampai pengaruh mereka mantap, mereka mengambil sultan tersebut dan membuangnya ke Bandar Betawi.

Mereka membunuh ulama dan melarang para sarjana Islam melakukan aktifitas keilmuan. Anak-anak rakyat disuruh untuk mempelajari buku-buku mereka, dan mereka menggalakkan orang-orang untuk saling mempermalukan. Selebihnya, dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat baik itu laki-laki, perempuan maupun anak-anak, dengan tanpa upah.

Mereka melecehkan kaum wanita secara terang-terangan, dan merendahkan orang-orang Islam, laki-laki maupun perempuan. Yang mereka maui tidak lain adalah agar orang-orang Islam keluar dari agama Islam sekaligus.

Itulah yang mereka lakukan di Minangkabau, dan mereka bersiap untuk menyerang kami di Negeri Aceh namun Alloh telah memelihara kami dengan sebab pusaka-pusaka dari berbagai anugerah yang diberikan Al-Marhum Tuan kami Sultan Salim Khan lewat perantaraan Al-Marhum Wazir Sinan Basha—semoga Alloh merohmati mereka. Dan kami telah mengambil sikap untuk menjaga dan bersiap untuk menyerang mereka demi menuntut balas atas perlakuan mereka kepada Sultan (Minangkabau) yang mereka buang. Sikap kami tersebut adalah lantaran Sultan itu adalah salah seorang anak paman kami dan antara kami dan ayahnya terhubung kekerabatan oleh karena satu kakek.

Dari itu, wajiblah kami memohon izin dari Daulah ‘Aliyyah ‘Utsmaniyyah sebab kami terhitung di antara rakyat mereka. Maka kami tulis sebuah surat pada tahun 1253 yang kami haturkan ke Astanah ‘Aliyyah yang dibawa oleh Kapten Tun Al-Marikaniy (orang Amerika) dengan harapan ia dapat membawa jawaban berupa izin [yang kami maksud].

Itu dikarenakan para pendahulu kami manakala mereka menghaturkan sebuah surat kepada Daulah ‘Aliyyah, maka mereka akan mendapatkan jawaban. Namun, jawaban yang kami tunggu itu ternyata tidak pernah sampai. Kemudian kami tulis kembali sebuah surat pada tahun 1253 yang dikirim via Kapten Kanvine (?) dari Prancis, dan ternyata juga tidak datang jawaban. Kami kirimkan lagi pada 1261 sepucuk surat via Kapten Estelon (?) dari Prancis, namun tidak juga kami dapati balasan. Padahal, pada setiap kali surat-surat itu dikirimkan telah dipersembahkan pula hadiah sebagaimana yang pantas menurut pemberi hadiah, bukan menurut penerima hadiah—hadiah-hadiah tersebut adalah sebagaimana dirincikan dalam daftar pada sampul surat.

Kemudian, sesungguhnya kami telah mengutus satu delegasi yang terdiri dari kaum kerabat kami dipimpin Muhammad Ghauts membawa sepucuk surat dari kami. Mereka telah kami kukuhkan untuk melakukan perjalanan menuju Astanah ‘Aliyyah untuk mengecup “Jenjang-jenjang tangga yang tinggi” melalui dua tanah haram yang mulia, naik haji dan menziarahi Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, dan kemudian menuju ke Islambul.

Itu pada tahun 1265, dan hingga tanggal hari ini, belum sampai kepada kami apapun pemberitahuan dan kabar. Kami tidak tahu tentang mereka apakah telah sampai atau belum. Maka kami tulis surat ini dan kami kirim lewat sebuah kapal asap ke Makkah yang mulia dengan harapan sampai ke Astanah ‘Aliyyah supaya Tuan yang mulia dapat memaklumi apa saja yang telah terjadi dengan kaum Muslimin akibat perbuatan golongan Nasrani Belanda itu.

Maka dari itu, yang diharapkan dari sumber kasih sayang Tuan yang berbahagia adalah menganugrahi kami sebuah titah kesultanan yang dapat menyatukan seluruh para pembesar rakyat kami dari kaum Muslimin supaya suara mereka bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad di jalan Alloh dan mengusir kaum kafir Nasrani itu dari negeri-negeri kaum Muslimin. Sebab, jika kami tidak mengusir mereka dari negeri-negeri kaum Muslim, kami kuatir seluruh penghuni pulau akan murtad dan keluar dari agama Islam sekaligus—kita berlindung kepada Alloh Ta’ala atas yang demikian, dan semoga Alloh tidak menakdirkan hal itu. Maka hendaklah Tuan mengirimkan kepada kami titah itu.

Untuk jawaban surat ini dapat disampaikan kepada kerabat kami Muhammad Ghauts atau kepada hadarat Basha Wali (gubernur) Makkah yang mulia, dan dari dia nanti disampaikan kepada yang mulia Syaikh Isma’il bin ‘Abdulloh Al-Kholidiy. Dia nanti yang akan mengirimkan kepada kami dengan caranya sendiri, Insya Alloh.

Alloh, Alloh, inilah tujuan yang paling kami harapkan dari Sumber kasih sayang Yang Berbahagia Daulah ‘Aliyyah Utsmaniyyah Sultan Abdul Majid sekalipun kami telah berlaku tidak sopan kepadanya.

Inilah saja, dan kami memanjatkan doa kepada Alloh Yang Maha Mulia, Maha Pemurah lagi Maha Pengasih, seraya berwasilah kepada-Nya dengan Nabi-Nya, Penghulu kita Muhammad yang penyayang dan pengasih, semoga Alloh memanjangkan umur Sultan kami yang adalah seagung-agung raja baik kedudukan maupun kemampuannya, Sultan yang paling dibanggakan baik keturunan maupun masanya, Pengawal kedua tanah haram, Pendukung syari’at Penghulu dua alam yang tak disangsikan, Tuan kami Sultan anak Sultan anak Sultan, Tuan kami Sultan ‘Abdul Majid Khan anak Al-Marhum Tuan kami Sultan ‘Abdul Hamin Khan.

Ya Alloh dukunglah ia dan berikanlah kemenangan kepadanya, dan kibarkanlah panji-panjinya dengan angin kemenangan. Perkenankanlah, Ya Alloh, dengan kehormatan Nabi yang terpercaya—semoga Alloh menyampaikan sholawat dan salam ke atas beliau, keluarga dan para sahabat beliau sekalian. Ditulis pada 13 Jumadil Awal tahun 1266 (27 Maret 1850).


Dipublikasikan oleh Dr. Annabel Gallop dan kawan-kawannya dalam tulisan bertajuk: “Islam, Trade and Politics Across The Indian Ocean