Rabu, 11 Juli 2018

Idul Fithri di Masa Nabi SAW

Selama ini kita agak rancu dalam mempersamakan ‘idul fithri dengan ‘idul fithroh. Karena makna “fithri” dalam istilah “‘idul fithri” bukanlah satu pengertian dengan “kembali kepada fithroh”. Tetapi arti “fithri” sesuai makna dalam hadits adalah “kembali berbuka (fathoro-yafthuru)”.

Dari Abu Huroiroh, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda, “Shoum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan Adha itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan.” (Hadits shohih dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, ad-Daruquthni).

Maka pemahaman yang harus kita tegaskan dalam ‘idul fithri adalah tidak serta merta kembali suci seperti bayi baru lahir. Tidaklah semua orang mendapatkan kemuliaan seperti itu. Meski pun ada sebagian yang mendapatkan hal itu karena telah menegakkan hak-hak Romadhon, sehingga keluar Romadhon seperti pertama dilahirkan.

“Bahwasanya Alloh SWT telah memfardhukan puasa Romadhon, dan saya telah mensunnahkan qiyam pada malamnya. Maka barangsiapa berpuasa pada siangnya dan bersholat pada malamnya karena mengharap akan Alloh, niscaya keluarlah dia dari dosa seperti di hari dia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad)

Kedua pengertian di atas tidak perlu kita campur adukkan. Karena kita kembali mengkaji makna “fithri” sebagai waktu kembali berbuka setelah Romadhon. “... Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka...”

Jadi, ada 2 makna yang berlainan antara “fithri” (ifthor= kembali berbuka) dan “fithroh” (kondisi awal mula dilahirkan).

Dalam suatu hadits Rosululloh saw yang diriwayatkan dari Anas ra bahwa beliau berkata, “Rosululloh saw datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (‘Iedul Adha) dan hari Fithri (‘Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)


Dua hari raya yang dimiliki penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut (kejayaan Persia) karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyari'atan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh (al-Qur’an) maupun Rosul-Nya (al-Hadits).