Sabtu, 09 Mei 2020

Robohnya Surau Kami


Kalau beberapa tahun jang lalu tuan datang kekota kelahiranku dengan menompang bis, tuan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menjusuri djalanraja arah kebarat. Maka kirakira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan didjalan kampungku. Pada simpangketjil kekanan, simpang jang kelima, membeloklah kedjalan sempit itu. Dan diudjung djalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Didepannja ada kolam ikan, jang airnja mengalir melalui empat buah pantjuran mandi.
Dan dipelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua jang biasanja duduk disana dengan segala tingkah ketuaannja dan keta’atannja beribadat. Sudah bertahuntahun ia sebagai garin, pendjaga surau itu. Orangorang memanggilnja kakek.
Sebagai pendjaga surau, kakek tidak mendapat apaapa. Ia hidup dari sedekah jang dipungutnja sekali sedjumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikanmas dari kolam itu. Dan sekali setahun orangorang mengantarkan fitrah Id kepadanja. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerdjaannja itu. Orangorang suka minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinja sambal sebagai imbalan. Orang lakilaki jang minta tolong, memberinja imbalan rokok, kadangkadang wang. Tapi jang paling sering diterimanja ialah utjapan terimakasih dan sedikit senjum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa pendjaganja. Hingga anakanak menggunakannja sebagai tempat bermain, memainkan segala apa jang disukai mereka. Perempuan jang kehabisan kajubakar, sering suka mentjopoti papan dinding atau lantai dimalam hari.
Djika tuan datang sekarang, hanja akan mendjumpai suatu gambaran jang mengesankan suatu kesutjian jang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian tjepat berlangsungnja. Setjepat anakanak berlari didalamnja, setjepat perempuan mentjopoti pekajuannja. Dan jang terutama ialah sipat masabodoh manusia sekarang jang tak hendak memelihara apa jang tak didjaga lagi.
Dan barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan jang tak dapat disangkal kebenarannja. Begitu kisahnja.
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanja kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinja wang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Disudut benar ia duduk dengan lututnja menegak menopang tangan dan dagunja. Pandanganja saju kedepan, seolaholah ada sesuatu jang mengamuk pikirannja. Sebuah beleksusu jang berisi minjakkelapa, sebuah asahan halus, kulit sol pandjang dan pisautjukur tua berserakan disekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durdja dan belum pernah salamku tak disahutinja seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnja dan aku djamah pisau itu. Dan aku tanja kakek : — Pisau siapa, kek ?—
— Adjo Sidi —
— Adjo Sidi ?—
Kakek tak menjahut. Maka aku ingat Adjo Sidi, sipembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannja. Adjo Sidi bisa mengikat orangorang dengan bualannja jang anehaneh sepandjang hari. Tapi itu djarang terdjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerdjaannja. Sebagai pembual, sukses terbesar baginja ialah karena semua pelakupelaku jang ditjeritakannja mendjadi model orang untuk diedjek dan tjeritanja mendjadi pameo achirnja. Adaada sadja orangorang sekitar kampungku jang mentjotjoki watak dari pelakupelaku tjeritanja. Ketika sekali ia mentjeritakan bagaimana sipat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang jang ketagihan djadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selandjutnja pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tibatiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Adjo Sidi kepadanja. Apakah Adjo Sidi telah membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah jang mendurdjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanja kakek lagi :
— Apa tjeritanja, kek ? —
— Siapa ? —
— Adjo Sidi —
— Kurang adjar dia — kakek mendjawab lesu.
— Kenapa ? —
— Mudahmudahan pisau tjukur ini, jang kuasah tadjamtadjam ini menggoroh tenggorokannja —
— Kakek marah ? —
— Marah ? Ja, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orangtua menahan ragam. Sudah lama aku tak marahmarah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanja, ibadatku, rusak karenanja. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menjerahkan diriku kepadaNja. Dan Tuhan akan mengasihi orang jang sabar dan tawakal.
Ingin tahuku dengan tjerita Adjo Sidi jang memurungkan kakek djadi memuntjak. Aku tanja lagi kakek : — Bagaimana katanja, kek ? —
Tapi kakek diam sadja. Berat hatinja bertjerita barangkali. Karena aku telah berulangulang bertanja, lalu ia jang bertanja kepadaku. — Kau kenal padaku, bukan ? Sedari kau ketjil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan ? Kautahu apa jang kulakukan semua, bukan ? Terkutukkah perbuatanku ? Dikutuki Tuhankah semua pekerdjaanku ? —
Tapi aku tak perlu mendjawabnja lagi. Sebab aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnja, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanjaannja sendiri  — Sedari mudaku aku disini, bukan ? Tak kuingat punja isteri, punja anak, punja keluarga seperti orangorang lain, tahu ? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin tjari kaja, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Tak pernah aku menjusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnja. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu jang kulakukan, sangkamu ? Akan dikutukiNja aku kalau selama hidupku akan mengabdi kepadanja ? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku jakin Tuhan itu ada dan pengasih penjajang kepada umatNja jang tawakal. Aku bangun pagipagi. Aku bersutji. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnja, supaja bersudjut kepadaNja. Aku sembahjang setiap waktu, siang malam, pagi sore. Aku sebutsebut namaNja selalu. Aku pudjipudji Dia. Aku batja kitabNja. Alhamdulillah, kataku bila aku menerima kurniaNja. Astaghfirullah, kataku bila terkedjut. Masjaallah, kataku bila aku kagum. Apakah salahnja pekerdjaanku itu ? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk —
Ketika kakek terdiam agak lama, aku menjelakan tanjaku : — Ia katakan kakek begitu, kek ?
— Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kirakiranja.
Dan aku melihat mata kakek berlinang. Aku djadi belas kepadanja. Dalam hatiku aku mengumpati Adjo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa tjerita Adjo Sidi jang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku mendjadikan aku njinjir bertanja. Dan akirnja kakek bertjerita djuga.
— Pada suatu waktu, — kata Adjo Sidi memulai — diakirat Tuhan Allah memeriksa orangorang jang sudah berpulang. Para malaikat bertugas disampingNya. Ditangan mereka tergenggam daptar dosa dan pahala manusia. Begitu banjaknja orang jang diperiksa. Maklumlah dimanamana ada perang. Dan diantara orangorang jang diperiksa itu ada seorang jang didunia dinamai Hadji Saleh. Hadji Saleh itu tersenjumsenjum sadja karena ia sudah begitu jakin akan dimasukkan kesorga. Kedua tangannja ditopangkannja dipinggang sambil dibusungkan dada dan menekurkan kepala kekuduk. Ketika dilihatnja orangorang jang masuk neraka, bibirnja menjunggingkan senjum edjekan. Dan ketika ia melihat orang jang masuk sorga ia melambaikan tangannja, seolah hendak mengatakan ,,selamat ketemu nanti”. Bagai tak habishabisnja orang jang berantri, begitu pandjangnja. Susut jang dimuka, bertambah jang dibelakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sipatNya.
Akirnja sampailah giliran Hadji Saleh. Sambil senjum bangga ia menjembah Tuhan. Lalu Tuhan mengadjukan pertanjaan pertama.
— Engkau ? —
— Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Hadji Saleh namaku —
— Aku tidak tanja nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanja buat engkau didunia —
— Ja, Tuhanku —
— Apa kerdjamu didunia ? —
— Aku menjembah Engkau selalu, Tuhanku. —
— Lain ?
— Segala tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat djahat, walaupun dunia seluruhnja penuh oleh dosadosa jang dihumbalangkan iblis laknat itu.
— Lain ?—
— Ja, Tuhanku, tak ada pekerdjaanku selain daripada beribadat menjembahMu, menjebutnjebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, namaMu mendjadi buah bibirku djuga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan hatiMu untuk mengisapkan umatMu —
— Lain ? —
Hadji Saleh tak dapat mendjawab lagi. Ia telah mentjeritakan segala jang ia kerdjakan. Tapi ia insap, bahwa pertanjaan Tuhan bukan asal bertanja sadja, tentu ada lagi jang belum dikatakannja. Tapi menurut pendapatnja, ia telah mentjeritakan segalanja. Ia tak tahu lagi apa jang harus dikatakannja. Ia termenung dan menekurkan kepalanja. Api neraka tibatiba menghawakan kehangatannja ketubuh Hadji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap airmatanja mengalir, dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
— Lain lagi ? — tanja Tuhan.
— Sudah hambaMu tjeritakan semuanja, o Tuhan jang Maha Besar, lagi pengasih dan penjajang, adil dan maha tahu. — Hadji Saleh jang sudah kuju mentjobakan siasat merendahkan diri dan memudji Tuhan dengan mengharapkan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnja dan tidak salah tanja kepadanja.
Tapi Tuhan bertanja lagi : — Tak ada lagi ? —
— O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membatja KitabMu —
— Lain ? —
— Sudah kutjeritakan semuanja, o, Tuhanku. Tapi kalau ada jang aku lupa mengatakannja, akupun bersukur karena Engkaulah jang Maha Tahu —
— Sungguh tidak ada lagi jang kau kerdjakan didunia selain jang kau tjeritakan tadi ? —
— Ja, itulah semuanja, Tuhanku —
— Masuk kamu —
Dan malaikat dengan sigap mendjewer Hadji Saleh keneraka. Hadji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa keneraka. Ia tak mengerti apa jang dikehendaki Tuhan daripadanja dan ia pertjaja Tuhan tidak silap.
Alangkah tertjengangnja Hadji Saleh, karena dineraka itu banjak temantemannja didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinja, karena semua orangorang jang dilihatnja dineraka tak kurang ibadatnja dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang jang telah sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar Sjech pula. Lalu Hadji Saleh mendekati mereka, lalu bertanja kenapa mereka dineraka semuanja. Tapi sebagaimana Hadji Saleh, orangorang itupun tak mengerti djuga.
— Bagaimana Tuhan kita ini ? — kata Hadji Saleh kemudian, — Bukankah kita disuruhNja taat beribadat, teguh beriman ? Dan itu semua sudah kita kerdjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan keneraka —
— Ja. Kami djuga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orangorang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannja beribadat —
— Ini sungguh tidak adil —
— Memang tidak adil — kata orangorang itu mengulangi utjapan Hadji Saleh.
— Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita.
Kita harus mengingatkan Tuhan, kalaukalau Ia silap memasukkan kita keneraka ini —
— Benar. Benar. Benar — sorakan jang lain membenarkan Hadji Saleh.
— Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNja, bagaimana ? — suatu suara melengking didalam kelompok orang banjak itu.
— Kita protes. Kita resolusikan — Kata Hadji Saleh.
— Apa kita repolusikan djuga ? — tanja suara jang lain, jang rupanja didunia mendjadi pemimpin gerakan repolusioner.
— Itu tergantung pada keadaan — kata Hadji Saleh. Jang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan —
— Tjotjok sekali. Didunia dulu dengan demonstrasi sadja, banjak jang kita peroleh — sebuah suara menjela.
— Setudju. Setudju. Setudju — mereka bersorak beramairamai.
Lalu mereka berangkatlah bersamasama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanja : — Kalian mau apa ? —
Hadji Saleh jang djadi pemimpin dan djurubitjara tampil kedepan. Dan dengan suara jang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonja : O, Tuhan kami jang Maha Besar. Kami jang menghadapMu ini adalah umatMu jang paling taat beribadat, jang paling taat menjembahMu. Kamilah orangorang jang selalu menjebut namaMu, memudjimudji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lainlainnja. KitabMu kami apal diluar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membatjanja. Akan tetapi Tuhanku jang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami keneraka. Maka sebelum terdjadi halhal jang tak diingini, maka disini, atas nama orangorang jang tjinta padaMu, kami menuntut agar hukuman jang Kau djatuhkan kepada kami ditindjau kembali dan memasukkan kami kesorga sebagaimana jang Engkau djandjikan dalam kitabMu.
— Kalian didunia tinggal dimana ? — tanja Tuhan.
— Kami ini adalah umatMu jang tinggal di Indonesia, Tuhanku —
O, dinegeri jang tanahnja subur itu ? —
— Ja. Benarlah itu, Tuhanku —
— Tanahnja jang mahakajanja, penuh oleh logam, minjak dan berbagai bahan tambang lainnja, bukan ? —
— Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami — mereka mulai mendjawab serentak. Karena padjar kegembiraan telah membajang diwadjahnja kembali. Dan jakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap mendjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
— Dinegeri, dimana tanahnja begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam ? —
— Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami —
— Dinegeri, dimana penduduknja sendiri melarat itu ? —
— Ja. Ja. Ja. Itulah dia negeri kami —
— Negeri jang lama diperbudak orang lain itu —
— Ja, Tuhanku. Sungguh laknat pendjadjah itu, Tuhanku —
— Dan hasil tanahmu, mereka jang mengeruknja dan diangkutnja kenegerinja, bukan ? —
— Benar, Tuhanku, hingga kami tak mendapat apaapa lagi. Sungguh laknat mereka itu —
— Dinegeri jang selalu katjau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain djuga jang mengambilnja, bukan ? —
— Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal hartabenda itu, kami takmau tahu. Jang penting bagi kami ialah menjembah dan memudji Engkau —
— Engkau rela tetap melarat, bukan ? —
— Benar. Kami rela sekali, Tuhanku —
— Karena kerelaanmu itu, anaktjutjumu tetap djuga melarat bukan ? —
— Sungguhpun anaktjutju kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengadji. KitabMu mereka hapal diluar kepala belaka —
— Tapi seperti kamu djuga, apa jang disebutnja tidak dimasukkan kehatinja, bukan ? —
— Ada, Tuhanku —
— Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anaktjutjumu teraniaja semua. Sedang hartabendamu kau biarkan orang lain mengambilnja untuk anaktjutju mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri jang kajaraja, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat sadja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menjuruh engkau semuanja beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pudjian, mabuk disembah sadja, hingga kerdjamu lain tidak memudjimudji dan menjembahku sadja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali keneraka. Letakkan dikeraknja —
Semuanja djadi putjatpasi tak berani berkata apaapa lagi. Tahulah mereka sekarang apa djalan jang diridai Allah didunia.
Tapi Hadji Saleh ingin djuga kepastian apakah jang dikerdjakannja didunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanja kepada Tuhan, ia bertanja sadja pada malaikat jang mengiring mereka itu.
— Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menjembah Tuhan didunia ? — tanja Hadji Saleh.
— Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahjang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, hingga mereka itu kutjarkatjir selamanja. Itulah kesalahanmu jang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanja, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun —
Demikianlah tjerita Adjo Sidi jang kudengar dari kakek. Tjerita jang memurungkan kakek.
Dan besoknja, ketika aku mau turun rumah pagipagi, isteriku berkata apa aku tak pergi mendjenguk.
— Siapa jang meninggal — tanjaku kaget.
— Kakek —
— Kakek ? —
— Ja. Tadi subuh kakek kedapatan mati disuraunja dalam keadaan jang ngeri sekali. Ia menggoroh lehernja dengan pisau tjukur —
— Astaga. Adjo Sidi punja garagara — kataku seraja melangkah setjepatnja meninggalkan isteriku jang tertjengangtjengang.
Aku tjari Adjo Sidi kerumahnja. Tapi aku berdjumpa sama isterinja sadja. Lalu aku tanja dia.
— Ia sudah pergi — djawab isteri Adjo Sidi.
— Tidak ia tahu kakek meninggal ? —
— Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat kakek tudjuh lapis —
— Dan sekarang — tanjaku kehilangan akal sungguh mendengar peristiwa oleh perbuatan Adjo Sidi jang tidak sedikitpun bertanggungdjawab — dan sekarang kemana dia ? —
— Kerdja—
— Kerdja ? — tanjaku mengulangi hampa.
— Ja. Dia pergi kerdja —

A.A. Navis
Bukittinggi, Maret 1955

***
Kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, tuan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang di pungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terimakasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai suatu gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang tak dijaga lagi.
Dan barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Begitu kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandanganya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya kakek: “Pisau siapa, kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi itu jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnja. Ada-ada saja orang-orang sekitar kampungku yang mencocoki watak dari pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya kakek lagi:
“Apa ceritanja, kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” kakek menjawab lesu.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orangtua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku, rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepadaNya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek, “Bagaimana katanya, kek?”
Tapi kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku. “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kautahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanyaannya sendiri. “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukiNya aku kalau selama hidupku akan mengabdi kepadanya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaja bersujud kepadaNya. Aku sembahyang setiap waktu, siang malam, pagi sore. Aku sebut-sebut namaNya selalu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitabNya. Alhamdulillah, kataku bila aku menerima kurniaNya. Astaghfirullah, kataku bila terkejut. Masya Allah, kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan kakek begitu, kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya kakek bercerita juga.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di sampingNya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan diantara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenjum-senjum saja karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkannya di pinggang sambil dibusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan, “Selamat ketemu nanti.” Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri, begitu panjangnya. Susut yang di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifatNya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil senyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
“Engkau?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
“Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”
“Ya, Tuhanku.”
“Apa kerjamu di dunia?”
“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”
“Lain?”
“Segala tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.
“Lain?”
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembahMu, menyebut-nyebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, namaMu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan hatiMu untuk mengisapkan umatMu.”
“Lain?”
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insyaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
“Lain lagi?” tanja Tuhan.
“Sudah hambaMu ceritakan semuanya, o Tuhan yang Maha Besar, lagi Pengasih dan Penyayang, adil dan Maha Tahu.” Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan mengharapkan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi, “Tak ada lagi?”
“O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca KitabMu.”
“Lain?”
“Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Maha Tahu.”
“Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi?”
“Ya, itulah semuanya, Tuhanku.”
“Masuk kamu.”
Dan malaikat dengan sigap menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar Syech pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “Bukankah kita disuruhNya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”
“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNya, bagaimana?” suatu suara melengking didalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.
“Apa kita revolusikan juga?” tanja suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju,” mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, “Kalian mau apa?”
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya, “O, Tuhan kami yang Maha Besar. Kami yang menghadapMu ini adalah umatMu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahMu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut namaMu, memuji-muji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lain-lainnya. KitabMu kami apal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi Tuhanku yang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka disini, atas nama orang-orang yang cinta padaMu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitabMu.
“Kalian di dunia tinggal dimana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umatMu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakayanya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, dimana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, dimana penduduknya sendiri melarat itu?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu.”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku, hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat bukan?”
“Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. KitabMu mereka hapal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan dikeraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridhai Allah di dunia.
Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang mengiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari kakek. Cerita yang memurungkan kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, isteriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal,” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan isteriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama isterinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab isteri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab. “Dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”