Ada beberapa ciri dari orang yang hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal adalah paku.
Pertama, mereka seringkali bertindak sebelum
mengetahui gambaran persoalan dengan utuh sehingga mereka salah waktu dan salah
cara dalam merespons sesuatu. Dengan agak bercanda, John C. Maxwell bercerita
dalam buku Winning with People bahwa
ada seorang pria setengah baya dengan tergesa-gesa memasuki sebuah rumah makan.
Dia bergegas menuju meja kasir dan menemui seorang pelayan.
“Apakah Anda punya sesuatu
untuk menyembuhkan cegukan?” tanyanya.
Tanpa berkata
apapun, si pelayan restoran merogoh sesuatu di bawah meja. Dia mengambil lap
basah, dan menamparkannya ke wajah pria itu.
“Aduh! Apa-apaan
ini?”
“Nah,” si pelayan
tersenyum, “Sekarang cegukan Anda sudah hilang bukan?”
“Bukan saya yang
cegukan!” teriak si pria berapi-api. “Saya perlu sesuatu untuk menolong istri
saya. Dia ada di luar sana menunggu di dalam mobil!”
***
Tanda yang kedua, seringkali mereka adalah orang
yang suka mengungkit masa lalu. Dalam pembicaraan-pembicaraan, mereka suka
menyakiti sesama dengan menyebut ulang kesalahan-kesalahannya. Dengan
menunjukkan bahwa masa lalu seseorang kelam dan penuh kekhilafan, maka si
pemilik palu hendak mengatakan, “Jika dulu engkau adalah orang yang banyak
melakukan kesalahan, maka sekarang pun akulah yang benar dan engkau tetap saja
berada dalam kungkungan watakmu yang selalu keliru.”
Rosululloh pernah
mewanti-wanti hal ini kepada para istri. “Perbanyaklah sedekah,” kata beliau di
suatu hari raya pada serombongan wanita, “Karena kalian banyak kufur.” Maksud
beliau bukanlah kufur kepada Alloh, melainkan kufur kepada suami. “Yakni,”
lanjut beliau, “Ketika untuk masa yang panjang suaminya telah berbuat baik
kepadanya, lalu di satu waktu sang suami itu melakukan kesalahan. Maka dalam
kemarahan, si istri menyebut-nyebut kesalahan suaminya di masa lalu dan bahkan
berkata, ‘Kau belum sekalipun pernah berbuat baik kepadaku.’”
Apakah penyakit ini
hanya dimiliki para istri? Sesungguhnya tidak. Banyak lelaki terjangkiti hal
yang sama, sehingga mereka menyakiti orang-orang di dekatnya. Kadang-kadang
sifat ini tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Yang diungkit bukanlah
kesalahan orang di masa lalu, melainkan kebaikannya pada orang lain yang
diangkat-angkat. Hakikat sebenarnya sama dan pesan yang ingin disampaikan
terlihat jelas. “Ingatlah, kau takkan jadi seperti ini tanpa diriku. Maka sekarang
pun kau bukan apa-apa jika berani menentangku!”
Adalah indah apa
yang dikatakan Rosululloh untuk menenangkan orang-orang Anshor saat mereka tak
puas atas pembagian rampasan Perang Hunain di Ji’ronah. Beliau dengan penuh
hikmah membawakan kesadaran yang menginsyafkan orang-orang Anshor tanpa
menyakiti hati mereka. Bahkan beliau membesarkan hati dan menguatkan keteguhan
mereka untuk selalu memberikan yang terbaik.
Saat itu,
persoalannya adalah, siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari
Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!” hingga menggetarkan seluruh
wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah Anshor? Bukankah Anshor
yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?
Pertimbangan
manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain
yang memenuhi wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada
pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf
Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata,
“Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”
Ada sesuatu yang
mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’d ibn
‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah padang gembalaan.
Sang Nabi datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai
semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di
dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku
datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada
kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian
kaya, bukankah dulu kalian bercerai-berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”
Mereka menjawab,
“Begitulah. Alloh dan Rosul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”
“Apakah kalian tak
mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.
Mereka ganti
bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan Rosul-Nya
lah anugerah dan karunia.”
Beliau bersabda,
“Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan,
maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan
didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu
kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami
memberikan tempat dan menampungmu.”
Sampai di sini air
mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai
tersedan.
“Apakah di dalam
hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah
itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan
keislaman kalian tak mungkin kuragukan? Wahai semua orang Anshor, apakah tidak
berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang
kalian kembali bersama Alloh dan Rosul-Nya ke tempat tinggal kalian?”
Isak itu semakin
keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata.
“Demi Zat yang jiwa
Muhammad dalam Genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk
orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan
orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah
yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak
orang-orang Anshor, dan cucu orang-orang Anshor,” Rosululloh menutup
penjelasannya dengan do’a yang begitu menentramkan.
Dan tentu, akhir
dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshor
selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam pembagian ini…, kami
ridho Alloh dan Rosul-Nya menjadi bagian kami…”
***
Ciri yang ketiga, pemilik palu suka memperburuk
keadaan dengan memberikan reaksi berlebihan. Ketika marah, mereka cenderung
menjatuhkan bom, padahal sebenarnya kerikil mungil pun sudah cukup. Sikap ini
akan banyak menimbulkan kesulitan baru karena ukuran masalah yang menjadi makin
besar tergantung bagaimana ia ditangani. “Pada umumnya,” tulis John C. Maxwell
dalam Winning with People, “Jika
reaksi lebih buruk dari suatu tindakan, maka masalahnya akan membesar. Dan jika
reaksinya tak seburuk tindakannya, persoalan akan mengecil.”
Di antara kehebatan
para Rosul Ulul ‘Azmi adalah, bahwa
mereka selalu berhasil memberikan respons yang paling indah atas suatu
persoalan. Mereka dianugerahi akhlak untuk membalas kejahatan dengan kebaikan
hingga musuh pun jatuh cinta dan menjadi kawan setia. Banyak sekali kisah
tentang bagaimana Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menyentuh hati para penentangnya dengan kesediaan beliau
mendengarkan mereka, menanyakan kabar orang yang selalu meludahinya ketika dia
tak muncul di suatu hari, dan menjadi orang pertama yang menjenguknya.
Diriwayatkan juga tentang ‘Isa ibn Maryam ‘Alaihis Salam bahwa suatu hari, seorang
lelaki pandir menimpuk wajahnya dengan kotoran dan mencaci makinya dengan
kata-kata yang sangat jijik dan menyakitkan.
‘Isa membalasnya
dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang begitu sejuk dan indah pada lelaki itu.
Dia memberikan semangat dan penghiburan. Lalu kepada lelaki itu diulungkannya
buah anggur serta minyak wangi. Para muridnya bertanya, “Mengapa kau balas
kata-kata kejinya dengan kalimat-kalimat mulia, dan kau beri dia anggur serta
haruman padahal dia menimpukmu dengan kotoran?”
“Karena setiap
orang,” jawab ‘Isa, “Hanya bisa memberikan apa yang dia punya.”
***
Kekhasan yang keempat, pemilik palu selalu beranggapan
bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan. Bagi mereka, memenangkan
debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak
tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu
keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang
mempermalukan orang yang mereka cintai.
Andai tiap suami dan
istri di dunia ini memiliki anggapan bahwa keadaan lebih penting daripada
hubungan, mungkin takkan ada ikatan pernikahan yang bertahan. Tetapi
kerepotan-kerepotan kecil tetap saja sering timbul. Seperti saat sepasang suami
istri datang terlambat ke sebuah undangan jamuan. Tahankah sang suami untuk tak
mengatakan, “Maaf, kami terlambat karena istri saya tadi mandi serta dandannya
lama sekali!”
Ketika seorang kawan
mengatakan bahwa perabot di rumah sungguh jauh dari anggun, tahankah sang suami
untuk tidak berkata, “Wah, itu yang memilih istri saya. Saya sebenarnya juga
kurang suka.”
Orang-orang yang
menganggap situasi lebih penting daripada hubungan sungguh merepotkan
orang-orang yang ada di dekatnya. Jika menjadi atasan, dia akan sering
menginjak bawahan. Jika menjadi rekan searas, sikutnya mungkin akan bergerak
kian ke mari untuk menyakiti. Ketika menjadi bawahan, di belakang dia akan
menebarkan kasak-kusuk dan isu-isu untuk menjatuhkan. Itu semua dilakukan hanya
untuk hal yang yang sangat sesaat sifatnya dengan mengorbankan hubungan yang
seharusnya dipelihara dalam jangka panjang.
Orang-orang yang
menganggap bahwa memenangi argumentasi pada suatu saat jauh lebih penting
daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih
bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang
Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah
rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu
menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.”
***
Nah. Apakah di dalam
diri kita, masih ada keempat ciri pemilik palu ini? Subhanalloh, hanya memiliki
palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah
yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Dalam dekapan ukhuwah, agaknya
perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.
Dinukil dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar