Selasa, 05 Februari 2013

Menukar Palu dengan Sarung Tangan Beludru


Ada beberapa ciri dari orang yang hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal adalah paku.

Pertama, mereka seringkali bertindak sebelum mengetahui gambaran persoalan dengan utuh sehingga mereka salah waktu dan salah cara dalam merespons sesuatu. Dengan agak bercanda, John C. Maxwell bercerita dalam buku Winning with People bahwa ada seorang pria setengah baya dengan tergesa-gesa memasuki sebuah rumah makan. Dia bergegas menuju meja kasir dan menemui seorang pelayan.

“Apakah Anda punya sesuatu untuk menyembuhkan cegukan?” tanyanya.

Tanpa berkata apapun, si pelayan restoran merogoh sesuatu di bawah meja. Dia mengambil lap basah, dan menamparkannya ke wajah pria itu.

“Aduh! Apa-apaan ini?”

“Nah,” si pelayan tersenyum, “Sekarang cegukan Anda sudah hilang bukan?”

“Bukan saya yang cegukan!” teriak si pria berapi-api. “Saya perlu sesuatu untuk menolong istri saya. Dia ada di luar sana menunggu di dalam mobil!”

                                                                    ***
Tanda yang kedua, seringkali mereka adalah orang yang suka mengungkit masa lalu. Dalam pembicaraan-pembicaraan, mereka suka menyakiti sesama dengan menyebut ulang kesalahan-kesalahannya. Dengan menunjukkan bahwa masa lalu seseorang kelam dan penuh kekhilafan, maka si pemilik palu hendak mengatakan, “Jika dulu engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka sekarang pun akulah yang benar dan engkau tetap saja berada dalam kungkungan watakmu yang selalu keliru.”

Rosululloh pernah mewanti-wanti hal ini kepada para istri. “Perbanyaklah sedekah,” kata beliau di suatu hari raya pada serombongan wanita, “Karena kalian banyak kufur.” Maksud beliau bukanlah kufur kepada Alloh, melainkan kufur kepada suami. “Yakni,” lanjut beliau, “Ketika untuk masa yang panjang suaminya telah berbuat baik kepadanya, lalu di satu waktu sang suami itu melakukan kesalahan. Maka dalam kemarahan, si istri menyebut-nyebut kesalahan suaminya di masa lalu dan bahkan berkata, ‘Kau belum sekalipun pernah berbuat baik kepadaku.’”

Apakah penyakit ini hanya dimiliki para istri? Sesungguhnya tidak. Banyak lelaki terjangkiti hal yang sama, sehingga mereka menyakiti orang-orang di dekatnya. Kadang-kadang sifat ini tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Yang diungkit bukanlah kesalahan orang di masa lalu, melainkan kebaikannya pada orang lain yang diangkat-angkat. Hakikat sebenarnya sama dan pesan yang ingin disampaikan terlihat jelas. “Ingatlah, kau takkan jadi seperti ini tanpa diriku. Maka sekarang pun kau bukan apa-apa jika berani menentangku!”

Adalah indah apa yang dikatakan Rosululloh untuk menenangkan orang-orang Anshor saat mereka tak puas atas pembagian rampasan Perang Hunain di Ji’ronah. Beliau dengan penuh hikmah membawakan kesadaran yang menginsyafkan orang-orang Anshor tanpa menyakiti hati mereka. Bahkan beliau membesarkan hati dan menguatkan keteguhan mereka untuk selalu memberikan yang terbaik.

Saat itu, persoalannya adalah, siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari Rosululloh di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut, “Labbaik!” hingga menggetarkan seluruh wadya musuh yang berlindung di atas bukit? Bukankah Anshor? Bukankah Anshor yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?

Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshor yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi wadi itu. Tapi Rosululloh justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqoo, muallaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”

Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’d ibn ‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshor dikumpulkan di sebuah padang gembalaan. Sang Nabi datang dan berbicara kepada mereka.

“Amma ba’du. Wahai semua orang Anshor, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Alloh memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Alloh membuat kalian kaya, bukankah dulu kalian bercerai-berai lalu Alloh menyatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “Begitulah. Alloh dan Rosul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”

“Apakah kalian tak mau menjawabku, wahai orang-orang Anshor?” tanya beliau.

Mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu, ya Rosulalloh? Milik Alloh dan Rosul-Nya lah anugerah dan karunia.”

Beliau bersabda, “Demi Alloh, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan  tempat dan menampungmu.”

Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.

“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin kuragukan? Wahai semua orang Anshor, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Alloh dan Rosul-Nya ke tempat tinggal kalian?”

Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata.

“Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam Genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshor. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshor memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshor. Ya Alloh, sayangilah orang-orang Anshor, anak orang-orang Anshor, dan cucu orang-orang Anshor,” Rosululloh menutup penjelasannya dengan do’a yang begitu menentramkan.


Dan tentu, akhir dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshor selama ini, “Kami ridho kepada Alloh dan Rosul-Nya dalam pembagian ini…, kami ridho Alloh dan Rosul-Nya menjadi bagian kami…”

                                                                    ***
Ciri yang ketiga, pemilik palu suka memperburuk keadaan dengan memberikan reaksi berlebihan. Ketika marah, mereka cenderung menjatuhkan bom, padahal sebenarnya kerikil mungil pun sudah cukup. Sikap ini akan banyak menimbulkan kesulitan baru karena ukuran masalah yang menjadi makin besar tergantung bagaimana ia ditangani. “Pada umumnya,” tulis John C. Maxwell dalam Winning with People, “Jika reaksi lebih buruk dari suatu tindakan, maka masalahnya akan membesar. Dan jika reaksinya tak seburuk tindakannya, persoalan akan mengecil.”

Di antara kehebatan para Rosul Ulul ‘Azmi adalah, bahwa mereka selalu berhasil memberikan respons yang paling indah atas suatu persoalan. Mereka dianugerahi akhlak untuk membalas kejahatan dengan kebaikan hingga musuh pun jatuh cinta dan menjadi kawan setia. Banyak sekali kisah tentang bagaimana Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyentuh hati para penentangnya dengan kesediaan beliau mendengarkan mereka, menanyakan kabar orang yang selalu meludahinya ketika dia tak muncul di suatu hari, dan menjadi orang pertama yang menjenguknya.

 Diriwayatkan juga tentang ‘Isa ibn Maryam ‘Alaihis Salam bahwa suatu hari, seorang lelaki pandir menimpuk wajahnya dengan kotoran dan mencaci makinya dengan kata-kata yang sangat jijik dan menyakitkan.

‘Isa membalasnya dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang begitu sejuk dan indah pada lelaki itu. Dia memberikan semangat dan penghiburan. Lalu kepada lelaki itu diulungkannya buah anggur serta minyak wangi. Para muridnya bertanya, “Mengapa kau balas kata-kata kejinya dengan kalimat-kalimat mulia, dan kau beri dia anggur serta haruman padahal dia menimpukmu dengan kotoran?”

“Karena setiap orang,” jawab ‘Isa, “Hanya bisa memberikan apa yang dia punya.”

                                                                    ***
Kekhasan yang keempat, pemilik palu selalu beranggapan bahwa situasi jauh lebih penting daripada hubungan. Bagi mereka, memenangkan debat saat ini lebih penting daripada menjaga agar hati seorang kawan tak tersakiti. Mereka menduga bahwa membuktikan diri tidak bersalah dalam suatu keadaan jauh lebih penting daripada menyadari bahwa mereka bisa saja sedang mempermalukan orang yang mereka cintai.

Andai tiap suami dan istri di dunia ini memiliki anggapan bahwa keadaan lebih penting daripada hubungan, mungkin takkan ada ikatan pernikahan yang bertahan. Tetapi kerepotan-kerepotan kecil tetap saja sering timbul. Seperti saat sepasang suami istri datang terlambat ke sebuah undangan jamuan. Tahankah sang suami untuk tak mengatakan, “Maaf, kami terlambat karena istri saya tadi mandi serta dandannya lama sekali!”

Ketika seorang kawan mengatakan bahwa perabot di rumah sungguh jauh dari anggun, tahankah sang suami untuk tidak berkata, “Wah, itu yang memilih istri saya. Saya sebenarnya juga kurang suka.”

Orang-orang yang menganggap situasi lebih penting daripada hubungan sungguh merepotkan orang-orang yang ada di dekatnya. Jika menjadi atasan, dia akan sering menginjak bawahan. Jika menjadi rekan searas, sikutnya mungkin akan bergerak kian ke mari untuk menyakiti. Ketika menjadi bawahan, di belakang dia akan menebarkan kasak-kusuk dan isu-isu untuk menjatuhkan. Itu semua dilakukan hanya untuk hal yang yang sangat sesaat sifatnya dengan mengorbankan hubungan yang seharusnya dipelihara dalam jangka panjang.

Orang-orang yang menganggap bahwa memenangi argumentasi pada suatu saat jauh lebih penting daripada hubungan memang selayaknya menyadari bahwa ada pilihan lain yang lebih bijaksana. Untuk memenangkan hati dan kasih sayang misalnya. Maka sabda Sang Nabi dalam riwayat Abu Dawud itu sungguh penuh makna. “Aku jaminkan sebuah rumah,” kata beliau, “Di surga bagian tengah-tengah, untuk mereka yang mampu menahan diri dari berdebat meskipun berada di atas kebenaran.”

                                                                    ***
Nah. Apakah di dalam diri kita, masih ada keempat ciri pemilik palu ini? Subhanalloh, hanya memiliki palu, dan menganggap segala hal sebagai paku akan menjadikan diri kita tanah yang gersang dalam persaudaraan. Sangat gersang. Dalam dekapan ukhuwah, agaknya perlu kerja keras untuk menyuburkannya kembali.

Dinukil dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar