Jumat, 14 Oktober 2016

'Umar; Penjaga 'Izzah Islam

'Umar bin Khoththob ra adalah tokoh besar sekaligus penyandang kebesaran Islam. Sejak awal masuk Islam, beliau membawa aura kebesaran Islam. Jika sebelumnya kaum Quroisy merasa bebas untuk menyiksa kaum muslimin, tidak demikian halnya setelah 'Umar masuk Islam. 'Umar akan melindungi dan membela kaum mustadh'afin yang dianiaya oleh kaum Quroiys. Setelah 'Umar masuk Islam, kaum muslimin berani sholat secara terang-terangan dan bahkan mulai berani membela diri. Hingga 'Abdulloh ibnu Mas'ud ra sampai berkata, "Semenjak 'Umar masuk Islam, kami memiliki harga diri".

'Umar bin Khoththob ra adalah satu-satunya shahabat yang dengan lantang berkata kepada Rosululloh saw, “Bukankah kita berdiri di atas kebenaran? Bukankah jika kita mati akan masuk surga sedang jika mereka mati akan masuk neraka? Mengapa kita menghinakan diri?" demikian kurang lebih curahan hati 'Umar. Kita merekamnya dalam dua peristiwa, yakni saat masih periode dakwah sirriyah dan pasca Sulhul Hudaibiyah. Begitulah 'Umar, beliau tidak rela Islam direndahkan. Karena itu, saat beliau naik menjadi Amirul Mukminin, ada beberapa kebijakannya yang dengan tegas menunjukkan kebesaran dan 'izzah Islam. Diantaranya:

Pertama, Pemecatan Pegawai Non Muslim
Abu Musa Al Asy'ari memiliki seorang sekretaris yang beragama Nasrani. Sekretaris itu sangat cakap dan teliti dalam bekerja, hingga membuat 'Umar kagum. 'Umar minta sekretaris tersebut untuk membacakan satu surat di masjid yang baru diterimanya dari Syam, tapi Abu Musa selaku atasannya langsung menjawab, "Tidak bisa." 'Umar heran dengan jawaban Abu Musa itu, lalu bertanya, "Apakah dia sedang junub?" Abu Musa menjawab, "Tidak. Tapi dia seorang Nasrani." 'Umar marah besar lalu memerintahkan untuk memecat sekretaris tersebut.

Sekretaris itu memiliki kecakapan administratif, berupa pencatatan pemasukan dan pengeluaran. Ini adalah pekerjaan strategis yang harus dipegang oleh orang Muslim. Terlebih di masanya melimpah ruah dengan sumber daya unggul, dimana banyak para shahabat yang memiliki kemampuan dan keutamaan besar untuk mengerjakan tugas itu. Situasinya jelas tidak bisa disamakan dengan kasus hijrohnya Rosululloh yang menggunakan jasa pemandu jalan seorang musyriq, bernama 'Abdulloh bin Uroiqit.

Kedua, Pelarangan Menikahi Non Muslim
Di dalam Islam, menikahi perempuan ahli kitab hukumnya halal, tapi dinikahi oleh ahli kitab hukumnya haram. Beberapa shahabat yang mengikuti perang Qodisiah, ada yang menikahi wanita ahli kitab. Termasuk diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqos dan Jabir bin 'Abdulloh. Namun sebagian besar mereka kemudian menceraikannya. Suatu ketika, 'Umar mendengar Hudzaifah (dan juga Tholhah) menikahi wanita ahli kitab. Maka, 'Umar segera memerintahkan Hudzaifah untuk menceraikannya. Hudzaifah bertanya, "Apakah yang aku lakukan ini haram?" 'Umar menjawab, “Tidak. Akan tetapi aku khawatir mereka akan meracunimu." Meracuni disini dalam arti yang seluas-luasnya, baik meracuni secara zhohir, meracuni pikiran, merusak akhlak dll.

Pernikahan berarti menyatukan dua insan dalam ikatan secara lahir batin. Mereka jelas akan berbagi canda tawa, berbagi cerita, terpaut hatinya dll. Apabila seorang shahabat besar (dan berkedudukan penting) sampai menikah dengan wanita ahli kitab, dikhawatirkan membuat banyak para gadis muslimah menjadi terpinggirkan serta yang paling berbahaya adalah banyak rahasia-rahasia keumatan dan kebijakan penting yang akan tersebar dan bocor kepada kalangan non Muslim lewat jalur istrinya itu.

Ketiga, Penghapusan Golongan Muallafatu Qulubuhum
Diantara bagiann yang berhak menerima pembagian dana zakat adalah golongan muallafatu qulubuhum. Mereka yang masuk kategori golongan ini adalah kalangan non muslim yang diharapkan bisa masuk Islam atau golongan Islam yang masih lemah kadar keimanannya. Ceritanya, ada dua orang muallaf menghadap Kholifah Abu Bakar untuk meminta bagian harta zakat (berupa sepetak tanah) dari golongan muallafatu qulubuhum. Abu Bakar membuatkan surat kepemilikan (semacam sertifikat tanah, red) bagi mereka. Untuk menguatkannya, mereka berdua menghadap 'Umar. Hal ini karena dalam urusan kebijakan negara, Abu Bakar selalu melibatkan 'Umar (semacam meminta accepted).

Saat 'Umar mengetahui surat itu, direbut kertasnya lalu dihapus isinya. 'Umar lalu berkata, "Dahulu Rosululloh melihat kalian sebagai muallaf, karena Islam masih kecil dan pengikutnya sedikit. Sekarang Islam sudah besar dan jaya. Karena itu, bekerjalah seperti yang lainnya." Karena jengkel, keduanya kembali menghadap Kholifah Abu Bakar. Ternyata, Abu Bakar sepakat dengan pendapat 'Umar. Keduanya tambah jengkel, lalu berkata, "Sebenarnya kholifahnya kamu atau 'Umar?" Dengan enteng Abu Bakar menjawab, "Dia. Kapan pun ia mau."

Delapan golongan yang berhak menerima zakat itu tidak bersifat konstan dan statis, tapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 'Umar melihat bahwa di masa pemerintahan Abu Bakar, Islam sudah kuat. Maka golongan muallafatu qulubuhum dihilangkan dari daftar penerima zakat. Sama halnya dengan situasi di masa kepemimpinan 'Umar bin 'Abdul 'Azis, di mana kemakmuran merata. Maka alokasi golongan untuk faqir miskin dihapus dari daftar penerima zakat. Bukan dihapus ayatnya, tapi dihapus dari daftarnya petugas 'amil zakat.

Khotimah
Agama Islam diturunkan Alloh kepada Rosul-Nya, diantara tujuannya adalah “liyudz-hirohuu 'alad diini kullihi”. Sebagaimana saat kita belajar tajwid, maka bacaan idzhar itu harus dibaca secara terang dan jelas. Alloh akan menolong dan memenangkan agama ini di atas semua agama. Mari kita penuhi syarat-syarat kemenangannya, agar layak diberi panji kebesaran Islam sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh 'Umar bin Khoththob ra. Wallohu a'lam.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar