Selama ini kita agak rancu dalam
mempersamakan ‘idul fithri dengan ‘idul fithroh. Karena makna “fithri” dalam
istilah “‘idul fithri” bukanlah satu pengertian dengan “kembali kepada fithroh”.
Tetapi arti “fithri” sesuai makna dalam hadits adalah “kembali berbuka
(fathoro-yafthuru)”.
Dari Abu Huroiroh, sesungguhnya
Nabi saw. telah bersabda, “Shoum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa,
Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan Adha itu ialah pada hari kamu
menyembelih hewan.” (Hadits shohih dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi No. 693, Abu
Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, ad-Daruquthni).
Maka pemahaman yang harus kita
tegaskan dalam ‘idul fithri adalah tidak serta merta kembali suci seperti bayi
baru lahir. Tidaklah semua orang mendapatkan kemuliaan seperti itu. Meski pun
ada sebagian yang mendapatkan hal itu karena telah menegakkan hak-hak Romadhon,
sehingga keluar Romadhon seperti pertama dilahirkan.
“Bahwasanya Alloh SWT telah
memfardhukan puasa Romadhon, dan saya telah mensunnahkan qiyam pada malamnya.
Maka barangsiapa berpuasa pada siangnya dan bersholat pada malamnya karena
mengharap akan Alloh, niscaya keluarlah dia dari dosa seperti di hari dia
dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad)
Kedua pengertian di atas tidak
perlu kita campur adukkan. Karena kita kembali mengkaji makna “fithri” sebagai
waktu kembali berbuka setelah Romadhon. “... Fithri itu ialah pada hari kamu
berbuka...”
Jadi, ada 2 makna yang berlainan
antara “fithri” (ifthor= kembali berbuka) dan “fithroh” (kondisi awal mula
dilahirkan).
Dalam suatu hadits Rosululloh saw
yang diriwayatkan dari Anas ra bahwa beliau berkata, “Rosululloh saw datang ke
Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang
dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau
bersabda: ‘Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang
kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Alloh telah
menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (‘Iedul
Adha) dan hari Fithri (‘Iedul Fitri).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih)
Dua hari raya yang dimiliki
penduduk Madinah saat itu adalah hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan
dengan berbagai macam permainan. Kedua hari raya ini ditetapkan oleh
orang-orang yang bijak pada zaman tersebut (kejayaan Persia) karena cuaca dan
waktu pada saat itu sangat tepat/bagus. Tatkala Nabi datang, Alloh mengganti
kedua hari tersebut dengan dua hari raya pula yang Alloh pilih untuk
hamba-hamba-Nya. Sejak saat itu, dua hari raya yang lama tidak diperingati
lagi. Berdasarkan hal ini, pensyari'atan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai
dengan perintah Alloh). Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu
untuk perayaan/peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Alloh
(al-Qur’an) maupun Rosul-Nya (al-Hadits).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar