Kamis, 13 Juni 2019

“Mengembangkan Ofensif Revolusioner sampai ke Puncaknya”

Setidak-tidaknya sejak bulan Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build-up mental, terutama di kalangan ormas-ormas serta simpatisan-simpatisannya. Dalam hal ini, mereka mempergunakan media komunikasi-massa yang boleh dikatakan telah mereka kuasai. Karena mereka telah dapat menduduki posisi-posisi menentukan di dalam Kantor Berita ANTARA, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Instruksi pimpinan PKI dalam rangka build-up itu adalah “Mengembangkan ofensif revolusioner sampai ke puncaknya, dengan mempercepat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kabir, pencoleng, dan koruptor, melawan tuan tanah jahat, serta imperialisme Amerika Serikat”, seperti yang misalnya termaktub di dalam instruksi bersama berkenaan dengan ulang tahun BTI-SOBSI-PR. (Harian Rakyat; Senin, 27 September 1965). Juga dalam sambutan tertulis CC PKI kepada Sidang Pleno III Pengurus Besar Gerakan Pemuda Indonesia di Surabaya, terdapat pernyataan, bahwa “Kewajiban setiap revolusioner di dalam negeri kita dewasa ini memperhebat ofensif revolusioner di segala bidang untuk mengembangkan situasi revolusioner sampai ke puncaknya, yaitu sampai kepada dibersihkannya sama sekali kaum kabir, pencoleng, dan koruptor dari semua pimpinan aparatur politik, ekonomi, dan keuangan.”

Sebagai contoh dari pada build-up mental itu dapat ditemukan cukilan-cukilan daripada pidato-pidato PKI beserta ormas-ormasnya serta simpatisan-simpatisan serta tulisan-tulisan di dalam pers yang mereka kuasai atau pengaruhi. Tajuk Harian Rakyat, 4 September 1965 berbunyi sebagai berikut: “... Mereka menyebarkan kampanye seakan-akan PKI mau coup. Sesungguhnya mereka sendirilah yang mencipta menyiapkan coup itu.”

D.N. Aidit di depan sukarelawati Departemen Penerangan pada tanggal 9 September 1965 antara lain mengatakan, “... Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar.”

Dan di depan sidang Dewan Nasional SOBSI tanggal 14 September 1965, D.N. Aidit mengatakan, “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” “Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi/kabir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara.” Dan di hadapan Sidang II Dewan Nasional SOBSI dikatakannya, “Daerah-daerah siap melancarkan aksi setan-setan kota.”

Pada tanggal 22 September 1965 —di hadapan karyawan BNI, dikatakan oleh Aidit, “... Kabinet sekarang belum Nasakom. Hanya mambu (berbau) Nasakom.” Dan pada tanggal 26 September 1965 dikatakannya kepada SARBUPRI, “... Jangan hanya berjuang untuk catu ikan asin. Tetapi berjuang juga naar de politieke macht; jangan mau jadi landasan, jadilah palu godam.” “... Perjuangan untuk kabinet Nasakom dengan menteri-menteri yang dikenal dan dicintai dan didukung rakyat.” “... Mereka hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno.” “... Kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apapun kecuali belenggu mereka.”

Moh. Munir; Ketua Umum SOBSI; pada tanggal 26 September 1965 berkata kepada SARBUPRI: “Jadikanlah kebun-kebun untuk markas pertahanan.” Dan pada tanggal 27 September 1965, D.N. Aidit berkata kepada anggota-anggota IPPI: “Hati kita lebih daripada lapar. Kita tidak akan menyerahkan nasib kita kepada setan kota. Kita akan ganyang dan kalahkan setan kota.”

Dan A. Karim D.P. pada tanggal 29 September 1965 berkata, "... Juga di tanah air kita, jika ada kekuatan yang coba-coba ingin mengalahkan kekuatan rakyat dengan coup atau cara apa pun, juga pasti akan mengalami kegagalan.” Dan tajuk Harian Rakyat tanggal 30 September 1965 dengan penuh ancaman berbunyi antara lain, “... Dengan menggaruk kekayaan alam, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi.” “... Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya, tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.”

Pada tanggal 29 September 1965, di hadapan para peserta Kongres III CGMI, D.N. Aidit antara lain berseru, “... Mahasiswa Komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat! Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi, berani!”

Anwar Sanusi; Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI dalam pidatonya di hadapan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1945 antara lain berkata, “... Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu Pertiwi berada dalam hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan. Sang bayi adalah kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol. Sang bidan adalah masyarakat Manipolis. Sukwan adalah salah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan sang bayi yang akan dilahirkan.”

Dalam rangka build-up itu telah pula disebarkan fitnah yang kemudian dikemukakan selaku dalih bagi percobaan kudeta kontra-revolusioner “Gerakan 30 September”, yakni fitnah bahwa dalam lingkungan Angkatan Darat terdapat sebuah “Dewan Jenderal”. Apa yang dinamakan “Dewan Jenderal” itu digambarkan sebagai gerakan subversif yang disponsori oleh CIA (Central Intelligence Agency; Amerika Serikat).

Hingga saat ini, tidak pernah diajukan bukti-bukti bahwa “Dewan Jenderal” itu memang ada, baik berupa keterangan saksi maupun berupa dokumen-dokumen. Tidak pula pernah diajukan bukti-bukti yang membenarkan bahwa setidak-tidaknya ada sekelompok Jenderal yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi; Bung Karno.

Belakangan ini dilancarkan keterangan, bahwa berita mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu bersumber kepada 4 orang, yakni tiga orang Perwira Angkatan Darat dan seorang pejabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta pejabat sipil itu menyangkal, bahwa mereka telah mengetahui, mendengar, memperbincangkan, atau melaporkan mengenai “Dewan Jenderal” itu. Perwira yang seorang lagi menyatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Jenderal” itu dari seorang mahasiswa Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan bulan Agustus telah mengunjungi suatu rapat yang diselenggarakan oleh Pemuda Rakyat Gubeng, Surabaya. Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Jenderal”. Dan sepulang dari rapat itu, mahasiswa tersebut menanyakan perihal “Dewan Jenderal” itu kepada perwira tersebut. Dengan demikian, sumber mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu kembali kepada PKI atau ormas-ormasnya juga.

Kampanye mengenai “mengembangkan situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Jenderal” itu ternyata juga dilancarkan di daerah-daerah pada waktu yang bersamaan. Terbukti dari laporan lima partai politik (PNI, NU, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) di Bali ke hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengenai persiapan dan kegiatan petualangan kontra-revolusi “G-30-S”. Tertulis antara lain di dalam laporan itu, “... mulai dilancarkan kampanye tentang “Dewan Jenderal” dan keharusan lahirnya bayi dari revolusi yang sudah hamil tua. Dan secara terang-terangan sedang memacankertaskan pemerintah dan menteri-menteri yang dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung Karno.”

Sesungguhnya build-up mental itu sudah dimulai agak lama, sebaiknya sebelum bulan September 1965. Laporan Politik D.N. Aidit kepada Sidang Pleno IV CC PKI yang diperluas tanggal 11 Mei 1965 merupakan bukti yang nyata. Judul laporan itu adalah “Perhebat ofensif revolusioner di segala bidang”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar