Setidak-tidaknya sejak
bulan Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build-up mental, terutama
di kalangan ormas-ormas serta simpatisan-simpatisannya. Dalam hal ini, mereka
mempergunakan media komunikasi-massa yang boleh dikatakan telah mereka kuasai.
Karena mereka telah dapat menduduki posisi-posisi menentukan di dalam Kantor Berita
ANTARA, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Radio Republik Indonesia (RRI).
Instruksi pimpinan PKI
dalam rangka build-up itu adalah “Mengembangkan ofensif revolusioner sampai
ke puncaknya, dengan mempercepat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kabir,
pencoleng, dan koruptor, melawan tuan tanah jahat, serta imperialisme Amerika
Serikat”, seperti yang misalnya termaktub di dalam instruksi bersama berkenaan
dengan ulang tahun BTI-SOBSI-PR. (Harian Rakyat; Senin, 27 September
1965). Juga dalam sambutan tertulis CC PKI kepada Sidang Pleno III Pengurus Besar
Gerakan Pemuda Indonesia di Surabaya, terdapat pernyataan, bahwa “Kewajiban
setiap revolusioner di dalam negeri kita dewasa ini memperhebat ofensif
revolusioner di segala bidang untuk mengembangkan situasi revolusioner sampai ke
puncaknya, yaitu sampai kepada dibersihkannya sama sekali kaum kabir, pencoleng,
dan koruptor dari semua pimpinan aparatur politik, ekonomi, dan keuangan.”
Sebagai contoh dari pada
build-up mental itu dapat ditemukan cukilan-cukilan daripada
pidato-pidato PKI beserta ormas-ormasnya serta simpatisan-simpatisan serta
tulisan-tulisan di dalam pers yang mereka kuasai atau pengaruhi. Tajuk Harian
Rakyat, 4 September 1965 berbunyi sebagai berikut: “... Mereka menyebarkan
kampanye seakan-akan PKI mau coup. Sesungguhnya mereka sendirilah yang
mencipta menyiapkan coup itu.”
D.N. Aidit di depan
sukarelawati Departemen Penerangan pada tanggal 9 September 1965 antara lain
mengatakan, “... Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner
adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi pasti lahir
dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat
jadi besar.”
Dan di depan sidang Dewan
Nasional SOBSI tanggal 14 September 1965, D.N. Aidit mengatakan, “Yang paling
penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat
kita, yaitu setan kota.” “Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus
menyingkirkan kaum dinasti ekonomi/kabir dan setan kota dari segenap aparatur
politik dan ekonomi negara.” Dan di hadapan Sidang II Dewan Nasional SOBSI
dikatakannya, “Daerah-daerah siap melancarkan aksi setan-setan kota.”
Pada tanggal 22
September 1965 —di hadapan karyawan BNI, dikatakan oleh Aidit, “... Kabinet
sekarang belum Nasakom. Hanya mambu (berbau) Nasakom.” Dan pada tanggal
26 September 1965 dikatakannya kepada SARBUPRI, “... Jangan hanya berjuang
untuk catu ikan asin. Tetapi berjuang juga naar de politieke macht; jangan mau
jadi landasan, jadilah palu godam.” “... Perjuangan untuk kabinet Nasakom
dengan menteri-menteri yang dikenal dan dicintai dan didukung rakyat.” “... Mereka
hidup dari distribusi kewibawaan dari Bung Karno.” “... Kaum proletar tidak
akan kehilangan sesuatu apapun kecuali belenggu mereka.”
Moh. Munir; Ketua Umum SOBSI;
pada tanggal 26 September 1965 berkata kepada SARBUPRI: “Jadikanlah kebun-kebun
untuk markas pertahanan.” Dan pada tanggal 27 September 1965, D.N. Aidit
berkata kepada anggota-anggota IPPI: “Hati kita lebih daripada lapar. Kita tidak
akan menyerahkan nasib kita kepada setan kota. Kita akan ganyang dan kalahkan
setan kota.”
Dan A. Karim D.P. pada
tanggal 29 September 1965 berkata, "... Juga di tanah air kita, jika ada
kekuatan yang coba-coba ingin mengalahkan kekuatan rakyat dengan coup atau
cara apa pun, juga pasti akan mengalami kegagalan.” Dan tajuk Harian Rakyat
tanggal 30 September 1965 dengan penuh ancaman berbunyi antara lain, “... Dengan
menggaruk kekayaan alam, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik
yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi.” “... Mereka harus dijatuhi
hukuman mati di muka umum. Soalnya, tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti
berhasil.”
Pada tanggal 29
September 1965, di hadapan para peserta Kongres III CGMI, D.N. Aidit antara
lain berseru, “... Mahasiswa Komunis harus berani berpikir dan berani berbuat.
Berbuat, berbuat, berbuat! Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali
lagi, berani!”
Anwar Sanusi; Wakil Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI dalam pidatonya
di hadapan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1945 antara lain
berkata, “... Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu Pertiwi berada dalam
hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang
bayi yang sudah lama dinanti-nantikan. Sang bayi adalah kekuasaan politik yang
sudah ditentukan dalam Manipol. Sang bidan adalah masyarakat Manipolis. Sukwan adalah
salah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang
mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan sang bayi yang akan dilahirkan.”
Dalam rangka build-up
itu telah pula disebarkan fitnah yang kemudian dikemukakan selaku dalih bagi
percobaan kudeta kontra-revolusioner “Gerakan 30 September”, yakni fitnah bahwa
dalam lingkungan Angkatan Darat terdapat sebuah “Dewan Jenderal”. Apa yang
dinamakan “Dewan Jenderal” itu digambarkan sebagai gerakan subversif yang
disponsori oleh CIA (Central Intelligence Agency; Amerika Serikat).
Hingga saat ini, tidak
pernah diajukan bukti-bukti bahwa “Dewan Jenderal” itu memang ada, baik berupa
keterangan saksi maupun berupa dokumen-dokumen. Tidak pula pernah diajukan
bukti-bukti yang membenarkan bahwa setidak-tidaknya ada sekelompok Jenderal
yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi; Bung
Karno.
Belakangan ini
dilancarkan keterangan, bahwa berita mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu
bersumber kepada 4 orang, yakni tiga orang Perwira Angkatan Darat dan seorang
pejabat penting sipil. Dua orang diantara perwira-perwira Angkatan Darat serta
pejabat sipil itu menyangkal, bahwa mereka telah mengetahui, mendengar, memperbincangkan,
atau melaporkan mengenai “Dewan Jenderal” itu. Perwira yang seorang lagi
menyatakan, bahwa ia mendengar istilah “Dewan Jenderal” itu dari seorang mahasiswa
Universitas Merdeka di Malang. Mahasiswa itu pada permulaan bulan Agustus telah
mengunjungi suatu rapat yang diselenggarakan oleh Pemuda Rakyat Gubeng, Surabaya.
Rapat itu membahas soal-soal “Dewan Jenderal”. Dan sepulang dari rapat itu, mahasiswa
tersebut menanyakan perihal “Dewan Jenderal” itu kepada perwira tersebut. Dengan
demikian, sumber mengenai adanya “Dewan Jenderal” itu kembali kepada PKI atau
ormas-ormasnya juga.
Kampanye mengenai “mengembangkan
situasi revolusioner” dan mengenai “Dewan Jenderal” itu ternyata juga
dilancarkan di daerah-daerah pada waktu yang bersamaan. Terbukti dari laporan
lima partai politik (PNI, NU, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) di Bali ke
hadapan PJM Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengenai persiapan
dan kegiatan petualangan kontra-revolusi “G-30-S”. Tertulis antara lain di
dalam laporan itu, “... mulai dilancarkan kampanye tentang “Dewan Jenderal” dan
keharusan lahirnya bayi dari revolusi yang sudah hamil tua. Dan secara
terang-terangan sedang memacankertaskan pemerintah dan menteri-menteri yang
dianggap sebagai distribusi kekuasaan dan wewenang Bung Karno.”
Sesungguhnya build-up
mental itu sudah dimulai agak lama, sebaiknya sebelum bulan September 1965. Laporan
Politik D.N. Aidit kepada Sidang Pleno IV CC PKI yang diperluas tanggal 11 Mei
1965 merupakan bukti yang nyata. Judul laporan itu adalah “Perhebat ofensif
revolusioner di segala bidang”.
Sumber: 40 HariKegagalan “G.30.S”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar