Kalau
beberapa tahun jang lalu tuan datang kekota kelahiranku dengan menompang bis,
tuan akan berhenti didekat pasar. Melangkahlah menjusuri djalanraja arah
kebarat. Maka kirakira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan didjalan
kampungku. Pada simpangketjil kekanan, simpang jang kelima, membeloklah
kedjalan sempit itu. Dan diudjung djalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Didepannja ada kolam ikan, jang airnja mengalir melalui empat buah
pantjuran mandi.
Dan
dipelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua jang biasanja duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannja dan keta’atannja beribadat. Sudah
bertahuntahun ia sebagai garin, pendjaga surau itu. Orangorang memanggilnja
kakek.
Sebagai
pendjaga surau, kakek tidak mendapat apaapa. Ia hidup dari sedekah jang
dipungutnja sekali sedjumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikanmas dari kolam itu. Dan sekali setahun orangorang
mengantarkan fitrah Id kepadanja. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia
lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerdjaannja itu. Orangorang suka minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinja sambal sebagai imbalan. Orang lakilaki jang minta tolong, memberinja
imbalan rokok, kadangkadang wang. Tapi jang paling sering diterimanja ialah
utjapan terimakasih dan sedikit senjum.
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa pendjaganja. Hingga anakanak menggunakannja sebagai tempat
bermain, memainkan segala apa jang disukai mereka. Perempuan jang kehabisan
kajubakar, sering suka mentjopoti papan dinding atau lantai dimalam hari.
Djika
tuan datang sekarang, hanja akan mendjumpai suatu gambaran jang mengesankan
suatu kesutjian jang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian tjepat
berlangsungnja. Setjepat anakanak berlari didalamnja, setjepat perempuan
mentjopoti pekajuannja. Dan jang terutama ialah sipat masabodoh manusia
sekarang jang tak hendak memelihara apa jang tak didjaga lagi.
Dan
barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan jang tak dapat disangkal
kebenarannja. Begitu kisahnja.
Sekali
hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanja kakek gembira menerimaku,
karena aku suka memberinja wang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Disudut
benar ia duduk dengan lututnja menegak menopang tangan dan dagunja. Pandanganja
saju kedepan, seolaholah ada sesuatu jang mengamuk pikirannja. Sebuah beleksusu
jang berisi minjakkelapa, sebuah asahan halus, kulit sol pandjang dan
pisautjukur tua berserakan disekitar kaki kakek. Tidak pernah aku melihat kakek
begitu durdja dan belum pernah salamku tak disahutinja seperti saat itu.
Kemudian aku duduk disampingnja dan aku djamah pisau itu. Dan aku tanja kakek :
— Pisau siapa, kek ?—
— Adjo
Sidi —
—
Adjo Sidi ?—
Kakek
tak menjahut. Maka aku ingat Adjo Sidi, sipembual itu. Sudah lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannja. Adjo
Sidi bisa mengikat orangorang dengan bualannja jang anehaneh sepandjang hari.
Tapi itu djarang terdjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerdjaannja. Sebagai
pembual, sukses terbesar baginja ialah karena semua pelakupelaku jang
ditjeritakannja mendjadi model orang untuk diedjek dan tjeritanja mendjadi
pameo achirnja. Adaada sadja orangorang sekitar kampungku jang mentjotjoki
watak dari pelakupelaku tjeritanja. Ketika sekali ia mentjeritakan bagaimana
sipat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang jang ketagihan djadi
pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selandjutnja pemimpin tersebut
kami sebutkan pemimpin katak.
Tibatiba
aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Adjo Sidi kepadanja. Apakah Adjo Sidi
telah membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah jang mendurdjakan kakek
? Aku ingin tahu. Lalu aku tanja kakek lagi :
—
Apa tjeritanja, kek ? —
—
Siapa ? —
—
Adjo Sidi —
—
Kurang adjar dia — kakek mendjawab lesu.
—
Kenapa ? —
—
Mudahmudahan pisau tjukur ini, jang kuasah tadjamtadjam ini menggoroh
tenggorokannja —
—
Kakek marah ? —
—
Marah ? Ja, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orangtua menahan ragam.
Sudah lama aku tak marahmarah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanja,
ibadatku, rusak karenanja. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat,
bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menjerahkan diriku kepadaNja.
Dan Tuhan akan mengasihi orang jang sabar dan tawakal.
Ingin
tahuku dengan tjerita Adjo Sidi jang memurungkan kakek djadi memuntjak. Aku
tanja lagi kakek : — Bagaimana katanja, kek ? —
Tapi
kakek diam sadja. Berat hatinja bertjerita barangkali. Karena aku telah
berulangulang bertanja, lalu ia jang bertanja kepadaku. — Kau kenal padaku,
bukan ? Sedari kau ketjil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan ? Kautahu apa
jang kulakukan semua, bukan ? Terkutukkah perbuatanku ? Dikutuki Tuhankah semua
pekerdjaanku ? —
Tapi
aku tak perlu mendjawabnja lagi. Sebab aku tahu, kalau kakek sudah membuka
mulutnja, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan pertanjaannja
sendiri — Sedari mudaku aku disini,
bukan ? Tak kuingat punja isteri, punja anak, punja keluarga seperti orangorang
lain, tahu ? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin tjari kaja, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahuwata’ala. Tak pernah aku menjusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnja. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah
Tuhan kalau itu jang kulakukan, sangkamu ? Akan dikutukiNja aku kalau selama
hidupku akan mengabdi kepadanja ? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku jakin
Tuhan itu ada dan pengasih penjajang kepada umatNja jang tawakal. Aku bangun
pagipagi. Aku bersutji. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnja,
supaja bersudjut kepadaNja. Aku sembahjang setiap waktu, siang malam, pagi
sore. Aku sebutsebut namaNja selalu. Aku pudjipudji Dia. Aku batja kitabNja.
Alhamdulillah, kataku bila aku menerima kurniaNja. Astaghfirullah, kataku bila
terkedjut. Masjaallah, kataku bila aku kagum. Apakah salahnja pekerdjaanku itu
? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk —
Ketika
kakek terdiam agak lama, aku menjelakan tanjaku : — Ia katakan kakek begitu,
kek ?
—
Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kirakiranja.
Dan
aku melihat mata kakek berlinang. Aku djadi belas kepadanja. Dalam hatiku aku
mengumpati Adjo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa tjerita Adjo Sidi
jang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku mendjadikan aku njinjir
bertanja. Dan akirnja kakek bertjerita djuga.
—
Pada suatu waktu, — kata Adjo Sidi memulai — diakirat Tuhan Allah memeriksa
orangorang jang sudah berpulang. Para malaikat bertugas disampingNya. Ditangan
mereka tergenggam daptar dosa dan pahala manusia. Begitu banjaknja orang jang
diperiksa. Maklumlah dimanamana ada perang. Dan diantara orangorang jang
diperiksa itu ada seorang jang didunia dinamai Hadji Saleh. Hadji Saleh itu
tersenjumsenjum sadja karena ia sudah begitu jakin akan dimasukkan kesorga.
Kedua tangannja ditopangkannja dipinggang sambil dibusungkan dada dan menekurkan
kepala kekuduk. Ketika dilihatnja orangorang jang masuk neraka, bibirnja
menjunggingkan senjum edjekan. Dan ketika ia melihat orang jang masuk sorga ia
melambaikan tangannja, seolah hendak mengatakan ,,selamat ketemu nanti”. Bagai
tak habishabisnja orang jang berantri, begitu pandjangnja. Susut jang dimuka,
bertambah jang dibelakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sipatNya.
Akirnja
sampailah giliran Hadji Saleh. Sambil senjum bangga ia menjembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengadjukan pertanjaan pertama.
—
Engkau ? —
—
Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Hadji Saleh namaku —
—
Aku tidak tanja nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanja buat engkau didunia —
—
Ja, Tuhanku —
—
Apa kerdjamu didunia ? —
—
Aku menjembah Engkau selalu, Tuhanku. —
—
Lain ?
— Segala
tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat djahat, walaupun dunia
seluruhnja penuh oleh dosadosa jang dihumbalangkan iblis laknat itu.
—
Lain ?—
—
Ja, Tuhanku, tak ada pekerdjaanku selain daripada beribadat menjembahMu,
menjebutnjebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, namaMu mendjadi
buah bibirku djuga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan hatiMu untuk
mengisapkan umatMu —
—
Lain ? —
Hadji
Saleh tak dapat mendjawab lagi. Ia telah mentjeritakan segala jang ia
kerdjakan. Tapi ia insap, bahwa pertanjaan Tuhan bukan asal bertanja sadja,
tentu ada lagi jang belum dikatakannja. Tapi menurut pendapatnja, ia telah
mentjeritakan segalanja. Ia tak tahu lagi apa jang harus dikatakannja. Ia
termenung dan menekurkan kepalanja. Api neraka tibatiba menghawakan
kehangatannja ketubuh Hadji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap airmatanja mengalir,
dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
—
Lain lagi ? — tanja Tuhan.
—
Sudah hambaMu tjeritakan semuanja, o Tuhan jang Maha Besar, lagi pengasih dan
penjajang, adil dan maha tahu. — Hadji Saleh jang sudah kuju mentjobakan siasat
merendahkan diri dan memudji Tuhan dengan mengharapkan semoga Tuhan bisa
berbuat lembut terhadapnja dan tidak salah tanja kepadanja.
Tapi
Tuhan bertanja lagi : — Tak ada lagi ? —
—
O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membatja KitabMu —
—
Lain ? —
—
Sudah kutjeritakan semuanja, o, Tuhanku. Tapi kalau ada jang aku lupa
mengatakannja, akupun bersukur karena Engkaulah jang Maha Tahu —
—
Sungguh tidak ada lagi jang kau kerdjakan didunia selain jang kau tjeritakan
tadi ? —
—
Ja, itulah semuanja, Tuhanku —
—
Masuk kamu —
Dan
malaikat dengan sigap mendjewer Hadji Saleh keneraka. Hadji Saleh tidak mengerti
kenapa ia dibawa keneraka. Ia tak mengerti apa jang dikehendaki Tuhan
daripadanja dan ia pertjaja Tuhan tidak silap.
Alangkah
tertjengangnja Hadji Saleh, karena dineraka itu banjak temantemannja didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinja, karena semua orangorang jang dilihatnja dineraka tak kurang
ibadatnja dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang jang telah sampai empatbelas
kali ke Mekah dan bergelar Sjech pula. Lalu Hadji Saleh mendekati mereka, lalu
bertanja kenapa mereka dineraka semuanja. Tapi sebagaimana Hadji Saleh,
orangorang itupun tak mengerti djuga.
—
Bagaimana Tuhan kita ini ? — kata Hadji Saleh kemudian, — Bukankah kita
disuruhNja taat beribadat, teguh beriman ? Dan itu semua sudah kita kerdjakan
selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan keneraka —
—
Ja. Kami djuga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orangorang senegeri kita
semua, dan tak kurang ketaatannja beribadat —
—
Ini sungguh tidak adil —
—
Memang tidak adil — kata orangorang itu mengulangi utjapan Hadji Saleh.
—
Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita.
Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalaukalau Ia silap memasukkan kita keneraka ini —
— Benar.
Benar. Benar — sorakan jang lain membenarkan Hadji Saleh.
—
Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNja, bagaimana ? — suatu suara melengking
didalam kelompok orang banjak itu.
—
Kita protes. Kita resolusikan — Kata Hadji Saleh.
—
Apa kita repolusikan djuga ? — tanja suara jang lain, jang rupanja didunia
mendjadi pemimpin gerakan repolusioner.
—
Itu tergantung pada keadaan — kata Hadji Saleh. Jang penting sekarang, mari
kita berdemonstrasi menghadap Tuhan —
—
Tjotjok sekali. Didunia dulu dengan demonstrasi sadja, banjak jang kita peroleh
— sebuah suara menjela.
—
Setudju. Setudju. Setudju — mereka bersorak beramairamai.
Lalu
mereka berangkatlah bersamasama menghadap Tuhan.
Dan
Tuhan bertanja : — Kalian mau apa ? —
Hadji
Saleh jang djadi pemimpin dan djurubitjara tampil kedepan. Dan dengan suara
jang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonja : O, Tuhan kami jang
Maha Besar. Kami jang menghadapMu ini adalah umatMu jang paling taat beribadat,
jang paling taat menjembahMu. Kamilah orangorang jang selalu menjebut namaMu,
memudjimudji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lainlainnja. KitabMu
kami apal diluar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membatjanja. Akan
tetapi Tuhanku jang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan
kami keneraka. Maka sebelum terdjadi halhal jang tak diingini, maka disini,
atas nama orangorang jang tjinta padaMu, kami menuntut agar hukuman jang Kau
djatuhkan kepada kami ditindjau kembali dan memasukkan kami kesorga sebagaimana
jang Engkau djandjikan dalam kitabMu.
—
Kalian didunia tinggal dimana ? — tanja Tuhan.
—
Kami ini adalah umatMu jang tinggal di Indonesia, Tuhanku —
O,
dinegeri jang tanahnja subur itu ? —
—
Ja. Benarlah itu, Tuhanku —
—
Tanahnja jang mahakajanja, penuh oleh logam, minjak dan berbagai bahan tambang
lainnja, bukan ? —
—
Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami — mereka mulai mendjawab
serentak. Karena padjar kegembiraan telah membajang diwadjahnja kembali. Dan
jakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap mendjatuhkan hukuman kepada
mereka itu.
—
Dinegeri, dimana tanahnja begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam ? —
—
Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami —
—
Dinegeri, dimana penduduknja sendiri melarat itu ? —
—
Ja. Ja. Ja. Itulah dia negeri kami —
—
Negeri jang lama diperbudak orang lain itu —
—
Ja, Tuhanku. Sungguh laknat pendjadjah itu, Tuhanku —
—
Dan hasil tanahmu, mereka jang mengeruknja dan diangkutnja kenegerinja, bukan ?
—
— Benar,
Tuhanku, hingga kami tak mendapat apaapa lagi. Sungguh laknat mereka itu —
—
Dinegeri jang selalu katjau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain djuga jang mengambilnja, bukan ? —
—
Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal hartabenda itu, kami takmau tahu. Jang
penting bagi kami ialah menjembah dan memudji Engkau —
—
Engkau rela tetap melarat, bukan ? —
—
Benar. Kami rela sekali, Tuhanku —
—
Karena kerelaanmu itu, anaktjutjumu tetap djuga melarat bukan ? —
—
Sungguhpun anaktjutju kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengadji. KitabMu
mereka hapal diluar kepala belaka —
—
Tapi seperti kamu djuga, apa jang disebutnja tidak dimasukkan kehatinja, bukan
? —
—
Ada, Tuhanku —
—
Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anaktjutjumu teraniaja
semua. Sedang hartabendamu kau biarkan orang lain mengambilnja untuk anaktjutju
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri jang kajaraja, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat sadja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menjuruh engkau semuanja beramal disamping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku
ini suka pudjian, mabuk disembah sadja, hingga kerdjamu lain tidak memudjimudji
dan menjembahku sadja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah
mereka ini kembali keneraka. Letakkan dikeraknja —
Semuanja
djadi putjatpasi tak berani berkata apaapa lagi. Tahulah mereka sekarang apa
djalan jang diridai Allah didunia.
Tapi
Hadji Saleh ingin djuga kepastian apakah jang dikerdjakannja didunia itu salah
atau benar. Tapi ia tak berani bertanja kepada Tuhan, ia bertanja sadja pada
malaikat jang mengiring mereka itu.
—
Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menjembah Tuhan didunia ? — tanja Hadji
Saleh.
—
Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahjang. Tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, hingga
mereka itu kutjarkatjir selamanja. Itulah kesalahanmu jang terbesar, terlalu
egoistis. Padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanja, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun —
Demikianlah
tjerita Adjo Sidi jang kudengar dari kakek. Tjerita jang memurungkan kakek.
Dan
besoknja, ketika aku mau turun rumah pagipagi, isteriku berkata apa aku tak
pergi mendjenguk.
—
Siapa jang meninggal — tanjaku kaget.
—
Kakek —
—
Kakek ? —
—
Ja. Tadi subuh kakek kedapatan mati disuraunja dalam keadaan jang ngeri sekali.
Ia menggoroh lehernja dengan pisau tjukur —
—
Astaga. Adjo Sidi punja garagara — kataku seraja melangkah setjepatnja
meninggalkan isteriku jang tertjengangtjengang.
Aku
tjari Adjo Sidi kerumahnja. Tapi aku berdjumpa sama isterinja sadja. Lalu aku tanja
dia.
—
Ia sudah pergi — djawab isteri Adjo Sidi.
—
Tidak ia tahu kakek meninggal ? —
—
Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat kakek tudjuh lapis —
—
Dan sekarang — tanjaku kehilangan akal sungguh mendengar peristiwa oleh
perbuatan Adjo Sidi jang tidak sedikitpun bertanggungdjawab — dan sekarang
kemana dia ? —
—
Kerdja—
—
Kerdja ? — tanjaku mengulangi hampa.
—
Ja. Dia pergi kerdja —
A.A. Navis
Bukittinggi, Maret 1955
***
Kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis, tuan akan berhenti didekat pasar.
Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer
dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan,
simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu
nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua
yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia
hidup dari sedekah yang di pungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia
mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali
setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak
begitu dikenal. Ia lebih terkenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu
mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong mengasahkan pisau
atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terimakasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai
mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai suatu
gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu
kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalamnya,
secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh
manusia sekarang yang tak hendak memelihara apa yang tak dijaga lagi.
Dan barangkali dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Begitu kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek. Biasanya
kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini
kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandanganya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki kakek.
Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah
pisau itu. Dan aku tanya kakek: “Pisau siapa, kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.
Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang
mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang
aneh-aneh sepanjang hari. Tapi itu jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua
pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya
menjadi pameo akhirnja. Ada-ada saja orang-orang sekitar kampungku yang mencocoki
watak dari pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat
seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin
berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami
sebutkan pemimpin katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya kakek lagi:
“Apa ceritanja, kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” kakek menjawab lesu.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini
menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua.
Orangtua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau
imanku rusak karenanya, ibadatku, rusak karenanya. Sudah begitu lama aku
berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan
diriku kepadaNya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan kakek
jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek, “Bagaimana katanya, kek?”
Tapi kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali.
Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku. “Kau
kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan?
Kautahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki
Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau
kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan kakek dengan
pertanyaannya sendiri. “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak kuingat punya
isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang
kulakukan, sangkamu? Akan dikutukiNya aku kalau selama hidupku akan mengabdi
kepadanya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci.
Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaja bersujud kepadaNya.
Aku sembahyang setiap waktu, siang malam, pagi sore. Aku sebut-sebut namaNya
selalu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitabNya. Alhamdulillah, kataku bila aku
menerima kurniaNya. Astaghfirullah, kataku bila terkejut. Masya Allah, kataku
bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk.”
Ketika kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia
katakan kakek begitu, kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya.
Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita
Ajo Sidi yang begitu memukuli hati kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir
bertanya. Dan akhirnya kakek bercerita juga.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan
Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di sampingNya.
Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya
orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan diantara orang-orang
yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenjum-senjum saja karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga.
Kedua tangannya ditopangkannya di pinggang sambil dibusungkan dada dan
menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka,
bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga
ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan, “Selamat ketemu nanti.”
Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri, begitu panjangnya. Susut yang di muka,
bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifatNya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil senyum bangga
ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
“Engkau?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh
namaku.”
“Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya
buat engkau di dunia.”
“Ya, Tuhanku.”
“Apa kerjamu di dunia?”
“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”
“Lain?”
“Segala tegahMu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat
jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis
laknat itu.
“Lain?”
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat
menyembahMu, menyebut-nyebut namaMu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit,
namaMu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa mendoakan kemurahan
hatiMu untuk mengisapkan umatMu.”
“Lain?”
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan
segala yang ia kerjakan. Tapi ia insyaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal
bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya,
ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya.
Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan
kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, dihisap kering oleh hawa panas neraka itu.
“Lain lagi?” tanja Tuhan.
“Sudah hambaMu ceritakan semuanya, o Tuhan yang Maha Besar,
lagi Pengasih dan Penyayang, adil dan Maha Tahu.” Haji Saleh yang sudah kuyu
mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan mengharapkan semoga
Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi, “Tak ada lagi?”
“O. O. Ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca KitabMu.”
“Lain?”
“Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang
aku lupa mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Maha Tahu.”
“Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang
kau ceritakan tadi?”
“Ya, itulah semuanya, Tuhanku.”
“Masuk kamu.”
Dan malaikat dengan sigap menjewer Haji Saleh ke neraka.
Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang
dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak
teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah
tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang
dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah
seorang yang telah sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar Syech pula.
Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya.
Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “Bukankah
kita disuruhNya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita
kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”
“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang
senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.”
“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan
Haji Saleh.
“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”
“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji
Saleh.
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapanNya, bagaimana?”
suatu suara melengking didalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.
“Apa kita revolusikan juga?” tanja suara yang lain, yang
rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. Yang penting
sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak
yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju,” mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, “Kalian mau apa?”
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan.
Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya, “O,
Tuhan kami yang Maha Besar. Kami yang menghadapMu ini adalah umatMu yang paling
taat beribadat, yang paling taat menyembahMu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut namaMu, memuji-muji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu dan lain-lainnya.
KitabMu kami apal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya.
Akan tetapi Tuhanku yang Maha Kuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau
masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka
disini, atas nama orang-orang yang cinta padaMu, kami menuntut agar hukuman yang
Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitabMu.
“Kalian di dunia tinggal dimana?” tanya Tuhan.
“Kami ini adalah umatMu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”
“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakayanya, penuh oleh logam, minyak dan
berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”
“Benar. Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka
mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan
hukuman kepada mereka itu.
“Di negeri, dimana tanahnya begitu subur, hingga tanaman
tumbuh tanpa ditanam?”
“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, dimana penduduknya sendiri melarat itu?”
“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu.”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya
ke negerinya, bukan?”
“Benar, Tuhanku, hingga kami tak mendapat apa-apa lagi.
Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu
selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami
tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat bukan?”
“Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. KitabMu mereka hapal di luar kepala belaka.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak
dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga
anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya,
tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya
beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu
lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk
neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan dikeraknya.”
Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi.
Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridhai Allah di dunia.
Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang
dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada
Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang mengiring mereka itu.
“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di
dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan
dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi
engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu
sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Itulah kesalahanmu yang
terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya,
tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari kakek. Cerita
yang memurungkan kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, isteriku
berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal,” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam
keadaan yang ngeri sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah
secepatnya meninggalkan isteriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
isterinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab isteri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kapan buat
kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar
peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab. “Dan
sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar