TELAGA
ITU LUAS,
sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri
seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir sepapak daun telinga. Dia menoleh
dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil.
Seruannya merindu dan merdu. “Marhaban
ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”
Senyumnya
lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari
sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik
mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas
wudhunya.
Tapi di
antara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu, ada rona merah dan urat yang
membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam
sejenak. Wibawa dan akhlaknya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta,
dengan mata berkaca-kaca. “Ya Robbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku!
Mereka ummatku!”
Ada suara
menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”
Air
telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut
dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telag itu,
bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki
memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya
berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada
yang dihalau pergi.
Telaga
itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di
dunia ini. Telaga itu al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di
langit dan bumi.
***
Telaga
lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di
Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut
di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan. Dia memang
tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis
hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan
kulit putihnya.
Lelaki
itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut
citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia
dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk
untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa
memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung
yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.
Maka di
tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu
mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya
melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia
terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebutnya kembang itu, narcissus.
Selesai.
Tetapi
Paulo Coelho punyya anggitan lain utnuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh
cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah
kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari
semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa
engkau menangis?” tanya para peri.
Telaga
itu berkaca-kaca, “Aku menangisi Narcissus,” katanya.
“Oh, tak
heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun
hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”
“Oh,
indahkah Narcissus?”
Para peri
hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahui-nya lebih daripadamu?” kata
salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”
Sejenak
hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus,” kata telaga kemudian, “Tapi
tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa
lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia
berlutut di dekatku.”
***
Setiap
kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita
mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua
yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama
kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling mempesona. Kita
mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa
dengan manusia paling sempurna.
Kisah
tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita
peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang
dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesama, seperti apa yang kita tabor
pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjub, namun dalam ketidaktahuan.
Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi
bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada
dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.
Tetapi
‘Amr ibn al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad,
lelaki yang sesampai di surga pun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya.
‘Amr telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling
mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah hari Hudaibiyyah yang menegangkan
itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Kholid ibn al-Walid dan ‘Utsman ibn
Tholhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi,
dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.
Bagaimanapun,
‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata, dan
perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rosul pastilah
mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan
bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Terasa sekali.
Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rosululloh,” dia berbisik ketika
kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”
Sang Nabi
tersenyum. “’Aisyah,” katanya.
“Maksudku,”
kata ‘Amr, “Dari kalangan laki-laki.”
“Ayah
‘Aisyah.” Rosululloh terus saja tersenyum padanya.
“Lalu
siapa lagi?”
“’Umar.”
“Lalu
siapa lagi?”
“’Utsman.”
Dan beliau terus tersenyum.
“Setelah
itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan pertanyaanku. Aku
takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah
berbincang dengan Kholid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang
membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan
basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.
Nabi itu
indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah
bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa
berharga, merasa mempesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.
“Mukmin
yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain.”
Bercerminlah,
tetapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang seperti Narcissus, atau telaganya.
Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu
saat kita menemukan hal-hal yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita
tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang
harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki
bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang
bercermin padanya.
Itu saja.
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar