Rabu, 01 Mei 2013

Dua Telaga



TELAGA ITU LUAS, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhaban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”

Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.

Tapi di antara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu, ada rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan akhlaknya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Robbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”

Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”

Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telag itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.

Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.

                                                                                       ***

Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit putihnya.

Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.

Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebutnya kembang itu, narcissus.

Selesai.

Tetapi Paulo Coelho punyya anggitan lain utnuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.

“Mengapa engkau menangis?” tanya para peri.

Telaga itu berkaca-kaca, “Aku menangisi Narcissus,” katanya.

“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”

“Oh, indahkah Narcissus?”

Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahui-nya lebih daripadamu?” kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”

Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus,” kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”

                                                                                       ***

Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling mempesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.

Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesama, seperti apa yang kita tabor pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.

Tetapi ‘Amr ibn al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surga pun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. ‘Amr telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu setelah hari Hudaibiyyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Kholid ibn al-Walid dan ‘Utsman ibn Tholhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.

Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu tampak dari sikap, kata-kata, dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rosul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rosululloh,” dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”

Sang Nabi tersenyum. “’Aisyah,” katanya.

“Maksudku,” kata ‘Amr, “Dari kalangan laki-laki.”

“Ayah ‘Aisyah.” Rosululloh terus saja tersenyum padanya.

“Lalu siapa lagi?”

“’Umar.”

“Lalu siapa lagi?”

“’Utsman.” Dan beliau terus tersenyum.

“Setelah itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan pertanyaanku. Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Kholid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.

Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa mempesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.

“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain.”

Bercerminlah, tetapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang seperti Narcissus, atau telaganya. Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak berkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Itu saja.


Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar