Teori-teori
yang diusulkan oleh Sigmund Freud menekankan pentingnya peristiwa masa kanak-kanak dan
pengalaman, namun hampir secara khusus berfokus pada gangguan mental bukan yang
berfungsi normal.
Menurut
Freud, perkembangan anak digambarkan sebagai serangkaian “tahap psikoseksual”.
Dalam “Essay Tiga pada Seksualitas” (1915), Freud menguraikan tahapan ini
sebagai oral, anal, latency tiang, dan kelamin. Setiap tahap melibatkan
kepuasan hasrat libidinal dan kemudian dapat memainkan peran dalam kepribadian
orang dewasa.
Teori psikoanalitik
Aliran psikoanalitik mempelajari
perkembangan kepribadian dan perilaku abnormal daripada aliran psikologi.
Aliran ini dikembangkan oleh Dr. Sigmund Freud sehingga lebih dikenal dengan
nama Aliran Freud. Proses pengobatan gejala-gejala histeria mulai dari
pembiusan kemudian beralih ke hipnotis dan terapi bicara atau psikoanalisa yang
mengutamakan pentingnya proses ketaksadaran.
Aliran Psikoanalitik terdiri dari dua variasi yakni personal dan interpersonal, bagaimana kepribadian mempengaruhi belajar dan perilaku. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud yang berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas dasar pikiran, perasaan, dan kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari.
Dasar pendapat dan pandangan Frued berangkat dari
keyakinan bahwa pengalaman mental manusia tidak ubahnya seperti gunung es yang
terapung di samudera yang hanya sebagian terkecil yang tampak, sedangkan
sembilan persepuluhnya dari padanya yang tidak tampak itulah yang merupakan
bagian/lapangan ketidaksadaran mental manusia berupa pikiran kompleks, perasaan,
dan keinginan-keinginan bawah sadar yang tidak dialami secara langsung tetapi
ia terus mempengaruhi tingkah laku manusia.
Bagi Frued, segala bentuk tingkah laku manusia
bersumber dari dorongan-dorongan pikiran bawah sadar. Dialektika antara
kesadaran dan ketidaksadaran ini dijelaskan Frued dalam tiga sistem kejiwaan.
Id, Ego, dan Superego
Dalam pribadi manusia, ada yang disebut dengan ID (naluri), EGO (saya/aku),
dan SUPEREGO (norma). Ketiga hal ini akan membantu manusia untuk beradaptasi
dengan lingkungan hidupnya. Secara naluriah, manusia akan berusaha bertahan
hidup dengan cara apa pun seperti yang disebut di atas, termasuk mempertahankan
diri tentang eksistensinya dalam lingkungan.
1.
Id merupakan kodrat makhluk. Id
adalah naluri makhluk hidup dalam rangka mempertahankan eksistensinya di muka
bumi. Bertahan hidup dalam arti yang luas pada dasarnya merupakan segala aspek
yang kita lihat di bumi ini. Id pada manusia termasuk naluri untuk berkembang
biak, mempertahankan diri dari ancaman, naluri untuk bebas dari rasa lapar dan
haus seperti halnya makhluk lain.
Id pada manusia menghasilkan
kecenderungan untuk agresif dan terfokus pada pemenuhan kebutuhan jasmani. Id
adalah bagian dari sistem yang dihasilkan oleh tubuh untuk memenuhi
kebutuhannya.
Id seluruhnya berada pada alam
bawah sadar. Id sering ditafsirkan sebagai instink seperti pada hewan. Namun instink
berbeda dengan id. Oleh Freud, id disebut sebagai Triebe atau dalam arti
literalnya drive (dorongan). Dorongan inilah yang menurut Freud
mengendalikan dan menentukan kemampuan, kualitas, dan kapasitas seseorang.
Kalau id seseorang itu tinggi, maka kualitas orang tersebut secara keseluruhan
dengan sendirinya akan tinggi. Usaha yang dilakukan oleh orang dengan id yang
tinggi lebih baik jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan oleh orang yang
id-nya rendah. Karena orang dengan id tinggi berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidup dalam arti luas dengan lebih baik. Begitu hebatnya id ini menurut Freud
sampai-sampai Freud berkata “Man is what his sex is; Kulitas Laki-laki itu
tergantung dari nafsu birahinya”, kata Freud.
2.
Ego (pribadi) merupakan inti dari
kesatuan manusia, dan bila terjadi ancaman terhadap ego hal ini merupakan ancaman terhadap
tulang punggung (eksistensi) manusia. Sehingga kegagalan/kekecewaan terhadap
pencapaian hal tersebut, atau terusiknya ego manusia, salah satunya diungkapkan
dengan marah.
Selain sebagai bentuk ekspresi emosi,
marah juga merupakan satu bentuk komunikasi. Adakalanya orang lain baru
mengerti maksud yang ingin kita sampaikan ketika kita marah. Tanpa marah, orang lain malah
menganggap kita main-main atau tidak serius. Dalam hal ini, tentunya juga
berkaitan dengan masalah budaya. Dalam budaya masyarakat tertentu, suatu bentuk
ekspresi seseorang akan dianggap sebagai bentuk ekspresi marah sedangkan dalam
budaya masyarakat lain dianggap biasa-biasa saja, salah satu contoh konkretnya
adalah logat bahasa.
Contoh lain: dalam pertandingan sepak
bola. Tak jarang kita lihat ada pemain yang bersitegang, terutama apabila
terjadi pelanggaran. Ketika bersitegang, sikap yang ditunjukkan para pemain
Eropa akan berbeda dengan sikap yang diperlihatkan para pemain Indonesia. Dalam
kebanyakan pertandingan Liga Eropa yang kita saksikan di televisi, apabila
pemain saling bersitegang, mereka beradu mulut dan bahkan saling berhadapan.
Mata melotot dan urat-urat leher pun tampak menjadi tegang. Namun, setelah
melampiaskan kekesalan dan amarah masing-masing, mereka pun bisa segera
melanjutkan pertandingan dengan baik. Adapun di Indonesia, tak jarang kita
menyaksikan persitegangan antara dua pemain, namun merembet pada pemain lain
sehingga menyebabkan perkelahian massal antarpemain.
3.
Superego
Dorongan dari id, menjadi tidak
dapat diterima oleh seseorang bukan saja ketika Ego-nya mengantisipasi
ketidakmungkinan sementara karena karena kondisi dan keadaan, tapi juga secara
lebih permanen. Hal itu disebabkan karena sistem ketiga dari pikiran manusia
yang disebut superego. Superego merupakan pengendali dari ego dan id yang bukan
berasal dari dalam diri tetapi dari penyerapan standar aturan dan pranata dari
pendidikan orang tua.
Superego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan dengan etika, standar moral dan aturan. Superego berkembang selama 5 tahun pertama kehidupan sebagai respon dari pendidikan orang tua. Perkembangan superego menyerap tradisi dari keluarga dan lingkungan sekitar. Superego berfungsi sebagai pengendali perilaku atau penyaring rangsangan sosial yang tidak memenuhi standar perilaku.
Dalam bahasa sederhana, Superego
sering diterjemahkan sebagai conscience atau suara hati. Pelanggaran
terhadap suara hati atau standar superego menghasilkan perasaan bersalah,
kegelisahan dan rasa khawatir. Superego terus berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan pengetahuan pribadi seseorang dimana ia menemukan sosok, sistem
aturan atau pikiran-pikiran yang diketahuinya dari pergaulan dalam masyarakat
yang lebih luas.
[PDF]
Rehat:
A: “Apa bedanya ‘Aku’ dengan ‘Saya’?
B: “Apa, ya?”
A: “Kalau ‘Aku’, itu ya aku ini (sambil menunjuk diri
sendiri).”
B: “Lah, kalau ‘Saya’?”
A: “Monyet!”
B: !#$%^(&*&(*)(_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar