Selasa, 01 April 2014

Teori Psikoanalitik Sigmund Freud

Teori-teori yang diusulkan oleh Sigmund Freud menekankan pentingnya peristiwa masa kanak-kanak dan pengalaman, namun hampir secara khusus berfokus pada gangguan mental bukan yang berfungsi normal.

Menurut Freud, perkembangan anak digambarkan sebagai serangkaian “tahap psikoseksual”. Dalam “Essay Tiga pada Seksualitas” (1915), Freud menguraikan tahapan ini sebagai oral, anal, latency tiang, dan kelamin. Setiap tahap melibatkan kepuasan hasrat libidinal dan kemudian dapat memainkan peran dalam kepribadian orang dewasa.

Teori psikoanalitik


Aliran psikoanalitik mempelajari perkembangan kepribadian dan perilaku abnormal daripada aliran psikologi. Aliran ini dikembangkan oleh Dr. Sigmund Freud sehingga lebih dikenal dengan nama Aliran Freud. Proses pengobatan gejala-gejala histeria mulai dari pembiusan kemudian beralih ke hipnotis dan terapi bicara atau psikoanalisa yang mengutamakan pentingnya proses ketaksadaran.

Aliran Psikoanalitik terdiri dari dua variasi yakni personal dan interpersonal, bagaimana kepribadian mempengaruhi belajar dan perilaku. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud yang berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas dasar pikiran, perasaan, dan kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari.

Dasar pendapat dan pandangan Frued berangkat dari keyakinan bahwa pengalaman mental manusia tidak ubahnya seperti gunung es yang terapung di samudera yang hanya sebagian terkecil yang tampak, sedangkan sembilan persepuluhnya dari padanya yang tidak tampak itulah yang merupakan bagian/lapangan ketidaksadaran mental manusia berupa pikiran kompleks, perasaan, dan keinginan-keinginan bawah sadar yang tidak dialami secara langsung tetapi ia terus mempengaruhi tingkah laku manusia.

Bagi Frued, segala bentuk tingkah laku manusia bersumber dari dorongan-dorongan pikiran bawah sadar. Dialektika antara kesadaran dan ketidaksadaran ini dijelaskan Frued dalam tiga sistem kejiwaan.


Id, Ego, dan Superego

Dalam pribadi manusia, ada yang disebut dengan ID (naluri), EGO (saya/aku), dan SUPEREGO (norma). Ketiga hal ini akan membantu manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Secara naluriah, manusia akan berusaha bertahan hidup dengan cara apa pun seperti yang disebut di atas, termasuk mempertahankan diri tentang eksistensinya dalam lingkungan.

1.      Id merupakan kodrat makhluk. Id adalah naluri makhluk hidup dalam rangka mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Bertahan hidup dalam arti yang luas pada dasarnya merupakan segala aspek yang kita lihat di bumi ini. Id pada manusia termasuk naluri untuk berkembang biak, mempertahankan diri dari ancaman, naluri untuk bebas dari rasa lapar dan haus seperti halnya makhluk lain.

Id pada manusia menghasilkan kecenderungan untuk agresif dan terfokus pada pemenuhan kebutuhan jasmani. Id adalah bagian dari sistem yang dihasilkan oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhannya.

Id seluruhnya berada pada alam bawah sadar. Id sering ditafsirkan sebagai instink seperti pada hewan. Namun instink berbeda dengan id. Oleh Freud, id disebut sebagai Triebe atau dalam arti literalnya drive (dorongan). Dorongan inilah yang menurut Freud mengendalikan dan menentukan kemampuan, kualitas, dan kapasitas seseorang. Kalau id seseorang itu tinggi, maka kualitas orang tersebut secara keseluruhan dengan sendirinya akan tinggi. Usaha yang dilakukan oleh orang dengan id yang tinggi lebih baik jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan oleh orang yang id-nya rendah. Karena orang dengan id tinggi berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti luas dengan lebih baik. Begitu hebatnya id ini menurut Freud sampai-sampai Freud berkata “Man is what his sex is; Kulitas Laki-laki itu tergantung dari nafsu birahinya”, kata Freud.

2.      Ego (pribadi) merupakan inti dari kesatuan manusia, dan bila terjadi ancaman terhadap ego hal ini merupakan ancaman terhadap tulang punggung (eksistensi) manusia. Sehingga kegagalan/kekecewaan terhadap pencapaian hal tersebut, atau terusiknya ego manusia, salah satunya diungkapkan dengan marah.

Selain sebagai bentuk ekspresi emosi, marah juga merupakan satu bentuk komunikasi. Adakalanya orang lain baru mengerti maksud yang ingin kita sampaikan ketika kita marah. Tanpa marah, orang lain malah menganggap kita main-main atau tidak serius. Dalam hal ini, tentunya juga berkaitan dengan masalah budaya. Dalam budaya masyarakat tertentu, suatu bentuk ekspresi seseorang akan dianggap sebagai bentuk ekspresi marah sedangkan dalam budaya masyarakat lain dianggap biasa-biasa saja, salah satu contoh konkretnya adalah logat bahasa.

Contoh lain: dalam pertandingan sepak bola. Tak jarang kita lihat ada pemain yang bersitegang, terutama apabila terjadi pelanggaran. Ketika bersitegang, sikap yang ditunjukkan para pemain Eropa akan berbeda dengan sikap yang diperlihatkan para pemain Indonesia. Dalam kebanyakan pertandingan Liga Eropa yang kita saksikan di televisi, apabila pemain saling bersitegang, mereka beradu mulut dan bahkan saling berhadapan. Mata melotot dan urat-urat leher pun tampak menjadi tegang. Namun, setelah melampiaskan kekesalan dan amarah masing-masing, mereka pun bisa segera melanjutkan pertandingan dengan baik. Adapun di Indonesia, tak jarang kita menyaksikan persitegangan antara dua pemain, namun merembet pada pemain lain sehingga menyebabkan perkelahian massal antarpemain.

3.      Superego

Dorongan dari id, menjadi tidak dapat diterima oleh seseorang bukan saja ketika Ego-nya mengantisipasi ketidakmungkinan sementara karena karena kondisi dan keadaan, tapi juga secara lebih permanen. Hal itu disebabkan karena sistem ketiga dari pikiran manusia yang disebut superego. Superego merupakan pengendali dari ego dan id yang bukan berasal dari dalam diri tetapi dari penyerapan standar aturan dan pranata dari pendidikan orang tua.

Superego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan dengan etika, standar moral dan aturan. Superego berkembang selama 5 tahun pertama kehidupan sebagai respon dari pendidikan orang tua. Perkembangan superego menyerap tradisi dari keluarga dan lingkungan sekitar. Superego berfungsi sebagai pengendali perilaku atau penyaring rangsangan sosial yang tidak memenuhi standar perilaku.

Dalam bahasa sederhana, Superego sering diterjemahkan sebagai conscience atau suara hati. Pelanggaran terhadap suara hati atau standar superego menghasilkan perasaan bersalah, kegelisahan dan rasa khawatir. Superego terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan pengetahuan pribadi seseorang dimana ia menemukan sosok, sistem aturan atau pikiran-pikiran yang diketahuinya dari pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.

[PDF]

Rehat:
A: “Apa bedanya ‘Aku’ dengan ‘Saya’?
B: “Apa, ya?”
A: “Kalau ‘Aku’, itu ya aku ini (sambil menunjuk diri sendiri).”
B: “Lah, kalau ‘Saya’?”
A: “Monyet!”
B: !#$%^(&*&(*)(_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar