Presiden Soeharto dan Mensesneg Alamsjah Ratoe Prawiranegara tahun 1970 |
Dulu saya pernah menganggap cerita
Daoed Joesoef “ditoyor” oleh Alamsjah Ratoe Perwiranegara hanyalah gosip semata.
Ternyata, cerita itu diakui sendiri oleh Alamsjah dalam biografinya, serta
disinggung cukup panjang dalam biografi mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI
(1975/1976) Dipo Alam. Konflik, dan bahkan bentrok fisik, antara Alamsjah
dengan Daoed, jika kita teliti, hanyalah merupakan catatan kaki dari
perseteruannya dengan para pendiri CSIS, yaitu Ali Moertopo dan Soedjono
Hoemardani.
Ali dan Soedjono sebenarnya adalah
bekas anak buah Alamsjah. Sewaktu Pak Harto diangkat menjadi Pejabat Presiden
pada 1967, ia membentuk Staf Pribadi (disingkat Spri) yang dikoordinatori oleh
Alamsjah. Ali dan Soedjono adalah dua di antara sekian anggotanya. Namun, meski
sama-sama bekerja untuk Pak Harto, Alamsjah mengaku banyak bentrok dengan kedua
nama tadi.
Alamsjah menilai kalau Ali dan Soedjono
sering melakukan berbagai aksi yang merugikan Presiden. Tingginya resistensi
kalangan Islam terhadap garis politik Pemerintah, misalnya, menurut Alamsjah
sebagian adalah karena ulah kedua nama tadi.
Alamsjah mengenal Soeharto sewaktu dia
menjadi pimpinan Operasi Mandala di Irian Barat. Untuk mengurusi semua
kebutuhan prajurit dan kepentingan operasi, Soeharto harus berhubungan dengan
Asisten Menpangad yang dijabat oleh Alamsjah.
Sebagai Asisten Mengpangad, Alamsjah
tentu saja adalah anak kesayangan Jenderal Ahmad Yani. Jabatan terakhirnya di
ketentaraan adalah Asisten VII Menpangad, atau Asisten Perbendaharaan.
Belakangan, jabatan itu dirangkapnya dengan posisi Deputi Khusus Menpangad.
Pada masa itu posisi Asisten Menpangad
kedudukannya lebih tinggi daripada Pangdam. Pejabatnya harus berpangkat
Brigadir Jenderal (Brigjen). Karena masih berpangkat kolonel, ketika ditunjuk
menjadi Asisten VII Menpangad, pangkat Alamsjah pun dinaikkan menjadi Brigjend.
Sayangnya, karena Alamsjah dianggap
terlalu pro terhadap kalangan Islam, Presiden Soekarno tidak mau menandatangani
SK kenaikan pangkatnya. Menurut Alamsjah, semua tudingan yang dialamatkan
kepadanya sebenarnya berasal dari BPI (Badan Pusat Intelijen) yang dipimpin
oleh Subandrio.
Meskipun Presiden Soekarno menolak
menandatangani kenaikan pangkat Alamsjah, namun Yani tetap menaikkan pangkatnya
menjadi Brigjen. Ketika belakangan pangkat Alamsjah dinaikkan lagi menjadi
Mayor Jenderal pada tahun 1967, SK pengangkatannya sebagai Brigjen tetap
kosong, tanpa tanda tangan.
Sejak lama Alamsjah memang dikenal
dekat dengan umat Islam. Namun, saat pertama kali diberitahu kalau dirinya akan
ditugaskan menjadi Menteri Agama pada tahun 1978, Alamsjah mengaku terperanjat.
“Jangan main-main, Pak!” ujarnya,
kepada Presiden Soeharto. “Saya bukan kyai, bukan ulama, bukan ahli agama, dan
tidak memiliki latar belakang pendidikan formal keagamaan. Sedangkan mereka
yang ahli dan bergelar profesor saja tidak berhasil,” imbuhnya.
Mendengar jawaban itu, Pak Harto hanya
tersenyum.
“Bukan di situ soalnya, Saudara
Alamsjah. Semuanya sudah saya coba, tetapi kurang berhasil. Setelah saya pikir
secara mendalam, dan saya pertimbangkan masak-masak, pilihan tiba pada nama
Saudara,” kata Pak Harto.
Pak Harto kemudian menjelaskan latar
belakang penunjukkan itu. Ia bercerita tentang suasana Sidang Umum MPR yang
diwarnai oleh aksi walk out para wakil rakyat dari Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sehubungan dengan isu Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Karena isu itu mengundang reaksi luas dan juga keras dari masyarakat, Pak
Harto menilai jika dibiarkan maka hal itu bisa membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Itu sebabnya Pak Harto akan menugaskan Alamsjah menjadi
Menteri Agama.
Sebagai Menteri Agama, Alamsjah
ditugaskan untuk menjelaskan kepada umat beragama, khususnya umat Islam,
mengenai kedudukan Pancasila. Dalam pandangan Pak Harto kala itu, selama
Pancasila tidak dipahami secara jelas oleh umat Islam, maka selamanya mereka
akan bersikap apriori, tak bisa menerima, yang pada ujungnya membuat persatuan
kita jadi rapuh. Itu sebabnya Presiden menginginkan tidak ada lagi benturan
antara Pancasila dengan agama di masa mendatang. Sesudah mendengar penjelasan
itu, Alamsjah akhirnya menerima penugasan tersebut.
Penunjukkan Alamsjah sebagai Menteri
Agama, meskipun awalnya dipertanyakan oleh banyak orang, terbukti merupakan
keputusan yang tepat. Sebagai Menteri Agama, gaya Alamsjah dalam
mensosialisasikan Pancasila juga simpatik. Alih-alih menyalahkan umat karena
bersikap apriori terhadap Pancasila, Alamsjah justru banyak menyalahkan
pemerintah yang selama ini terus memojokkan kalangan Islam. Perasaan terpojok
itulah yang menurut Alamsjah telah membuat umat sulit menerima dan bahkan
resisten terhadap Pancasila.
Karena pendekatan yang lebih baik,
Alamsjah akhirnya bisa merangkul umat Islam, sehingga kehadirannya pun segera
bisa diterima dan berbalik mendapat banyak apresiasi. Apalagi, Alamsjah juga
tak segan membela umat ketika ada pejabat tinggi pemerintah yang bersikap
diskriminatif dan memojokkan kalangan Islam.
Ia, misalnya, tak segan berkonfrontasi
dengan Ali Moertopo, juga Soedjono Hoemardani, dua sosok yang dianggap banyak
bertanggung jawab dalam menjauhkan pemerintahan Orde Baru dari kalangan Islam.
Bahkan, ketika Daoed Joesoef menjadi Menteri P&K dan banyak mengeluarkan
kebijakan yang meresahkan umat, dalam sebuah rapat kabinet Alamsjah pernah
“menoyor” menteri yang berasal dari CSIS itu.
Ceritanya, pada medio 1981, Alamsjah
menerima laporan bahwa Menteri P&K Daoed Joesoef tidak mau mengeluarkan
izin pendirian Lembaga Bahasa Arab yang diminta oleh Kedutaan Besar Arab Saudi.
Berkali-kali Duta Besar Arab Saudi datang menemuinya dan mengeluhkan hal
tersebut. Karena terus-menerus mendapat keluhan, Alamsjah jadi bertanya-tanya.
Ia merasa macetnya izin bagi pendirian
lembaga bahasa Arab cukup aneh, sebab di sisi lain kedutaan-kedutaan lain yang
meminta izin untuk mengajarkan bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Rusia, atau
Jepang, tak pernah mengalami kendala. Semuanya mendapat izin dari pemerintah.
Iapun kemudian menelepon Daoed Joesoef.
“Tidak ada kursus bahasa Arab saja umat
Islam sudah fanatik, apalagi kalau diadakan kursus bahasa Arab?!” demikian
jawab Daoed lewat telepon.
Jawaban itu tentu saja membuat Alamsjah
tercengang. Ia tak menyangka kalau ada koleganya yang bisa berpikir sepicik
itu.
Menurut Alamsjah, umat Islam menjadi
fanatik justru karena mereka tidak memahami secara mendalam ajaran agamanya.
Kalau mereka mengerti Al Quran, hadis, serta berbagai buku pengetahuan
keislaman lainnya, serta tidak lagi dicurigai dan didiskriminasi, mereka pasti
tidak lagi akan fanatik. Itu sebabnya pengajaran bahasa Arab jadi penting,
bukan justru malah dihalang-halangi.
Alamsjah mencoba untuk terus melakukan
pendekatan kepada Daoed, namun sikap apriorinya terhadap kalangan Islam membuat
Alamsjah muak. Akhirnya ia melaporkan persoalan itu kepada Presiden.
Untuk memecahkan masalah tersebut,
Presiden mengarahkan agar para menteri terkait melakukan rapat gabungan,
dipimpin oleh Menko Kesra. Akhirnya, rapat gabungan digelar dengan dipimpin
oleh Menko Kesra Jenderal TNI (Purn) Surono Reksodimedjo. Selain Alamsjah dan
Daoed, rapat itu juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja
dan sejumlah Sekjen serta Dirjen Kementerian.
Di dalam rapat tersebut Alamsjah
menyampaikan bahwa penguasaan bahasa Arab sangat penting dimiliki oleh umat
Islam Indonesia. Kalau mereka mengerti bahasa Arab, mereka akan mengerti lebih
dalam ajaran agamanya, sehingga sikap fanatiknya akan hilang. Itu sebabnya ia
merasa aneh, kenapa izin pendirian lembaga pendidikan bahasa Arab yang diajukan
oleh Kedutaan Besar Arab Saudi tak kunjung diturunkan oleh Menteri P&K.
Sebenarnya, karena Departemen Agama
juga memiliki Dirjen Pendidikan Islam, Alamsjah tadinya akan mengeluarkan izin
itu dari kementeriannya. Namun, karena izin lembaga pengajaran bahasa asing
lainnya dikeluarkan oleh Departemen P&K, Alamsjah berusaha untuk mengusahakan
hal itu terlebih dahulu.
“Bahasa Rusia dan bahasa Cina yang
negaranya komunis saja boleh diajarkan di sini, kenapa bahasa Arab yang
diperlukan oleh 90 persen rakyat Indonesia tidak boleh? Kenapa?!” tanya
Alamsjah.
Saat Alamsjah mengucapkan kalimat itu,
Daoed Joesoef tiba-tiba memotong pembicaraannya. Diinterupsi begitu, Alamsjah
yang sebelumnya sudah kesal kepada Daoed, mengaku jadi gelap mata.
“Kalau begitu, ini saja yang boleh!”
ujarnya, sembari menggerakkan tangannya, menepis muka Daoed. Tepisan itu
membuat kacamata Daoed jatuh ke lantai.
Alamsjah memang tak lagi bisa
menyembunyikan kekesalannya. Baginya, argumen yang dikemukakan Daoed sangatlah
tidak masuk akal. Apalagi, menteri-menteri lain juga mendukung alasan Alamsjah.
Bahkan, Jenderal Maraden Panggabean yang Kristen juga mendukungnya. Namun,
Daoed Joesoef tetap keras kepala dengan pendapatnya.
Untuk sesaat, kejadian itu membuat
rapat jadi hening.
Tak lama, Jenderal Surono kemudian
bertanya kepada Alamsjah. “Apa bisa rapat ini dilanjutkan, Pak Alamsjah?” tanyanya.
“Bisa. Saya sudah selesai,” jawab
Alamsjah.
Namun, Menlu Mochtar Kusumaatmadja
mengusulkan agar rapat itu tidak usah dilanjutkan. Menurutnya, karena masalah
tersebut juga menyangkut soal diplomatik, biarlah masalahnya diambil alih oleh
Departemen Luar Negeri saja. Alamsjah mengaku tidak keberatan dengan keputusan
itu.
Kejadian itu tentu saja membuat
hubungan Alamsjah dengan CSIS jadi kian buruk. Dalam pandangan Alamsjah, adanya
kalangan non-Islam yang memusuhi Islam bukanlah sebuah kondisi yang buruk,
karena faktor perbedaan keyakinan memungkinkan hal semacam itu terjadi. Tetapi,
jika ada kelompok Islam yang memusuhi Islam, ini barulah berbahaya. Alamsjah
pernah melontarkan hal ini kepada Daoed. Menurut Alamsjah, secara akademik
Daoed sebenarnya adalah figur yang bagus, tapi tidak secara sosial.
Dalam memuluskan upaya penerimaan
Pancasila oleh kalangan Islam, Alamsjah melakukan pendekatan ke banyak kyai,
salah satunya ke K.H. Bisri Syansuri, ulama NU paling berpengaruh pada saat
itu. Kebetulan, rumah Alamsjah di Matraman bersebelahan dengan rumah almarhum
K.H. Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama yang juga merupakan menantu Kyai Bisri.
Kepada Kyai Bisri, yang merupakan kakek
Gus Dur, ia meyakinkan bahwa Pancasila dan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah
dari umat Islam. Bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada dasarnya berbasis
pada nilai tauhid Islam, sehingga tidak ada dasar bagi umat Islam untuk menolak
Pancasila. Upaya meyakinkan Kyai Bisri ini membuahkan hasil, sehingga lambat
laun umat Islam Indonesia dapat menerima Pancasila.
Kedekatan Alamsjah dengan umat Islam
memang sudah berlangsung sejak lama. Ketika masih menjadi Menteri Sekretaris
Negara, misalnya, ia banyak membantu pesantren dengan menyumbangkan mesin-mesin
diesel pembangkit listrik.
Ketika Imaduddin Abdurrahim, alias Bang
Imad, seorang intelektual muslim kenamaan terkendala untuk pulang ke Indonesia
setelah merampungkan studinya di Amerika, Alamsjah pula yang membantunya agar
bisa pulang.
Untuk membantu kepulangan Bang Imad,
Alamsjah menyuruh Amir Hamzah, Sekretaris Pribadinya, membuat surat kepada
Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Uniknya, surat untuk Benny itu
ditandatangani oleh Amir sendiri, bukan oleh Alamsjah. Ketika itu Amir baru
berusia awal 30-an.
“Kau saja yang bikin surat ke Benny.
Bilang ke Benny, Imaduddin diminta oleh Alamsjah untuk pulang ke Indonesia.
Saya yang jamin,” perintah Alamsjah kepada Amir.
Akhirnya, surat yang bertandatangan Sespri Menteri dikirimkan ke Panglima ABRI. Berkat surat itu, Bang Imad akhirnya bisa kembali pulang ke Indonesia.
Oleh: Tarli Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar