Rabu, 17 November 2021

Korespondensi Raja Sriwijaya untuk Kholifah

Dalam catatan sejarah kerajaan Sriwijaya memiliki peranan penting bagi Nusantara, baik dari segi peradaban, kekuasaan, perdagangan, agama dan lain sebagainya. Hal itu dapat dilihat dari catatan sejarah berupa artefak dan kronik, yang ditemukan terutama dari tahun 618 hingga 1416 M.

Adapun penyebaran agama yang selama ini diketahui hanya agama Hindu dan Buddha, dalam kerajaan Sriwijaya sendiri agama Buddha memiliki pengaruh besar dimana Sriwijaya menarik para pendatang. Hal itu dapat dilihat dalam kronik Tiongkok ditulis oleh I Tsing yang melakukan perjalanan ke Sumatera pada tahun 671 M.

Bahkan menurut kronik tersebut, terdapat seribu lebih pendeta Buddha yang praktik Dharma di bumi Sriwijaya (Supratna, 2008), dan juga agama Hindu yang terdapat dari peninggalan budaya seperti ditemukannya arca Buddha (Bukit Siguntang), Awalokiteshwara (Musi Rawas), arca Maitreya (Komering), arca Torso perunggu Bodhisattwa (Thailand Selatan).

Begitu juga ditemukannya prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Sriwijaya seperti Prasasti Talang Tuo (1920), prasasti Kota Kapur (1892), prasasti Telaga Batu (1935) dan penemuan-penemuan lainnya.

Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara menguasai jalur perdagangan Malaka dan Asia Tenggara. Di mana Malaka dan Asia Tenggara menjadi salah satu pintu masuk jalur perdagangan dunia, begitu juga penyebaran agama didalamnya.

Dalam hal ini, Taylor (2003) mengatakan pemerintah ¾baik dari masa sebelum menjadi Nusantara ataupun setelah menjadi Indonesia dan merdeka¾ lebih mengalokasikan sumber daya pada situs Hindu dan Buddha untuk penggalian dan pelestarian purbakala. Sehingga kurang begitu memperhatikan tentang sejarah Islam di Nusantara. Sehingga terjadi perdebatan antara peneliti tentang kesimpulan kedatangan Islam di Nusantara (Ricklefs, M.C, 1991). Adapun menurut Ricklefs, ada dua proses terhadap Islam Nusantara.

Pertama, komunikasi orang Muslim dan orang Nusantara; kedua, pada awal era Islam pada masa Kholifah Ustman bin Affan (644-656) telah banyak utusan dagang Muslim yang melintasi Nusantara, bahkan dalam kurun tahun 904 hingga abad ke-12 terlibat komunikasi dengan kerajaan maritim Sriwijaya.

Hamka (2017) berpendapat, bahwa pada tahun 625 M telah ada kelompok bangsa Arab yang bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) yang mana masuk dalam kerajaan Sriwijaya. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam kronik Tiongkok yang ditemukan berasal dari Dinasti Tang (618-902 M) dan catatan Sulaiman Akhbar Shin wal Hindi (851M) serta catatan Abu Yazid Hasan (916 M).

Lebih lanjut, Zainal Abidin Ahmad (1979) mengatakan, pada tahun 30 H atau 651 M pada masa Kholifah Utsman bin Affan (644-656 M) mengirim utusan Muawiyyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa. Di mana hasil daripada pengiriman itu masuknya Raja Jay Sima; putra dari Ratu Sima dari Kalingga; masuk Islam. Namun menurut Abdul Malik Karim Amrullah (2017), peristiwa itu terjadi pada kurang lebih pada tahun 42 H atau 672 M.

 

SURAT SRIWIJAYA KEPADA DINASTI UMMAYAH

Masuknya Islam di Nusantara bukanlah hal yang baru diperbincangkan. Kalangan ahli sejarah Barat pertama kali beranggapan, bahwa Islam masuk ke Nusantara dimulai pada abad ke-13 M, seperti catatan Marco Polo (1929) yang dikutip oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo (1942) yang menunjuk Sultan Malik Al Saleh Azh-Zhohir (696 H-1297 M) sebagai penguasa pertama Muslim di kesultanan Samudra Pasai. Hal ini juga ditambah dari catatan Risalah Ibnu Battutah (1346). Di mana selama 15 hari ia menetap di kerajaan Samudra Pasai pada abad pertengahan. Ibnu Battutah mengatakan dalam Risalahnya, bahwa Sultan Pasai seorang penganut Mazhab Syafi’i. Dalam catatan ini juga dijelaskan, dahulu bangsa Arab mengenal Nusantara dengan nama Jawi. Serta Ibnu Battutah menjelaskan, bahwa Kerajaan Pasai mempunyai Tamaddun (peradaban) yang hubungan luar negeri yang baik sebelumnya.

Adapun K.F.H. Van Lagen menyatakan berita menurut kronik Tiongkok telah menyebutkan, Kerajaan Pasai tahun 1298 M. Sedangkan dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit Hindoesten mengabarkan, bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13 dan juga beberapa temuan-temuan sarjana Barat lainnya yang berpendapat, bahwa Islam masuk di Nusantara pada Abad ke-13 M.

Sedangkan pendapat lain yang mengatakan, bahwa Islam telah masuk di Nusantara sebelum abad ke-13 menyatakan bahwa pada tahun 675 M telah terdapat utusan Raja Arab Muslim yang berkunjung di Kalingga. Hal ini dapat dilihat dari catatan Al-Mas’udi diterangkan bahwa pada tahun 648 M telah ada kelompok Arab Muslim di pantai timur Sumatera.

Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954) menerangkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M dengan melalui jalur pedagang Muslim yang singgah di Sumatera sebelum menuju Tiongkok. Sedangkan dalam Preliminary Statemate on Heneral Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), Prof. Sayyed Naguib Al Attas mengungkapkan, bahwa kaum Muslimin sudah ada di kepulauan Malaya dan Indonesia pada tahun 672 M.

Begitu juga pendapat Prof. Sayyed Qodratullah Fatimi mengatakan, bahwa Muslim telah ada di Malaya pada tahun 674 M. Dan temuan-temuan peneliti lainnya sehingga teori masuknya Islam di Nusantara pada abad 13 yang dikemukan oleh sejarawan Barat tidaklah benar.

Raja Sri Indrawarman (Sri Indravarman) merupakan raja Kerajaan Sriwijaya setelah Dapunta Hyang (671-702 M). Hal ini terlihat dari literasi catatan sejarah I Tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M (Junjiro,1896) dan ditemukannya prasasti kedukan bukit (682 M) oleh M. Batenbug (1920). Hal serupa juga diungkapkan oleh Coedes (1918 M), walaupun terdapat beberapa perbedaan para peneliti dalam menafsirkan beberapa kata yang ada pada prasasti tersebut.

Raja Sri Indrawarman yang dalam kronik Tiongkok dikenal sebagai Shih Li T’o Pa Mo merupakan Maharaja Sriwijaya yang bertahta kisaran 702-728 M. Menurut Prof. Azyumardi Azra (2006), nama Sri Indrawarman muncul berdasarkan surat yang di kirim kepada Kholifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan ada juga peneliti yang menyebutkan bahwa Sri Indrawarman mengirim surat sebelumnya kepada Kholifah Muawiyyah bin Abu Sufyan. Hal ini cukup beralasan dikarenakan pada tahun (644-656M) Kholifah Utsman pernah mengirim armada yang dikomandoi oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan menuju Jawa.

Dalam karangan H.A. Dt. Rajo Mangkuto menuliskan pada 89 H atau 708 M Kholifah Walid bin Abdul bin Marwan (707-717 M) pernah mengirim armada ke pulau Sumatera. Sedangkan Buzurg bin Shahriyar Al Ramhurmui (1000M) mengabarkan, pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya sudah ada perkampungan Muslim di wilayah kerajaan Sriwijaya.

Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kerajaan Sriwijaya memiliki kedekatan yang erat dengan kekholifahan Islam. Hal itu dapat dilihat dari sebuah surat pertama yang ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umary. Kemudian oleh S.Q. Fatimi ¾seorang sejarawan Malaysia¾ menuliskan dua surat Raja Sriwijaya kepada Kholifah Islam yang diambil dari kitab Al-Hayawan karya Abu Utsman ‘Amr Ibnu Bahr Al-Qinanih Al-Fuqaymih Al-Basri atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Jahiz (776 M) yang di kutip oleh Azyumardi Azra (2004). Dimana menceritakan kembali isi pendahuluan surat tersebut yang jika diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:

Dari Maharaja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah dan istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi gaharu. Kepada Muawiyyah…”

Adapun dalam versi terjemahan lain, surat tersebut berisikan sebagai berikut:

Dari Maharaja yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua sungai yang mengairi gaharu. Untuk Muawiyyah…”

Sedangkan surat kedua sedikit lebih lengkap karena terdapat pembukaan dan isi surat sebagaimana yang terdapat dalam buku karangan Ibnu ‘Abd Robbih (246-329 M) yang berjudul Al-Iqd Al-Farid. Adapun potongan surat tersebut antara lain sebagai berikut:

Dari Rajadiraja… yang adalah keturunan seribu raja... Kepada raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain selain Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan jelaskan kepada saya hukum-hukumnya….”

Adapun dalam redaksi lainnya, surat tersebut berbunyi sebagai berikut:

Dari Rajadiraja yang keturunan ribuan raja, yang di istalnya terdapat ribuan gajah, dan menguasai dua sungai yang mengairi gaharu, tanaman harum, pala, dan barus, yang keharumannya menyebar sejauh dua belas mil… Untuk Raja Arab, yang bertuhan Esa. Saya memberimu hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda sapa dan saya harap Anda berkenan mengirim seseorang yang bisa mengajar tentang Islam dan menerangkannya kepada saya..”

Sedangkan dalam Al-Nujum Al-Jaziroh fil Muluk Misr wa Al-Qohiroh yang di ta’lif oleh

Jamaludin Abi Al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghri Birdi Al-Atabiki (1950) mempunyai tambahan
pada akhir surat tersebut, yang berbunyi antara lain: Saya mengirim hadiah jebat (musk), batu
ratna, dupa, dan barus. Terimalah dari saudara Islammu…”

Menurut Prof. Azyumardi Azra (2016), surat tersebut diterima Kholifah Umar bin Abdul Aziz kisaran tahun 100 H (717M). Di mana kemudian Kholifah Umar bin Abdul Aziz memberikan hadiah utusan kerajaan Sriwijaya dan kembali dengan membawa Zanji (budak wanita berkulit hitam). Dan Raja Sri Indrawarman diperkirakan masuk Islam pada tahun 718 M.

Sejak saat itu, bangsa Arab mengenal kerajaannya dengan nama “Kerajaan Sribuza yang Islam”, sebagaimana pada tahun 42H (672 M) Raja Jay Sima juga telah memeluk agama Islam. Menurut M.D. Mansoer (1970), surat Raja Sriwijaya Sri Indrawarman kepada Kholifah Muawiyyah dan Kholifah Umar bin Abdul Aziz tersebut masih tersimpan dengan baik di museum Madrid, Spanyol.

Melihat dari literasi sejarah yang ada dapat dikatakan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada awal abad ke-13 sebagaimana para peneliti Barat nyatakan dapat dikatakan tidak benar. Melainkan Islam telah datang ke Nusantara pada kisaran abad ke-6 M.

Hal itu diperkuat dari temuan surat dalam kearsipan Dinasti Umayyah mengenai kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi temuan ini menjadi benang misteri dalam sejarah peradaban Nusantara. Di mana selama ini pemerintahan lebih cenderung mengkaji dan menggali situs, artefak, dan kronik yang berkaitan dengan peninggalan agama Hindu-Buddha. Sehingga catatan sejarah Islam menjadi pudar dimakan zaman. Sebenarnya jika pemerintah memberikan ruang yang luas untuk mengkaji tentang sejarah Islam Nusantara itu dahulu dapat dimulai ketika ditemukannya catatan Sulaiman (851 M) dan juga catatan Abu Yazid Hasan (916 M). Akan tetapi hal itu mulai dilirik serius oleh para peniliti setelah peresmian tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus oleh Presiden Indonesia beberapa waktu lalu.

Bukti sejarah Islam yang menurut Mansoer (1970) masih tersimpan rapi di museum Spanyol yang berisikan surat dari kerajaan Sriwijaya oleh Raja Sri Indrawarman (702-728 M) kepada Kholifah Muawiyyah bin Abu Sufyan (662-681 M) dan Kholifah Umar bin Abdul Aziz (720-722 M). Tentunya hal ini menjadi titik terang dari semrawutnya masalah sejarah Nusantara, Sriwijaya, dan Islam yang harus dan wajib diteliti, di kaji, ditelusuri sehingga dapat menyingkap tabir yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan. Pada akhirnya diharapkan dapat menjadi sebuah percerahan besar sejarah yang saling berkaitan panjang seperti potongan puzzle yang terpecah terkeping-keping. Benang merah itu mulai dari Islam Sriwijaya. Wallohu a’lam

 

Daftar Pustaka

  • Abdul Malik Karim Amrullah, “Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia” Gema Insani, Jakarta
  • Azyumardi Azra, 2006 “Islam In The Indonesia World: an Account of Institutional Formation, Mizan Pustaka
  • Azyumardi Azra, 2004 “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII”, Prenada Media, Jakarta
  • Azyumardi Azra, 1997 “Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, Rosda, Bnadung
  • Ali Muhammad Ash Shalabi, “Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Utmaniyah”, Pustaka Kautsar, Jakarta
  • Ali Muhammad Ash Shalabi, “Sirah Ammirul Mukminin Utsman bin Affan; Syahshiyatuhu wa ‘Ashirohu”, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon
  • George Coedes, 1930 “Les Inscriptions Malaises De Crivijaya” bulletin BEFEO. Francis
  • George Coedes, Luis Charles Damais, 1992 “Srivijaya History, Religion & Language of an early Malay Polity”, Collected Studies, MBRAS
  • Issa J Boullata, Translated “Ibn ‘Abd Rabbih; Al-‘Iqd Al-Farid (The Unique Necklace), Garnet Publishing, United Kingdom
  • Jean Gelman Taylor, 2003 “Indonesia: People and Histories New Haven” Yale University Press, London
  • Junjiro Takakusu, 1896 “A Record of The Buddhist Religion as Practiced in India and Malay Archipelago: By I-Tsing, Oxfort, London
  • Muhammad bin Abdullah bin Bathutah, 2009 “Rihlah Ibnu Bathutah” Darul Aqrom Mesir
  • Merle Calvin Ricklefs (1991) “A history of modern Indonesia”, MacMillan, London
  • Nana Supratna, 2008 “Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa”, Grasindo, Bandung
  • Raghib As Sirjani, 2009 “Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu Al Muslimin fi Al Hadharah Al Insaniyah”, Mu’assasah Iqro, Mesir
  • Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, 1942 “Islam in the Netherlans East Indes” TT
  • Saifullah, 2010 “Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
  • Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya (dalam Bahasa Indonesia), LKiS Yogyakarta
  • Tim Riset dan Studi Islam Mesir, 2005 “Mausu’ah Al Muyasar Tarikh Islami”, Mu’asasah Iqro’, Mesir
  • Yusuf Ats-Tsaqofi, “Mawqif Uruba min Ad-Daulat Al Utsmaniyyah”.TT
  • Zainuddin HM, 2013 “Asal Usul Kota-Kota di Indonesia”, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, Jakarta

Contributor: Muhammad Abdillah Asmara, Lc., M.Pd.I., CH., CHt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar