Dalam catatan sejarah kerajaan Sriwijaya memiliki peranan penting bagi Nusantara, baik dari segi peradaban, kekuasaan, perdagangan, agama dan lain sebagainya. Hal itu dapat dilihat dari catatan sejarah berupa artefak dan kronik, yang ditemukan terutama dari tahun 618 hingga 1416 M.
Adapun penyebaran agama yang selama ini diketahui hanya agama
Hindu dan Buddha, dalam kerajaan Sriwijaya sendiri agama Buddha memiliki pengaruh besar dimana Sriwijaya menarik
para pendatang. Hal itu dapat dilihat dalam kronik Tiongkok ditulis oleh I Tsing yang melakukan perjalanan ke Sumatera pada tahun 671 M.
Bahkan menurut kronik tersebut, terdapat seribu lebih pendeta Buddha yang praktik Dharma di
bumi Sriwijaya (Supratna, 2008), dan
juga agama Hindu yang terdapat dari peninggalan budaya seperti ditemukannya arca
Buddha (Bukit Siguntang), Awalokiteshwara (Musi Rawas), arca Maitreya
(Komering), arca Torso perunggu Bodhisattwa (Thailand Selatan).
Begitu juga ditemukannya prasasti-prasasti yang berkaitan dengan
kerajaan Sriwijaya seperti Prasasti Talang Tuo (1920), prasasti Kota Kapur
(1892), prasasti Telaga Batu (1935) dan penemuan-penemuan lainnya.
Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim terbesar yang
pernah ada di Nusantara menguasai jalur perdagangan Malaka dan Asia Tenggara. Di mana Malaka dan Asia Tenggara menjadi
salah satu pintu masuk jalur perdagangan dunia, begitu juga penyebaran agama
didalamnya.
Dalam hal ini, Taylor
(2003) mengatakan pemerintah ¾baik dari masa sebelum
menjadi Nusantara ataupun setelah menjadi Indonesia dan merdeka¾ lebih
mengalokasikan sumber daya pada situs Hindu dan Buddha untuk penggalian dan pelestarian purbakala. Sehingga
kurang begitu memperhatikan tentang sejarah Islam di Nusantara. Sehingga
terjadi perdebatan antara peneliti tentang kesimpulan kedatangan Islam di
Nusantara (Ricklefs, M.C, 1991). Adapun menurut Ricklefs, ada dua proses terhadap Islam Nusantara.
Pertama, komunikasi orang Muslim dan orang Nusantara; kedua, pada awal era Islam pada masa Kholifah ‘Ustman bin
‘Affan (644-656) telah banyak
utusan dagang Muslim yang melintasi Nusantara, bahkan
dalam kurun tahun 904 hingga abad ke-12 terlibat komunikasi dengan kerajaan
maritim Sriwijaya.
Hamka (2017) berpendapat, bahwa
pada tahun 625 M telah ada kelompok bangsa Arab yang bermukim di pantai Barat
Sumatera (Barus) yang mana masuk dalam kerajaan Sriwijaya. Hal ini sebagaimana yang tertulis
dalam kronik Tiongkok yang ditemukan berasal
dari Dinasti Tang (618-902 M) dan catatan Sulaiman Akhbar Shin wal Hindi (851M)
serta catatan Abu Yazid Hasan (916 M).
Lebih lanjut, Zainal
Abidin Ahmad (1979) mengatakan, pada
tahun 30 H atau 651 M pada masa Kholifah ‘Utsman bin
‘Affan (644-656 M) mengirim utusan
Muawiyyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa. Di mana hasil daripada pengiriman itu masuknya Raja Jay Sima; putra dari Ratu Sima dari Kalingga; masuk Islam. Namun menurut Abdul Malik Karim Amrullah (2017), peristiwa itu terjadi pada kurang lebih pada tahun 42 H atau
672 M.
SURAT SRIWIJAYA KEPADA DINASTI
UMMAYAH
Masuknya Islam di Nusantara bukanlah hal yang baru
diperbincangkan. Kalangan ahli sejarah Barat pertama kali beranggapan, bahwa Islam masuk ke Nusantara dimulai pada abad ke-13 M,
seperti catatan Marco Polo (1929) yang dikutip oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo
(1942) yang menunjuk Sultan Malik Al Saleh Azh-Zhohir (696 H-1297 M) sebagai penguasa pertama Muslim di kesultanan Samudra Pasai. Hal ini juga ditambah dari catatan
Risalah Ibnu Battutah (1346). Di mana selama 15 hari ia menetap di kerajaan Samudra Pasai pada
abad pertengahan. Ibnu Battutah mengatakan dalam
Risalahnya, bahwa Sultan Pasai seorang
penganut Mazhab Syafi’i. Dalam catatan ini juga dijelaskan, dahulu bangsa Arab mengenal Nusantara dengan nama Jawi. Serta Ibnu
Battutah menjelaskan, bahwa
Kerajaan Pasai mempunyai Tamaddun (peradaban) yang hubungan luar negeri yang
baik sebelumnya.
Adapun K.F.H. Van Lagen menyatakan berita menurut kronik Tiongkok telah menyebutkan, Kerajaan Pasai tahun 1298 M. Sedangkan dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met
Dergelijk Monumenten uit Hindoesten mengabarkan, bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13 dan
juga beberapa temuan-temuan sarjana Barat lainnya yang berpendapat, bahwa Islam masuk di Nusantara pada Abad ke-13 M.
Sedangkan pendapat lain yang mengatakan, bahwa Islam telah masuk di Nusantara sebelum abad ke-13
menyatakan bahwa pada tahun 675 M telah terdapat utusan Raja Arab Muslim yang
berkunjung di Kalingga. Hal ini dapat dilihat dari catatan Al-Mas’udi diterangkan bahwa pada tahun 648 M telah ada kelompok
Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954) menerangkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M dengan
melalui jalur pedagang Muslim yang
singgah di Sumatera sebelum menuju Tiongkok. Sedangkan dalam Preliminary
Statemate on Heneral Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago
(1969), Prof. Sayyed Naguib Al Attas
mengungkapkan, bahwa kaum Muslimin sudah ada di kepulauan Malaya dan Indonesia pada tahun
672 M.
Begitu juga pendapat Prof. Sayyed
Qodratullah Fatimi mengatakan, bahwa Muslim
telah ada di Malaya pada tahun 674 M. Dan temuan-temuan peneliti lainnya sehingga teori masuknya Islam
di Nusantara pada abad 13
yang dikemukan oleh sejarawan Barat tidaklah benar.
Raja Sri Indrawarman (Sri Indravarman) merupakan raja Kerajaan
Sriwijaya setelah Dapunta Hyang (671-702 M). Hal ini terlihat dari literasi
catatan sejarah I Tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M (Junjiro,1896) dan
ditemukannya prasasti kedukan bukit (682 M) oleh M. Batenbug (1920). Hal serupa
juga diungkapkan oleh Coedes (1918 M), walaupun terdapat beberapa perbedaan para peneliti dalam
menafsirkan beberapa kata yang ada pada prasasti tersebut.
Raja Sri Indrawarman yang dalam kronik Tiongkok dikenal sebagai
Shih Li T’o Pa Mo merupakan Maharaja Sriwijaya yang bertahta kisaran 702-728 M. Menurut
Prof. Azyumardi Azra (2006), nama Sri
Indrawarman muncul berdasarkan surat yang di kirim kepada Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
bahkan ada juga peneliti yang menyebutkan bahwa Sri Indrawarman mengirim surat
sebelumnya kepada Kholifah
Muawiyyah bin Abu Sufyan. Hal ini cukup beralasan dikarenakan pada tahun (644-656M) Kholifah ‘Utsman
pernah mengirim armada yang dikomandoi oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan menuju
Jawa.
Dalam karangan H.A. Dt. Rajo Mangkuto menuliskan pada 89 H atau
708 M Kholifah Walid bin ‘Abdul bin Marwan (707-717 M) pernah mengirim armada ke pulau
Sumatera. Sedangkan Buzurg bin Shahriyar Al Ramhurmui (1000M) mengabarkan, pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya sudah ada perkampungan Muslim di wilayah kerajaan Sriwijaya.
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kerajaan Sriwijaya
memiliki kedekatan yang erat dengan kekholifahan Islam. Hal itu dapat dilihat dari sebuah surat pertama
yang ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh ‘Abdul Malik bin ‘Umary. Kemudian
oleh S.Q. Fatimi ¾seorang sejarawan Malaysia¾
menuliskan dua surat Raja Sriwijaya kepada Kholifah Islam yang diambil dari kitab
Al-Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr Ibnu Bahr Al-Qinanih Al-Fuqaymih Al-Basri atau
yang lebih dikenal dengan nama Al-Jahiz (776
M) yang di kutip oleh Azyumardi Azra (2004). Dimana menceritakan kembali isi pendahuluan surat tersebut yang
jika diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut:
“Dari
Maharaja Al-Hind yang kandang
binatangnya berisikan seribu gajah dan istananya terbuat dari emas dan perak,
yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi
gaharu. Kepada Muawiyyah…”
Adapun dalam versi terjemahan lain, surat tersebut berisikan sebagai berikut:
“Dari
Maharaja yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya
berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua
sungai yang mengairi gaharu. Untuk Muawiyyah…”
Sedangkan surat kedua sedikit lebih lengkap karena terdapat pembukaan dan isi surat sebagaimana yang terdapat
dalam buku karangan Ibnu ‘Abd Robbih (246-329 M) yang berjudul Al-Iqd Al-Farid. Adapun potongan surat tersebut antara lain sebagai berikut:
“Dari
Rajadiraja… yang adalah keturunan seribu raja... Kepada raja Arab (‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz) yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain selain Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah
yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tetapi sekedar tanda
persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat
mengajarkan Islam kepada saya, dan jelaskan kepada saya hukum-hukumnya….”
Adapun dalam redaksi lainnya, surat tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Dari
Rajadiraja yang keturunan ribuan raja, yang di istalnya terdapat ribuan gajah,
dan menguasai dua sungai yang mengairi gaharu, tanaman harum, pala, dan barus, yang keharumannya menyebar sejauh
dua belas mil… Untuk Raja Arab, yang
bertuhan Esa. Saya memberimu hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda sapa dan saya harap Anda berkenan
mengirim seseorang yang bisa mengajar tentang Islam dan menerangkannya kepada
saya..”
Sedangkan dalam Al-Nujum Al-Jaziroh fil Muluk Misr wa Al-Qohiroh yang di ta’lif oleh
Menurut Prof. Azyumardi Azra (2016), surat
tersebut diterima Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kisaran tahun 100 H (717M). Di mana kemudian Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
memberikan hadiah utusan kerajaan Sriwijaya dan kembali dengan membawa Zanji
(budak wanita berkulit hitam). Dan Raja Sri Indrawarman diperkirakan masuk Islam pada tahun 718
M.
Sejak saat itu, bangsa
Arab mengenal kerajaannya dengan nama “Kerajaan Sribuza yang Islam”,
sebagaimana pada tahun 42H (672 M) Raja Jay Sima juga telah memeluk agama Islam. Menurut M.D. Mansoer (1970), surat
Raja Sriwijaya Sri Indrawarman kepada Kholifah
Muawiyyah dan Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tersebut masih tersimpan dengan baik di museum Madrid, Spanyol.
Melihat dari literasi sejarah yang ada dapat dikatakan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada awal abad ke-13 sebagaimana para peneliti Barat nyatakan dapat dikatakan
tidak benar. Melainkan Islam telah datang ke Nusantara pada kisaran abad ke-6 M.
Hal itu diperkuat dari temuan surat dalam kearsipan Dinasti
Umayyah mengenai kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi
temuan ini menjadi benang misteri dalam sejarah peradaban Nusantara. Di mana selama
ini pemerintahan lebih cenderung
mengkaji dan menggali situs, artefak, dan kronik yang berkaitan dengan
peninggalan agama Hindu-Buddha. Sehingga
catatan sejarah Islam menjadi pudar dimakan zaman. Sebenarnya jika pemerintah memberikan ruang yang luas untuk
mengkaji tentang sejarah Islam Nusantara itu dahulu dapat dimulai ketika ditemukannya
catatan Sulaiman (851 M) dan juga catatan Abu Yazid Hasan (916 M). Akan tetapi hal itu mulai dilirik serius oleh para peniliti
setelah peresmian tugu Titik Nol
Islam Nusantara di Barus oleh Presiden Indonesia beberapa waktu lalu.
Bukti sejarah Islam yang menurut Mansoer (1970) masih tersimpan
rapi di museum Spanyol yang berisikan surat
dari kerajaan Sriwijaya oleh Raja Sri Indrawarman (702-728 M) kepada Kholifah Muawiyyah bin Abu Sufyan
(662-681 M) dan Kholifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (720-722 M). Tentunya hal ini menjadi titik terang dari semrawutnya masalah
sejarah Nusantara, Sriwijaya, dan Islam
yang harus dan wajib diteliti, di kaji, ditelusuri sehingga dapat menyingkap
tabir yang selama ini tersembunyi atau disembunyikan. Pada akhirnya diharapkan dapat
menjadi sebuah percerahan besar sejarah yang saling berkaitan panjang seperti
potongan puzzle yang terpecah terkeping-keping. Benang merah itu mulai dari Islam
Sriwijaya. Wallohu a’lam
Daftar Pustaka
- Abdul Malik Karim Amrullah, “Dari Pembendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia” Gema Insani, Jakarta
- Azyumardi Azra, 2006 “Islam In The Indonesia World: an Account of Institutional Formation”, Mizan Pustaka
- Azyumardi Azra, 2004 “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII”, Prenada Media, Jakarta
- Azyumardi Azra, 1997 “Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, Rosda, Bnadung
- Ali Muhammad Ash Shalabi, “Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Utmaniyah”, Pustaka Kautsar, Jakarta
- Ali Muhammad Ash Shalabi, “Sirah Ammirul Mukminin Utsman bin Affan; Syahshiyatuhu wa ‘Ashirohu”, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon
- George Coedes, 1930 “Les Inscriptions Malaises De Crivijaya” bulletin BEFEO. Francis
- George Coedes, Luis Charles Damais, 1992 “Srivijaya History, Religion & Language of an early Malay Polity”, Collected Studies, MBRAS
- Issa J Boullata, Translated “Ibn ‘Abd Rabbih; Al-‘Iqd Al-Farid (The Unique Necklace), Garnet Publishing, United Kingdom
- Jean Gelman Taylor, 2003 “Indonesia: People and Histories New Haven” Yale University Press, London
- Junjiro Takakusu, 1896 “A Record of The Buddhist Religion as Practiced in India and Malay Archipelago: By I-Tsing”, Oxfort, London
- Muhammad bin Abdullah bin Bathutah, 2009 “Rihlah Ibnu Bathutah” Darul Aqrom Mesir
- Merle Calvin Ricklefs (1991) “A history of modern Indonesia”, MacMillan, London
- Nana Supratna, 2008 “Sejarah Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa”, Grasindo, Bandung
- Raghib As Sirjani, 2009 “Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu Al Muslimin fi Al Hadharah Al Insaniyah”, Mu’assasah Iqro, Mesir
- Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, 1942 “Islam in the Netherlans East Indes” TT
- Saifullah, 2010 “Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
- Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya (dalam Bahasa Indonesia), LKiS Yogyakarta
- Tim Riset dan Studi Islam Mesir, 2005 “Mausu’ah Al Muyasar Tarikh Islami”, Mu’asasah Iqro’, Mesir
- Yusuf Ats-Tsaqofi, “Mawqif Uruba min Ad-Daulat Al Utsmaniyyah”.TT
- Zainuddin HM, 2013 “Asal Usul Kota-Kota di Indonesia”, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, Jakarta
Contributor: Muhammad Abdillah Asmara, Lc., M.Pd.I., CH., CHt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar