Senin, 24 Maret 2014
Psikologi Pendidikan 5-6: (Psikologi Faal)
[Download]
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Psikologi Anak Bermasalah
BAB I
PERMASALAHAN ANAK DALAM HUBUNGAN DENGAN
SEKOLAH
Apabila setiap keluarga disoroti kemungkinan
akan ada atau tidaknya persoalan dengan anak, maka akan terlihat macam-macam
derajat kesulitan. Bahkan mungkin saja bahwa tidak semua keluarga menyadari
adanya sesuatu kesulitan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa setiap rumah memanggul
salibnya masing-masing. Setiap keluarga mengalami dan harus memecahkan
persoalannya sendiri-sendiri. Apabila kesulitannya tidak disadari, tidak
dirasakan sebagai pensoalan, maka tentu tidak akan dicari cara-cara untuk mengatasinya.
Persoalan akan menjadi masalah setelah menimbulkan suatu gangguan dalam arus
kehidupan dan kecemasan pada orangtua.
Seorang anak yang
tidak belajar dan belum terbiasa dengan pembagian waktu untuk bermain dan belajar,
tidak akan menimbulkan persoalan selama rapornya selalu baik dan hasil ulangannya
selalu di atas rata-rata. Apabila pada suatu saat ia mendapat rapor yang “kebakaran”,
dengan banyak nilai-nilai kurang, barulah terasa adanya suatu permasalahan. Seorang
anak penurut dan pendiam, bagi orangtuanya merupakan anak teladan. Anak ini,
karena tidak menimbulkan persoalan, akhirnya “terlupakan”. Ternyata ia mengalami
kesulitan dalam hal berhitung yang disebabkan ketidak-mampuannya membaca.
Sedangkan ketidak-mampuannya membaca disebabkan oleh suatu peristiwa yang
sangat mencekam dirinya pada waktu ia masih kecil, yang membuat ia menjadi penurut
dan pendiam dengan persoalannya yang tidak diselesaikan.
Seorang anak kecil yang
sering pilek, mudah “masuk angin” tidak menimbulkan persoalan. Bagi orangtua
sudah dianggap biasa bahwa anak harus diawasi lebih ketat supaya tidak kena
angin. Tetapi sesudah anak itu sekolah ia mendapat peringatan dari guru karena terlalu
sering absen. Dan dengan kurangnya nilai-nilai pada rapor, barulah terpikir untuk
menanggulangi kelemahan si anak.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan
bahwa orangtua baru merasakan adanya persoalan bila terkait dengan nilai-nilai
rapor yang buruk atau prestasi anak di sekolah yang menurun. Dengan titiktolak angka-angka
merah di rapor, orangtua mulai menyadari persoalannya dan perhatian khusus mulailah
dicurahkan kepada si anak. Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan buruknya
prestasi anak di sekolah akan dicari dan diusahakan untuk memperbaikinya.
Dalam usaha mencari sebab-sebab persoalan anak,
akan kita temukan berbagai macam persoalan yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok.
I.
Kekurangan dalam hal
fisik anak – pancaindera
a.
Kekurangan pada indera penglihatan:
Seorang
anak tiba-tiba hasil ulangannya tidak memuaskan, bahkan makin lama makin buruk.
Anak selalu mengerti apa yang diterangkan, sehingga tidak pernah bertanya di
rumah. Pekerjaan sekolah yang harus dilakukannya di rumah selalu beres. Setelah
hasil ulangan-ulangannya diteliti lebih mendalam, ternyata banyak kesalahan
disebabkan karena salah menyalin dari papan tulis. Salah menyalin dari papan
tulis ternyata disebabkan karena kekurangan daya pengelihatan. Alhasil,
angka-angka rapor yang menggelisahkan orangtualah yang menyebabkan ditemukannya
kekurangan daya penglihatan si anak. Kekurangan daya pengelihatan mudah
diketahui apabila sudah berat derajat penyimpangannya dari yang normal. Bila
taraf kekurangannya masih ringan (yang mungkin dapat diketahui dari perasaan
pusing setelah membaca) sulitlah untuk mengetahuinya. Sebaiknya anak yang
sering mengeluh sakit kepala atau pusing-pusing sesudah belajar diperiksa oleh
dokter mata. Supaya bila ternyata terdapat kekurangan daya penglihatan, mungkin
diatasi dengan memakai kacamata.
b.
Kekurangan pada indera pendengaran
dapat mengganggu penerimaan pelajaran di sekolah. Bila pelajaran di sekolah
kurang terdengar oleh anak, maka pengertian pun sulit diraihnya. Kekurangan
daya pendengaran kadang-kadang cepat diketahui guru, tetapi sering pula tidak.
Seorang
anak yang selalu memperhatikan gerak-gerik dan gerak bibir gurunya, akan
mengerti, dengan melihat perbuatan teman-temannya, apa yang ditugaskan oleh gurunya.
Selarna tugas-tugas sekolah masih bersifat sederhana, kekurangan pendengaran tidak
akan “ketahuan” oleh guru. Seorang anak kecil tidak selalu mencari hubungan antara
gerak-gerik guru dan murid-murid lain. Ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya.
Bahkan perintah-perintah singkat pun tidak mampu dijalankannya. Persoalan ini
akan cepat terlihat pada kekurangan daya pendengaran apabila si anak tidak memperlihatkan
kelakuan kurang baik lainnya.
Kekurangan daya
pendengaran sering menimbulkan persoalan yang perbaikannya tidak semudah
seperti memperbaiki persoalan yang timbul akibat kekurangan daya penglihatan.
Pada umumnya anak yang harus memakai kacamata tidak terlalu dikekang oleh rasa diri
yang berbeda, dibandingkan dengan anak-anak lain. Ia hanya agak merasa dibatasi
dalam bidang olahraga.
Lain halnya dengan
anak yang memerlukan alat pembantu pendengaran. Alat pendengaran, selain mahal harganya,
juga tidak disenangi anak. Bagi anak kecil, alat itu perlu disetel supaya tidak
menimbulkan gangguan tambahan pada pendengaran. Apabila ia pernah mengalami bunyi
yang sangat mengagetkan dari alat itu, ia tidak mau memakai alat pendengaran
lagi.
Anak mungkin merasa
dirinya aneh bila memakai alat tersebut, sehingga dapat menimbulkan rasa diri
kurang, dibandingkan dengan anak-anak lain. Cara yang dipakainya untuk menutupi
kekurangannya itu tidak selalu menguntungkan bagi si anak. Mungkin ia berpura-pura
dapat mendengar dengan baik dan berbicara dengan suara keras sekali, atau
mungkin pula sebaliknya seperti berbisik-bisik sampai sulit terdengar bagi
pendengaran biasa.
Kekurangan dalam hal
ini dapat diketahui dari ucapan kata-kata yang tidak sempurna. Karena anak tidak
bisa mendengar dengan sempurna, ia tidak dapat pula meniru bunyi-bunyi atau
kata-kata dengan sempurna.
Ucapan kata yang
tidak sempurna juga dapat disebabkan oleh bentuk rahang, letak gigi atau bentuk
bibir yang pernah mengalami operasi. Bila rahang, letak gigi, bentuk bibir dan langit-langit
tidak memperlihatkan kelainan, maka anak yang ucapan kata-katanya tidak
sempurna perlu diperiksa kemampuan daya pendengarannya dengan lebih teliti.
c.
Apabila terdapat keluhan-keluhan lain,
misalnya pusing-pusing, sering-sering jatuh, maka pemeriksaan dokter syaraf
perlu dilakukan untuk mengetahui apakah keadaan kekurangan fisik itu dapat diperbaiki
dengan pengobatan.
Seorang
anak sering jatuh, dan bila ditanya bagaimana dan di mana jatuhnya, ia
memberikan jawaban yang berbeda-beda. Ulangan berhitung kadang-kadang hasilnya
baik sekali. Kadang-kadang hasil ulangan berhitungnya buruk sekali, dengan jawaban
dan cara yang aneh-aneh. Setelah diperiksa ternyata anak mengalami penurunan
kesadaran yang tidak diketahui oleh guru maupun orangtuanya. Dengan pengobatan
untuk mencegah penurunan kesadaran, si anak tidak lagi sering jatuh.
Pada contoh anak
dengan penurunan kesadaran maka sumber persoalan dapat diperbaiki dengan
obat-obatan.
d.
Ada pula kekurangan pada diri anak
yang tidak dapat diperbaiki melalui pemberian alat pembantu maupun pengobatan.
Seorang
anak dapat menangkap pembicaraan orang lain dengan baik, mudah mengerti
pelajaran dan kesalahan yang tidak disangka-sangka ditemukan dalam tulisannya. Setelah
pemeriksaan lebih mendalam, ternyata anak ini memiliki suatu kelainan fisik yang
tidak dapat diperbaiki.
Dalam contoh anak
dengan kesulitan menulis, maka pengobatan tidak akan memberi perbaikan. Anak hanya
dapat membantu menulis dengan baik melalui cara mengajar mennulis yang khusus
dengan alat-alat peraga khusus pula.
II.
Kesulitan-kesulitan
yang disebabkan oleh kurang “campur tangan” orangtua atau siapa saja dalam tata
cara hidup dan perencanaan waktu anak.
Anak memang tidak sama dengan orang dewasa. Anak masih
banyak dikuasai oleh keinginan-keinginan bermain. Einginan bermain ini tidak
selalu mudah terlihat oleh orang lain dan perlu diatur penyalurannya. Anak yang
bermain dengan boneka atau bermain bola mudah diketahui, dan mudah pula diatur
waktu bermainnya. Sebaiknya anak yang bermain dalam alam fantasinya, dalam
khayalan, sulit diatur waktu bermainnya.
Seorang
anak laki-laki, senang sekali bermain bola dan segala permainan yang
membutuhkan banyak pergerakan. Orangtua telah menentukan bahwa semua anak, tiga
anak perempuan dan seorang laki-laki, siang sesudah pulang sekolah dan makan,
harus tidur dan sorenya harus belajar sampai pada waktu makan malam tiba.
Sesudah makan malam, istirahat sebentar lalu belajar lagi. Ternyata anak ini
hasil ulangannya tidak sesuai dengan harapan ibunya dan juga tidak seimbang
dengan waktu belajarnya yang cukup banyak.
Anak laki-laki pada contoh ini ternyata kemampuan belajarnya
baik sekali, tetapi baik waktu maupun kemampuannya tidak dipakainya. Sewaktu
anak ini belajar dan menghadapi buku-buku pelajaran, ternyata pikirannya tidak
di ruang belajar. Dalam alam pikirannya ia berada di lain tempat dan sedang
membayangkan tempat berkumpul teman-temannya di mana dikhayalkannya ia sedang
bermain. Anak laki-laki ini ternyata memerlukan lebih banyak permainan dengan
banyak gerak. Penyalurannya dalam khayalan sulit dibatasi.
Anak belum dapat membagi waktu antara tugas-tugas
sekolah dengan bermain-main. Tambahan pula setiap anak berbeda kebutuhannya
akan waktu bermain, sesuai dengan umurnya, sehingga orangtua dan para pendidik
perlu membantu anak dalam perencanaan waktunya dan pelaksanaan dari perencanaan
itu.
Anak yang belum mendapat pekerjaan rumah sebagai tugas
dari sekolah, dapat dibiasakan untuk melakukan tugas-tugas kecil di rumah.
Dalam pemberian tugas-tugas ini perlu diperhatikan agar penyelesaian tugas
terletak dalam jangkauan kemampuan anak.
Anak yang telah mendapat pekerjaan rumah secara teratur,
perlu dibuatkan jadwal belajar di rumah. Jadwal belajar harus meliputi juga
masa istirahat yang cukup untuk menyegarkan anak setelah belajar di sekolah.
Kurang tepat bila anak sepulangnya dari sekolah harus langsung menghadapi lagi buku-buku
pelajarannya. Anak yang lelah, lebih sulit mencurahkan perhatiannya ke bahan
pelajaran. Pikirannya mudah “melayang”. Masa istirahat yang agak lama diberikan
apabila anak lelah sekali. Sesudah segar dan kembali belajar sungguh-sungguh,
perlu diberi masa istirahat singkat untuk memberikan kesempatan bergerak dengan
leluasa. Istirahat ini bagi anak-anak diisi dengan bermain.
Jadwal belajar yang meliputi masa belajar, istirahat,
dan bermain harus disesuaikan dengan umur anak. Makin bertambah umur anak,
makin lama waktu belajar dan makin singkat waktu istirahat untuk bermain. Waktu
tidur malam hari disesuaikan dengan kebutuhan anak akan tidur. Di kota-kota di mana
sudah ada T.V. maka anak-anak sering melewati waktu tidur yang sesuai dengan
usianya karena menonton acara-acara T.V. sampai selesai. Anak yang tidur terlambat,
walaupun sudah terbiasa bangun pagi-pagi, akan tetap kurang teliti dalam
pelajarannya. Seorang anak yang sudah ditetapkan waktu-waktu belajarnya dan
pergi ke kamar untuk tidur sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh
orangtuanya, tanpa diketahui orangtuanya dapat membaca buku sampai jauh malam.
Seorang
anak perempuan, sudah ditentukan waktu-waktunya sesuai dengan segala aktifitas
yang harus dilakukannya sesudah pulang dari sekolah. Waktunya dibagi untuk belajar,
latihan piano, dan berbagai macam les piano. Tidur tepat pada waktunya, akan
tetapi tidak langsung tertidur karena dalam khayalannya ia membuat cerita-cerita
dan sampai malam sekali, baru tertidur. Tentu saja hasil-hasilnya di sekolah tidak
memuaskan, karena kesegaran yang sebenarnya diharapkan ketika bangun pagi tidak
dirasakan.
Dari beberapa contoh ini jelaslah bahwa “campur tangan”
orangtua sangat dibutuhkan dalam membagi waktu, serta pengawasan terhadap
terlaksananya pembagian waktu dan jadwal belajar itu di rumah.
III.
Prestasi anak di
sekolah selain tergantung dari faktor-faktor pada anak itu sendiri, bimbingan
dan pengawasan orangtua, maka keadaan dan suasana sekolah sangat berperan pula.
Seorang
anak pernah diperiksa taraf kemampuan inteligensinya, ternyata kepintarannya
cukup tinggi. Biasanya nilai rapornya baik sekali. Tiba-tiba di suatu kelas
nilainya merosot dan anak segan sekolah. Setiap pagi kalau harus berangkat ke
sekolah, mengeluh sakit perut atau sakit kepala. Diperiksa dokter, ternyata ia
sehat. Rupanya anak ini, karena nilai ulangannya selalu baik sekali, diancam
oleh temannya. Kalau temannya tidak diperbolehkan “nyontek”, maka pulang
sekolah ia dipukul. Kalau ia ketahuan guru sedang memberi pekerjaannya pada
temannya, ia mendapat angka nol. Kalau ia ketahuan guru sedang membisikkan
jawaban, disangka ngobrol dan dikurangi angka. Sehingga anak ini, setiap kali
kalau ada ulangan mengalami suatu kebimbangan, apa yang harus dilakukannya, ke
sekolah dengan kemungkinan dipukul waktu pulangnya atau dimarahi guru. Ternyata
sering diambilnya jalan ketiga di mana dengan sakit perut ia tidak perlu ke
sekolah. Pernah anak tersebut ketika minta ibunya untuk menjemputnya dari
sekolah, pada waktu istirahat diejek terus oleh teman-temannnya.
Seorang
anak perempuan sangat halus perasaannya. Di rumah ia tinggal dengan beberapa keluarga.
Keluarga yang menempati kamar di sebelahnya sering “latihan perang” di rumah.
Apabila si anak sudah mendengar suara-suara dan teriakan keras, maka tak lama
kemudian kursi-kursi dan barang akan terdengar dilempar-lempar dan sebagainya. Hal-hal
demikian sangat membingungkan si anak. Kebetulan guru anak ini, mempunyai teori
mendidik anak dengan cara memperbesar suaranya, supaya dengan suara yang keras
dan tangan besi, ketertiban kelas dapat dipertahankan. Murid ini justru setiap
kali mendengar suara keras gurunya, mengalami kekacauan, sehingga tidak dapat menangkap
pelajaran.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa suasana
di sekolah penting bagi kegemaran anak untuk pergi ke sekolah. Bahkan penting
pula untuk meningkatkan semangat belajar dan daya tangkap anak.
Dalam persoalan di mana jelas terlihat suatu keseganan
pada anak untuk pergi ke sekolah perlu diperhatikan bagaimana hubungan anak
dengan murid-murid sekelasnya, apabila ternyata anak itu mengalami
tekanan-tekanan dari luar, dari teman-teman sekelasnya, maka sebaiknya guru diikutsertakan
dalam menanggulangi persoalan ini. Sebaliknya, apabila persoalan itu disebabkan
oleh suatu pandangan tertentu dari si anak terhadap gurunya, maka tentunya guru
tersebut tidak dapat dipersalahkan, karena murid-murid lain tidak mengalami
persoalan tersebut. Dalam hal ini, anak sedikit demi sedikit harus diinsyafkan
bahwa guru sebenarnya bermaksud baik dengan tujuan mencapai hasil yang
setinggi-tingginya bagi murid-muridnya.
Dalam menyoroti persoalan-persoalan dalam menghadapi
anak di mana persoalan-persoalan mulai timbul dengan titik tolak prestasi
sekolah yang tidak sesuai dengan harapan orangtua, ternyata sebab persoalan
dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
a.
Sumber persoalan terdapat pada anak
itu sendiri.
Sumber
persoalan pada anak disebabkan oleh kekurangan-kekurangan pada anak:
Terlihat
anak mengalami kekurangan pada tubuhnya baik dalam hal daya kemampuan tubuh
maupun kekurangan bagian tubuh seperti cacat tubuh. Kekurangan-kekurangan
jasmani ada yang dapat diatasi dan diperbaiki dengan alot pembantu: kacamata,
alat pernbantu pendengaran, alat pengganti atau alat tubuh buatan. Ada pula
kekurangan yang tidak dapat diperbaiki, sehingga orangtua harus menerima anak
sebagaimana adanya dan mengusahakan cara-cara yang sebaik mungkin bagi si anak.
Anak yang mengalami penyimpangan pada persyarafannya, sehingga tidak dapat
mengerti bahasa tertulis, tidak dapat membaca. Dengan kacamata dan operasi
tidak dapat memperbaiki sumber persoalan. Maka dicoba cara-cara penambahan pengetahuan
melalui cara-cara pengajaran khusus.
Untunglah
pada masa kemajuan di segala bidang ini, termasuk juga bidang pendidikan anak,
telah didapati berbagai cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang khas.
b.
Sumber persoalan terletak dalam
hubungan antara orangtua dengan anak.
Sumber
persoalan yang terletak pada orangtua dalam hubungannya dengan anak. Antara
lain, salah penilaian orangtua mengenai anak. Sering orangtua menyangka bahwa
anak sudah mengerti segala sesuatu yang disampaikan kepadanya, karena anak
sudah berbicara seperti orang dewasa. Padahal belum tentu anak dapat menangkapnya
secara keseluruhan, mungkin hanya sebagian kecil saja yang dimengertinya.
Tambahan pula antara dapat mengerti dan dapat melaksanakan masih terletak jurang
perbedaan antara alam anak dengan alam orang dewasa. Seringpula orangtua tidak
menyadari “jurang” tersebut sehingga anak kurang “dikenalnya". Ada pula orangtua
yang mengharapkan hasil yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan anak. Tidak
terpenuhinya harapan-harapan orangtua menimbulkan kekecewaan-kekecewaan, baik
di pihak anak maupun di pihak orangtua.
Hal
ini dapat diatasi dengan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kemampuan anak
pada umumnya dan kemampuan anak pada khususnya.
c.
Sumber persoalan terletak pada hubungan
antara anak dengan guru, atau dengan anak-anak lainnya.
Sumber persoalan
yang terletak pada hubungan antara guru dengan anak, hubungan anak dengan
murid-murid lain, dan lingkungan sekolah umumnya. Guru dan murid-murid sekelas,
besar peranannya terhadap anak. Guru dapat merangsang kegiatan anak dalam hal-hal
belajar dan kegiatan-kegiatan lain di sekolah. Sebaliknya, hubungan guru dengan
anak dapat pula mematahkan semangat belajar anak bila terjadi kesalahpahaman pada
salah satu pihak, baik dari pihak murid maupun dari pihak guru.
Demikian pula
teman-teman sekelas, dapat memberi pekan terwujudnya kegelisahan orangtua
karena anak kurang untuk belajar rajin-rajin. Sebaliknya pengaruh beberapa teman
sekelas dapat juga sedemikian menekan anak, sehingga ia tidak dapat belajar lagi
di sekolah maupun di rumah.
Dari ketiga kelompok
sumber persoalan yang menyebabkan terwujudnya kegelisahan orangtua karena anak kurang
berhasil di sekolah ini, nyatalah betapa sangat diperlukan cara-cara penelitian
persoalan yang mendalam. Penelitian yang mendalam harus dilakukan terhadap
anak. Bukan hanya anak saja secara terpisah, melainkan anak dalam hubungannya
dengan orangtua, saudara-saudaranya, anggota-anggota keluarga lainnya yang
tinggal serumah, guru, dan teman-teman.
Dalam menanggulangi
persoalan-persoalan anak sehubungan dengan prestasinya di sekolah, maka
peneropongan dari persoalan seolah-olah melalui tiga tahap:
I.
Pada tahap pertama anak itu diteliti,
apakah ada kekurangan-kekurangan, penyimpangan-penyimpangan yang dapat
diperbaiki untuk mengatasi persoalan. Apabila tidak ditemukan suatu kekurangan
pun pada anak maka dimulai tahap kedua.
II.
Anak dilihat dalam hubungannya dengan
orangtua dan anggota-anggota keluarga lainnya. Anak dilihat dalam lingkungan
keluarga, sebagai anggota kelompok kesatuan masyarakat terkecil yang harus memenuhi
tugas-tugas dan harapan-harapan kelompoknya, harapan-harapan orangtuanya. Bila
ternyata hubungan antara orangtua anak dan dengan anak-anak lainnya tidak menimbulkan
kesulitan apa-apa barulah peneropongan tahap terakhir dimulai.
III.
Di sini khususnya dilihat bagaimana
peranan suasana sekolah terhadap anak dengan bagian-bagian pentingnya yakni
hubungan guru dengan anak. Bagaimana pribadi guru dalam pandangan mata anak.
Bagaimana sifat-sifat teman-teman sekelas yang duduk dekat anak ini. Apakah ada
murid-murid yang menguasai kelas dalam arti yang merusak suasana baik di kelas.
Dengan penyorotan
persoalan anak secara mendalam dan usaha-usaha untuk menanggulangi sumber
persoalannya, diharapkan anak dapat mengembangkan kemampuan dan bakat-bakatnya sebaik
mungkin.
[Download]
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Jumat, 07 Maret 2014
Kisah tentang Luka
menghadapi orang sulit selalu merupakan
masalah
terutama jika orang sulit itu adalah diri
kita sendiri
jika kita merasa bahwa semua orang memiliki
masalah dengan kita,
tidakkah kita curiga bahwa diri kita inilah
masalahnya?
H
|
ARI ITU Madinah cerah.
Tetapi wilayah perkampungan Khozroj terasa hiruk pikuk. Ada ratapan
sayup-sayup. Ada yang hilir mudik mempersiapkan keperluan acara penyelenggaraan
jenazah. Rupanya, salah satu tokoh Yatsrib sekaligus duri dalam daging yang
paling menyakitkan bagi da’wah telah dipanggil Alloh ’Azza wa Jalla. Imam Ahmad mengisahkan peristiwa meninggalnya
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul itu melalui penuturan ‘Umar ibn Khoththob.
“Ketika
‘Abdulloh ibn Ubay meninggal,” demikian ‘Umar bercerita pada ‘Abdulloh ibn
‘Abbas seperti terekam dalam Musnad Ahmad,
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
diminta kesediaan untuk mensholatkan jenazahnya. Ketika yang memohon adalah
kawan-kawan ‘Abdulloh ibn Ubay yang munafiq, Rosululloh hanya diam. Mungkin
beliau menanti izin dari Alloh. Namun, ketika putra si mayyit, ‘Abdulloh ibn
‘Abdillah datang, beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam segera menyanggupi.”
“Pada
saat beliau sudah berdiri untuk memulai sholat jenazah,” lanjut ‘Umar, “Aku
menghalangi beliau dan berdiri tepat di depannya. Aku berkata, “Wahai
Rosululloh, apakah engkau akan sholat untuk jenazah musuhmu, yaitu ‘Abdulloh
ibn Ubay ibn Salul, yang pernah berkata, ‘Jika kita kembali ke Madinah, orang
mulia pasti akan mengeluarkan orang yang hina!’? Ingatlah bahwa dia juga yang
memfitnah dan menyebarkan berita dusta tentang ‘Aisyah dan keluargamu tercinta!
Ingatlah bahwa dia yang menghasut Anshor untuk tak menolong Muhajirin agar
mereka pergi! Ingatlah bahwa dia yang mengolok-olok Alloh, Kitab dan Rosul-Nya,
serta mendirikan masjid Dhiror! Ingatlah bahwa dia yang membocorkan rahasia
kepada musuh dan membelot lari ketika berperang!”
‘Umar
dengan geram menyebut segala kejahatan ‘Abdulloh ibn Ubay. Banyak sekali,
berangkai-rangkai tanpa putus. Sampai-sampai nafasnya memburu tak teratur.
Mendengar
penuturan ‘Umar, Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam hanya tersenyum. Beliau tetap hendak memulai takbir.
Ketika ‘Umar bersikukuh menyatakan keberatannya, beliau berkata, “Mundurlah
wahai ‘Umar! Aku telah diberi pilihan, dan aku sudah menetapkan pilihanku. Alloh
menyatakan untukku:
“Kamu memohonkan ampun bagi
mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja. Kendatipun
kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh
sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.”
(Qs. at-Taubah [9]: 80)
“Hai ‘Umar”, lanjut Rosululloh, “Seandainya aku tahu
bahwa jika aku memohon ampunan lebih dari tujuh puluh kali untuknya, maka Alloh
akan mengampuni ‘Abdulloh ibn Ubay, niscaya pasti kulakukan.”
Lalu Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam tetap melakukan sholat jenazah, mengantarnya, dan berdiri
memberi penghormatan di dekat kuburnya hingga usai. ‘Umar
takjub pada kemuliaan akhlak Rosululloh dan kejelian beliau untuk berbuat lebih
dari apa yang diisyaratkan oleh Alloh. Ketika Alloh berfirman, “Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka
sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali tidak akan memberi ampunan
kepada mereka”, maka Sang Nabi bertekad memohonkan ampun lebih dari
tujuhpuluh kali agar ‘Abdulloh ibn Ubay bisa diampuni. Pantaslah jika Alloh
sendiri yang memuji beliau,
“Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, berada di atas suatu akhlak yang agung.”
“Setelah peristiwa ini,” kata ‘Umar melanjutkan cerita,
“Aku sangat terkejut atas sikap dan kelancanganku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam
kejadian itu, padahal Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui hakikat masalahnya.”
Tetapi
demikian pulalah ‘Umar yang agung, yang disebut Sang Nabi sebagai muhaddats, orang yang mendapat ilham
dari Alloh. Pendapatnya seringkali dibenarkan dari langit. Setelah memberi
kesempatan kepada Nabi-Nya untuk mensholatkan ‘Abdulloh ibn Ubay dan
mempertunjukkan akhlak mulia beliau pada dunia, Alloh menurunkan firman-Nya
yang membenarkan pendirian ‘Umar ibn al-Khoththob.
“Dan janganlah kamu
sekali-kali mensholatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri mendoakan di atas kuburnya.”
(Qs. at-Taubah [9]: 84
***
Siapakah
‘Abdulloh ibn Ubay?
Inilah
kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriah. Saat itu, Sang Nabi
dan para shohabat baru pulang dari perang Bani Mustholiq dan singgah di
Muroisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak pohon kurma. Di tempat ini terdapat
mata air milik Bani Mustholiq. Di sinilah Rosululloh dan rombongan mengambil
air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.
Adalah ‘Umar ibn al-Khoththob menyewa Jahjah ibn Mas’ud
al-Ghifari untuk mengurus kudanya. Jahjah
yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia ikut
berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan
ibn Wabar al-Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang menjadi
sekutu Bani Aus ibn Khozroj, orang-orang Madinah. Jahjah dan Sinan berebut air
dan berkelahi.
Sinan
berteriak memanggil bantuan, “Wahai orang-orang Anshor!”
Jahjah
pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
‘Abdulloh
ibn Ubay ibn Salul yang mendapat kabar pertengkaran ini naik pitam. “Apakah
para Jalabib Quroisy itu telah bersikap demikian?” serunya murka. “Apakah
mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri
kita sendiri? Demi Alloh, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina
Quroisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu.
‘Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu.’” Dia mendengus kesal.
“Oleh
karena itu, demi Alloh,” lanjutnya, “Bila kita telah kembali ke Madinah, maka
benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”
Kemudian
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada disekitarnya
dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat
terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk
mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Alloh, sekiranya
kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka
mereka pasti akan beralih kepada negeri lain, bukan ke negeri kalian!”
Zaid
ibn Arqom, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat
Rosululloh berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan
setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn al-Khoththob yang ada di sisi Sang Nabi
berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyir agar membunuh-nya,
ya Rosulalloh!”
“Lalu
bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa
Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak! Tapi sekarang serukanlah agar semua
pasukan segera bertolak pulang.”
Dalam
perjalanan, ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di
sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqom melaporkan
perkataannya tadi kepada Rosululloh. ‘Abdulloh ibn Ubay bersumpah dengan nama
Alloh bahwa dia tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid ibn Arqom.
Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah
kaumnya.
“Wahai Rosululloh,” demikian beberapa orang dari kalangan
Anshor di dekat Sang Nabi mohon izin bicara, “Mungkin Zaid ibn Arqom si bocah
itu telah salah dalam menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik
perkataan ‘Abdullon ibn Ubay.”
‘Abdulloh
ibn Ubay melirik pada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa
hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Tapi hatinya sakit. Kata-kata mereka
justru terasa sebagai hinaan.
Sang
Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.
Setelah
‘Abdulloh ibn Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dari berkendara agak di
belakang, Usaid ibn Hudhoir, pemuka Anshor, menjumpai Rosululloh dan
mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi
Alloh,” ujarnya, “Sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang
sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”
“Belumkah
sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”
“Teman
yang mana?”
“’Abdulloh
ibn Ubay.”
“Apa
yang dikatakannya, ya Rosulalloh?”
“Dia,”
kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa
sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan
mengusir orang yang lebih hina darinya.”
“Dia
benar, ya Rosululloh,” kata Usaid. “Demi Alloh, dia benar. Dan engkau, wahai
Nabi, demi Alloh, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau
menghendaki. Demi Alloh, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih
kuat dan perkasa!”
Wajah
Usaid ibn Hudhoir memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia
berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah
Sang Nabi. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.
“Wahai
Rosululloh,” kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada
‘Abdulloh ibn Ubay. Karena, demi Alloh, kami telah dilimpahi nikmat dengan
diutusnya engkau kepada kami. Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada
kami, maka kaumnya telah menata permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan ke
atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu
telah merampas haknya untuk menjadi raja.”
Kini
kita tahu. ‘Abdulloh ibn Ubay adalah orang yang terluka.
***
Seorang
gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa
dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu
adalah bakal tongkat baru.
Di
tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan tongkat barunya, salah satu
dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan
lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan
domba itu kisruh kalang kabut. Sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam
keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan
jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya
terlempar dan seurat serat kayu menyelusup ke dalam jari telunjuknya.
Sang
domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi,
sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalaunya
dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa
sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di
dekatnya.
Dan
dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti
sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.
Hari
berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan
menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu
menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis
kesakitan, marah, dan menyumpah serapahi mereka.
“Aaw…
Sakit sekali!” jeritnya.
***
Ketika
seseorang yang terluka menyerang, tindakan itu lebih merupakan tanggapan atas
apa yang terjadi di dalam diri mereka. Apa yang terjadi di dalam diri itu jauh
lebih memberi pengaruh daripada apa yang terjadi di luar sana. Mereka sedang
merasa, atau percaya, bahwa ada hal buruk dan menyakitkan yang terjadi di dalam
diri mereka sendiri.
“Kau
tahu John,” ujar seorang kawan kepada John C. Maxwell seperti diabadikan dalam
bukunya Winning with People, “Orang
terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan, atau melakukan sesuatu
yang menyakitkan, kau perlu memeriksa lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke
bawah permukaan.”
Dalam
kisah ‘Abdulloh ibn Ubay, kata-kata Usaid ibn Hudhoir sungguh bijaksana.
Orang-orang
terluka, seperti cerita tentang gembala yang kena telusukan, merasakan sakit
bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan
sakit itu karena dia sedang terluka. Lukanya bengkak dan bernanah. Tak beda,
apakah luka itu kini terkena palu, tersentuh jari, ataupun belaian saputangan
beludru, semua terasa menyakitkan. Mereka menjerit. Mereka menanggapi di luar
batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang
begitu tinggi. Orang-orang terluka dalam sejarah da’wah adalah orang-orang
munafik, seperti ‘Abdulloh ibn Ubay. Alloh menggambarkan sifat mereka ini
dengan ungkapan yang indah.
“Mereka mengira
bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”
(Qs. al-Munafiqun [63]: 4)
Kesalahan
terbesar dari orang-orang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka
lamanya. Telusukan yang mengganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang
terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Andai saja, ‘Abdulloh ibn Ubay
lapang dada menerima kehadiran Rosululloh dan mengakui keutamaan-keutamaan
beliau, pastilah dia telah menjadi pemuka Anshor yang paling utama.
Tetapi
dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusukan itu agar tetap
berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan
segala cara. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh yang hendak membimbingnya
ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran
lembut Sang Nabi dengan jeritan kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan
bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.
“Orang
terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua
ketidakberesan dalam kehidupan yang sebenar-nya bersumber dari lukanya tidak
disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak,
kelompok, benda, atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala
kepahitan. Telusukan itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun
mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai
sumber siksaan. “Kalian menyakiti-ku,” erangnya.
Orang
terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk
memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan.
Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah
dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih.
Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.
Lebih
lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari
menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan
bertindak. Dia tak terpengaruh melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai
masalahnya dan memecahkannya. Ya. Karena dia menganggap semua ini bukan
salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak
terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang
memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka
yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.
Begitulah.
Apakah kita termasuk orang-orang terluka?
***
Ke
mana perginya orang-orang terluka?
Awal-awal,
orang terluka akan menjadi pengecut yang memalukan. Mereka adalah orang yang
jika berkata maka berdusta, jika berjanji maka ingkar, jika dipercaya maka
khianat, jika berembug maka menjilat, dan jika bertengkar maka tindakannya
melampaui batas.
Inilah
kisah mimpi Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menjelang Perang Uhud.
“Demi
Alloh, aku telah bermimpi,” kata beliau. “Sebuah mimpi yang baik. Dalam mimpi
itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih. Lalu bagian mata pedangku ada
yang rompal, dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.” kata
beliau mengawali musyawarah dengan para shohabat setelah menerima kabar
teliksandi tentang pergerakan tiga ribu wadya Quroisy dari Makkah.
Ta’wil
atas mimpi ini diabadikan Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum. Beberapa ekor
lembu yang disembelih berarti beberapa shohabat beliau akan terbunuh syahid.
Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapat musibah.
Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.
Dengan
mimpi itu beliau mengusulkan kepada majelis untuk mengambil strategi bertahan
di dalam kota Madinah. Ini akan membuat musuh bimbang. Jika mereka mengepung
tanpa masuk, kondisi akan dibiarkan mengambang. Jika mereka menyerbu masuk maka
kaum Muslimin bisa menyergap mereka di mulut-mulut gang dan para wanita bisa
menyerang dari atap-atap rumah.
Yang
penuh semangat mendukung ide Rosululloh ini adalah seorang pemuka Khozroj yang
anggun dan elegan. Penampilannya menawan, bicaranya memikat hati. Disokongnya
beliau dengan argumen-argumen yang meyakinkan. Diyakinkannya para shohabat
dengan menyebut-nyebut keutamaan Rosululloh dan keutamaan mengikuti isyarat
agung dalam mimpi beliau yang mulia. Namanya, lagi-lagi, adalah ‘Abdulloh ibn
Ubay ibn Salul.
“Dan apabila kamu
melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka
bicara, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang
tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada
mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka;
semoga Alloh membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari
kebenaran?” (Qs.
al-Munafiqun [63]: 4)
Tetapi
coba bayangkan perasaan beberapa shohabat yang tidak sempat ikut serta dalam
Perang Badar? Hati mereka bergolak rindu untuk mendapatkan kemuliaan dari
Alloh. Dalam kalimat yang menggebu-gebu mereka berkata, “Ya Rosululloh. Sejak
dulu kami sudah menanti-nanti dan berharap akan datangnya hari seperti ini.
Kami selalu berdo’a kepada Alloh untuk itu. Kini, Alloh telah menuntun kami dan
tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah, ya Rosululloh, untuk menyongsong
mereka! Jangan sampai mereka menghinakan Alloh dan Rosul-Nya karena menganggap
kita takut pada mereka!”
“Beraninya
kalian,” hardik ‘Abdulloh ibn Ubay, “Menyelisihi perintah seorang Nabi!”
“Diam
kamu, Ibnu Ubay!”, sambut Hamzah ibn ‘Abdul Mutholib, paman kecintaan
Rosululloh. “Ya Rosululloh,” ujarnya, “Demi yang menurunkan al-Kitab kepadamu
dengan kebenaran, aku tidak akan memberikan makanan sampai bisa membabat mereka
dengan pedangku ini di luar Madinah!”
“Demi
Alloh,” ujar ‘Abdulloh ibn Ubay, “Celaka dan kehinaan bagi kalian! Alloh dan
Rosul-Nya telah menetapkan suatu urusan, lalu kalian menentangnya dengan
mengikuti hawa nafsu. Sungguh urusan kalian ini takkan diberkahi dan kalian
pasti kembali dengan membawa kehancuran!”
Perdebatan
masih panjang. ‘Abdulloh ibn Ubay habis-habisan membela mimpi Sang Nabi.
Tetapi
akhirnya Rosululloh mengalah. Beliau mengikuti pendapat para shohabat. Mereka
menyongsong musuh di Uhud. Dan seperti telah kita fahami, perang ini berakhir
dengan kekalahan kaum Muslimin sampai-sampai beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terluka, dan Hamzah gugur bersama
tujuhpuluh orang shohabat yang lain.
Adakah
Rosululloh kemudian mengeluh dengan berkata, “Kalau saja kalian ikuti apa yang
kukatakan… Kalau saja kita bertahan di Madinah… Kalau saja mimpi kenabianku
kalian percayai…!”
Tidak.
Hanya
‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang bersikap begitu. Dia berkata, “Binasalah
kalian karena tidak menaati Rosululloh dan membantah pendapatnya!” Tetapi ada
apa dengannya? Menjelang barisan sampai ke Uhud, bukankah ia membawa sepertiga
pasukan untuk membelot dan kembali ke Madinah? Ya. Peperangan tidak termasuk
hal yang disukainya. Ia sangat menyayangi nafasnya. Bahkan dukungan atas
pendapat Sang Nabi untuk bertahan di Madinah hanyalah agar dia bisa menghindarkan
diri dari pertarung-an dan tumpahnya darah tanpa terlihat mencolok.
***
Di saat
lain, orang-orang terluka menjadi para pengeluh yang fasih dan penuh penjiwaan.
Dalam dekapan ukhuwah, orang-orang mukmin mengeluh hanya kepada Alloh. Mereka
bagai Ya’qub yang dalam surat Yusuf ayat ke-86 berkata, “Sesungguhnya hanya
kepada Alloh aku mengadukan kesusahan dan kesedihan, dan aku mengetahui dari
Alloh apa yang kamu tidak mengetahuinya.”
Adapun
orang-orang terluka, suka mengeluh pada manusia. Padahal, sembarangan mengeluh
itu berbahaya. Seperti kisah tentang seorang ibu yang baik di keluarga
penjahit.
Satu hari
dia berbelanja ke pusat kota, dan dibelikannya celana panjang untuk anak
lelakinya tercinta. Seusai belanja, diapun bergegas pulang. Sang anak dengan suka
cita mencoba celana itu sementara si ibu pergi ke dapur membereskan belanjaan
dan mempersiapkan makan malam. Tak berapa lama, terdengar teriakan keras.
“Ibu ini
bagaimana sih? Masak beliin aku celana kepanjangan begini! Kan jelek banget
kelihatannya!”
“Ooh…
Tapi lingkar pinggangnya gimana, kebesaran nggak?”
“Ya
enggak. Tapi kalau kepanjangan begini aku nggak mau pakai!”
“Berapa
senti lebihnya?”
“Sepuluh
senti!”
Remaja
tanggung belasan tahun itu sepertinya pergi keluar. Pintu depan terdengar
dibanting. Sang ibu geleng-geleng kepala. Tak ingin mendengar omelan putranya
lagi, dia bergegas menuju ruang kerja suaminya yang seorang penjahit.
Diambilnya gunting. Lalu kres, kres, kres. Dipotongnya ujung bawah celana itu
sesuai ukuran lebih yang disebutkan anaknya. Lalu dengan jarum dan benang,
celana bahan berwarna hitam itu di-sum
ujungnya. “Beres,” katanya sambil tersenyum.
Si anak
lelaki pergi ke halaman samping. Di sana ada kakak perempuannya yang sedang
merawat kaktus-kaktus koleksinya. Di beberapa pot lain juga ada kamboja Jepang,
bonsai dari pohon serut, dan aneka bunga.
“Kok
cemberut?” tanya sang kakak sambil tersenyum. “Kenapa?”
“Ibu tuh,
mbak. Masak beliin celana nggak ngerti ukuranku. Kepanjangan sepuluh senti.
Jelek banget dilihatnya!”
“Oh, gitu
aja ngambek. Perbaiki sendiri kan bisa. Sana, gih! Daripada nggak jelas gitu.”
“Malas
ah. Mau main bola dulu ke lapangan.”
Si adik
berlalu menuju garasi. Sang kakak yang telah selesai merawat tanaman hiasnya
segera menuju ruang dalam. Melewati ruang kerja ayahnya yang kosong, dilihatnya
ada celana baru. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Disempatkannya
memeriksa sejenak. Lalu gunting pun beraksi, kres, kres, kres. Tak lupa dijahit
ulangnya ujung celana itu dengan jarum dan benang yang tersedia.
Si adik kini
sudah duduk di jok sepeda motor bebeknya. Dicarinya kunci kontak. Tidak ada.
Kuncinya pasti dibawa kakak lelakinya. Ditemuinya si kakak di kamar tidur.
“Mas,”
katanya sambil mengguncang bahu kakaknya. “Pinjam motor dong!”
“Mau ke
mana?” tanya si kakak sambil mengucek mata.
“Main
bola.”
“Jiah…
Tumben anak cemen mau main bola!”
“Yah,
daripada suntuk di rumah gara-gara dibeliin celana kepanjangan sepuluh senti.”
Kakaknya
tertawa, “Siapa yang beliin?”
“Ibu.”
“Ya udah.
Buat aku aja kalau kepanjangan.”
“Enak
aja. Kan bisa diperbaiki. Lagian lingkar pinggangnya pas kok.”
“Tuh,
kuncinya di meja.”
“OK deh.”
Si kakak
menggeliat lalu bangun dari pembaringan.. tidur siangnya sudah cukup. Agak
sempoyongan dia bangun dan menuju kamar mandi. Sempat mampir ruang makan dan
menyambar pisang goreng, dia melirik sekilas ke ruang kerja ayahnya yang
terbuka. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Dengan gontai, dia menuju
ke arah celana itu. Sambil sesekali masih menguap dan matanya terasa berat,
diambilnya gunting dan, kres, kres, kres. Dipotongnya celana itu sepuluh senti.
Dijahit ulang ujungnya. Dan beres. Sang kakak pergi mandi.
Si adik
baru akan menyalakan motor ketika sang ayah muncul dari pintu pagar. Agaknya
baru pulang dari rumah tetangga.
“Mau ke
mana?”
“Main bola,
pak.”
“Eh,
sebentar. Bapak mau pakai motornya dulu. Mau beli kancing hias untuk baju
pesanan seragam TK.”
“Wah,
nanti ketinggalan dong sepakbolanya.”
“Ya
sudah, sana. Tapi jangan lama-lama.”
“Wah
nggak bisa, pak. Untuk menghilangkan suntuk gini, harus lama main bolanya.
Sampai capek!”
“Suntuk
kenapa?”
“Ibu tuh.
Masak beliin celana ukurannya kepanjangan sepuluh senti. Kan nggak enak banget
dipakainya.”
“Nanti
biar bapak betulin.”
“Nah, itu
baru bagus.”
“Berangkat
dulu ya, pak.”
“Ya,
hati-hati.”
Si bapak masuk
ruang kerjanya. Dilihatnya celana baru yang teronggok di situ. “Oh, jadi celana
barunya model selutut? Ini memang kepanjangan sepuluh senti kalau mau model
selutut.” Maka kres, kres, kres. Celana itu dipotong lagi, dan dijahit ulang.
Menjelang maghrib, ketika si anak pulang terdengar teriakan membahana, “Aaa…
Celana panjangnya kok tinggal selutut?”
***
Dalam
dekapan ukhuwah, mari sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa
terluka oleh orang-orang sholih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka
itu bisa memicu kebencian kita pada iman dan kesholihan. Seperti yang terjadi
pada ‘Abdulloh ibn Ubay dan orang-orang munafik. Maka jangan pernah melupakan
do’a yang diajarkan Alloh pada kita. “Dan janganlah engkau jadikan ada rasa ghill di hati kami kepada orang-orang
beriman, wahai Robb kami. Sesungguhnya Engkau Mahalembut lagi Maha Penyayang.”
Melenyapkan
perasaan tak nyaman pada sesama peyakin sejati dengan do’a itu menjelang tidur,
telah membuat seorang shohabat tak dikenal yang amal-amalnya sama sekali tak
istimewa, dijaminkan surga oleh Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam.
Dalam
dekapan ukhuwah, jadilah orang yang mau berubah, mampu menerima kegagalan,
bersedia membahas persoalan, bisa belajar dari orang lain, dan siap melakukan
sesuatu untuk mengatasi masalah.
Dalam
dekapan ukhuwah, hindarkan diri dari kepengecutan dan mengeluhlah hanya pada
yang mampu memberikan penyelesaian. Katakan saja, “Ya Alloh, aku punya masalah
besar.” Dan sebagai variasi yang manis, terkadang ucapkan juga, “Hai masalah,
aku punya Alloh Yang Mahabesar!”
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Langganan:
Postingan (Atom)