Jumat, 07 Maret 2014

Kisah tentang Luka

menghadapi orang sulit selalu merupakan masalah
terutama jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri
jika kita merasa bahwa semua orang memiliki masalah dengan kita,
tidakkah kita curiga bahwa diri kita inilah masalahnya?


H
ARI ITU Madinah cerah. Tetapi wilayah perkampungan Khozroj terasa hiruk pikuk. Ada ratapan sayup-sayup. Ada yang hilir mudik mempersiapkan keperluan acara penyelenggaraan jenazah. Rupanya, salah satu tokoh Yatsrib sekaligus duri dalam daging yang paling menyakitkan bagi da’wah telah dipanggil Alloh ’Azza wa Jalla. Imam Ahmad mengisahkan peristiwa meninggalnya ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul itu melalui penuturan ‘Umar ibn Khoththob.

“Ketika ‘Abdulloh ibn Ubay meninggal,” demikian ‘Umar bercerita pada ‘Abdulloh ibn ‘Abbas seperti terekam dalam Musnad Ahmad, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam diminta kesediaan untuk mensholatkan jenazahnya. Ketika yang memohon adalah kawan-kawan ‘Abdulloh ibn Ubay yang munafiq, Rosululloh hanya diam. Mungkin beliau menanti izin dari Alloh. Namun, ketika putra si mayyit, ‘Abdulloh ibn ‘Abdillah datang, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam segera menyanggupi.”

“Pada saat beliau sudah berdiri untuk memulai sholat jenazah,” lanjut ‘Umar, “Aku menghalangi beliau dan berdiri tepat di depannya. Aku berkata, “Wahai Rosululloh, apakah engkau akan sholat untuk jenazah musuhmu, yaitu ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul, yang pernah berkata, ‘Jika kita kembali ke Madinah, orang mulia pasti akan mengeluarkan orang yang hina!’? Ingatlah bahwa dia juga yang memfitnah dan menyebarkan berita dusta tentang ‘Aisyah dan keluargamu tercinta! Ingatlah bahwa dia yang menghasut Anshor untuk tak menolong Muhajirin agar mereka pergi! Ingatlah bahwa dia yang mengolok-olok Alloh, Kitab dan Rosul-Nya, serta mendirikan masjid Dhiror! Ingatlah bahwa dia yang membocorkan rahasia kepada musuh dan membelot lari ketika berperang!”

‘Umar dengan geram menyebut segala kejahatan ‘Abdulloh ibn Ubay. Banyak sekali, berangkai-rangkai tanpa putus. Sampai-sampai nafasnya memburu tak teratur.

Mendengar penuturan ‘Umar, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya tersenyum. Beliau tetap hendak memulai takbir. Ketika ‘Umar bersikukuh menyatakan keberatannya, beliau berkata, “Mundurlah wahai ‘Umar! Aku telah diberi pilihan, dan aku sudah menetapkan pilihanku. Alloh menyatakan untukku:

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja. Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (Qs. at-Taubah [9]: 80)

“Hai ‘Umar”, lanjut Rosululloh, “Seandainya aku tahu bahwa jika aku memohon ampunan lebih dari tujuh puluh kali untuknya, maka Alloh akan mengampuni ‘Abdulloh ibn Ubay, niscaya pasti kulakukan.”

Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tetap melakukan sholat jenazah, mengantarnya, dan berdiri memberi penghormatan di dekat kuburnya hingga usai. ‘Umar takjub pada kemuliaan akhlak Rosululloh dan kejelian beliau untuk berbuat lebih dari apa yang diisyaratkan oleh Alloh. Ketika Alloh berfirman, “Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuhpuluh kali, namun Alloh sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka”, maka Sang Nabi bertekad memohonkan ampun lebih dari tujuhpuluh kali agar ‘Abdulloh ibn Ubay bisa diampuni. Pantaslah jika Alloh sendiri yang memuji beliau, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, berada di atas suatu akhlak yang agung.”

“Setelah peristiwa ini,” kata ‘Umar melanjutkan cerita, “Aku sangat terkejut atas sikap dan kelancanganku kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam kejadian itu, padahal Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui hakikat masalahnya.”

Tetapi demikian pulalah ‘Umar yang agung, yang disebut Sang Nabi sebagai muhaddats, orang yang mendapat ilham dari Alloh. Pendapatnya seringkali dibenarkan dari langit. Setelah memberi kesempatan kepada Nabi-Nya untuk mensholatkan ‘Abdulloh ibn Ubay dan mempertunjukkan akhlak mulia beliau pada dunia, Alloh menurunkan firman-Nya yang membenarkan pendirian ‘Umar ibn al-Khoththob.
“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri mendoakan di atas kuburnya.” (Qs. at-Taubah [9]: 84

***

Siapakah ‘Abdulloh ibn Ubay?

Inilah kisah tentangnya pada suatu hari di tahun keenam Hijriah. Saat itu, Sang Nabi dan para shohabat baru pulang dari perang Bani Mustholiq dan singgah di Muroisi’, sebuah oase yang ditumbuhi banyak pohon kurma. Di tempat ini terdapat mata air milik Bani Mustholiq. Di sinilah Rosululloh dan rombongan mengambil air dan mengisi perbekalan mereka untuk pulang ke Madinah.

Adalah ‘Umar ibn al-Khoththob menyewa Jahjah ibn Mas’ud al-Ghifari untuk mengurus kudanya. Jahjah yang merasa mendapat amanah segera menghambur ke mata air. Dia ikut berdesak-desakan. Tak berapa lama, dia sudah saling serobot air dengan Sinan ibn Wabar al-Juhani dari kabilah Juhainah. Kabilah ini adalah kaum yang menjadi sekutu Bani Aus ibn Khozroj, orang-orang Madinah. Jahjah dan Sinan berebut air dan berkelahi.

Sinan berteriak memanggil bantuan, “Wahai orang-orang Anshor!”

Jahjah pun berseru meminta pertolongan, “Wahai orang-orang Muhajirin!”

‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang mendapat kabar pertengkaran ini naik pitam. “Apakah para Jalabib Quroisy itu telah bersikap demikian?” serunya murka. “Apakah mereka telah terlepas dari kita dan merasa lebih banyak dari kita di negeri kita sendiri? Demi Alloh, kita tidak membekali diri kita dan para hina dina Quroisy itu melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu. ‘Gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu.’” Dia mendengus kesal.

“Oleh karena itu, demi Alloh,” lanjutnya, “Bila kita telah kembali ke Madinah, maka benar-benar orang yang mulia akan mengusir orang yang hina dari dalamnya.”

Kemudian ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul berpaling kepada orang-orang yang ada disekitarnya dan kepada setiap yang hadir dari kaumnya. “Inilah yang telah kalian perbuat terhadap diri kalian,” semburnya. “Kalian menyediakan negeri kalian untuk mereka. Kalian bagikan kepada mereka harta benda kalian. Demi Alloh, sekiranya kalian tidak memberikan sarana-sarana dan bantuan kalian kepada mereka, maka mereka pasti akan beralih kepada negeri lain, bukan ke negeri kalian!”

Zaid ibn Arqom, seorang bocah yang mendengar hal itu segera menuju ke tempat Rosululloh berada. Dia mengabarkan semua peristiwa yang disaksikannya dan setiap kata yang didengarnya. ‘Umar ibn al-Khoththob yang ada di sisi Sang Nabi berkata kepada beliau, “Perintahkanlah kepada ‘Abbad ibn Bisyir agar membunuh-nya, ya Rosulalloh!”

“Lalu bagaimana, wahai ‘Umar,” jawab Sang Nabi, “Bila orang-orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya? Tidak! Tapi sekarang serukanlah agar semua pasukan segera bertolak pulang.”

Dalam perjalanan, ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul segera menjajarkan kendaraannya di sisi Sang Nabi. Dia telah mendengar bahwa Zaid ibn Arqom melaporkan perkataannya tadi kepada Rosululloh. ‘Abdulloh ibn Ubay bersumpah dengan nama Alloh bahwa dia tidak pernah mengatakan seperti yang dilaporkan Zaid ibn Arqom. Apalagi dia termasuk orang yang dihormati dan tinggi kedudukannya di tengah kaumnya.

“Wahai Rosululloh,” demikian beberapa orang dari kalangan Anshor di dekat Sang Nabi mohon izin bicara, “Mungkin Zaid ibn Arqom si bocah itu telah salah dalam menyampaikan berita, dan dia tidak menyimpan dengan baik perkataan ‘Abdullon ibn Ubay.”

‘Abdulloh ibn Ubay melirik pada mereka. Dia tahu, mereka mengatakan hal itu sebagai rasa hormat kepadanya dan sebagai pembelaan. Tapi hatinya sakit. Kata-kata mereka justru terasa sebagai hinaan.

Sang Nabi hanya diam. Sunyi di sepanjang jalan.

Setelah ‘Abdulloh ibn Ubay dan kawan-kawannya memisahkan diri dari berkendara agak di belakang, Usaid ibn Hudhoir, pemuka Anshor, menjumpai Rosululloh dan mengucapkan penghormatan kepada beliau dengan salam kenabian. “Wahai Nabi Alloh,” ujarnya, “Sesungguhnya engkau telah bertolak pulang pada waktu yang sangat aneh. Tidak seperti biasanya engkau melakukan perjalanan seperti ini.”

“Belumkah sampai kepadamu kabar tentang sahabat kalian itu?”

“Teman yang mana?”

“’Abdulloh ibn Ubay.”

“Apa yang dikatakannya, ya Rosulalloh?”

“Dia,” kata Sang Nabi sambil memandang Usaid dengan teduh, “Menyangka bahwa sesungguhnya bila dia kembali ke Madinah, maka orang yang lebih mulia akan mengusir orang yang lebih hina darinya.”

“Dia benar, ya Rosululloh,” kata Usaid. “Demi Alloh, dia benar. Dan engkau, wahai Nabi, demi Alloh, pasti akan mengeluarkannya dari Madinah bila engkau menghendaki. Demi Alloh, dialah yang lebih hina dan lemah. Andalah yang lebih kuat dan perkasa!”

Wajah Usaid ibn Hudhoir memerah. Dia tak rela Nabinya dihinakan. Tetapi kemudian dia berusaha tenang kembali. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Sang Nabi. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum padanya dan menganggukkan kepala.

“Wahai Rosululloh,” kata Usaid dengan nada iba, “Kumohon bersikap lembutlah kepada ‘Abdulloh ibn Ubay. Karena, demi Alloh, kami telah dilimpahi nikmat dengan diutusnya engkau kepada kami. Adapun dia, tepat sebelum kedatanganmu kepada kami, maka kaumnya telah menata permata pada sebuah mahkota untuk dipakaikan ke atas kepalanya sebagai penguasa. Sungguh, kurasa dia memandang kedatanganmu telah merampas haknya untuk menjadi raja.”

Kini kita tahu. ‘Abdulloh ibn Ubay adalah orang yang terluka.

***

Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.

Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan tongkat barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut. Sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar dan seurat serat kayu menyelusup ke dalam jari telunjuknya.

Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalaunya dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di dekatnya.

Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.

Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan menyumpah serapahi mereka.

“Aaw… Sakit sekali!” jeritnya.

***

Ketika seseorang yang terluka menyerang, tindakan itu lebih merupakan tanggapan atas apa yang terjadi di dalam diri mereka. Apa yang terjadi di dalam diri itu jauh lebih memberi pengaruh daripada apa yang terjadi di luar sana. Mereka sedang merasa, atau percaya, bahwa ada hal buruk dan menyakitkan yang terjadi di dalam diri mereka sendiri.

“Kau tahu John,” ujar seorang kawan kepada John C. Maxwell seperti diabadikan dalam bukunya Winning with People, “Orang terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan, atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu memeriksa lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.”

Dalam kisah ‘Abdulloh ibn Ubay, kata-kata Usaid ibn Hudhoir sungguh bijaksana.

Orang-orang terluka, seperti cerita tentang gembala yang kena telusukan, merasakan sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lukanya bengkak dan bernanah. Tak beda, apakah luka itu kini terkena palu, tersentuh jari, ataupun belaian saputangan beludru, semua terasa menyakitkan. Mereka menjerit. Mereka menanggapi di luar batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi. Orang-orang terluka dalam sejarah da’wah adalah orang-orang munafik, seperti ‘Abdulloh ibn Ubay. Alloh menggambarkan sifat mereka ini dengan ungkapan yang indah.

“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.” (Qs. al-Munafiqun [63]: 4)

Kesalahan terbesar dari orang-orang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Telusukan yang mengganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Andai saja, ‘Abdulloh ibn Ubay lapang dada menerima kehadiran Rosululloh dan mengakui keutamaan-keutamaan beliau, pastilah dia telah menjadi pemuka Anshor yang paling utama.

Tetapi dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusukan itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara. Dia menanggapi uluran tangan Rosululloh yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi dengan jeritan kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

“Orang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam kehidupan yang sebenar-nya bersumber dari lukanya tidak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda, atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusukan itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakiti-ku,” erangnya.

Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.

Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak terpengaruh melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya. Karena dia menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.

Begitulah. Apakah kita termasuk orang-orang terluka?

***

Ke mana perginya orang-orang terluka?

Awal-awal, orang terluka akan menjadi pengecut yang memalukan. Mereka adalah orang yang jika berkata maka berdusta, jika berjanji maka ingkar, jika dipercaya maka khianat, jika berembug maka menjilat, dan jika bertengkar maka tindakannya melampaui batas.

Inilah kisah mimpi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjelang Perang Uhud.

“Demi Alloh, aku telah bermimpi,” kata beliau. “Sebuah mimpi yang baik. Dalam mimpi itu kulihat beberapa ekor lembu yang disembelih. Lalu bagian mata pedangku ada yang rompal, dan aku memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang kokoh.” kata beliau mengawali musyawarah dengan para shohabat setelah menerima kabar teliksandi tentang pergerakan tiga ribu wadya Quroisy dari Makkah.

Ta’wil atas mimpi ini diabadikan Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rohiiqul Makhtuum. Beberapa ekor lembu yang disembelih berarti beberapa shohabat beliau akan terbunuh syahid. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapat musibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.

Dengan mimpi itu beliau mengusulkan kepada majelis untuk mengambil strategi bertahan di dalam kota Madinah. Ini akan membuat musuh bimbang. Jika mereka mengepung tanpa masuk, kondisi akan dibiarkan mengambang. Jika mereka menyerbu masuk maka kaum Muslimin bisa menyergap mereka di mulut-mulut gang dan para wanita bisa menyerang dari atap-atap rumah.

Yang penuh semangat mendukung ide Rosululloh ini adalah seorang pemuka Khozroj yang anggun dan elegan. Penampilannya menawan, bicaranya memikat hati. Disokongnya beliau dengan argumen-argumen yang meyakinkan. Diyakinkannya para shohabat dengan menyebut-nyebut keutamaan Rosululloh dan keutamaan mengikuti isyarat agung dalam mimpi beliau yang mulia. Namanya, lagi-lagi, adalah ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul.

“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka bicara, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka; semoga Alloh membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan dari kebenaran?” (Qs. al-Munafiqun [63]: 4)

Tetapi coba bayangkan perasaan beberapa shohabat yang tidak sempat ikut serta dalam Perang Badar? Hati mereka bergolak rindu untuk mendapatkan kemuliaan dari Alloh. Dalam kalimat yang menggebu-gebu mereka berkata, “Ya Rosululloh. Sejak dulu kami sudah menanti-nanti dan berharap akan datangnya hari seperti ini. Kami selalu berdo’a kepada Alloh untuk itu. Kini, Alloh telah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah, ya Rosululloh, untuk menyongsong mereka! Jangan sampai mereka menghinakan Alloh dan Rosul-Nya karena menganggap kita takut pada mereka!”

“Beraninya kalian,” hardik ‘Abdulloh ibn Ubay, “Menyelisihi perintah seorang Nabi!”

“Diam kamu, Ibnu Ubay!”, sambut Hamzah ibn ‘Abdul Mutholib, paman kecintaan Rosululloh. “Ya Rosululloh,” ujarnya, “Demi yang menurunkan al-Kitab kepadamu dengan kebenaran, aku tidak akan memberikan makanan sampai bisa membabat mereka dengan pedangku ini di luar Madinah!”

“Demi Alloh,” ujar ‘Abdulloh ibn Ubay, “Celaka dan kehinaan bagi kalian! Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu urusan, lalu kalian menentangnya dengan mengikuti hawa nafsu. Sungguh urusan kalian ini takkan diberkahi dan kalian pasti kembali dengan membawa kehancuran!”

Perdebatan masih panjang. ‘Abdulloh ibn Ubay habis-habisan membela mimpi Sang Nabi.

Tetapi akhirnya Rosululloh mengalah. Beliau mengikuti pendapat para shohabat. Mereka menyongsong musuh di Uhud. Dan seperti telah kita fahami, perang ini berakhir dengan kekalahan kaum Muslimin sampai-sampai beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terluka, dan Hamzah gugur bersama tujuhpuluh orang shohabat yang lain.

Adakah Rosululloh kemudian mengeluh dengan berkata, “Kalau saja kalian ikuti apa yang kukatakan… Kalau saja kita bertahan di Madinah… Kalau saja mimpi kenabianku kalian percayai…!”

Tidak.

Hanya ‘Abdulloh ibn Ubay ibn Salul yang bersikap begitu. Dia berkata, “Binasalah kalian karena tidak menaati Rosululloh dan membantah pendapatnya!” Tetapi ada apa dengannya? Menjelang barisan sampai ke Uhud, bukankah ia membawa sepertiga pasukan untuk membelot dan kembali ke Madinah? Ya. Peperangan tidak termasuk hal yang disukainya. Ia sangat menyayangi nafasnya. Bahkan dukungan atas pendapat Sang Nabi untuk bertahan di Madinah hanyalah agar dia bisa menghindarkan diri dari pertarung-an dan tumpahnya darah tanpa terlihat mencolok.

***

Di saat lain, orang-orang terluka menjadi para pengeluh yang fasih dan penuh penjiwaan. Dalam dekapan ukhuwah, orang-orang mukmin mengeluh hanya kepada Alloh. Mereka bagai Ya’qub yang dalam surat Yusuf ayat ke-86 berkata, “Sesungguhnya hanya kepada Alloh aku mengadukan kesusahan dan kesedihan, dan aku mengetahui dari Alloh apa yang kamu tidak mengetahuinya.”

Adapun orang-orang terluka, suka mengeluh pada manusia. Padahal, sembarangan mengeluh itu berbahaya. Seperti kisah tentang seorang ibu yang baik di keluarga penjahit.

Satu hari dia berbelanja ke pusat kota, dan dibelikannya celana panjang untuk anak lelakinya tercinta. Seusai belanja, diapun bergegas pulang. Sang anak dengan suka cita mencoba celana itu sementara si ibu pergi ke dapur membereskan belanjaan dan mempersiapkan makan malam. Tak berapa lama, terdengar teriakan keras.

“Ibu ini bagaimana sih? Masak beliin aku celana kepanjangan begini! Kan jelek banget kelihatannya!”

“Ooh… Tapi lingkar pinggangnya gimana, kebesaran nggak?”

“Ya enggak. Tapi kalau kepanjangan begini aku nggak mau pakai!”

“Berapa senti lebihnya?”

“Sepuluh senti!”

Remaja tanggung belasan tahun itu sepertinya pergi keluar. Pintu depan terdengar dibanting. Sang ibu geleng-geleng kepala. Tak ingin mendengar omelan putranya lagi, dia bergegas menuju ruang kerja suaminya yang seorang penjahit. Diambilnya gunting. Lalu kres, kres, kres. Dipotongnya ujung bawah celana itu sesuai ukuran lebih yang disebutkan anaknya. Lalu dengan jarum dan benang, celana bahan berwarna hitam itu di-sum ujungnya. “Beres,” katanya sambil tersenyum.

Si anak lelaki pergi ke halaman samping. Di sana ada kakak perempuannya yang sedang merawat kaktus-kaktus koleksinya. Di beberapa pot lain juga ada kamboja Jepang, bonsai dari pohon serut, dan aneka bunga.

“Kok cemberut?” tanya sang kakak sambil tersenyum. “Kenapa?”

“Ibu tuh, mbak. Masak beliin celana nggak ngerti ukuranku. Kepanjangan sepuluh senti. Jelek banget dilihatnya!”

“Oh, gitu aja ngambek. Perbaiki sendiri kan bisa. Sana, gih! Daripada nggak jelas gitu.”

“Malas ah. Mau main bola dulu ke lapangan.”

Si adik berlalu menuju garasi. Sang kakak yang telah selesai merawat tanaman hiasnya segera menuju ruang dalam. Melewati ruang kerja ayahnya yang kosong, dilihatnya ada celana baru. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Disempatkannya memeriksa sejenak. Lalu gunting pun beraksi, kres, kres, kres. Tak lupa dijahit ulangnya ujung celana itu dengan jarum dan benang yang tersedia.

Si adik kini sudah duduk di jok sepeda motor bebeknya. Dicarinya kunci kontak. Tidak ada. Kuncinya pasti dibawa kakak lelakinya. Ditemuinya si kakak di kamar tidur.

“Mas,” katanya sambil mengguncang bahu kakaknya. “Pinjam motor dong!”

“Mau ke mana?” tanya si kakak sambil mengucek mata.

“Main bola.”

“Jiah… Tumben anak cemen mau main bola!”

“Yah, daripada suntuk di rumah gara-gara dibeliin celana kepanjangan sepuluh senti.”

Kakaknya tertawa, “Siapa yang beliin?”

“Ibu.”

“Ya udah. Buat aku aja kalau kepanjangan.”

“Enak aja. Kan bisa diperbaiki. Lagian lingkar pinggangnya pas kok.”

“Tuh, kuncinya di meja.”

“OK deh.”

Si kakak menggeliat lalu bangun dari pembaringan.. tidur siangnya sudah cukup. Agak sempoyongan dia bangun dan menuju kamar mandi. Sempat mampir ruang makan dan menyambar pisang goreng, dia melirik sekilas ke ruang kerja ayahnya yang terbuka. “Oh itu celana yang kepanjangan,” gumamnya. Dengan gontai, dia menuju ke arah celana itu. Sambil sesekali masih menguap dan matanya terasa berat, diambilnya gunting dan, kres, kres, kres. Dipotongnya celana itu sepuluh senti. Dijahit ulang ujungnya. Dan beres. Sang kakak pergi mandi.

Si adik baru akan menyalakan motor ketika sang ayah muncul dari pintu pagar. Agaknya baru pulang dari rumah tetangga.

“Mau ke mana?”

“Main bola, pak.”

“Eh, sebentar. Bapak mau pakai motornya dulu. Mau beli kancing hias untuk baju pesanan seragam TK.”

“Wah, nanti ketinggalan dong sepakbolanya.”

“Ya sudah, sana. Tapi jangan lama-lama.”

“Wah nggak bisa, pak. Untuk menghilangkan suntuk gini, harus lama main bolanya. Sampai capek!”

“Suntuk kenapa?”

“Ibu tuh. Masak beliin celana ukurannya kepanjangan sepuluh senti. Kan nggak enak banget dipakainya.”

“Nanti biar bapak betulin.”
“Nah, itu baru bagus.”

“Berangkat dulu ya, pak.”

“Ya, hati-hati.”

Si bapak masuk ruang kerjanya. Dilihatnya celana baru yang teronggok di situ. “Oh, jadi celana barunya model selutut? Ini memang kepanjangan sepuluh senti kalau mau model selutut.” Maka kres, kres, kres. Celana itu dipotong lagi, dan dijahit ulang. Menjelang maghrib, ketika si anak pulang terdengar teriakan membahana, “Aaa… Celana panjangnya kok tinggal selutut?”

***

Dalam dekapan ukhuwah, mari sembuhkan luka-luka kita. Apalagi jika kita merasa terluka oleh orang-orang sholih dan para insan beriman. Waspadalah. Karena luka itu bisa memicu kebencian kita pada iman dan kesholihan. Seperti yang terjadi pada ‘Abdulloh ibn Ubay dan orang-orang munafik. Maka jangan pernah melupakan do’a yang diajarkan Alloh pada kita. “Dan janganlah engkau jadikan ada rasa ghill di hati kami kepada orang-orang beriman, wahai Robb kami. Sesungguhnya Engkau Mahalembut lagi Maha Penyayang.”

Melenyapkan perasaan tak nyaman pada sesama peyakin sejati dengan do’a itu menjelang tidur, telah membuat seorang shohabat tak dikenal yang amal-amalnya sama sekali tak istimewa, dijaminkan surga oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalam dekapan ukhuwah, jadilah orang yang mau berubah, mampu menerima kegagalan, bersedia membahas persoalan, bisa belajar dari orang lain, dan siap melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah.


Dalam dekapan ukhuwah, hindarkan diri dari kepengecutan dan mengeluhlah hanya pada yang mampu memberikan penyelesaian. Katakan saja, “Ya Alloh, aku punya masalah besar.” Dan sebagai variasi yang manis, terkadang ucapkan juga, “Hai masalah, aku punya Alloh Yang Mahabesar!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar