BAB I
PERMASALAHAN ANAK DALAM HUBUNGAN DENGAN
SEKOLAH
Apabila setiap keluarga disoroti kemungkinan
akan ada atau tidaknya persoalan dengan anak, maka akan terlihat macam-macam
derajat kesulitan. Bahkan mungkin saja bahwa tidak semua keluarga menyadari
adanya sesuatu kesulitan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa setiap rumah memanggul
salibnya masing-masing. Setiap keluarga mengalami dan harus memecahkan
persoalannya sendiri-sendiri. Apabila kesulitannya tidak disadari, tidak
dirasakan sebagai pensoalan, maka tentu tidak akan dicari cara-cara untuk mengatasinya.
Persoalan akan menjadi masalah setelah menimbulkan suatu gangguan dalam arus
kehidupan dan kecemasan pada orangtua.
Seorang anak yang
tidak belajar dan belum terbiasa dengan pembagian waktu untuk bermain dan belajar,
tidak akan menimbulkan persoalan selama rapornya selalu baik dan hasil ulangannya
selalu di atas rata-rata. Apabila pada suatu saat ia mendapat rapor yang “kebakaran”,
dengan banyak nilai-nilai kurang, barulah terasa adanya suatu permasalahan. Seorang
anak penurut dan pendiam, bagi orangtuanya merupakan anak teladan. Anak ini,
karena tidak menimbulkan persoalan, akhirnya “terlupakan”. Ternyata ia mengalami
kesulitan dalam hal berhitung yang disebabkan ketidak-mampuannya membaca.
Sedangkan ketidak-mampuannya membaca disebabkan oleh suatu peristiwa yang
sangat mencekam dirinya pada waktu ia masih kecil, yang membuat ia menjadi penurut
dan pendiam dengan persoalannya yang tidak diselesaikan.
Seorang anak kecil yang
sering pilek, mudah “masuk angin” tidak menimbulkan persoalan. Bagi orangtua
sudah dianggap biasa bahwa anak harus diawasi lebih ketat supaya tidak kena
angin. Tetapi sesudah anak itu sekolah ia mendapat peringatan dari guru karena terlalu
sering absen. Dan dengan kurangnya nilai-nilai pada rapor, barulah terpikir untuk
menanggulangi kelemahan si anak.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan
bahwa orangtua baru merasakan adanya persoalan bila terkait dengan nilai-nilai
rapor yang buruk atau prestasi anak di sekolah yang menurun. Dengan titiktolak angka-angka
merah di rapor, orangtua mulai menyadari persoalannya dan perhatian khusus mulailah
dicurahkan kepada si anak. Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan buruknya
prestasi anak di sekolah akan dicari dan diusahakan untuk memperbaikinya.
Dalam usaha mencari sebab-sebab persoalan anak,
akan kita temukan berbagai macam persoalan yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok.
I.
Kekurangan dalam hal
fisik anak – pancaindera
a.
Kekurangan pada indera penglihatan:
Seorang
anak tiba-tiba hasil ulangannya tidak memuaskan, bahkan makin lama makin buruk.
Anak selalu mengerti apa yang diterangkan, sehingga tidak pernah bertanya di
rumah. Pekerjaan sekolah yang harus dilakukannya di rumah selalu beres. Setelah
hasil ulangan-ulangannya diteliti lebih mendalam, ternyata banyak kesalahan
disebabkan karena salah menyalin dari papan tulis. Salah menyalin dari papan
tulis ternyata disebabkan karena kekurangan daya pengelihatan. Alhasil,
angka-angka rapor yang menggelisahkan orangtualah yang menyebabkan ditemukannya
kekurangan daya penglihatan si anak. Kekurangan daya pengelihatan mudah
diketahui apabila sudah berat derajat penyimpangannya dari yang normal. Bila
taraf kekurangannya masih ringan (yang mungkin dapat diketahui dari perasaan
pusing setelah membaca) sulitlah untuk mengetahuinya. Sebaiknya anak yang
sering mengeluh sakit kepala atau pusing-pusing sesudah belajar diperiksa oleh
dokter mata. Supaya bila ternyata terdapat kekurangan daya penglihatan, mungkin
diatasi dengan memakai kacamata.
b.
Kekurangan pada indera pendengaran
dapat mengganggu penerimaan pelajaran di sekolah. Bila pelajaran di sekolah
kurang terdengar oleh anak, maka pengertian pun sulit diraihnya. Kekurangan
daya pendengaran kadang-kadang cepat diketahui guru, tetapi sering pula tidak.
Seorang
anak yang selalu memperhatikan gerak-gerik dan gerak bibir gurunya, akan
mengerti, dengan melihat perbuatan teman-temannya, apa yang ditugaskan oleh gurunya.
Selarna tugas-tugas sekolah masih bersifat sederhana, kekurangan pendengaran tidak
akan “ketahuan” oleh guru. Seorang anak kecil tidak selalu mencari hubungan antara
gerak-gerik guru dan murid-murid lain. Ia tidak dapat melaksanakan tugas-tugasnya.
Bahkan perintah-perintah singkat pun tidak mampu dijalankannya. Persoalan ini
akan cepat terlihat pada kekurangan daya pendengaran apabila si anak tidak memperlihatkan
kelakuan kurang baik lainnya.
Kekurangan daya
pendengaran sering menimbulkan persoalan yang perbaikannya tidak semudah
seperti memperbaiki persoalan yang timbul akibat kekurangan daya penglihatan.
Pada umumnya anak yang harus memakai kacamata tidak terlalu dikekang oleh rasa diri
yang berbeda, dibandingkan dengan anak-anak lain. Ia hanya agak merasa dibatasi
dalam bidang olahraga.
Lain halnya dengan
anak yang memerlukan alat pembantu pendengaran. Alat pendengaran, selain mahal harganya,
juga tidak disenangi anak. Bagi anak kecil, alat itu perlu disetel supaya tidak
menimbulkan gangguan tambahan pada pendengaran. Apabila ia pernah mengalami bunyi
yang sangat mengagetkan dari alat itu, ia tidak mau memakai alat pendengaran
lagi.
Anak mungkin merasa
dirinya aneh bila memakai alat tersebut, sehingga dapat menimbulkan rasa diri
kurang, dibandingkan dengan anak-anak lain. Cara yang dipakainya untuk menutupi
kekurangannya itu tidak selalu menguntungkan bagi si anak. Mungkin ia berpura-pura
dapat mendengar dengan baik dan berbicara dengan suara keras sekali, atau
mungkin pula sebaliknya seperti berbisik-bisik sampai sulit terdengar bagi
pendengaran biasa.
Kekurangan dalam hal
ini dapat diketahui dari ucapan kata-kata yang tidak sempurna. Karena anak tidak
bisa mendengar dengan sempurna, ia tidak dapat pula meniru bunyi-bunyi atau
kata-kata dengan sempurna.
Ucapan kata yang
tidak sempurna juga dapat disebabkan oleh bentuk rahang, letak gigi atau bentuk
bibir yang pernah mengalami operasi. Bila rahang, letak gigi, bentuk bibir dan langit-langit
tidak memperlihatkan kelainan, maka anak yang ucapan kata-katanya tidak
sempurna perlu diperiksa kemampuan daya pendengarannya dengan lebih teliti.
c.
Apabila terdapat keluhan-keluhan lain,
misalnya pusing-pusing, sering-sering jatuh, maka pemeriksaan dokter syaraf
perlu dilakukan untuk mengetahui apakah keadaan kekurangan fisik itu dapat diperbaiki
dengan pengobatan.
Seorang
anak sering jatuh, dan bila ditanya bagaimana dan di mana jatuhnya, ia
memberikan jawaban yang berbeda-beda. Ulangan berhitung kadang-kadang hasilnya
baik sekali. Kadang-kadang hasil ulangan berhitungnya buruk sekali, dengan jawaban
dan cara yang aneh-aneh. Setelah diperiksa ternyata anak mengalami penurunan
kesadaran yang tidak diketahui oleh guru maupun orangtuanya. Dengan pengobatan
untuk mencegah penurunan kesadaran, si anak tidak lagi sering jatuh.
Pada contoh anak
dengan penurunan kesadaran maka sumber persoalan dapat diperbaiki dengan
obat-obatan.
d.
Ada pula kekurangan pada diri anak
yang tidak dapat diperbaiki melalui pemberian alat pembantu maupun pengobatan.
Seorang
anak dapat menangkap pembicaraan orang lain dengan baik, mudah mengerti
pelajaran dan kesalahan yang tidak disangka-sangka ditemukan dalam tulisannya. Setelah
pemeriksaan lebih mendalam, ternyata anak ini memiliki suatu kelainan fisik yang
tidak dapat diperbaiki.
Dalam contoh anak
dengan kesulitan menulis, maka pengobatan tidak akan memberi perbaikan. Anak hanya
dapat membantu menulis dengan baik melalui cara mengajar mennulis yang khusus
dengan alat-alat peraga khusus pula.
II.
Kesulitan-kesulitan
yang disebabkan oleh kurang “campur tangan” orangtua atau siapa saja dalam tata
cara hidup dan perencanaan waktu anak.
Anak memang tidak sama dengan orang dewasa. Anak masih
banyak dikuasai oleh keinginan-keinginan bermain. Einginan bermain ini tidak
selalu mudah terlihat oleh orang lain dan perlu diatur penyalurannya. Anak yang
bermain dengan boneka atau bermain bola mudah diketahui, dan mudah pula diatur
waktu bermainnya. Sebaiknya anak yang bermain dalam alam fantasinya, dalam
khayalan, sulit diatur waktu bermainnya.
Seorang
anak laki-laki, senang sekali bermain bola dan segala permainan yang
membutuhkan banyak pergerakan. Orangtua telah menentukan bahwa semua anak, tiga
anak perempuan dan seorang laki-laki, siang sesudah pulang sekolah dan makan,
harus tidur dan sorenya harus belajar sampai pada waktu makan malam tiba.
Sesudah makan malam, istirahat sebentar lalu belajar lagi. Ternyata anak ini
hasil ulangannya tidak sesuai dengan harapan ibunya dan juga tidak seimbang
dengan waktu belajarnya yang cukup banyak.
Anak laki-laki pada contoh ini ternyata kemampuan belajarnya
baik sekali, tetapi baik waktu maupun kemampuannya tidak dipakainya. Sewaktu
anak ini belajar dan menghadapi buku-buku pelajaran, ternyata pikirannya tidak
di ruang belajar. Dalam alam pikirannya ia berada di lain tempat dan sedang
membayangkan tempat berkumpul teman-temannya di mana dikhayalkannya ia sedang
bermain. Anak laki-laki ini ternyata memerlukan lebih banyak permainan dengan
banyak gerak. Penyalurannya dalam khayalan sulit dibatasi.
Anak belum dapat membagi waktu antara tugas-tugas
sekolah dengan bermain-main. Tambahan pula setiap anak berbeda kebutuhannya
akan waktu bermain, sesuai dengan umurnya, sehingga orangtua dan para pendidik
perlu membantu anak dalam perencanaan waktunya dan pelaksanaan dari perencanaan
itu.
Anak yang belum mendapat pekerjaan rumah sebagai tugas
dari sekolah, dapat dibiasakan untuk melakukan tugas-tugas kecil di rumah.
Dalam pemberian tugas-tugas ini perlu diperhatikan agar penyelesaian tugas
terletak dalam jangkauan kemampuan anak.
Anak yang telah mendapat pekerjaan rumah secara teratur,
perlu dibuatkan jadwal belajar di rumah. Jadwal belajar harus meliputi juga
masa istirahat yang cukup untuk menyegarkan anak setelah belajar di sekolah.
Kurang tepat bila anak sepulangnya dari sekolah harus langsung menghadapi lagi buku-buku
pelajarannya. Anak yang lelah, lebih sulit mencurahkan perhatiannya ke bahan
pelajaran. Pikirannya mudah “melayang”. Masa istirahat yang agak lama diberikan
apabila anak lelah sekali. Sesudah segar dan kembali belajar sungguh-sungguh,
perlu diberi masa istirahat singkat untuk memberikan kesempatan bergerak dengan
leluasa. Istirahat ini bagi anak-anak diisi dengan bermain.
Jadwal belajar yang meliputi masa belajar, istirahat,
dan bermain harus disesuaikan dengan umur anak. Makin bertambah umur anak,
makin lama waktu belajar dan makin singkat waktu istirahat untuk bermain. Waktu
tidur malam hari disesuaikan dengan kebutuhan anak akan tidur. Di kota-kota di mana
sudah ada T.V. maka anak-anak sering melewati waktu tidur yang sesuai dengan
usianya karena menonton acara-acara T.V. sampai selesai. Anak yang tidur terlambat,
walaupun sudah terbiasa bangun pagi-pagi, akan tetap kurang teliti dalam
pelajarannya. Seorang anak yang sudah ditetapkan waktu-waktu belajarnya dan
pergi ke kamar untuk tidur sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh
orangtuanya, tanpa diketahui orangtuanya dapat membaca buku sampai jauh malam.
Seorang
anak perempuan, sudah ditentukan waktu-waktunya sesuai dengan segala aktifitas
yang harus dilakukannya sesudah pulang dari sekolah. Waktunya dibagi untuk belajar,
latihan piano, dan berbagai macam les piano. Tidur tepat pada waktunya, akan
tetapi tidak langsung tertidur karena dalam khayalannya ia membuat cerita-cerita
dan sampai malam sekali, baru tertidur. Tentu saja hasil-hasilnya di sekolah tidak
memuaskan, karena kesegaran yang sebenarnya diharapkan ketika bangun pagi tidak
dirasakan.
Dari beberapa contoh ini jelaslah bahwa “campur tangan”
orangtua sangat dibutuhkan dalam membagi waktu, serta pengawasan terhadap
terlaksananya pembagian waktu dan jadwal belajar itu di rumah.
III.
Prestasi anak di
sekolah selain tergantung dari faktor-faktor pada anak itu sendiri, bimbingan
dan pengawasan orangtua, maka keadaan dan suasana sekolah sangat berperan pula.
Seorang
anak pernah diperiksa taraf kemampuan inteligensinya, ternyata kepintarannya
cukup tinggi. Biasanya nilai rapornya baik sekali. Tiba-tiba di suatu kelas
nilainya merosot dan anak segan sekolah. Setiap pagi kalau harus berangkat ke
sekolah, mengeluh sakit perut atau sakit kepala. Diperiksa dokter, ternyata ia
sehat. Rupanya anak ini, karena nilai ulangannya selalu baik sekali, diancam
oleh temannya. Kalau temannya tidak diperbolehkan “nyontek”, maka pulang
sekolah ia dipukul. Kalau ia ketahuan guru sedang memberi pekerjaannya pada
temannya, ia mendapat angka nol. Kalau ia ketahuan guru sedang membisikkan
jawaban, disangka ngobrol dan dikurangi angka. Sehingga anak ini, setiap kali
kalau ada ulangan mengalami suatu kebimbangan, apa yang harus dilakukannya, ke
sekolah dengan kemungkinan dipukul waktu pulangnya atau dimarahi guru. Ternyata
sering diambilnya jalan ketiga di mana dengan sakit perut ia tidak perlu ke
sekolah. Pernah anak tersebut ketika minta ibunya untuk menjemputnya dari
sekolah, pada waktu istirahat diejek terus oleh teman-temannnya.
Seorang
anak perempuan sangat halus perasaannya. Di rumah ia tinggal dengan beberapa keluarga.
Keluarga yang menempati kamar di sebelahnya sering “latihan perang” di rumah.
Apabila si anak sudah mendengar suara-suara dan teriakan keras, maka tak lama
kemudian kursi-kursi dan barang akan terdengar dilempar-lempar dan sebagainya. Hal-hal
demikian sangat membingungkan si anak. Kebetulan guru anak ini, mempunyai teori
mendidik anak dengan cara memperbesar suaranya, supaya dengan suara yang keras
dan tangan besi, ketertiban kelas dapat dipertahankan. Murid ini justru setiap
kali mendengar suara keras gurunya, mengalami kekacauan, sehingga tidak dapat menangkap
pelajaran.
Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa suasana
di sekolah penting bagi kegemaran anak untuk pergi ke sekolah. Bahkan penting
pula untuk meningkatkan semangat belajar dan daya tangkap anak.
Dalam persoalan di mana jelas terlihat suatu keseganan
pada anak untuk pergi ke sekolah perlu diperhatikan bagaimana hubungan anak
dengan murid-murid sekelasnya, apabila ternyata anak itu mengalami
tekanan-tekanan dari luar, dari teman-teman sekelasnya, maka sebaiknya guru diikutsertakan
dalam menanggulangi persoalan ini. Sebaliknya, apabila persoalan itu disebabkan
oleh suatu pandangan tertentu dari si anak terhadap gurunya, maka tentunya guru
tersebut tidak dapat dipersalahkan, karena murid-murid lain tidak mengalami
persoalan tersebut. Dalam hal ini, anak sedikit demi sedikit harus diinsyafkan
bahwa guru sebenarnya bermaksud baik dengan tujuan mencapai hasil yang
setinggi-tingginya bagi murid-muridnya.
Dalam menyoroti persoalan-persoalan dalam menghadapi
anak di mana persoalan-persoalan mulai timbul dengan titik tolak prestasi
sekolah yang tidak sesuai dengan harapan orangtua, ternyata sebab persoalan
dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok:
a.
Sumber persoalan terdapat pada anak
itu sendiri.
Sumber
persoalan pada anak disebabkan oleh kekurangan-kekurangan pada anak:
Terlihat
anak mengalami kekurangan pada tubuhnya baik dalam hal daya kemampuan tubuh
maupun kekurangan bagian tubuh seperti cacat tubuh. Kekurangan-kekurangan
jasmani ada yang dapat diatasi dan diperbaiki dengan alot pembantu: kacamata,
alat pernbantu pendengaran, alat pengganti atau alat tubuh buatan. Ada pula
kekurangan yang tidak dapat diperbaiki, sehingga orangtua harus menerima anak
sebagaimana adanya dan mengusahakan cara-cara yang sebaik mungkin bagi si anak.
Anak yang mengalami penyimpangan pada persyarafannya, sehingga tidak dapat
mengerti bahasa tertulis, tidak dapat membaca. Dengan kacamata dan operasi
tidak dapat memperbaiki sumber persoalan. Maka dicoba cara-cara penambahan pengetahuan
melalui cara-cara pengajaran khusus.
Untunglah
pada masa kemajuan di segala bidang ini, termasuk juga bidang pendidikan anak,
telah didapati berbagai cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang khas.
b.
Sumber persoalan terletak dalam
hubungan antara orangtua dengan anak.
Sumber
persoalan yang terletak pada orangtua dalam hubungannya dengan anak. Antara
lain, salah penilaian orangtua mengenai anak. Sering orangtua menyangka bahwa
anak sudah mengerti segala sesuatu yang disampaikan kepadanya, karena anak
sudah berbicara seperti orang dewasa. Padahal belum tentu anak dapat menangkapnya
secara keseluruhan, mungkin hanya sebagian kecil saja yang dimengertinya.
Tambahan pula antara dapat mengerti dan dapat melaksanakan masih terletak jurang
perbedaan antara alam anak dengan alam orang dewasa. Seringpula orangtua tidak
menyadari “jurang” tersebut sehingga anak kurang “dikenalnya". Ada pula orangtua
yang mengharapkan hasil yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan anak. Tidak
terpenuhinya harapan-harapan orangtua menimbulkan kekecewaan-kekecewaan, baik
di pihak anak maupun di pihak orangtua.
Hal
ini dapat diatasi dengan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kemampuan anak
pada umumnya dan kemampuan anak pada khususnya.
c.
Sumber persoalan terletak pada hubungan
antara anak dengan guru, atau dengan anak-anak lainnya.
Sumber persoalan
yang terletak pada hubungan antara guru dengan anak, hubungan anak dengan
murid-murid lain, dan lingkungan sekolah umumnya. Guru dan murid-murid sekelas,
besar peranannya terhadap anak. Guru dapat merangsang kegiatan anak dalam hal-hal
belajar dan kegiatan-kegiatan lain di sekolah. Sebaliknya, hubungan guru dengan
anak dapat pula mematahkan semangat belajar anak bila terjadi kesalahpahaman pada
salah satu pihak, baik dari pihak murid maupun dari pihak guru.
Demikian pula
teman-teman sekelas, dapat memberi pekan terwujudnya kegelisahan orangtua
karena anak kurang untuk belajar rajin-rajin. Sebaliknya pengaruh beberapa teman
sekelas dapat juga sedemikian menekan anak, sehingga ia tidak dapat belajar lagi
di sekolah maupun di rumah.
Dari ketiga kelompok
sumber persoalan yang menyebabkan terwujudnya kegelisahan orangtua karena anak kurang
berhasil di sekolah ini, nyatalah betapa sangat diperlukan cara-cara penelitian
persoalan yang mendalam. Penelitian yang mendalam harus dilakukan terhadap
anak. Bukan hanya anak saja secara terpisah, melainkan anak dalam hubungannya
dengan orangtua, saudara-saudaranya, anggota-anggota keluarga lainnya yang
tinggal serumah, guru, dan teman-teman.
Dalam menanggulangi
persoalan-persoalan anak sehubungan dengan prestasinya di sekolah, maka
peneropongan dari persoalan seolah-olah melalui tiga tahap:
I.
Pada tahap pertama anak itu diteliti,
apakah ada kekurangan-kekurangan, penyimpangan-penyimpangan yang dapat
diperbaiki untuk mengatasi persoalan. Apabila tidak ditemukan suatu kekurangan
pun pada anak maka dimulai tahap kedua.
II.
Anak dilihat dalam hubungannya dengan
orangtua dan anggota-anggota keluarga lainnya. Anak dilihat dalam lingkungan
keluarga, sebagai anggota kelompok kesatuan masyarakat terkecil yang harus memenuhi
tugas-tugas dan harapan-harapan kelompoknya, harapan-harapan orangtuanya. Bila
ternyata hubungan antara orangtua anak dan dengan anak-anak lainnya tidak menimbulkan
kesulitan apa-apa barulah peneropongan tahap terakhir dimulai.
III.
Di sini khususnya dilihat bagaimana
peranan suasana sekolah terhadap anak dengan bagian-bagian pentingnya yakni
hubungan guru dengan anak. Bagaimana pribadi guru dalam pandangan mata anak.
Bagaimana sifat-sifat teman-teman sekelas yang duduk dekat anak ini. Apakah ada
murid-murid yang menguasai kelas dalam arti yang merusak suasana baik di kelas.
Dengan penyorotan
persoalan anak secara mendalam dan usaha-usaha untuk menanggulangi sumber
persoalannya, diharapkan anak dapat mengembangkan kemampuan dan bakat-bakatnya sebaik
mungkin.
[Download]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar