Kamis, 13 Agustus 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Suksesi Da'wah Para Sunan

Dalam Kropak Farara (Lontar Ferrara) -sebuah catatan sejarah Italia tentang Babad Tanah Jawa- yang disusun di masa Sultan Agung Hanyokro Kusumo disebutkan tentang sejarah da'wah Nusantara.

Da'wah Nusantara dimulai dari "seekor Hud hud" bernama Ibnu Batutah.

Saat mendarat di Samudra Pasai tahun 1320-an, Ibnu Batutah menuliskan catatan perjalanannya.
"Aku mendarat di sebuah negeri yang sangat indah. Pulau yang sedang kudatangi ini mengingatkanku akan Andalusia. Berhutan-hutan, bergunung-gunung, begitu cantik." Maka dikenal nama pulau tersebut sebagai pulau Andalas (Sumatera).

"Aku mendengar ada pulau di tengahnya. Pulau yang jika hujan turun, jelai-jelaian sumber pangan berebut untuk tumbuh, pulau yang sangat subur, dan di sana paling padat penduduknya. Pulau itu namanya Yawaddi (Jawa Dwipa)."

"Kalau engkau berjalan ke Timur maka konon di sana sumber segala wangi. Dan kehangatan rempah-rempah yang pulau-pulau itu setiap pulaunya terdapat raja." Maka pulau itu disebut Jazirotul Muluk (Maluku).

"Kalau engkau pergi ke Timur lagi, maka engkau akan bertemu dengan orang-orang yang ditemui Dzulqornain di suroh al-Kahfi, mereka nyaris tidak berpakaian." Maka pulau itu dinamakan Jazirotul 'Uryan (jaziroh telanjang) yang dahulu kita sebut dengan Irian.

Laporan perjalanan Ibnu Batutah tersebut dibaca seorang Sultan yang sedang meningkat pesat kekuasaannya, namanya Muhammad I; sultan Turki 'Utsmani (kakek dari Muhammad al-Fatih).

Langkah Muhammad I adalah segera menyusun tugas untuk para ulama yang diambil dari berbagai negeri dengan spesialisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan Nusantara.

Inilah pemetaan yang luar biasa yang dilakukan Ibnu Batutah dan disikapi dengan perencanaan yang sangat hebat dari Muhammad I.

Untuk kebutuhan pulau Yawaddi yang paling padat penduduknya, berada di tengah-tengah, strategis untuk da'wah itu, penduduknya agraris, hanya mengandalkan hujan dalam pengelolaan kekayaan alamnya maka dikirimlah seorang ahli irigasi sekaligus 'alim bernama Maulana Malik Ibrohim. Di perbatasan Lamongan dan Gresik, beliau membangun sebuah prototype teknik irigasi berupa bendungan kecil untuk mengairi beberapa petak sawah di mana padi dapat ditanam sepanjang tahun.

Kemudian dilaporkan juga bahwa karakteristik penduduk di pulau Yawaddi itu mendewa-dewakan pepohonan, hutan, gunung-gunung, batu-batu, dan percaya pada dukun sakti maka dikirim Maulana Maghribi I -asal Maroko- di mana beliau seorang ahli ruqyah yang berpostur gemuk-besar. Beliau ditugaskan berda'wah di pedalaman pulau Yawaddi yang agraris di mana beras merupakan makanan pokok yang tidak familier untuk beliau. Maka beliau membuat roti yang serupa mungkin dengan daerah asalnya. Oleh Maulana Malik Ibrohim, Maulana Maghribi I dibekali dengan tepung beras untuk pengganti bahan makanan pokoknya. Hingga saat ini, di daerah Klaten diperingati haul Ki Ageng Gribig (Maulana Maghribi I) dengan sajian kue apem (makanan yang diserupakan dengan makanan pokok di Maroko). Dalam kisah pewayangan Jawa ciptaan Sunan Kalijogo, tokoh Maulana Maghribi I ini disebut "Semar" yang sangat bijak.

Kemudian dikirim pula Muhammad al-Baqir (di Jawa disebut "Syekh Subakir") seorang ahli antropologi dengan ciri fisik berbadan jangkung dan berhidung mancung. Beliau petakan karakteristik masing-masing masyarakat di seluruh Jawa. Beliau datangi beberapa gunung untuk melihat dari atas landscape wilayah untuk mendesain pendirian kota di masa yang akan datang. Terakhir, beliau meninggal di gunung Merapi. Masyarakat Merapi menyebutnya "mbah Petruk". Bahkan sampai sekarang, masyarakat Merapi menyebutkan bahwa penunggu gunung Merapi adalah "mbah Petruk".

Lalu dilaporkan bahwa kerajaan Majapahit yang sedang berjaya, tengah mengalami kerapuhan dari sisi manajemen kenegaraan. Maka dikirimlah seorang ahli tata negara -atas surat permohonan dari Maulana Malik Ibrohim- bernama Maulana 'Ali Rahmatulloh; orang Jawa menyebutnya "Raden Rahmat". Beliau mendirikan akademi tata negara di Ampel Denta, Surabaya. Di sanalah Brawijaya V (raja Majapahit) menyekolahkan para pangeran untuk belajar ilmu tata negara, sehingga masyarakat mengenalnya sebagai Sunan Ampel.

Sunan Ampel merupakan keponakan dari raja Brawijaya V dari istrinya yang merupakan putri Champa (kerajaan Jeumpa, Aceh).

Kemudian dilaporkan bahwa kerajaan Majapahit juga sedang krisis tentara. Maka dikirimlah Sunan Ngudung (nama aslinya sedang dilacak) berasal dari Palestina yang beliau ini seorang trainer kemiliteran, ahli strategi perang, sekaligus 'alim. Beliau mempunyai anak Maulana Ja'far ash-Shodiq, di mana Maulana Ja'far ash-Shodiq berikutnya mendirikan kota Quds (Kudus) dan mendirikan masjid yang beliau namai masjidil Aqsho.

Di sanalah nanti berdiri kesultanan Demak. Para ulama menyebutkan bahwa kesultanan Demak sangat memahami futuhat dengan kejayaan dan keberhasilannya mengirim 300 kapal perang melawan Portugis di Malaka tetapi sampai sekarang tidak pernah diketemukan istana raja Demak.

Para sejarawan mengatakan bahwa Sultan-sultan Demak sangat bersahaja. Mereka membangun istana dan rumah tidak beda dengan rumah rakyatnya yang akan hilang seiring pergantian masa. Para Sultan lebih mementingkan masjid sebagai sentral pemerintahan. Sangat kontras dengan kerajaan Majapahit yang bobrok tetapi pejabatnya hidup bermewah-mewah.

Maka tim da'wah yang dikenal dengan "Wali Songo" ini adalah tim da'wah yang belum ada padanan kesuksesannya di dunia hingga kini. Hanya dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun, sebuah imperium yang berdasar Hindu-Buddha berubah "convert" semua penduduknya menjadi Muslim.

1 komentar:

  1. Sangat bermanfaat sekali untuk menambah wawasan kita tentang agama Islam yang masuk ke Nusantara tercinta ini.

    BalasHapus