Minggu, 23 Agustus 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Atribusi Islam di Jawa

Seperti lazim kita kenal bahwa masyarakat Jawa sangat identik dengan 'tafsir'. Dalam istilah -yang sedikit bercanda, kita sebut sebagai "othak-athik gathuk; dihubung-hubungkan". Begitu juga melalui jalan ini pula nilai-nilai Islam pelan-pelan dilesakkan dalam nadi kehidupan masyarakat Jawa.

Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu tepat ditandatanganinya perjanjian Gianti yang membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Karena latar belakang politik yaitu perang saudara yang makin memanas antara Pangeran Aryo Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono II, akhirnya Kompeni berusaha menengahi sekaligus menjalankan taktik licik Verdeel en Heers membagi dan menaklukkan atau yang lebih tenar dengan sebutan Devide et Impera. Belanda kompeni memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram agar kekuasaannya terpecah belah sehingga lebih mudah dikuasai. Melalui perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta dan kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sementara Sinuhun Paku Buwono III berkuasa di Surakarta. Masyarakat di kedua wilayah ini lalu bertumbuh dengan adanya ‘caranya’ masing-masing. Mulai dari cara pandang, cara hidup, cara bicara, cara berbusana sampai pada seni gamelan, dan seni tarinya.

Ketika Surakarta menggunakan beskap (Belanda= beschaafd) sebagai bentuk duplikasi pakaian pasukan Napoleon, Sultan Hamengkubuwono I membuat baju disebut Surjan (Arab= siroojan) yang mengandung arti bahwa sang pemakai harus menjadi pelita di tengah masyarakat.

Blangkon Jogja pun sisi belakang dipertahankan menggunakan mondolan/tonjolan (Arab= mindholah) yang bermakna sang pemakainya menjadi payung pengayom bagi masyarakat.

Bebet, bahwa di perut dan bawah perut adalah sumber nafsu, maka harus di bebat untuk dikendalikan. Dan nafsu tersebut di bebat dengan motif Parang Rusak Barong menanjak (lereng). Menurut seorang Romo, konon motif Parang Rusak Barong tersebut adalah kaligrafi surat an-Nazi'at ayat 40-41:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
"Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Robbnya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya."

Bahkan akulturasi nilai-nilai tauhid sangat kental dalam ukiran di keraton Jogja, bahwa ornamen ukiran di tiap tiang keraton terdapat ilustrasi lafazh Alloh di sisi atas tiang dan ilustrasi lafazh Muhammad di sisi bawah tiang.

Sampai Hamengkubuwono IV, kurikulum pendidikan untuk calon Sultan terdapat mata pelajaran bahasa Arab. Sehingga, sampai Sultan Hamengkubuwono IV, semua Sultan fasih berbahasa Arab.

Dalam alur perjuangan, salah seorang menantu Hamengkubuwono II adalah seorang Sayyid bermarga as-Saqof (as-Segaf) dari Hadromaut. Di mana di kemudian hari, Sayyid ini di basmi Belanda karena terbongkar sebagai penyandang dana perjuangan Diponegoro. Sampai sekarang, peran Sayyid tersebut di abadikan menjadi nama tempat "Sayyidan" di Jogja (bukan "Kauman" sebagaimana umum disebut untuk perkampungan Arab di wilayah lain).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar