Kamis, 13 Agustus 2015

Kronik Islamisasi Nusantara; Teori Masuknya Islam di Nusantara

1. Gujarat
Seperti dikenalkan dalam buku-buku sejarah Indonesia dari produk zaman Orde Baru, bahwa asal mula Islam masuk di Indonesia adalah melalui pedagang dari Gujarat (India) pada abad ke-13. Teori ini disebut Teori Gujarat.

Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam masuk Nusantara tak mungkin langsung dari jazirah Arab tanpa melalui tasawuf yang berkembang di India.

Menurut Snouck, para pedagang dari Gujarat pertama masuk melalui kesultanan Samudra Pasai.

Selain alasan trend tasawuf di India, Snouck juga menyajikan alasan lain, yakni mengacu pada corak budaya Indonesia yang akulturatif (persenyawaan material) dan sinkretis (persenyawaan budaya-spiritual).

Alasan berikutnya adalah ditemukannya makam Malik al Saleh yang wafat pada tahun 1297 dengan corak nisan yang Hinduistis.

Terakhir, adalah didasari oleh hubungan bilateral (dari bidang ekonomi) kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan India yang telah berlangsung lama.

Snouck tidak sendiri dalam mengangkat teori ini. Terdapat beberapa tokoh yang sependapat dengan Snouck, yakni Clifford Geertz -seorang berkebangsaan Amerika yang mencetuskan klanisasi (memilah-milah) golongan Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Dan Harry J. Benda (Amerika) yang menerbitkan buku hasil disertasinya berjudul “Bulan Sabit dan Matahari Terbit” dan “Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin” karya Mitsuo Nakamura dari Jepang.

Kelemahan teori ini, Snouck tidak menjelaskan di Gujarat menganut mazhab apa dan di Samudra Pasai berkembang mazhab apa. Mungkinkah Islam masuk ke Samudra Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik atau kesultanan?

2. Persia
Tokoh Husein Djojodiningrat -seorang sejarawan Indonesia didikan Belanda- mencetuskan kajiannya bahwa masuknya Islam di Nusantara bukan melalui Gujarat, melainkan dari Persia (Iran/Irak) pada abad ke-13. Sehingga teori ini disebut Teori Persia.

Alasan beliau mengangkat teori ini adalah adanya kesamaan budaya antara Indonesia dengan Persia, yakni kesamaan perayaan memperingati wafatnya Hasan-Husain seperti halnya di Persia. Pun di Indonesia terdapat tokoh syaikh Siti Jenar dengan aqidah “manunggaling kawulo gusti; menyatunya Alloh dengan pribadi” yang dibunuh oleh para Sunan seperti halnya tokoh al-Hajjaj ibn Yusuf. Selain itu, adanya kesamaan sistem baca atau mengeja huruf hijaiyah (= fat-hah tanwin, kasroh, dhommah).

Teori ini didukung oleh Prof. Dr. Abubakar Atjeh.

Dengan mengangkat teori ini, tokoh-tokoh tersebut ingin mengatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia bermazhab Syi'ah.

Teori ini mempunyai titik lemah pada kenyataan sejarah bahwa tak semua rakyat Persia saat itu bermazhab Syi'ah. Khilafah Abbasiyah di Irak umumnya penganut ahlussunnah wal jama'ah.

3. Cina
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya berjudul “Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara” menyebutkan bahwa Sultan Demak adalah peranakan Cina. Bahkan menyebutkan para Wali Songo adalah peranakan Cina. Beliau mendasarkan teori Cina ini dari Kronik Klenteng Sam Po Kong.

Dalam “Kronik Klenteng Sam Po Kong”, Sultan Demak disebut Panembahan Jin Bun. Aryo Damar (pengasuh Jin Bun saat di Palembang) bernama Swan Liong. Sultan Trenggono disebut Tung Ka Lo. Sunan Ampel disebut Bong Swi Hoo. Sunan Gunung Jati disebut Toh A Bo.

Tak semua tokoh disebutkan nama Cinanya. Hal ini yang menjadikan Prof. Dr. G. W. J. Drewes (Guru Besar Islamologi Univ. Leiden) meragukan teori ini. Beliau menilai banyak kelemahan pada data dan sistem interpretasinya. Selain itu, Slamet Muljana tidak menjelaskan secara eksplisit tahun atau abad masuknya Islam -versi teori ini- ke Indonesia.

4. Makkah
Berbeda dengan ketiga teori di atas, Prof. Dr. Hj. Abdul Malik bin Abdul Karim (buya HAMKA) memaparkan teorinya dalam “Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Univ. Sumatera Utara.

Menurut beliau, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Teori beliau disebut Teori Makkah.

Buya mendasarkan alasan teorinya pada beberapa bukti, yakni terjalinnya kontak dagang Indonesia-Arab yang telah lama terjalin sejak abad ke-2 sebelum Masehi (saya belum mendapatkan bukti-bukti penguat untuk alasan yang ini, bahkan dari dosen di ma'had waktu itu). Selain itu, terjadinya kontrak yang lebih konkrit dengan raja Ta Ceh (Mu'awiyah) yang mengirimkan duta ke Jawa Dwipa yang saat itu di bawah kuasa Raja Kalingga dan Ratu Shima.

Seperti kita ketahui, Raja Kalingga dan Ratu Shima telah menerapkan hukum potong tangan bagi sesiapa yang mengambil barang tanpa hak; meski barang itu tergeletak di tengah keramaian.

Ekses dari penegakan hukum Islam tersebut mengakibatkan sebagian raja-raja Hindu menyingkir ke lereng Tengger dan Bali.

Beliau juga mendasarkan teori ini dari buku “Berita Cina Dinasti Tang” yang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatera. Sehingga berdirinya kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-13 bukanlah awal masuknya Islam, melainkan perkembangan agama Islam.

Selain itu, Buya memungkasi dalilnya dengan menjelaskan bahwa mazhab yang dominan di Indonesia adalah mazhab Syafi'i, di mana mazhab ini berhasil mencapai puncak keemasannya pada abad ke-7/8 M di Arab.

Teori Buya Hamka ini didukung oleh J. C. Van Leur dari Belanda dan Ahmad Mansur Suryanegara (Guru Besar Univ. Padjadjaran).

Satu lagi teori hasil analisis sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. N. A. Baloch dari Pakistan memaparkan dalam bukunya “Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia”, bahwa masuknya Islam di Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim yang memiliki keahlian navigator atau muallim sekaligus wirausaha melalui penguasaan maritim. Teori ini disebut Teori Maritim.

Melalui aktivitas inilah Islam diperkenalkan di tempat-tempat mereka singgah. Teori ini menyebutkan bahwa proyek da'wah ini terjadi pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M.

Proses pengenalan Islam ini berlangsung selama 5 abad. Kemudian mulai abad ke-13 terjadi pengembangan Islam hingga ke pedalaman oleh para wirausahawan pribumi. Sedangkan ekspansi Islamisasi di Aceh terjadi pada abad ke-9 M.


Teori Gujarat sejatinya salah satu bentuk pembelokan sejarah oleh kaum Orientalis.

Snouck adalah seorang arsitek.

Beliau pribadi yang cerdas. Pada usia 25 tahun sudah menyabet gelar Doktor dengan disertasi Fiqih Haji. Beliau juga politikus ulung dengan nama samaran 'Abdul Ghofar.

Sahabat Snouck yang namanya Reflin berkomentar, “Yang saya tahu tentang diri Snouck, sampai matinya ia bukan seorang Muslim!” walau beristrikan anak kyai.

Doktrin Snouck untuk mengendalikan pergerakan Islam adalah “Beri kebebasan berbicara agama. Tapi bila berbicara politik, singkirkan!”

Selain itu, ada satu doktrin Snouck yang “sukses” sampai sekarang: Ummat Islam harus digolong-golongkan!

1 komentar:

  1. Snouck itu sangat berbahaya sekali. Bahkan sampai sekarang teori dan strateginya masih digunakan.

    BalasHapus