Selasa, 24 November 2015

Ajaran Rosululloh SAW tentang Cara Mendidik Anak

Dalam suatu majelis Rosululloh saw mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Alloh SWT memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rosululloh, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” (HR. Abu Daud)

Setiap orang tua pasti ingin memiliki anak-anak yang berperilaku baik, patuh pada orang tua, dan pandai bersosialisasi. Harapan-harapan tersebut akan mudah dicapai jika orang tua mampu membimbing anak untuk mewujudkannya. Lingkungan keluarga memiliki pengaruh dan peran besar dalam pembentukan karakter anak. Keluarga yang saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menghargai satu sama lain akan menciptakan kondisi yang memudahkan anak untuk berperilaku baik sesuai harapan kedua orang tuanya. Saya akan sharing informasi dan pengalaman dengan teman-teman bagaimana caranya agar kita bisa mewujudkannya.

Kemampuan anak untuk bersosialisasi dan berperilaku baik sesuai dengan harapan orang tua dan lingkungan tidak terlepas dengan kemampuan anak mengkomunikasikan perasaannya (emosi). Mengapa emosi? Ya, ternyata emosi memiliki peran penting terhadap perkembangan anak, khususnya perkembangan sosial anak.

Emosi merupakan bentuk komunikasi anak dengan orang lain. Melalui ekspresi emosi yang ditampilkan anak, maka seorang anak dapat memperlihatkan kebutuhannya, keinginannya, harapannya, dan perasaannya kepada orang lain, khususnya kepada orang tuanya. Anak yang memiliki ketegangan emosi akan mempengaruhi keterampilan motorik anak. Misalnya: saat marah, anak menjadi susah menulis. Selain itu juga akan mempengaruhi konsentrasi dan daya ingatnya. Misalnya: anak yang lagi kesal akan sulit untuk menghapalkan doa-doa pendek, sebaliknya anak yang sedang senang lebih mudah menghapalkan surat-surat pendek yang kita ajarkan.

Tingkah laku emosi dipengaruhi oleh penilaian lingkungan sosial mengenai dirinya dan penilaian diri anak terhadap dirinya sendiri. Masih banyak orang tua yang mengkaitkan perasaan tidak menyenangkan (marah, menangis, iri) dengan watak anak yang buruk. Si adik yang iri dengan kakaknya, dianggap memiliki watak ‘pencemburu’. Sedangkan kakaknya yang berusaha mempertahankan barang yang dimilikinya dikatakan sebagai kakak yang tidak mau mengalah dengan adiknya (egois).

Selain itu orang tua kerap kali menyebut anaknya ‘nakal’ karena sering merusak barang dan menyusahkan orang tuanya. Anak yang terus-menerus dikatakan nakal, akan semakin membuat anak memandang bahwa dirinya memang nakal. Ini akan menjadi konsep diri anak. Ketika anak menilai dirinya sebagai ‘aku adalah anak nakal’, maka anak cenderung bertindak ‘nakal’ sesuai dengan konsep dirinya kalau dia benar-benar anak yang ‘nakal’.

Segala emosi yang menyenangkan (senang, bangga, gembira) atau tidak menyenangkan (sedih, marah, iri, kecewa, takut) akan mempengaruhi anak ketika melakukan interaksinya dengan lingkungan sosial. Seorang anak yang memiliki pemahaman mengenai “apa yang sedang dia rasakan” akan memudahkan anak untuk mengenali perasaannya, mengatur perasaannya, menenangkan perasaannya, mengekspresikan perasaannya dengan tepat dan menyelesaikan sendiri masalahnya.

Pengulangan reaksi emosi anak yang ‘berkembang’ ini akan menjadi kebiasaan dan menetap menjadi karakternya. Namun, kemampuan pengelolaan emosi setiap anak ini berbeda-beda, tergantung dengan usia, pola asuh orang tua, dan kondisi psikologis anak saat stimulasi emosi itu terjadi. Oleh karenanya, pengelolaan emosi anak harus terus dilatih.

Emosi biasanya dikaitkan dengan perasaan marah. Padahal bukan hanya itu, makna emosi lebih luas lagi. Emosi merupakan perasaan seseorang yang ditujukan kepada orang lain atau terhadap sesuatu. Emosi dapat terlihat ketika: anak merasa senang pada sesuatu yang disukainya, anak marah kepada seseorang yang mengganggunya, anak terkejut karena sesuatu yang tidak biasa, ataupun anak takut terhadap hal yang menakutkan. Emosi anak sangat mirip dengan orang dewasa. Namun berbeda dari cara berpikir mereka yang masih sederhana. Selain itu, anak juga belum mengerti perbedaan antara ‘mengalami’ perasaan dan mengekspresikannya dengan tepat supaya bisa bertingkah laku mengendalikan emosinya.

Anak akan belajar mengekspresikan perasaannya, dari respon dan tanggapan yang diberikan orang tuanya. Seringkali orang tua sangat cepat ‘bereaksi’ terhadap ekspresi emosi anak dengan langsung memberi nasehat, mengomeli bahkan memarahinya. Saat mengetahui anaknya bertengkar dengan adiknya, orang tua langsung buru-buru melerai dan menasehati anaknya. Anak yang mengeluh bahwa ia tidak suka sarapannya, langsung dinasehati agar segera menghabiskan makannya tanpa banyak mengeluh. Anak yang marah karena tiba-tiba ibunya mematikan TV yang asyik dia tonton, langsung ibu balas memarahi anak karena terlalu lama menonton. Dan anak yang menangis karena berpisah dengan temannya, orang tua segera menyuruh anaknya berhenti menangis dan menasehati supaya jangan sedih berlebihan.

Orang tua kadang kurang bisa menerima emosi tidak menyenangkan yang ditampilkan anak. Seperti pada pernyataan berikut ini: “Sudah! Jangan nangis! Anak sholih itu nggak cengeng lho”, “Ah masa gitu aja kamu nggak berani sih!”, “Sudah, nggak usah dipikirkan! Masa’ hilang mainan aja kamu nangis”, “Kakak ngalah dong sama adik”, “Kamu ini nakal banget sih, berani marah-marah sama ayah ya”, dan seterusnya. 

Seorang anak yang mengalami emosi tidak menyenangkan, sebenarnya ia merasa  ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam dirinya. Perasaan ini akan mempengaruhi perilaku yang ditampilkan anak. Biasanya tampilan perilaku anak yang tampak di mata orang tua adalah perilaku yang dianggap ‘tidak baik’, (misalnya: anak menangis, marah-marah, membentak, merusak barang). Orang tua yang segera menasehati dan memarahi anak, hanya akan membuat anak makin merasa tidak nyaman, malas berbicara dan menghindari orang tua, atau malah makin meletup-letup emosinya.

Anak akan merasa ‘baik’ saat orang tua mau menerima emosinya, menghargai kondisinya, dan memberikan respon yang tepat. Anak hanya ingin perasaannya ‘di akui’. Ketika kita dapat mengakui perasaannya, maka anak akan belajar mempercayai perasaannya, termasuk menjadi pandai mengatur emosi mereka dan menyelesaikan masalahnya. Pada saat kita berusaha untuk menerima emosinya, mungkin akan membutuhkan beberapa menit untuk bisa membuat anak belajar ‘menenangkan’ perasaannya sendiri. Bila anak sudah merasa ‘tenang’, anak akan lebih mudah untuk berfikir dengan jernih mengenai apa yang dirasakan, mengapa dia bisa mengalami perasaan itu, apa yang terjadi dengannya, dan bagaimana caranya agar dia bisa menyelesaikan masalahnya.

Kunci sukses untuk bisa melatih anak-anak supaya memiliki kemampuan mengkomunikasikan perasaannya (emosi) dengan tepat dan bijak adalah kita belajar berempati mendengarkan anak (empathic listening). Empati itu tidak sama dengan simpati. Simpati berarti “feeling for someone” sedangkan empati adalah “feeling as someone”. 

Dalam empati, terdapat dua komponen penting, yaitu: (1) affective empathy: kemampuan untuk mengidentifikasikan dan melabelkan perasaan anak. Kita bisa mencoba atau membayangkan seolah-olah berada di posisi anak kita. Dengan merasakan apa yang dirasakan anak, maka kita akan lebih mudah untuk memahami perasaan dia sebenarnya dan menghargai kondisinya saat itu. Hal ini bagus untuk mengasah empati kita kepada anak.

(2) cognitive empathy: kemampuan untuk mengasumsikan sesuatu dari sudut pandang atau perspektif anak. Dengan berempati, maka kita lebih mudah menerima pendapat anak dan menghargai usaha yang dilakukan anak untuk menyelesaikan masalahnya.

Mendengarkan anak dengan empati (empathic listening), berarti kita menerima emosi anak dan memberikan respon yang tepat terhadap apa yang dirasakan anak. Menerima emosi anak, berarti kita menerima emosi apapun yang dirasakan anak saat itu dan memberi dia kesempatan untuk mengenali perasaannya sendiri. 

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua agar menjadi seorang pendengar yang berempati (empathic listener) terhadap anak-anaknya, yaitu: 1) menggunakan panca indra kita untuk mengidentifikasi dan mengamati petunjuk dan isyarat fisik dari emosi anak (lihat wajahnya, tangannya, suaranya, desahan napasnya);

2) menggunakan imajinasi kita untuk melihat situasi tersebut dari sudut pandang anak (misalnya: membayangkan gimana ya rasanya kalau aku berada di posisi dia);

3) menggunakan kata-kata untuk merumuskan kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam. Artinya, kita mencoba merefleksikan kembali apa yang dirasakan anak dengan ungkapan yang tepat (“mama lihat kamu lagi kesal banget ya?”);

4) membantu anak memberi nama emosi yang mereka rasakan tersebut (misalnya: “kamu kecewa ya bu guru hanya memberi nilai 8 untuk prakaryamu”);

5) menggunakan hati untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak.

Contoh ibu yang tidak mendengarkan anak dengan empati:

“Pensil merahku diambil orang, ma,” keluh anaknya dengan suara pelan, wajah menekuk ke bawah.

“Ah, bukannya kamu hilangkan?” tanggap sang ibu tidak memahami perasaan anaknya yang lagi kesal.

“Nggak, kok. Waktu aku ke toilet, masih ada di atas meja,” jelas sang anak dengan suara meninggi.

“Lagian kamu sih naruhnya sembarangan,” timpal sang ibu langsung menilai sang anak ceroboh.

Sang anak diam saja. Wajahnya cemberut dibarengi berat tarikan nafasnya.

“Barang-barangmu diambil orang melulu,” tambah sang ibu. “Sudah berapa kali, coba? Mama sering bilang, ‘Coba simpan barang-barangmu di laci meja!’ Kamu sih nggak pernah merhatiin!” tambah sang ibu mulai menasehati anak dan sedikit mengomeli anak.

“Ah, mama rese!” protes sang anak dengan wajah memerah, alis naik ke atas, dan nada suara tinggi.

“Lho kok kamu malah marah sih!” sergah sang ibu terpancing untuk memarahi anak.

Contoh ibu yang mendengarkan anak dengan empati:

Anak: “Pensil merahku diambil orang, ma." (perasaan anak pasti lagi kesel)

Ibu: “Oh kamu lagi kesal, ya?” (sambil menatap mata anak)

Anak: “Padahal sebelum ke toilet, aku letakkan pensilnya di atas meja. Eh ada yang ngambil deh.” (memperhatikan wajah dan bahasa tubuh anak yang lagi kesel)

Ibu: “Hmmm kecewa banget ya kalau barang kita diambil orang?”

Anak: “Sudah tiga kali pensilku diambil orang.”

Ibu: “Waduh...”

Anak: “Aku tahu, mulai sekarang pensilku mau kusimpan di dalam laci meja.”

Ibu: “Nah, gitu dong, kak.” (sambil tersenyum)

Rosululloh berkata, “Siapa yang memiliki anak, hendaklah ia bermain bersamanya dan menjadi sepertinya. Siapa yang mengembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau (bercanda) untuk menyenangkan hati anaknya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Alloh ‘Azza wa Jalla” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
~~~~~~~~~~~~~

Diskusi dan Tanya Jawab:

1. Bagaimana caranya mengatasi sifat takut ‘Joker’ pada seorang anak?

Jawab:
Usia anak-anak kerapkali memang mengalami rasa takut, dan perasaan takut terhadap sesuatu yang menakutkan. Langkah awal adalah kita harus bisa menerima rasa takut anak. Setelah itu sebaiknya anak di ajak ngobrol dan ditanya, apa yang membuat ia takut terhadap ‘Joker’ (musuh Batman). Ketakutan anak akan badut Joker kemungkinan karena wajahnya yang menakutkan (tokoh kejahatan) dan riasan wajah yang berlebihan. Dengan bercerita kepada orang tua, maka anak akan bisa mengelola rasa takutnya tanpa membuat anak fobia badut (Coulrophobia) hingga dewasa. Kita juga bisa berbagi tentang rasa takut yang pernah kita alami, sehingga si anak merasa dihargai dan diakui ketika dia memiliki rasa takut. Saat anak mengetahui pengalaman ibu dengan pengalaman takutnya dan bagaimana mengatasi rasa takut itu, maka si anak akan belajar dari pengalaman ibunya. Hal yang terpenting adalah kita memiliki cara yang tepat untuk menghargai rasa takut pada anak, serta mengarahkan si anak untuk mengatasi rasa takutnya.

2. Beda empati (feeling as someone) dengan simpati (feeling for someone) dari sisi bahasa tampak serupa tapi tak sama. Dan beda affective empathy dengan cognitive empathy, contoh realnya apa, mbak? Bayangan saya, affective lebih mengarah ke sikap dan cognitive lebih ke pemahaman konsep.

Jawab:
Simpati: ketika kita menyukai seseorang, (misalnya: suka dengan kesholihannya atau kebaikannya), maka kita bersimpati terhadap orang tersebut. Saat kita menyukai kecerdasan dan kreatifitas anak kita, maka kita bersimpati menyukai kelebihan yang dimiliki anak.

Empati: kita merasakan apa yang dia rasakan, (misalnya seorang anak senang karena mendapatkan pujian dari gurunya), maka kita ikut merasakan hal yang sama seperti apa yang anak rasakan. Saat anak sedih berpisah dengan teman yang disayanginya, maka kita bisa merasakan ‘rasa kehilangan’ yang dirasakan anak kita.

Ketika kita berempati dengan anak, ada dua proses yang terjadi, yaitu proses affective empathy dan cognitive empathy. Kalau cognitive empathy, ibu bisa paham anak marah karena diganggu temannya di sekolah atau anak sedih tidak menang lomba lukis sehingga wajahnya tampak murung dan menjadi pendiam. Sedangkan affective empathy kita bisa merasakan perasaan anak dan menerima apa yang dirasakan anak, seolah-olah kita berada di posisi anak.

3. Mbak, saya menumbuhkan empati pada hubungan kakak adik sering juga luput. Misalnya saat adiknya mencoret gambar kakaknya, mengambil makanan kakaknya, sering kemudian untuk menghindari tidak ribut, saya bilang ke kakaknya, “Ga apa-apa, ya. Mengalah, ya...”

Jawab:
Si adik biasanya belum tahu konsep kepemilikan barang (jika menginginkan barang kakak, harus meminta izin terlebih dahulu) dan perlu ditanamkan mengenai konsep kepemilikan barang adik dan barang kakak. Sehingga penting untuk mengajarkan anak untuk meminta izin jika ingin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Kita juga perlu memberikan teladan kepada anak, jika ingin meminjam pulpen adik,maka juga ibu harus meminta izin kepada adik terlebih dahulu.

Meminta si kakak terus mengalah pada adik merupakan tindakan yang kurang tepat. Perasaan si kakak juga harus kita hargai. Tindakan tepat sebaiknya kita mengarahkan si kakak bagaimana konsep berbagi, tanpa menyalahi perasaan kepemilikannya.

4. Apa keuntungannya anak yang pintar memahami perasaannya? Tumbuh jadi PD kah atau apa, mbak?

Jawab:
Seorang anak yang bisa mengendalikan dan mengenali serta mengekspresikan emosi dengan tepat, akan berdampak pada kemampuannya di segala bidang, terutama dalam hal berteman. Dia akan disukai oleh teman-teman di lingkungannya, lebih mudah berteman, dan mengurangi konflik dengan teman-temannya, serta lebih fokus terhadap proses belajarnya. Dia juga mampu menenangkan dirinya sendiri saat sedang kesal, marah, dan sedih, tanpa dibantu oleh orang lain.

5. Ada sebuah fakta, dimana seorang anak ketika kecil terlihat mampu me-manage emosinya dengan baik, namun ketika menjelang remaja, semuanya tiba-tiba berubah, kelakuannya pun mengecewakan kedua orang tuanya. Nah, bagaimana menyikapi hal ini?

Jawab:
Semakin bertambahnya usia anak, maka pola pikirnya semakin berkembang. Anak remaja mulai memasuki usia untuk mencari jati dirinya. Hal yang tampak dari orang tua adalah anak mulai membantah orang tua, melakukan hal-hal yang dilarang orang tuanya. Melalui pendekatan psikologis, disarankan agar kedua orang tua si anak lebih ‘merangkul’ dan melakukan berbagai pendekatan, mulai dari menganalisis gejala-gejala yang terjadi, hingga mencari penyebab terjadinya perubahan yang terjadi secara drastis di anak. Ini memang memerlukan penanganan dan diskusi yang panjang, dan secara individual antara orang tua dan orang-orang terdekat anak, bahkan pihak-pihak yang mengerti psikologi si anak, akan bersama mencari jalan keluar dan mencari solusi yang terbaik. Namun yang terpenting adalah kita harus memiliki kedekatan emosional dan perhatian untuk bisa berkomunikasi dengan anak remaja kita. 

Kasus-kasus di atas memang tidak hanya dialami oleh satu atau beberapa keluarga, namun juga banyak keluarga mengalaminya. Kondisi dimana orang tua mengalami kekhawatiran, ketika anak hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan pola asuh dan pola didik orang tua. Dengan kata lain, terhadap kondisi ini, diperlukan solusi tuntas yang mampu menyelesaikan permasalahan anak, tidak hanya dari sisi pendekatan psikologi pada akhirnya. 

Sesungguhnya, ada 3 pilar yang setidaknya akan mampu mengatasi kegelisahan orang tua ketika dihadapkan pada hal ini. Yang pertama, orang tua hendaknya sejak dini menanamkan ketaqwaan individu terhadap anak, hingga akhirnya anak akan mampu ‘mengontrol’ dirinya. Ketaqwaan yang dimaksud disini adalah bagaimana anak memiliki perasaan takut terhadap Tuhannya, kapanpun dan dimanapun. Disini diperlukan pembinaan aqidah dan tsaqofah Islam sejak dini, yang akan membentuk kepribadian si anak menjadi kepribadian Islami, yang nantinya akan menjadi pondasi awal bagi anak ketika melangkah ke fase hidup berikutnya.

Selanjutnya adalah lingkungan yang mendukung perkembangan anak. Lingkungan yang dimaksud disini tentunya bukan lingkungan yang rusak dan secara perlahan mengikis kepribadian anak, namun yang diharapkan sejatinya adalah lingkungan yang mendukung kepribadian anak, lingkungan yang khas, dimana masyarakatnya memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama, sehingga anak akan memiliki controlling yang kuat, meski jauh dari kedua orang tuanya. Pilar yang ketiga adalah adanya dukungan dari negara yang menerapkan hukum-hukum positif (baca: hukum-hukum yang berasal dari Alloh sang Pencipta), yang akan tegas mengatur perkara-perkara kriminal seperti pencurian, pembunuhan, narkoba, dan berbagai perkara lain yang mengancam generasi muda (remaja).

Shinta Rini 
(*) disampaikan dalam Kajian Muslimah Antar Negara (Mutiara); Sabtu, 20 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar