Sabtu, 09 September 2017

Alloh dan Hari Akhir

COUNT LEV NIKOLAYEVICH TOLSTOY. Dunia mengenalnya sebagai Leo Tolstoy. Seorang pencerita besar yang dicatat dalam Merriam Webster’s Encyclopedia of Literature sebagai; penulis Rusia, salah satu novetelis terbesar dunia, penulis cerita pendek brilian sebelum akhirnya mapan sebagai novelis ulung Rusia. Karya-karyanya bercorak realis, bernuansa religius, sarat renungan moral dan filsafat.

Mungkin dua karyanya yang paling disebut-sebut adalah novel War and Peace dan Anna Karenina. Tetapi sesungguhnya berderet-deret karya lain yang menggambarkan betapa dalam pemaknaannya tentang kehidupan sosial dan hubungannya dengan nilai-nilai Ilahiyah. Akhir hidup Tolstoy, 20 November 1910, terjadi di sebuah stasiun kecil saat ia meninggalkan keluarga besarnya yang hidup makmur dan isterinya yang bertentangan keyakinan dengannya. Kabar beredar, bahwa interaksi Tolstoy dengan orang-orang Islam selama bertugas sebagai tentara di Kaukasus membawanya memeluk keyakinan baru itu. Walloohu a’lam. Yang jelas, ketika dia ingin menghibahkan hartanya bagi pendidikan para petani di wilayahnya, sang isteri menolak. Adapun nilai Islam yang tidak hanya tersirat, tapi jelas-jelas tersurat dapat dibaca pada ceritanya yang berjudul Ilyas.

Sejenak kita kembarai dunia Tolstoy dalam karyanya yang tak kalah brilian dari kedua masterpiece-nya di muka, yakni The Death of Ivan Ilyich. Oleh kritik cerita, The Death of Ivan llyich, dianggap sebagai salah satu masterpiece aliran realisme psikologis, bahkan mungkin yang paling baik, sangat-sangat mempesona, dan kuat. Ivan Ilyich, seorang birokrat sejati. Luwes, pintar, dan… licin. Caranya menjalin interaksi dengan manusia begitu menarik. Caranya menjilat atasan, caranya menyikut sekawan, dan caranya menginjak yang di bawah begitu anggun, sangat elegan. Kita akan mengutip sebagian cerita untuk menikmati suasananya.
Sebagai hakim pemeriksa, Ivan Ilyich sama anggunnya dan senantiasa memperagakan bakatnya yang luar biasa untuk memisahkan tugas-tugas dari urusan pribadinya dan selalu membangkitkan rasa hormat masyarakat luas seperti tatakala dia melakukan tugas-tugas untuk sang Gubernur. Dia merasa bahwa jabatan hakim ini jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada jabatan terdahulunya. Tentu saja dalam jabatannya yang dulu dia sudah merasa sangat puas dapat mengayunkan langkah-langkahnya dengan lincah, mengenakan seragam indah buatan Sharmer, melewati para klien yang berdebar-debar dan para juru tulis yang duduk-duduk di ruang tunggu, melontarkan lirikan dengki, lalu memasuki ruang sang pemimpin, serta duduk bersamanya, minum teh dan merokok...

Kini sebagai hakim pemeriksa, dia merasa bahwa semuanya tanpa kecuali, termasuk orang-orang yang paling penting dan paling kaya berada dalam cengkeraman kekuasaannya. Dia tinggal menulis kata-kata tertentu pada sehelai surat berkop resmi, orang yang paling penting dan yang paling kaya itu akan dihadapkan sebagai saksi, bahkan tahanan. Dan kalau Ivan Ilyich tidak meminta mereka untuk duduk, mereka harus berdiri di hadapannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan…

Kisah ini dimulai dari pemberitaan tentang kematian Ivan Ilyich akibat penyakit yang tak kunjung sembuh. Lalu alur cerita bergerak lincah, sedikit maju pada lawatan kematian dari teman-teman yang berharap banyak pada perubahan jabatan selepas kematiannya, lalu mundur jauh ke masa muda Ivan Ilyich hingga maju lagi pada bagaimana ia menjalani hidupnya selama ini, terus sampai hari-hari terakhir kehidupannya. Yang menarik adalah apa yang ada di balik kematiannya. Ivan Ilyich sendiri takut mati, disiksa penyakit, terombang-ambing dalam kenangan hidup yang berbolak-balik selama terbaring di ranjang, sementara orang-orang di sekelilingnya berpura-pura ikut berbelasungkawa. Bahkan ia merasa sendiri, di tengah keluarganya yang kini menyikapinya sebagaimana dia dulu menyikapi orang-orang; berakrab-akrab, ada perhatian, namun yang tampak dan terasa adalah penghinaan yang anggun serta kepura-puraan yang dingin.

Bagi saya, membaca The Death of Ivan Ilyich adalah tempat kita mengaca dalam kejernihan tentang bekal yang paling sering terlupakan saat kita menapaki jenjang pernikahan. Apa itu? Iya. Bekal persiapan sosial. Adakah selama ini kita berpikir tentang masalah ini? Saya sendiri merasa, bahwa selama ini banyak hal yang terlewat saya maknai tentang bagaimana nantinya kehidupan kemasyarakatan yang akan saya jalani. Bagaimana saya akan memenuhi hak-hak tetangga saya. Bagaimana saya akan memberi kemanfaatan tertinggi bagi mereka. Bagaimana agar lisan dan tangan tak sampai menyakiti mereka. Bagaimana saya bisa mengikuti mereka dalam kesholihan-kesholihan, atau justru bagaimana saya akan mewarnai lingkungan ini dengan kesholihan nantinya.

Kalau saja ketidakpedulian itu menyelamatkan, tentu saja saya akan tak acuh. Tidak perlu mengurusi orang lain. Pikirkan saja diri sendiri. Ada banyak hal lain yang bisa dikerjakan. Tapi tidak bisa. Bolehlah berhujjah dengan bahwa kita ini makhluk sosial, tidak mungkin bisa hidup sendiri. Itu argumen yang sah. Tapi lemah. Saya lebih memilih keimanan sebagai sebuah pengikat. Al-Imam Malik ibn Anas pernah menyebutkan beberapa hadits sebagai pilar akhlak kehidupan orang beriman. Salah satunya yang berikut ini.

“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik atau diam.” (HR. Muslim)


Ketika pertetanggaan, pelayanan kepada tamu, dan komunikasi sosial dijadikan oleh Sang Nabi sebagai tolok ukur keimanan, saya begitu merinding. Akankah kemudian nilai kita di sisi Alloh ditimbang dari persaksian tetangga-tetangga kita, tetamu kita, dan semua manusia yang pernah berbicara dengan kita? Sungguh begitu menghentak pertanyaan ini, menampar diri, dan memukul-mukul jiwa. Tetapi demikianlah kebenaran. Mintalah orang bertanya tentang kita pada tetangga kita, kemudian mintalah ia melihat raut wajah pertamanya saat menjawab. Mintalah orang bertanya tentang kita kepada orang-orang yang bergaul dengan kita, kemudian mintalah ia memperhatikan ekspresi spontannya.

Kredit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar