COUNT LEV NIKOLAYEVICH TOLSTOY.
Dunia mengenalnya sebagai Leo Tolstoy. Seorang pencerita besar yang dicatat dalam
Merriam Webster’s Encyclopedia of Literature
sebagai; penulis Rusia, salah satu novetelis
terbesar dunia, penulis cerita pendek brilian sebelum akhirnya mapan sebagai
novelis ulung Rusia. Karya-karyanya bercorak realis, bernuansa religius, sarat
renungan moral dan filsafat.
Mungkin
dua karyanya yang paling disebut-sebut adalah novel War and Peace dan Anna Karenina.
Tetapi sesungguhnya berderet-deret karya lain yang menggambarkan betapa dalam pemaknaannya
tentang kehidupan sosial dan hubungannya dengan nilai-nilai Ilahiyah. Akhir hidup
Tolstoy, 20 November 1910, terjadi di sebuah stasiun kecil saat ia meninggalkan
keluarga besarnya yang hidup makmur dan isterinya yang bertentangan keyakinan dengannya.
Kabar beredar, bahwa interaksi Tolstoy dengan orang-orang Islam selama bertugas
sebagai tentara di Kaukasus membawanya memeluk keyakinan baru itu. Walloohu a’lam. Yang jelas, ketika dia
ingin menghibahkan hartanya bagi pendidikan para petani di wilayahnya, sang isteri
menolak. Adapun nilai Islam yang tidak hanya tersirat, tapi jelas-jelas tersurat
dapat dibaca pada ceritanya yang berjudul Ilyas.
Sejenak
kita kembarai dunia Tolstoy dalam karyanya yang tak kalah brilian dari kedua masterpiece-nya di muka, yakni The Death of Ivan Ilyich. Oleh kritik cerita,
The Death of Ivan llyich, dianggap sebagai
salah satu masterpiece aliran realisme
psikologis, bahkan mungkin yang paling baik, sangat-sangat mempesona, dan kuat.
Ivan Ilyich, seorang birokrat sejati. Luwes, pintar, dan… licin. Caranya menjalin
interaksi dengan manusia begitu menarik. Caranya menjilat atasan, caranya menyikut
sekawan, dan caranya menginjak yang di bawah begitu anggun, sangat elegan. Kita
akan mengutip sebagian cerita untuk menikmati suasananya.
Sebagai hakim pemeriksa,
Ivan Ilyich sama anggunnya dan senantiasa memperagakan bakatnya yang luar biasa
untuk memisahkan tugas-tugas dari urusan pribadinya dan selalu membangkitkan
rasa hormat masyarakat luas seperti tatakala dia melakukan tugas-tugas untuk sang
Gubernur. Dia merasa bahwa jabatan hakim ini jauh lebih menarik dan
menyenangkan daripada jabatan terdahulunya. Tentu saja dalam jabatannya yang dulu
dia sudah merasa sangat puas dapat mengayunkan langkah-langkahnya dengan lincah,
mengenakan seragam indah buatan Sharmer, melewati para klien yang berdebar-debar
dan para juru tulis yang duduk-duduk di ruang tunggu, melontarkan lirikan dengki,
lalu memasuki ruang sang pemimpin, serta duduk bersamanya, minum teh dan
merokok...
Kini sebagai hakim
pemeriksa, dia merasa bahwa semuanya tanpa kecuali, termasuk orang-orang yang paling
penting dan paling kaya berada dalam cengkeraman kekuasaannya. Dia tinggal menulis
kata-kata tertentu pada sehelai surat berkop resmi, orang yang paling penting dan
yang paling kaya itu akan dihadapkan sebagai saksi, bahkan tahanan. Dan kalau Ivan
Ilyich tidak meminta mereka untuk duduk, mereka harus berdiri di hadapannya
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan…
Kisah
ini dimulai dari pemberitaan tentang kematian Ivan Ilyich akibat penyakit yang tak
kunjung sembuh. Lalu alur cerita bergerak lincah, sedikit maju pada lawatan kematian
dari teman-teman yang berharap banyak pada perubahan jabatan selepas kematiannya,
lalu mundur jauh ke masa muda Ivan Ilyich hingga maju lagi pada bagaimana ia menjalani
hidupnya selama ini, terus sampai hari-hari terakhir kehidupannya. Yang menarik
adalah apa yang ada di balik kematiannya. Ivan Ilyich sendiri takut mati,
disiksa penyakit, terombang-ambing dalam kenangan hidup yang berbolak-balik selama
terbaring di ranjang, sementara orang-orang di sekelilingnya berpura-pura ikut berbelasungkawa.
Bahkan ia merasa sendiri, di tengah keluarganya yang kini menyikapinya sebagaimana
dia dulu menyikapi orang-orang; berakrab-akrab, ada perhatian, namun yang tampak
dan terasa adalah penghinaan yang anggun serta kepura-puraan yang dingin.
Bagi
saya, membaca The Death of Ivan Ilyich
adalah tempat kita mengaca dalam kejernihan tentang bekal yang paling sering terlupakan
saat kita menapaki jenjang pernikahan. Apa itu? Iya. Bekal persiapan sosial. Adakah
selama ini kita berpikir tentang masalah ini? Saya sendiri merasa, bahwa selama
ini banyak hal yang terlewat saya maknai tentang bagaimana nantinya kehidupan kemasyarakatan
yang akan saya jalani. Bagaimana saya akan memenuhi hak-hak tetangga saya.
Bagaimana saya akan memberi kemanfaatan tertinggi bagi mereka. Bagaimana agar
lisan dan tangan tak sampai menyakiti mereka. Bagaimana saya bisa mengikuti mereka
dalam kesholihan-kesholihan, atau justru bagaimana saya akan mewarnai lingkungan
ini dengan kesholihan nantinya.
Kalau
saja ketidakpedulian itu menyelamatkan, tentu saja saya akan tak acuh. Tidak
perlu mengurusi orang lain. Pikirkan saja diri sendiri. Ada banyak hal lain yang
bisa dikerjakan. Tapi tidak bisa. Bolehlah berhujjah dengan bahwa kita ini makhluk
sosial, tidak mungkin bisa hidup sendiri. Itu argumen yang sah. Tapi lemah. Saya
lebih memilih keimanan sebagai sebuah pengikat. Al-Imam Malik ibn Anas pernah menyebutkan
beberapa hadits sebagai pilar akhlak kehidupan orang beriman. Salah satunya yang
berikut ini.
“Barangsiapa
yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.
Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan
tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbicara
yang baik atau diam.” (HR. Muslim)
Ketika
pertetanggaan, pelayanan kepada tamu, dan komunikasi sosial dijadikan oleh Sang
Nabi sebagai tolok ukur keimanan, saya begitu merinding. Akankah kemudian nilai
kita di sisi Alloh ditimbang dari persaksian tetangga-tetangga kita, tetamu kita,
dan semua manusia yang pernah berbicara dengan kita? Sungguh begitu menghentak pertanyaan
ini, menampar diri, dan memukul-mukul jiwa. Tetapi demikianlah kebenaran. Mintalah
orang bertanya tentang kita pada tetangga kita, kemudian mintalah ia melihat raut
wajah pertamanya saat menjawab. Mintalah orang bertanya tentang kita kepada orang-orang
yang bergaul dengan kita, kemudian mintalah ia memperhatikan ekspresi
spontannya.
Kredit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar