Jumat, 21 Juli 2017

Otoritas Islam di Nusantara dan Kedatangan Imperialis Eropa

Berkenaan dengan kehadiran Islam di Nusantara, Ricklefs memberikan penggambaran tentang warna Islam yang lebih nyata dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan, era “Indonesia modern” dimulai sejak kedatang-an Islam. Agama ini telah mempersatukan suku-suku Nusan-tara menjadi satu “kesatuan sejarah yang padu” (a coberant historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam telah menjadi simbol identitas pribumi dan kebangkitan daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof. Dr. George McTurnan Kahin di dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, serta Prof. Dr. Harry Jundrich Benda di dalam The Crescent and the Rising Sun.
Pasca jatuhnya Malaka dan pasai, kehadiran Putri Ong Tien ke Cirebon merupakan kisah adanya hubungan erat antara penguasa-penguasa di Cina terhadap Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seorang Senopati Sarwajala yang di masa itu bertugas membangun armada gabungan Demak-Cirebon, Palembang, dan Cina untuk menggempur Portugis di Malaka. Kemudian setelah runtuhnya Kesultanan Demak, aliansi untuk melancarkan serangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka maupun Maluku, tetap dilanjutkan oleh Jepara bersama dengan Aceh, Ternate, Hitu, dan Johor.
Sementara itu di Jawa −setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam ekspedisi Demak menundukkan Jawa Timur dikarenakan elit dari Majapahit menjalin persekutuan dengan Portugis, konsentrasi kekuatan Islam di Jawa kemudian mengerucut di antara Banten, Jepara, dam Giri; di mana masing-masing dari ketiga kekuatan tersebut juga memiliki persoalan di dalam teritorinya masing-masing.
Ketika Jepara masih bisa melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka dan Maluku, di Jawa Barat, Banten masih harus menghadapi Pajajaran yang telah menjalin persekutuan dengan Portugis. Sementara itu di Jawa Timur, selain mesti menjadi arbriter atas perseteruan yang pecah antara Pajang –kemudian juga Mataram− dengan Surabaya (yang memimpin para adipati di Jawa Timur), Giri juga harus melakukan ekspedisi ke Bali dan Nusa Tenggara guna mencegah Portugis masuk ke perairan Timor. Sebab di masa itu, Portugis telah berhasil menarik Ternate ke dalam pengaruhnya melalui peran sejumlah elit istana, sehingga Sultan Ternate harus menunggu dukungan dari luar (Jepara dan Hitu) sebelum akhirnya ia berhasil membersihkan monopoli Portugis dari Maluku.
Selain kehadiran Portugis, yang cukup menarik adalah kedatangan kapal Victoria milik Spanyol di tahun 1521 yang secara tidak sengaja tiba di kepulauan Maluku dan turut mendapatkan keuntungan mencapai lebih dari 2500 persen melalui perdagangan rempah-rempah, terutama dari komoditi cengkeh dan pala yang hanya dihasilkan dari Maluku. Selain karena monopolinya yang terancam, Portugis berang karena Spanyol telah melanggar perjanjian pembagian kawasan pengaruh (“sphere of eventual interests”) yang dibuat di Tordesillas pada tahun 1499. Namun, meskipun mendapat kecaman keras, Spanyol tetap mengirim armada lagi terdiri dari 7 kapal, di mana hanya dua kapal yang sampai setelah satu kapal terdampar di Mindanao dan yang lainnya mendarat di Tidore.
Kedatangan kapal Spanyol di Tidore pada waktu itu mendapat sambutan baik dari Sultan, yakni dengan maksud dijadikan alat penekan bagi Ternate yang menjadi saingannya dan telah jatuh ke dalam pengaruh Portugis. Dan oleh karena itu pula, Paus segera memprakarsai diadakannya perjanjian Zaragosa (22 April 1529) yang menjadi penegas lanjutan dari perjanjian Tordesillas. Hal ini dilakukan untuk meredam adanya persaingan yang berujung pada peperangan terbuka antara Portugis dengan Spanyol di Maluku.
Sementara itu, di seberang Semenanjung Malaka, Aceh mulai menunjukkan supremasinya berkat dukungan militer dan teknologi persenjataan dari Turki, sehingga Portugis kesulitan untuk masuk lebih jauh ke Laut Jawa ataupun pantai Barat Sumatera. Dan dalam jangka waktu yang panjang, hal ini turut memberi jalan bagi pesatnya perniagaan di Selat Sunda.
Selain itu, pedagang-pedagang Muslim dari belahan Timur Nusantara segera dialihkan jalur pelayaran dan langsung memusatkan perniagaannya ke Jepara, Banten, Aceh, atau Johor. Dengan demikian, langkah strategis untuk mengunci dan memonopoli perdagangan di Nusantara yang dulunya dilakukan oleh Portugis melalui pendudukan atas Malaka seolah menjadi sia-sia. Bahkan, untuk mendapatkan rempah-rempah Maluku, Portugis “terpaksa” merintis jalur baru melalui perairan di Utara Pulau Kalimantan. Selain karena waktu tempuh yang lebih cepat, hal ini dilakukan untuk menjaga pasokan dagang Portugis dari gangguan kapal-kapal Aceh, Banten, dan Jepara yang mendominasi di sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat Malaka.
Akan tetapi, di antara segala kepungan yang mengan-cam Portugis di Malaka, perkembangan kekuatan Aceh yang justru terbentur oleh Johor merupakan keberuntungan tersendiri. Johor yang merupakan keturunan dari Kesultanan Malaka tidak membiarkan Malaka jatuh selain ke tangannya. Sementara itu, baik Aceh maupun Johor, juga meminta bantuan dari Jawa (Demak/Jepara) dalam rangka mengusir Portugis dari Malaka.
Selain itu di Jawa, naiknya kekuasaan Mataram (Islam) justru mengawali kemunduran hegemoni pelaut-pelaut Jawa di Nusantara. Mataram memulai eksistensinya dengan merebut kekuasaan dari Pajang dan bersikap konfrontatif terhadap Tuban, Giri, Surabaya, dan Banten, yang mengaki-batkan terpecahnya antara kekuatan Jawa di pesisir dan pedalaman (Selatan). Dan di saat Mataram mencapai masa keemasannya, kebijakannya secara pasti berhasil memindah-kan orientasi militer maupun basis perekonomian Jawa ke darat. Sedangkan untuk menstabilkan posisinya di laut, Mataram menyiasatinya dengan membangun persekutuan bersama Kesultanan Gowa.

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sebelumnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Selanjutnya: Peralihan Hegemoni Nusantara ke Tangan Imperialis Eropa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar