Berkenaan
dengan kehadiran Islam di Nusantara, Ricklefs memberikan penggambaran tentang
warna Islam yang lebih nyata dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs
menegaskan, era “Indonesia modern” dimulai sejak kedatang-an Islam. Agama ini
telah mempersatukan suku-suku Nusan-tara menjadi satu “kesatuan sejarah yang
padu” (a coberant historical unit).
Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam telah menjadi simbol identitas pribumi
dan kebangkitan daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof. Dr. George
McTurnan Kahin di dalam Nationalism and Revolution in Indonesia,
serta Prof. Dr. Harry Jundrich Benda di dalam The Crescent and the Rising Sun.
Pasca
jatuhnya Malaka dan pasai, kehadiran Putri Ong Tien ke Cirebon merupakan kisah
adanya hubungan erat antara penguasa-penguasa di Cina terhadap Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seorang Senopati
Sarwajala yang di masa itu bertugas membangun armada gabungan
Demak-Cirebon, Palembang, dan Cina untuk menggempur Portugis di Malaka.
Kemudian setelah runtuhnya Kesultanan Demak, aliansi untuk melancarkan serangan
terhadap kedudukan Portugis di Malaka maupun Maluku, tetap dilanjutkan oleh
Jepara bersama dengan Aceh, Ternate, Hitu, dan Johor.
Sementara
itu di Jawa −setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam ekspedisi Demak
menundukkan Jawa Timur dikarenakan elit dari Majapahit menjalin persekutuan
dengan Portugis, konsentrasi kekuatan Islam di Jawa kemudian mengerucut di
antara Banten, Jepara, dam Giri; di mana masing-masing dari ketiga kekuatan
tersebut juga memiliki persoalan di dalam teritorinya masing-masing.
Ketika
Jepara masih bisa melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka dan Maluku,
di Jawa Barat, Banten masih harus menghadapi Pajajaran yang telah menjalin
persekutuan dengan Portugis. Sementara itu di Jawa Timur, selain mesti menjadi
arbriter atas perseteruan yang pecah antara Pajang –kemudian juga Mataram−
dengan Surabaya (yang memimpin para adipati di Jawa Timur), Giri juga harus
melakukan ekspedisi ke Bali dan Nusa Tenggara guna mencegah Portugis masuk ke
perairan Timor. Sebab di masa itu, Portugis telah berhasil menarik Ternate ke
dalam pengaruhnya melalui peran sejumlah elit istana, sehingga Sultan Ternate
harus menunggu dukungan dari luar (Jepara dan Hitu) sebelum akhirnya ia
berhasil membersihkan monopoli Portugis dari Maluku.
Selain
kehadiran Portugis, yang cukup menarik adalah kedatangan kapal Victoria milik
Spanyol di tahun 1521 yang secara tidak sengaja tiba di kepulauan Maluku dan
turut mendapatkan keuntungan mencapai lebih dari 2500 persen melalui
perdagangan rempah-rempah, terutama dari komoditi cengkeh dan pala yang hanya
dihasilkan dari Maluku. Selain karena monopolinya yang terancam, Portugis
berang karena Spanyol telah melanggar perjanjian pembagian kawasan pengaruh (“sphere of eventual interests”) yang
dibuat di Tordesillas pada tahun 1499. Namun, meskipun mendapat kecaman keras,
Spanyol tetap mengirim armada lagi terdiri dari 7 kapal, di mana hanya dua
kapal yang sampai setelah satu kapal terdampar di Mindanao dan yang lainnya
mendarat di Tidore.
Kedatangan
kapal Spanyol di Tidore pada waktu itu mendapat sambutan baik dari Sultan,
yakni dengan maksud dijadikan alat penekan bagi Ternate yang menjadi saingannya
dan telah jatuh ke dalam pengaruh Portugis. Dan oleh karena itu pula, Paus
segera memprakarsai diadakannya perjanjian Zaragosa (22 April 1529) yang
menjadi penegas lanjutan dari perjanjian Tordesillas. Hal ini dilakukan untuk
meredam adanya persaingan yang berujung pada peperangan terbuka antara Portugis
dengan Spanyol di Maluku.
Sementara
itu, di seberang Semenanjung Malaka, Aceh mulai menunjukkan supremasinya berkat
dukungan militer dan teknologi persenjataan dari Turki, sehingga Portugis
kesulitan untuk masuk lebih jauh ke Laut Jawa ataupun pantai Barat Sumatera.
Dan dalam jangka waktu yang panjang, hal ini turut memberi jalan bagi pesatnya
perniagaan di Selat Sunda.
Selain itu,
pedagang-pedagang Muslim dari belahan Timur Nusantara segera dialihkan jalur
pelayaran dan langsung memusatkan perniagaannya ke Jepara, Banten, Aceh, atau
Johor. Dengan demikian, langkah strategis untuk mengunci dan memonopoli
perdagangan di Nusantara yang dulunya dilakukan oleh Portugis melalui
pendudukan atas Malaka seolah menjadi sia-sia. Bahkan, untuk mendapatkan
rempah-rempah Maluku, Portugis “terpaksa” merintis jalur baru melalui perairan
di Utara Pulau Kalimantan. Selain karena waktu tempuh yang lebih cepat, hal ini
dilakukan untuk menjaga pasokan dagang Portugis dari gangguan kapal-kapal Aceh,
Banten, dan Jepara yang mendominasi di sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat
Malaka.
Akan tetapi,
di antara segala kepungan yang mengan-cam Portugis di Malaka, perkembangan
kekuatan Aceh yang justru terbentur oleh Johor merupakan keberuntungan
tersendiri. Johor yang merupakan keturunan dari Kesultanan Malaka tidak
membiarkan Malaka jatuh selain ke tangannya. Sementara itu, baik Aceh maupun
Johor, juga meminta bantuan dari Jawa (Demak/Jepara) dalam rangka mengusir
Portugis dari Malaka.
Selain
itu di Jawa, naiknya kekuasaan Mataram (Islam) justru mengawali kemunduran
hegemoni pelaut-pelaut Jawa di Nusantara. Mataram memulai eksistensinya dengan
merebut kekuasaan dari Pajang dan bersikap konfrontatif terhadap Tuban, Giri,
Surabaya, dan Banten, yang mengaki-batkan terpecahnya antara kekuatan Jawa di
pesisir dan pedalaman (Selatan). Dan di saat Mataram mencapai masa keemasannya,
kebijakannya secara pasti berhasil memindah-kan orientasi militer maupun basis
perekonomian Jawa ke darat. Sedangkan untuk menstabilkan posisinya di laut,
Mataram menyiasatinya dengan membangun persekutuan bersama Kesultanan Gowa.Kredit: Kronik Peralihan Nusantara
Sebelumnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Selanjutnya: Peralihan Hegemoni Nusantara ke Tangan Imperialis Eropa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar