Sabtu, 09 September 2017

Tetangga

SEMUA syari’at dan petunjuk dalam manhaj Ilahi, kata Sayyid Quthb dalam permulaan Juz kelima Fii Zhilaalil Qur’an, bersumber dari satu asal dan mengacu pada satu acuan. Dia bersumber pada keyakinan kepada Alloh dan mengacu pada tauhid yang murni sebagai rupa dari ciri khas ‘aqidah Islam. Dari sini satu dengan yang lainnya saling berhubungan secara harmonis. Sulit memisahkan satu bagian dari bagian yang lain. Mempelajari sebagiannya akan terasa kurang bilamana tidak merujuk pada asalnya yang besar.

Dari keyakinan pada Alloh akan muncul semua persepsi dasar mengenai hubungan dengan alam, kehidupan, dan kemanusiaan. Semua persepsi itu menjadi landasan bagi sistem kemasyarakatan, siyasah, perekonomian, akhlak, dan antar bangsa yang berpengaruh terhadap hubungan manusia satu sama lain, dalam semua bidang kehidupan manusia di bumi. Ia mengatur nurani orang perorang dan realita kemasyarakatan, yang membuat semua aktivitas manusia adalah ibadah, dan terhubungkan dengan keimanan kepada Alloh. Lihatlah betapa ayat ini bergerak dari ketinggian tauhid menuju pemaknaannya di dalam semua sisi kehidupan itu.

“Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Demikianlah, terlihat sekali bagaimana sentuhan yang sangat mendasar dalam manhaj Islam. Yaitu mengaitkan semua bentuk perilaku, semua bentuk dorongan batin, dan semua bentuk hubungan masyarakat dengan ‘aqidah. Sikap mentauhidkan Alloh dalam peribadahan dan penerimaan ajaran, akan diiringi dengan berbuat baik kepada manusia karena mengharapkan ridho Alloh, mengharapkan pahalaNya di akhirat kelak dengan penuh adab, kesantunan, kelemahlembutan, dan kesadaran bahwa seorang hamba hanya bisa menafkahkan rezeki yang dikaruniakan Alloh kepadanya dan tidak bisa menciptakan rezeki untuk dirinya sendiri. Sementara itu kufur kepada Alloh dan hari akhirat, akan disertai sifat sombong dan membanggakan diri, kikir dan menyuruh orang berbuat kikir, serta menyembunyikan nikmat Alloh hingga tak terlihat atsarnya dalam bentuk kebaikan dan penjalinan keakraban dengan manusia. Kalaupun bernafkah, ia melakukannya karena riya’, agar dilihat dan dipuji. Karena dia tidak percaya kepada hari akhirat, maka yang dilakukannya tak lebih dari kesombongan di hadapan Alloh dan berbangga diri di hadapan manusia.

“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya…” (HR. Muslim)

Kita begitu rindu masyarakat imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya ini masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Alangkah tenteram berada di tengah mereka. Serasa, masyarakat ini adalah masyarakat surgawi, dan tetangga-tetangga ini kita doakan menjadi tetangga di surga nanti.

Inilah masyarakat yang setiap hari menyambung shilaturrohimnya di dalam rumah Alloh melalui jama’ah sholat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Alloh. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong royongnya jihad fii sabilillah.

Memang sulit mencari, tetapi alangkah indahnya memulai dari diri sendiri. Jika keluarga kita dibangun di atas peribadahan kepada Alloh, maka juluran-juluran rantingnya adalah da’wah ilallooh. Di manapun bumi tempatmu berpijak, kata ‘Umar ibn Al-Khoththob kepada sahabatnya yang berangkat menunaikan tugas, keislamannya adalah kewajibanmu. Maka adakah tercantum di dalam visi dan misi pernikahan kita sebuah kata yang berat timbangannya di sisi Alloh; da’wah?

Salah seorang dosen saya pernah tugas belajar di Jepang. Itu biasa. Tetapi tidak untuk yang satu ini. Dia telah mengislamkan beberapa keluarga di sana. Bagaimana bisa? Dengan mencoba mengamalkan sebagian tuntunan Rosululloh tentang bertetangga. Berbagi makanan, misalnya. Ada juga yang dengan sangat sederhana, namun kadang jiwa kita yang tumpul tak terpikir ke sana. Awalnya adalah saat sang tetangga pergi berlibur. Nah sang tetangga ini berlangganan koran yang diantar tiap pagi. Karena tak ada yang di rumah, dosen saya ini membawa koran itu ke rumahnya. Begitu tiap hari sampai sepuluh hari lamanya. Ketika sang tetangga pulang, dia menyerahkan koran-koran itu.

Sang tetangga heran. Kok sepeduli ini, apa alasannya? “Kalau ada koran menumpuk di depan rumah, orang akan tahu bahwa rumah ini kosong. Khawatirnya, ada yang punya maksud tidak baik.” “Arigatou gozaimassu,” kata sang tetangga sambil –tak cuma ruku’- sujud padanya. Luar biasa.

Nah, kini saatnya bicara tentang bagaimana memulai sebuah interaksi bertetangga yang mendatangkan keridhoan Alloh. Masih ingat tentang Zero Base ketika kita membicarakan interaksi dengan mertua? Majalah Ummi No 3 Tahun XVI, Juli-Agustus 2004 menurunkan sebuah artikel tentang Zero Base dalam interaksi sosial. Dalam artikel itu ditulis bahwa hal-hal di bawah ini adalah benefit, ketika kita menerapkan Zero Base dalam interaksi sosial. Saya malahan, ingin mengajak Anda untuk memandangnya sebagai pengikhtiaran. Berdasar atas prinsip Zero Base yang kemudian akan kita isi dengan kebaikan-kebaikan, inilah keindahan itu.

1.    Pandanglah bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Ia bisa belajar dari kesalahan dan memperbaikinya di waktu-waktu yang akan datang. Adalah ketidakadilan, menilai manusia hanya berdasar jejak rekam masa lalu. Semua manusia bisa tersalah, sehingga ada peluang keindahan dengan memaafkan. Ada penerimaan yang imbal baliknya adalah proses perbaikan. Berhati-hatilah menyikapi manusia. Bahkan Imam di bidang ilmu Jarh wat Ta’dil, yakni ilmu kritik atas Rowi hadits yang menentukan shohih tidaknya suatu hadits sehingga ilmu ini menjadi sangat penting, mengajak kita untuk merenung. Beliau, Al-Imam Yahya ibn Ma’in berkata, “Boleh jadi, kita mengritik dan melemahkan seorang Rowi, padahal dia memasuki surga ratusan
atau ribuan tahun mendahului kita.”

2.   Bebaskan diri dari prasangka. Segala hal yang ‘terlalu’ tidaklah menampakkan kebaikan. Prasangka yang terlalu baik membuat kita terjebak pada sifat lalai, ghurur (tertipu), dan terseret untuk berbuat tidak adil. Akan ada ketidakseimbangan. Sebaliknya, prasangka yang buruk akan membinasakan. Prasangka yang ‘terlalu baik’ adalah ekspektasi yang melahirkan tunturan psikis kepada orang lain, maka jadilah kekecewaan yang bertimbun-timbun atau ketidakadilan terhadap pihak lain. Prasangka yang buruk akan menjadi sel-fulfill-ing prophecy. Jibril berpesan pada Nabi kita untuk diteruskan pada ummatnya, “Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau benci. Bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kau cintai.” (HR. Al-Bukhori)

3.  Nilailah apa adanya. Nilailah objektif dan apa adanya sesuai interaksi kita dengan mereka. Bersikaplah sebaik-baiknya dan katakanlah yang tidak tahu jika kita memang belum memahami. Dalam konsep yang dibawakan ‘Umar ibn Al-Khoththob, mengenal seseorang berarti pernah bermalam bersamanya, melakukan mu’amalah, atau melakukan suatu perjalanan bersama.

4.   Beranilah mengambil sikap yang tepat. Kita menilai dan menyikapi seseorang berdasar kebenaran, bukan keberpihakan bertendensi. Pembelaan atau penolakan, persekutuan atau permusuhan bukan berdasarkan timbangan-timbangan keuntungan, tetapi berdasar cara pandang yang jernih dan bersih.

5.   Berpegang pada standar Ilahiyah. Laa ilaaha, dengan mengosongkan diri dari standar-standar pribadi dan standar-standar artifisial lainnya, kemudian Illallooh membuat kita menetapkan diri pada standar Ilahi. Seseorang diukur bukan dengan hartanya, keturunannya, kedudukan, atau jabatannya. Bukankah yang termulia di sisi Alloh di antara kita adalah yang paling bertaqwa?

6.  Kosongkan diri dari tujuan kotor. Alloh menciptakan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kita saling mengenal. Alloh menciptakan kita bertetangga agar kita saling bersaudara. Ada tujuan-tujuan suci, ada keindahan-keindahan yang mengangkat diri ke ufuk tinggi. Maka jangan sampai ada tujuan-tujuan kotor dalam bertetangga. Memanfaatkan, menyakiti, merusak, dan tujuan kotor lainnya. Ingatlah bahwa dosa atas ma’shiat yang dilakukan kepada tetangga, dilipatkan lebih dari sepuluh kali oleh Alloh Subhanahu wa Ta’alaa. Imam Al-Bukhori membawakan riwayat bahwa Rosululloh pernah bersabda, “Berzinanya seseorang dengan sepuluh wanita lebih ringan dosanya daripada jika ia berzina dengan isteri tetangganya. Mencuri di sepuluh rumah lebih ringan dosanya daripada pencurian yang ia lakukan di rumah tetangga.”

“Jibril senantiasa berwashiat kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan ikut menjadi pewaris.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
©©©

Revis, usianya 4 tahun saat itu. Putri kedua tetangga depan rumah saya, pasangan Mas Wawan dan Mbak Nur. Suatu siang bersama ibu, kakak, dan adiknya, ia menonton tayangan berita kriminal di televisi. Kebetulan yang diberitakan tentang sindikat penjualan anak. Saat itu, muncul komentarnya yang dikisahkan sang Ibu pada kami dengan senyum tapi matanya gerimis, komentar yang akan kami kenang sepanjang hidup. “Anak kok dijual-jual? Memangnya boleh to? Mbok kalau boleh, aku dijual saja. Nanti biar yang beli Mbak Indah sama Mas Salim.”

Dan izinkan sekali lagi saya berterimakasih pada tetangga. Suatu hari, isteri saya mendapat mushibah, jatuh dengan sepeda motornya ketika memboncengkan mutarobbiyah-nya. Maksud hati tak ingin merepotkan, karena memang hanya keseleo dan beberapa luka ringan. Maka kami tak banyak memberitahu tetangga. Tetapi cinta selalu punya cara untuk tahu tentang ihwal kecintaannya.

Tiba-tiba saja di pagi itu, Ibu Ummu Hanik datang membawakan sarapan pagi. Tiba-tiba saja siangnya Mbak Nur mengatakan sudah semalam ia merendam beras untuk membuat param, dan kini datang lengkap dengan sobekan-sobekan kain untuk mengikat param di tempat-tempat lebam. Tiba-tiba saja Ibu Udri datang membawa makan siang dan memberikan nomor telepon seorang tukang pijat wanita. Hari berikutnya giliran Bu Yayuk datang ke rumah untuk bersih-bersih, cuci piring, dan baju. Dan sorenya Ibu Zuriah datang membawakan telur ayam kampung, jeruk nipis, dan madu. “Biar capek dan pegalnya hilang,” katanya sambil memijati isteri saya.

Ya Alloh, abadikan pertetanggaan ini hingga surgaMu.


Kredit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar