SEMUA
syari’at dan petunjuk dalam manhaj Ilahi, kata Sayyid Quthb dalam permulaan Juz
kelima Fii Zhilaalil Qur’an, bersumber dari satu asal dan mengacu pada satu acuan.
Dia bersumber pada keyakinan kepada Alloh dan mengacu pada tauhid yang murni sebagai
rupa dari ciri khas ‘aqidah Islam. Dari sini satu dengan yang lainnya saling berhubungan
secara harmonis. Sulit memisahkan satu bagian dari bagian yang lain. Mempelajari
sebagiannya akan terasa kurang bilamana tidak merujuk pada asalnya yang besar.
Dari
keyakinan pada Alloh akan muncul semua persepsi dasar mengenai hubungan dengan alam,
kehidupan, dan kemanusiaan. Semua persepsi itu menjadi landasan bagi sistem kemasyarakatan,
siyasah, perekonomian, akhlak, dan antar
bangsa yang berpengaruh terhadap hubungan manusia satu sama lain, dalam semua bidang
kehidupan manusia di bumi. Ia mengatur nurani orang perorang dan realita kemasyarakatan,
yang membuat semua aktivitas manusia adalah ibadah, dan terhubungkan dengan keimanan
kepada Alloh. Lihatlah betapa ayat ini bergerak dari ketinggian tauhid menuju pemaknaannya
di dalam semua sisi kehidupan itu.
“Sembahlah Alloh
dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.” (QS. An-Nisaa’: 36)
Demikianlah,
terlihat sekali bagaimana sentuhan yang sangat mendasar dalam manhaj Islam. Yaitu
mengaitkan semua bentuk perilaku, semua bentuk dorongan batin, dan semua bentuk
hubungan masyarakat dengan ‘aqidah. Sikap mentauhidkan Alloh dalam peribadahan dan
penerimaan ajaran, akan diiringi dengan berbuat baik kepada manusia karena
mengharapkan ridho Alloh, mengharapkan pahalaNya di akhirat kelak dengan penuh adab,
kesantunan, kelemahlembutan, dan kesadaran bahwa seorang hamba hanya bisa menafkahkan
rezeki yang dikaruniakan Alloh kepadanya dan tidak bisa menciptakan rezeki untuk
dirinya sendiri. Sementara itu kufur kepada Alloh dan hari akhirat, akan disertai
sifat sombong dan membanggakan diri, kikir dan menyuruh orang berbuat kikir, serta
menyembunyikan nikmat Alloh hingga tak terlihat atsarnya dalam bentuk kebaikan dan penjalinan keakraban dengan manusia.
Kalaupun bernafkah, ia melakukannya karena riya’,
agar dilihat dan dipuji. Karena dia tidak percaya kepada hari akhirat, maka yang
dilakukannya tak lebih dari kesombongan di hadapan Alloh dan berbangga diri di
hadapan manusia.
“Barangsiapa
yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya…”
(HR. Muslim)
Kita
begitu rindu masyarakat imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada
di tengah mereka. Hanya ini masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan
dan tangan mereka. Alangkah tenteram berada di tengah mereka. Serasa, masyarakat
ini adalah masyarakat surgawi, dan tetangga-tetangga ini kita doakan menjadi tetangga
di surga nanti.
Inilah
masyarakat yang setiap hari menyambung shilaturrohimnya di dalam rumah Alloh melalui
jama’ah sholat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes
saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran
Alloh. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong
royongnya jihad fii sabilillah.
Memang
sulit mencari, tetapi alangkah indahnya memulai dari diri sendiri. Jika keluarga
kita dibangun di atas peribadahan kepada Alloh, maka juluran-juluran rantingnya
adalah da’wah ilallooh. Di manapun bumi
tempatmu berpijak, kata ‘Umar ibn Al-Khoththob kepada sahabatnya yang berangkat
menunaikan tugas, keislamannya adalah kewajibanmu. Maka adakah tercantum di
dalam visi dan misi pernikahan kita sebuah kata yang berat timbangannya di sisi
Alloh; da’wah?
Salah
seorang dosen saya pernah tugas belajar di Jepang. Itu biasa. Tetapi tidak untuk
yang satu ini. Dia telah mengislamkan beberapa keluarga di sana. Bagaimana bisa?
Dengan mencoba mengamalkan sebagian tuntunan Rosululloh tentang bertetangga. Berbagi
makanan, misalnya. Ada juga yang dengan sangat sederhana, namun kadang jiwa kita
yang tumpul tak terpikir ke sana. Awalnya adalah saat sang tetangga pergi berlibur.
Nah sang tetangga ini berlangganan koran yang diantar tiap pagi. Karena tak ada
yang di rumah, dosen saya ini membawa koran itu ke rumahnya. Begitu tiap hari sampai
sepuluh hari lamanya. Ketika sang tetangga pulang, dia menyerahkan koran-koran itu.
Sang
tetangga heran. Kok sepeduli ini, apa alasannya? “Kalau ada koran menumpuk di
depan rumah, orang akan tahu bahwa rumah ini kosong. Khawatirnya, ada yang punya
maksud tidak baik.” “Arigatou gozaimassu,”
kata sang tetangga sambil –tak cuma ruku’- sujud padanya. Luar biasa.
Nah,
kini saatnya bicara tentang bagaimana memulai sebuah interaksi bertetangga yang
mendatangkan keridhoan Alloh. Masih ingat tentang Zero Base ketika kita membicarakan interaksi dengan mertua? Majalah
Ummi No 3 Tahun XVI, Juli-Agustus 2004 menurunkan sebuah artikel tentang Zero Base dalam interaksi sosial. Dalam artikel
itu ditulis bahwa hal-hal di bawah ini adalah benefit, ketika kita menerapkan Zero Base dalam interaksi sosial. Saya
malahan, ingin mengajak Anda untuk memandangnya sebagai pengikhtiaran. Berdasar
atas prinsip Zero Base yang kemudian akan
kita isi dengan kebaikan-kebaikan, inilah keindahan itu.
1. Pandanglah
bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Ia bisa belajar dari kesalahan dan memperbaikinya
di waktu-waktu yang akan datang. Adalah ketidakadilan, menilai manusia hanya berdasar
jejak rekam masa lalu. Semua manusia bisa tersalah, sehingga ada peluang keindahan
dengan memaafkan. Ada penerimaan yang imbal baliknya adalah proses perbaikan. Berhati-hatilah
menyikapi manusia. Bahkan Imam di bidang ilmu Jarh wat Ta’dil, yakni ilmu kritik atas Rowi hadits yang menentukan shohih tidaknya suatu hadits sehingga ilmu
ini menjadi sangat penting, mengajak kita untuk merenung. Beliau, Al-Imam Yahya
ibn Ma’in berkata, “Boleh jadi, kita mengritik dan melemahkan seorang Rowi, padahal dia memasuki surga ratusan
atau
ribuan tahun mendahului kita.”
2. Bebaskan
diri dari prasangka. Segala hal yang ‘terlalu’ tidaklah menampakkan kebaikan. Prasangka
yang terlalu baik membuat kita terjebak pada sifat lalai, ghurur (tertipu), dan terseret untuk berbuat tidak adil. Akan ada ketidakseimbangan.
Sebaliknya, prasangka yang buruk akan membinasakan. Prasangka yang ‘terlalu baik’
adalah ekspektasi yang melahirkan tunturan psikis kepada orang lain, maka jadilah
kekecewaan yang bertimbun-timbun atau ketidakadilan terhadap pihak lain. Prasangka
yang buruk akan menjadi sel-fulfill-ing prophecy.
Jibril berpesan pada Nabi kita untuk diteruskan pada ummatnya, “Cintailah orang
yang kamu cintai sewajarnya, karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang
paling kau benci. Bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika
ia menjadi orang yang paling kau cintai.” (HR.
Al-Bukhori)
3. Nilailah
apa adanya. Nilailah objektif dan apa adanya sesuai interaksi kita dengan mereka.
Bersikaplah sebaik-baiknya dan katakanlah yang tidak tahu jika kita memang belum
memahami. Dalam konsep yang dibawakan ‘Umar ibn Al-Khoththob, mengenal
seseorang berarti pernah bermalam bersamanya, melakukan mu’amalah, atau melakukan suatu perjalanan bersama.
4. Beranilah
mengambil sikap yang tepat. Kita menilai dan menyikapi seseorang berdasar kebenaran,
bukan keberpihakan bertendensi. Pembelaan atau penolakan, persekutuan atau
permusuhan bukan berdasarkan timbangan-timbangan keuntungan, tetapi berdasar
cara pandang yang jernih dan bersih.
5. Berpegang
pada standar Ilahiyah. Laa ilaaha, dengan
mengosongkan diri dari standar-standar pribadi dan standar-standar artifisial
lainnya, kemudian Illallooh membuat kita
menetapkan diri pada standar Ilahi. Seseorang diukur bukan dengan hartanya, keturunannya,
kedudukan, atau jabatannya. Bukankah yang termulia di sisi Alloh di antara kita
adalah yang paling bertaqwa?
6. Kosongkan
diri dari tujuan kotor. Alloh menciptakan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kita saling mengenal. Alloh menciptakan kita bertetangga agar kita
saling bersaudara. Ada tujuan-tujuan suci, ada keindahan-keindahan yang mengangkat
diri ke ufuk tinggi. Maka jangan sampai ada tujuan-tujuan kotor dalam bertetangga.
Memanfaatkan, menyakiti, merusak, dan tujuan kotor lainnya. Ingatlah bahwa dosa
atas ma’shiat yang dilakukan kepada tetangga, dilipatkan lebih dari sepuluh kali
oleh Alloh Subhanahu wa Ta’alaa. Imam
Al-Bukhori membawakan riwayat bahwa Rosululloh pernah bersabda, “Berzinanya seseorang
dengan sepuluh wanita lebih ringan dosanya daripada jika ia berzina dengan
isteri tetangganya. Mencuri di sepuluh rumah lebih ringan dosanya daripada pencurian
yang ia lakukan di rumah tetangga.”
“Jibril
senantiasa berwashiat kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa
tetangga akan ikut menjadi pewaris.” (HR.
Al-Bukhori dan Muslim)
©©©
Revis,
usianya 4 tahun saat itu. Putri kedua tetangga depan rumah saya, pasangan Mas
Wawan dan Mbak Nur. Suatu siang bersama ibu, kakak, dan adiknya, ia menonton tayangan
berita kriminal di televisi. Kebetulan yang diberitakan tentang sindikat penjualan
anak. Saat itu, muncul komentarnya yang dikisahkan sang Ibu pada kami dengan
senyum tapi matanya gerimis, komentar yang akan kami kenang sepanjang hidup. “Anak
kok dijual-jual? Memangnya boleh to? Mbok kalau boleh, aku dijual saja. Nanti
biar yang beli Mbak Indah sama Mas Salim.”
Dan
izinkan sekali lagi saya berterimakasih pada tetangga. Suatu hari, isteri saya mendapat
mushibah, jatuh dengan sepeda motornya ketika memboncengkan mutarobbiyah-nya. Maksud hati tak ingin merepotkan,
karena memang hanya keseleo dan beberapa luka ringan. Maka kami tak banyak memberitahu
tetangga. Tetapi cinta selalu punya cara untuk tahu tentang ihwal kecintaannya.
Tiba-tiba
saja di pagi itu, Ibu Ummu Hanik datang membawakan sarapan pagi. Tiba-tiba saja
siangnya Mbak Nur mengatakan sudah semalam ia merendam beras untuk membuat param,
dan kini datang lengkap dengan sobekan-sobekan kain untuk mengikat param di
tempat-tempat lebam. Tiba-tiba saja Ibu Udri datang membawa makan siang dan
memberikan nomor telepon seorang tukang pijat wanita. Hari berikutnya giliran Bu
Yayuk datang ke rumah untuk bersih-bersih, cuci piring, dan baju. Dan sorenya Ibu
Zuriah datang membawakan telur ayam kampung, jeruk nipis, dan madu. “Biar capek
dan pegalnya hilang,” katanya sambil memijati isteri saya.
Ya
Alloh, abadikan pertetanggaan ini hingga surgaMu.
Kredit: "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim"; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar