Percaturan politik
di Indonesia sejak 1959 hingga saat percobaan kup oleh “Gerakan 30
September/PKI”, seluruhnya dikuasai oleh Presiden Soekarno. Bukan hanya
garis-garis besar kebijaksanaan, namun masalah-masalah sepele dalam kehidupan
sehari-hari pun dia yang menentukannya. Tidak heran, kalau orang mulai mengangan-angankan
masa apabila “Bung Tua” itu sudah tidak ada lagi. Apalagi gerangan yang akan
terjadi, seandainya ke-maha-hadirannya mendadak diputuskan, misalnya karena
sakit yang melumpuhkan atau mematikannya? Kemungkinan ketiga, yakni karena
ditumbangkan, adalah hal yang mustahil pada waktu itu!
Bagi golongan-golongan
politik yang bernasib baik di bawah Presiden Soekarno, persoalannya ialah
keberlangsungan hidup, setidak-tidaknya kelangsungan hidup politik. Bagi orang-orang
yang menderita di bawah kekuasaannya, hal itu berarti kesempatan untuk
memperbaiki nasib. Sudah barang tentu, kedua belah pihak mulai menghitung
untung-rugi nasib mereka di masa pasca-Soekarno. Yang menjadi aspek penting dalam
persoalan ini ialah, apakah turunnya Presiden dari kekuasaannya itu akan
melalui proses bertahap-tahap, sehingga memberi cukup waktu kepada orang-orang
yang berkepentingan untuk bersiap-siap menghadapi saat yang kritis itu. Apakah
kejadian tersebut akan datang dengan mendadak, atau bahkan sebelum waktunya. Proses
perubahan politik yang dipercepat, dapat mengakibatkan komplikasi tambahan yang
serius.
Tiba-tiba
ketegangan datang mencekam, meliputi seluruh bangsa, terutama ibukotanya,
Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 1965, Presiden jatuh rebah, setelah menghadiri
suatu upacar umum. Dalam suasana demikian itu, tidaklah mengherankan apabila
persoalan politik di masa pasca-Soekarno menjadi suatu topik yang panas. Setiap
golongan politik berusaha memperbaiki posisinya guna menghadapi periode setelah
berpulangnya Pemimpin Besar. Paling tidak, mereka ingin mempertahankan posisi
mereka yang terhormat. PKI, begitu juga golongan politik lainnya, menghadapi
masalah untuk mempercepat persiapan mereka dalam menyongsong masa
pasca-Soekarno. Ketegangan pun meningkat luar biasa.
Dalam suasana
demikian itu, D.N. Aidit yang tengah berada di luar negeri, dipanggil kembali
oleh Sekretariat Negara atas perintah Presiden. Ia diberitahu tentang keadaan
Soekarno yang sedang gawat, dan ditugaskan membawa tim dokter dari Republik
Rakyat Cina ke Indonesia, yang dulu pernah mengobati Presiden. Presiden akhirnya
sembuh kembali, akan tetapi para dokter Cina menyampaikan kepada Aidit, bahwa
kesehatan Soekarno mungkin akan lumpuh atau mati. Bahkan, mengingat cara dan
gaya hidupnya selama ini, sukar diharapkan penyembuhan yang sempurna.
Sumber:
Nugroho Notosusanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar