Kamis, 26 Oktober 2017

Keadaan Sebelum Percobaan Perebutan Kekuasaan oleh PKI

Percaturan politik di Indonesia sejak 1959 hingga saat percobaan kup oleh “Gerakan 30 September/PKI”, seluruhnya dikuasai oleh Presiden Soekarno. Bukan hanya garis-garis besar kebijaksanaan, namun masalah-masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari pun dia yang menentukannya. Tidak heran, kalau orang mulai mengangan-angankan masa apabila “Bung Tua” itu sudah tidak ada lagi. Apalagi gerangan yang akan terjadi, seandainya ke-maha-hadirannya mendadak diputuskan, misalnya karena sakit yang melumpuhkan atau mematikannya? Kemungkinan ketiga, yakni karena ditumbangkan, adalah hal yang mustahil pada waktu itu!

Bagi golongan-golongan politik yang bernasib baik di bawah Presiden Soekarno, persoalannya ialah keberlangsungan hidup, setidak-tidaknya kelangsungan hidup politik. Bagi orang-orang yang menderita di bawah kekuasaannya, hal itu berarti kesempatan untuk memperbaiki nasib. Sudah barang tentu, kedua belah pihak mulai menghitung untung-rugi nasib mereka di masa pasca-Soekarno. Yang menjadi aspek penting dalam persoalan ini ialah, apakah turunnya Presiden dari kekuasaannya itu akan melalui proses bertahap-tahap, sehingga memberi cukup waktu kepada orang-orang yang berkepentingan untuk bersiap-siap menghadapi saat yang kritis itu. Apakah kejadian tersebut akan datang dengan mendadak, atau bahkan sebelum waktunya. Proses perubahan politik yang dipercepat, dapat mengakibatkan komplikasi tambahan yang serius.

Tiba-tiba ketegangan datang mencekam, meliputi seluruh bangsa, terutama ibukotanya, Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 1965, Presiden jatuh rebah, setelah menghadiri suatu upacar umum. Dalam suasana demikian itu, tidaklah mengherankan apabila persoalan politik di masa pasca-Soekarno menjadi suatu topik yang panas. Setiap golongan politik berusaha memperbaiki posisinya guna menghadapi periode setelah berpulangnya Pemimpin Besar. Paling tidak, mereka ingin mempertahankan posisi mereka yang terhormat. PKI, begitu juga golongan politik lainnya, menghadapi masalah untuk mempercepat persiapan mereka dalam menyongsong masa pasca-Soekarno. Ketegangan pun meningkat luar biasa.

Dalam suasana demikian itu, D.N. Aidit yang tengah berada di luar negeri, dipanggil kembali oleh Sekretariat Negara atas perintah Presiden. Ia diberitahu tentang keadaan Soekarno yang sedang gawat, dan ditugaskan membawa tim dokter dari Republik Rakyat Cina ke Indonesia, yang dulu pernah mengobati Presiden. Presiden akhirnya sembuh kembali, akan tetapi para dokter Cina menyampaikan kepada Aidit, bahwa kesehatan Soekarno mungkin akan lumpuh atau mati. Bahkan, mengingat cara dan gaya hidupnya selama ini, sukar diharapkan penyembuhan yang sempurna.


Sumber: Nugroho Notosusanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar