Kesadaran berorganisasi
modern, kebangsaan serta keadilan sosial bukanlah hanya dimiliki oleh kaum Komunis,
akan tetapi dibawa oleh makin majunya pendidikan.
Demikianlah lahir
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tahun 1912 bulan November tanggal 18,
Budi Utomo oleh para siswa STOVIA, lantas Trikoro Dharmo pada tanggal 7 Maret
1915 yang bertujuan solidaritas pelajar dan meningkatkan kepribadian sendiri. Perkumpulan
ini kemudian menjadi Jong Java yang
membangkitkan pikiran-pikiran pemuda daerah seberang. Timbullah berturut-turut Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timur, Sekar Rukun dan lain-lain.
Pada tanggal 7 Februari
1927 di Bandung mereka sepakat untuk berfusi menjadi satu wadah pemuda
Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 dilangsungkan Sumpah Pemuda, dimana
diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; “Indonesia Raya” untuk
pertama kali diperdengarkan. Suatu embrio dari nasionalisme Indonesia.
Sejak saat itu, perjuangan
ditingkatkan menjadi politik. Pada tahun 1930, dibentuklah Indonesia Muda, kemudian
Suluh Pemuda Indonesia (SPI), Pergerakan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), dan Pemuda
Taman Siswa.
Golongan Islam membentuk
Jong Islamieten Bond (JIB) di bawah
pimpinan Kasman Singodimedjo dan Sjamsuridjal. Pemuda Muhammadiyah, Pemuda
Kristen dan Katholik pun membentuk wadah masing-masing. Juga
sebagai kepanduan Jong Java, INPO, KBI,
Hizbul Wathon, Pandu Sarikat Islam, NATIPIJ, Kepanduan Rakyat Indonesia, dan JPO
(Javaansche Padvinders Organisasi) di Solo. Banyak
organisasi yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kesadaran nasional telah
tumbuh secara menyeluruh, yang merupakan dinamika baru.
Dalam pergerakan
nasional, lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927
atas prakarsa Ir. Soekarno; seorang pemuda asuhan H.O.S. Tjokroaminoto; yang
berhaluan nasional Marxist. Dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak Hadisurja, Ir. Anwari,
Dr. Samsi Soewirjo, Gatot Mangkupradja, Supriadinata dan lain-lain.
Ir. Soekarno yang
dikenal sebagai Bung Karno menginstruksikan nasionalisme baru, “Yaitu
perkawinan antara Marxisme dan Nasionalisme. Ilmu baru, senjata perjuangan baru,
sikap hidup baru yang disebut Marhaenisme.” Nama yang dikatakan sebagai nama
petani Jawa Barat ini menjadi bahan debat tak berkeputusan.
Dalam wejangannya, “Marhaen
dan Proletar” halaman 225, ia berkata, “Marhaen bukanlah kaum proletar saja, tetapi
kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Bahwa dalam perjuangan
bersama kaum Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. Sebab
kaum proletarlah yang pertama-tama mengerti akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi. Nah, saya berkata Marhaenisme adalah Marxisme yang
diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme adalah het
in Indonesia-toegepaste-Marxisme. Untuk itu, harus
memahami Marxisme dan keadaan Indonesia. Kalau dihubungkan dengan nama Bung
Karno, saya minta supaya Marhaenisme seperti Marhaenisme-nya Bung Karno. Kalau tidak
cocok dengan Marhaenisme-nya Bung Karno, kasihlah nama lain. Jangan dikatakan Marhaenisme.”
Dengan mensitir kata Lenin, Bung Karno mengatakan, “Tanpa teori revolusioner, tak
mungkin ada gerakan revolusioner.”
Aidit di Peking 2
September 1963 juga mengatakan, “Kaum Komunis Indonesia merasa, bahwa mereka
telah berada di jalan yang benar, yaitu mengintegrasikan secara total kebenaran
umum Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia. Sampai batas
tertentu, kami sudah berhasil meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme. Tahu Marxisme-Leninisme
dan kenal keadaan.”
Bung Karno sebagai Marxist
membagi teori revolusinya dalam dua tahap, yaitu tahap nasionalis-demokratis
dan tahap sosialis. Tetapi Marxist yang yakin, Bung Karno seperti halnya Lenin,
Fidel Castro, Ho Chi Minh maupun Mao Tse-Tung menyesuaikan dengan kondisi
nasionalnya. Dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional, pola dan strategi itu
tetap ia pegang dengan teguhnya. Dengan memahami teori revolusinya Bung Karno
yang dimuat dalam buku Wejangan Revolusi 1922 hlm. 217, kita lantas mengerti mengapa
Bung Karno teguh pada pendiriannya, bahwa revolusi belum selesai. Walaupun
kemerdekaan telah bulat di tangan kita.
Dr. Moh. Hatta tak
sependapat dengan Bung Karno, bahwa revolusi belum selesai. Menurut Hatta, revolusi
kemerdekaan telah selesai setelah kedaulatan kita peroleh, dan seharusnya
mulailah membangun. Tetapi menurut Bung Karno, revolusi belum selesai. Tahap
revolusi kedua masih harus dilaksanakan. Hatta kemudian mengundurkan diri. Ia
tak mau dilibatkan dalam petualangan. Rakyat akan semakin bingung dibuatnya. Semakin
tak mengerti setelah diajak mengikuti ‘politik konfrontasi’ dengan dibuatkan
musuh-musuh bayangan; Nekolim. Pengerahan-pengerahan massa dalam Front Nasional,
serta menggerakkan ABRI ke perbatasan. Haluan negaranya Manipol, konsepnya PKI.
Memang bagi mereka yang
umumnya tak mengerti teori-teori Marxisme-Leninisme, segala istilah revolusi
yang asing itu tetap asing baginya. Tetapi hati nuraninya mengatakan, bahwa
mendung gelap telah menggantung di angkasa, pertanda akan datangnya bencana
nasional. Entah dari mana. Percaya bahwa akhirnya semua isu yang palsu, pada
suatu ketika akan terbongkar juga.
Kembali kepada sejarah
perjuangan nasional. Sementara itu, di negeri Belanda ada organisasi pemuda-mahasiswa
yang menamakan dirinya Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Moh. Hatta. Dengan
para anggotanya Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Ahmad Subardjo
dan lain-lain. Pada tahun 1930, mereka dikeluarkan dari LIGA (League Against
Imperialism), front yang dibentuk tahun 1926. Front ini terbagi dua, yang
satu cenderung mendukung komunisme, yang lainnya menentang. Hatta dan Soebardjo
duduk dalam Komite Eksekutif bersama-sama Semaun, Pandit Jawaharlal Nehru, Albert
Einstein dan lain-lain. Karena dituduh sebagai reformis nasional, maka Hatta
dan kawan-kawannya dikeluarkan dari LIGA. Disebabkan pertentangan dari dalam, maka
LIGA itu pun bubar karena sikap kaum Komunis. Tak lama kemudian, Bung Karno
oleh Landraad Bandung, kena tuduhan pasal 169, bukan pelanggaran pasal
153 KUHP (menghasut haatzaai artikelen) semata-mata seperti
diduga rekan-rekan. Pelanggaran pasal 169 menentukan, bahwa barangsiapa turut
serta menjadi anggota perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatan-kejahatan,
akan dihukum.
PNI dengan sendirinya
dicap sebagai organisasi terlarang. Memang maksudnya Pemerintah Kolonial
mematikan PNI (Prof. J.M.J. Schepper—1931). Bung Karno bersama Gatot Mangkupradja,
Maskun, dan Supriadinata dijatuhi hukuman masing-masing 4 tahun (kemudian
dikurangi 2 tahun), 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan. Vonis dijatuhkan pada
tanggal 22 Desember 1930. Itulah sebabnya mengapa PNI mengundang suatu
konferensi luar biasa pada tanggal 25 April 1931 di Batavia, di gedung Permufakatan
Nasional, Gg. Kenari, dipimpin oleh Mr. Sartono dan dihadiri oleh Ir. Anwari, S.
Angronsudirdjo, Suwirjo serta utusan-utusan daerah. Konferensi menyetujui
pembubaran PNI. Namun keputusan Konferensi Luar Biasa ini banyak yang tidak
menyetujui, karena dianggap tunduk kepada Pemerintah Kolonial yang justru
bermaksud membunuh PNI. Tidakkah lebih baik bertahan karena tentu lebih baik kalau
mati terhormat? Golongan yang pro menjawab, bahwa gerakan nasional ini
berdasarkan atas aksi-massa yang datang tak mungkin dijalankan dalam keadaan
demikian. Di antara yang tak setuju adalah Sjahrir dan Hatta yang masih di Netherland.
Sjahril disuruh pulang, mengorbankan studinya untuk memprakarsai pembentukan
PNI-Baru, seperti telah dicita-citakannya sebagai wadah bagi Perhimpunan Indonesia
di tanah air. Partai Pendidikan Nasional ini mendasarkan programnya kepada
pembibitan kader, berbeda dengan yang lama yang menitikberatkan pada aksi-massa.
Hatta begitu selesai studinya, segera juga pulang ke tanah air, lantas diserahi
pimpinan. Ia menjabat sebagai Ketua Umum.
Bekas-bekas anggota PNI-Lama
berkumpul kembali pada tanggal 26 April 1931, yaitu sehari setelah PNI
dibubarkan, untuk membentuk suatu panitia wadah baru. Mereka ialah Mr. Sartono,
Angronsudirdjo, Soekemi, dan Manadi. Berdirilah Partai Indonesia (PARTINDO) dengan
tujuan: Indonesia merdeka dan berasaskan nasionalisme serta percaya pada diri
sendiri (self help). Sayangnya, kedua PNI ini saling cakar. Maklum,
bangsa kita masih berada dalam kondisi demikian. Pertumbuhan nasionalisme yang
masih bersifat kekanak-kanakan. Emosi masih menjiwai para muda, bukan lagi nalar.
Bung Karno yang dibebaskan pada bulan Desember 1931 sangat kecewa melihat
perpecahan antara para pejuang. Ia berusaha keras untuk mempersatukan kembali, tetapi
mengalami kesulitan.
Pada tanggal 1-3 Januari
1932, Bung Karno memenuhi undangan Dr. Soetomo ke Surabaya untuk menghadiri
Kongres Indonesia Raya-nya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia); suatu federasi partai-partai politik yang pembentukannya
diprakarsai dan didukung PNI. “Di zaman itu, pergerakan kemerdekaan nasional
kita terpecah belah menjadi beberapa golongan yang tak saja berbeda sifat, corak,
dan aliran, tetapi sering juga bertentangan satu lawan lainnya. Begitu hebat
pertentangan-pertentangan itu, hingga tidak jarang memuncak pertarungan politik
sengit,” demikian Mr. Ali Sastroamidjojo dalam memorinya “Tonggak-tonggak
di Perjalananku” (hlm. 91).
Sebagai contoh, pertentangan
antara Agus Salim lawan Mr. Singgih yang terjadi di Yogyakarta permulaan tahun
1927 di muka umum. Agus Salim memfitnah Mr. R.P. Singgih sebagai antek Jaksa
Agung Belanda yang diselundupkan dalam kalangan pergerakan. Pertentangan antara
golongan agama lawan nasionalis menjadi hangat. Tragedi itu tak disadari oleh
mereka yang sedang diamuk emosi. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno tahun 1926
menulis suatu artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang
berseru pentingnya persatuan nasional sebagai syarat mutlak untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Kemudian pada tahun berikutnya, lahirlah PPPKI yang di
sambut gembira oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang dinyatakan dalam Kongres Sarikat
Islam di Pekalongan, September 1927. Di prakarsai oleh Bung Karno dan Dr. Soekiman
Wirjosandjojo dari Partai SI, di mufakati untuk mengadakan rapat umum PPPKI di
Batavia, tanggal 25 Maret 1928. Pimpinan adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang
antara lain memutuskan Perhimpunan Indonesia di Netherland sebagai perisai pos
depan di Netherland untuk berpropaganda menentang pasal-pasal 153 bis dan bis 161
KUHP Hindia-Belanda. Sedang di tanah air mengadakan momen aksi untuk menentang
pasal-pasal tersebut.
Pada Kongres II di Solo,
benih perpecahan dalam tubuh PPPKI telah semakin tampak. Dalam kongres itu, nasionalis
kiri diwakili oleh Bung Karno, Mr. Sartono, Ir. Anwari, Gatot Mangkupradja, dan
Mr. Ali Sastroamidjojo. Sedangkan nasionalis moderat oleh Dr. Sutomo dari PBI, Husni
Thamrin dari Kaum Betawi, R.T. Kusumo Utojo dan Mr. Singgih dari BU, dan Dahlan
dari Sumatranen Bond. Golongan Islam diwakili
oleh Dr. Sukiman dan Drijowongso. Topik yang menjadi pertentangan adalah
istilah “kebangsaan”. Debat sengit terjadi antara golongan radikal (kiri) lawan
Islam dan Nasionalis moderat. Tetapi kemudian dapat dicernakan oleh Dr. Sutomo
yang berpidato dengan sangat menarik dan moderat.
Dr. Sutomo malah
menawari Mr. Ali Sastroamidjojo pindah saja ke Surabaya untuk memimpin surat
kabar Suara Umum dan mingguan Suluh dengan gaji
f400. Pak Ali mengusulkan nama Berita Indonesia yang bakal terbit
1 Oktober 1930, dan agar dirinya didampingi oleh Ir. Anwari yang disetujui oleh
Dr. Sutomo. Entah bagaimana, akhirnya Ali Sastroamidjojo membatalkan niatnya
untuk membantu Dr. Sutomo.
Bukan hanya dalam
kalangan nasionalis kiri terjangkit perpecahan, melainkan juga dalam barisan
Islam. Setelah H.O.S. Tjokroaminoto wafat tahun 1934, PSII pecah. Mereka yang
memisahkan diri, mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII). Kemudian PII di bawah
pimpinan Sukisman Wirjosandjojo. Sedangkan golongan H. Agus Salim, Sangadji, dan
Moh. Roem mendirikan Barisan Penyadar. S.M. Kartosuwirjo tetap memakai nama PSII,
tetapi memisahkan diri dari golongan Arudji Kartawinata, Abikoesno, dan Wondoamiseno.
Kaum Katholik mendirikan
“Pakempalan Politik Katholik Jawi” (PPKD) pada tanggal 22 Februari 1945 di
bawah pimpinan I.J. Kasimo. Kemudian nama tersebut disempurnakan menjadi “Perkumpulan
Politik Katholik di Jawa” yang berarti membuka pintu bagi masyarakat suku lain.
Tahun 1938, PPKD menjadi PPKI.
Golongan Kristen
mendirikan “Perserikatan Kaum Kristen” di bawah pimpinan Notosutarso.
Yang terkoordinasi dalam
PPPKI adalah PNI, SI, BU, Pasundan, Serikat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesisch,
Studie Club Surabaya, Sarikat Madura, Perserikatan Celebes, dan Tirtayasa.
Usaha Bung Karno untuk
mempersatukan kaum nasionalis moderat mengalami kegagalan. Akhirnya, ia sendiri
memasuki PARTINDO, kemudian diangkat menjadi Ketua Umumnya. PARTINDO maju
dengan pesatnya berkat karisma Bung Karno. Akan tetapi Pemerintah Kolonial
tentu saja kecut. Pada bulan Juni 1933, dikeluarkanlah larangan bagi pegawai
negeri untuk memasuki pergerakan; khususnya PARTINDO. Dan Bung Karno sendiri
pada tanggal 1 Agustus 1933 ditangkap atas dasar hak exorbitant Gubernur
Jenderal, kemudian diasingkan ke Ende, Flores.
PARTINDO menulis dalam
surat kabarnya Persatuan Indonesia, “Selama pena kita masih berpucuk, kita
masih tetap akan mendengungkan suara kita dan akan menentang segala hasutan
yang ditujukan pada pergerakan kemerdekaan nasional. Kita akan terus
mempersatukan Indonesia, baik jiwanya maupun kekuatannya.” Di samping itu, Pendidikan
Nasional Indonesia juga diincar. Bung Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dibuang
ke Banda.
Kongres PARTINDO di
Batavia yang sedianya dilangsungkan tanggal 30 Desember 1934 juga dilarang. PPPKI
juga mendapat kesukaran, karena PARTINDO menjadi salah satu anggotanya. Maka
pada tanggal 9 Februari 1935 PARTINDO menyatakan diri keluar dari PPPKI. Tekanan-tekanan
terus dilancarkan terhadap pergerakan nasional. Bung Karno pada bulan Oktober
1933 dari tempat pengasingannya menyatakan diri keluar dari PARTINDO. Suatu
pukulan yang berat. Akhirnya juga PARTINDO pada tanggal 18 November 1936
menyatakan diri bubar.
Suatu wadah baru muncul,
yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) pada tanggal 24 Mei 1937 yang asas dan
tujuannya sama dengan PARTINDO. Pimpinannya ialah Adnan K. Gani (Ketua), Moh. Yamin,
Amir Sjarifudin, Sarimin Mangunsarkoro, dan Njonopranoto. GERINDO melepaskan
prinsip nonkoperasi, karena hanya akan merugikan perjuangan. Lagi pula politik
radikal toh sudah ditanamkan. GERINDO selain mendasarkan gerakannya atas massa
aksi, juga antifasis. Karena waktu itu munculnya Hitler di Jerman, Mussolini di
Italia, dan Jenderal Tojo di Jepang cukup menggegerkan kalangan Marxis.
Bulan Juli 1935 Stalin
mengundang Kongres Komintern VII yang pertama sehingga dibuat ramalan dalam 7
tahun. Kali ini untuk melawan “Nasional Sosialis”-nya Hitler, ia gariskan
politik lebih lunak. Kerjasama dengan borjuis dalam united front. Sekjen
Komintern Georgi Dimitrov mengatakan, “Pertama harus dilakukan united front
untuk melaksanakan united actions di setiap negara di dunia. Jangan
menyinggung siapa-siapa, perorangan, ormas atau partai lainnya yang bisa diajak
bergolak bersama oleh kelas pekerja melawan fasisme.”
Untuk pertama kali sejak
retak dengan Perhimpunan Indonesia tahun 1928, kaum Komunis Indonesia dan Semaun
diperkenankan kerjasama dengan kaum borjuis nasional.
Amir Sjarifudin sejak
1935 itu telah diminta oleh Muso untuk masuk PKI secara klandestin
(sembunyi-sembunyi). PARTINDO juga meningkatkan perjuangannya dalam politik
parlementer. Kalau GERINDO berprinsip antifasis tanpa pandang bulu —termasuk
Jepang, PARINDRA berpandangan lain. Ia akan gunakan Jepang untuk mengusir
penjajahan Belanda yang sudah karatan bercokol. Watak kolot kolonialisme itu
dinyatakan waktu pemerintah Hindia Belanda tetap keras kepala tak memberi angin
sedikitpun kepada tuntutan “Indonesia berparlemen.”
“Petisi Sutardjo” yang
hanya meminta otonomi bagi Indonesia bersama Curacao dan Suriname dalam “Ikatan
Kerajaan Belanda” tetap ditolak (November 1938).
Usul Husni Thamrin untuk
menghilangkan kata inlander dan diganti dengan Indonesier, juga
ditolak. Atas prakarsa PSII dan PARINDRA, diusulkan pembentukan suatu federasi
baru bernama Badan Perantara Partai-partai Politik Indonesia (BAPEPPI) tetapi
tak hidup, karena GERINDO dan PNI Baru tidak ikut serta.
Pada bulan Mei tanggal
21 tahun 1939 didirikanlah badan persatuan baru yang disebut Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) dengan asas-asas:
1. Hak menentukan nasib
sendiri;
2. Persatuan nasional;
3. Demokrasi, politik, ekonomi,
sosial, dan
4. Persatuan aksi.
Partai ini didirikan dan
dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (Islam), Moh. Husni Thamrin (nasionalis), dan
Amir Sjarifudin (nasionalis kiri).
Sementara itu pada bulan
September 1939 telah meletus Perang Dunia II di Eropa. Walaupun Netherland
berdiri netral, namun tak urung digilas NAZI Jerman hanya dalam 6 hari. Gerakan
nasionalis kiri lucunya banyak yang bersimpati kepada Netherland dalam
menghadapi NAZI. Bukan karena perikemanusiaan, melainkan politis. Tampaknya
jiwa Marxis disini lebih berbicara daripada nasionalisme yang menurut nalar
situasi lebih memungkinkan untuk mempercepat meraih cita-cita kemerdekaan, sesudah
Hindia Belanda lepas dari induknya.
Pada tanggal 25 Desember
1939 di Gg. Kenari Batavia, “Kongres Rakyat Indonesia” berlangsung. Dihadiri
oleh 90 organisasi, baik politik maupun sosial-budaya. Keputusan terpenting
adalah tuntutan “Indonesia berparlemen” serta memperkuat Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, yaitu bahasa persatuan Indonesia, bendera kebangsaan Merah Putih,
dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Tetapi hati Gubernur Jenderal Tjarda
Starkenborgh tetap membantu. Februari 1940 akhirnya datang jawaban dari
pemerintah Belanda yang ditandatangani oleh P.M. Welter tuntutan ditoIak. Belum
matang, katanya. Betul-betul kekolotan jiwa kolonialis.
Tanggal 10 Mei 1940, Netherland
bertekuk lutut di bawah telapak kaki NAZI Jerman. Pemerintah dan Ratu Juliana
mengasingkan diri ke London. Rakyat Hindia Belanda merana dalam masa pendudukan.
Pemerintah Hindia Belanda yang sudah ketakutan, masih juga mengumumkan negara
dalam keadaan darurat, dan semua rapat pergerakan dilarang. Maka berhentilah
kegiatan pergerakan. Kegiatan dialihkan ke Volksraad, di mana tokoh-tokohnya
seperti R.P. Soeroso, Moh. Yamin, Sukardjo Wirjopranoto, Sutardjo Hadikusumo
membentuk fraksi baru, gabungan antara GNI (Yamin) dan FRANI (Moh Husni Thamrin).
Tujuan tetap: “Indonesia merdeka”.
Pada tanggal 14
September 1941, Kongres Rakyat Indonesia nekat mengadakan konferensi di
Yogyakarta yang dibiarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Konferensi mengambil
keputusan mendirikan Majelis Rakyat Indonesia yang mengesampingkan volksraad,
maksudnya. Tiba-tiba Jepang membom Pearl Harbour pada 6 Desember 1941. Seluruh
Asia, geger. Pemerintah Hindia Belanda dengan KNIL-nya tak berpotensi dapat
menahan serbuan dahsyat dari bala tentara Jepang. Februari 1942, tentara Jepang
menyerbu Indonesia. Dan pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen Ter Poorten bertekuk lutut
serta menandatangani penyerahan. Hanya 9 hari setelah Jepang menyerbu. Dan berakhirlah
sudah sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia yang lebih dari 350 tahun. Radio
Tokyo terus-menerus berkampanye, “Alhamdulillah, Asia Tengah bangun,” yang
didahului oleh lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, menggetarkan seluruh jiwa kita,
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dengan spontan bala tentara Jepang disambut
di mana-mana dengan kegembiraan meledak serta ucapan-ucapan syukur alhamdulillah.
Merah-putih berkibar bebas di mana-mana dan seterusnya ia akan berkibar di
angkasa, sepanjang masa.
Pada mulanya bala
tentara Jepang menjalankan politik yang cerdik sekali. Seolah-olah kita telah
dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Hanya kini kita harus masih
mempertahankan diri terhadap kemungkinan serbuan musuh. Para pemimpin kita
dijemput dari pengasingan. Bung Karno dan Bung Hatta sejak itu menjadi dwi
tunggal yang terus akan memimpin perjuangan bangsa di bawah bayangan tentara
pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang lambat-laun menjelma menjadi
penindas yang licik dan kejam. Kempetai telah menjadi momok yang sangat
menakutkan. Heiho dan Romusha adalah istilah-istilah penindasan
para muda waktu itu. Para muda dikerahkan untuk bekerja keras, dibawa ke luar
negeri antara lain ke Muangthai dan Burma untuk dipekerjakan pada proyek-proyek
kereta api tanpa makan dan cukup dengan pakaian compang-camping. Heiho
adalah pembantu prajurit Jepang yang diikutkan berperang di berbagai Medan. Keibodan
dan Seinendan untuk gerakan para pemuda. Kemudian PETA adalah pembela
tanah air, satu satunya tentara pribumi yang diciptakan Jepang yang kemudian
menjadi embrio dari tentara perjuangan kita di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar