Selasa, 28 Mei 2019

Kesadaran Nasional, Cita-cita Kemerdekaan, dan Keadilan Sosial


Kesadaran berorganisasi modern, kebangsaan serta keadilan sosial bukanlah hanya dimiliki oleh kaum Komunis, akan tetapi dibawa oleh makin majunya pendidikan.

Demikianlah lahir Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama tahun 1912 bulan November tanggal 18, Budi Utomo oleh para siswa STOVIA, lantas Trikoro Dharmo pada tanggal 7 Maret 1915 yang bertujuan solidaritas pelajar dan meningkatkan kepribadian sendiri. Perkumpulan ini kemudian menjadi Jong Java yang membangkitkan pikiran-pikiran pemuda daerah seberang. Timbullah berturut-turut Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Timur, Sekar Rukun dan lain-lain.

Pada tanggal 7 Februari 1927 di Bandung mereka sepakat untuk berfusi menjadi satu wadah pemuda Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 dilangsungkan Sumpah Pemuda, dimana diikrarkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; “Indonesia Raya” untuk pertama kali diperdengarkan. Suatu embrio dari nasionalisme Indonesia.

Sejak saat itu, perjuangan ditingkatkan menjadi politik. Pada tahun 1930, dibentuklah Indonesia Muda, kemudian Suluh Pemuda Indonesia (SPI), Pergerakan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), dan Pemuda Taman Siswa.

Golongan Islam membentuk Jong Islamieten Bond (JIB) di bawah pimpinan Kasman Singodimedjo dan Sjamsuridjal. Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Kristen dan Katholik pun membentuk wadah masing-masing. Juga sebagai kepanduan Jong Java, INPO, KBI, Hizbul Wathon, Pandu Sarikat Islam, NATIPIJ, Kepanduan Rakyat Indonesia, dan JPO (Javaansche Padvinders Organisasi) di Solo. Banyak organisasi yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kesadaran nasional telah tumbuh secara menyeluruh, yang merupakan dinamika baru.

Dalam pergerakan nasional, lahirlah PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927 atas prakarsa Ir. Soekarno; seorang pemuda asuhan H.O.S. Tjokroaminoto; yang berhaluan nasional Marxist. Dibantu oleh Mr. Sartono, Mr. Iskak Hadisurja, Ir. Anwari, Dr. Samsi Soewirjo, Gatot Mangkupradja, Supriadinata dan lain-lain.

Ir. Soekarno yang dikenal sebagai Bung Karno menginstruksikan nasionalisme baru, “Yaitu perkawinan antara Marxisme dan Nasionalisme. Ilmu baru, senjata perjuangan baru, sikap hidup baru yang disebut Marhaenisme.” Nama yang dikatakan sebagai nama petani Jawa Barat ini menjadi bahan debat tak berkeputusan.

Dalam wejangannya, “Marhaen dan Proletar” halaman 225, ia berkata, “Marhaen bukanlah kaum proletar saja, tetapi kaum tani melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Bahwa dalam perjuangan bersama kaum Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. Sebab kaum proletarlah yang pertama-tama mengerti akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Nah, saya berkata Marhaenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme adalah het in Indonesia-toegepaste-Marxisme. Untuk itu, harus memahami Marxisme dan keadaan Indonesia. Kalau dihubungkan dengan nama Bung Karno, saya minta supaya Marhaenisme seperti Marhaenisme-nya Bung Karno. Kalau tidak cocok dengan Marhaenisme-nya Bung Karno, kasihlah nama lain. Jangan dikatakan Marhaenisme.” Dengan mensitir kata Lenin, Bung Karno mengatakan, “Tanpa teori revolusioner, tak mungkin ada gerakan revolusioner.”

Aidit di Peking 2 September 1963 juga mengatakan, “Kaum Komunis Indonesia merasa, bahwa mereka telah berada di jalan yang benar, yaitu mengintegrasikan secara total kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktik konkret revolusi Indonesia. Sampai batas tertentu, kami sudah berhasil meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme. Tahu Marxisme-Leninisme dan kenal keadaan.”

Bung Karno sebagai Marxist membagi teori revolusinya dalam dua tahap, yaitu tahap nasionalis-demokratis dan tahap sosialis. Tetapi Marxist yang yakin, Bung Karno seperti halnya Lenin, Fidel Castro, Ho Chi Minh maupun Mao Tse-Tung menyesuaikan dengan kondisi nasionalnya. Dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional, pola dan strategi itu tetap ia pegang dengan teguhnya. Dengan memahami teori revolusinya Bung Karno yang dimuat dalam buku Wejangan Revolusi 1922 hlm. 217, kita lantas mengerti mengapa Bung Karno teguh pada pendiriannya, bahwa revolusi belum selesai. Walaupun kemerdekaan telah bulat di tangan kita.

Dr. Moh. Hatta tak sependapat dengan Bung Karno, bahwa revolusi belum selesai. Menurut Hatta, revolusi kemerdekaan telah selesai setelah kedaulatan kita peroleh, dan seharusnya mulailah membangun. Tetapi menurut Bung Karno, revolusi belum selesai. Tahap revolusi kedua masih harus dilaksanakan. Hatta kemudian mengundurkan diri. Ia tak mau dilibatkan dalam petualangan. Rakyat akan semakin bingung dibuatnya. Semakin tak mengerti setelah diajak mengikuti ‘politik konfrontasi’ dengan dibuatkan musuh-musuh bayangan; Nekolim. Pengerahan-pengerahan massa dalam Front Nasional, serta menggerakkan ABRI ke perbatasan. Haluan negaranya Manipol, konsepnya PKI.

Memang bagi mereka yang umumnya tak mengerti teori-teori Marxisme-Leninisme, segala istilah revolusi yang asing itu tetap asing baginya. Tetapi hati nuraninya mengatakan, bahwa mendung gelap telah menggantung di angkasa, pertanda akan datangnya bencana nasional. Entah dari mana. Percaya bahwa akhirnya semua isu yang palsu, pada suatu ketika akan terbongkar juga.

Kembali kepada sejarah perjuangan nasional. Sementara itu, di negeri Belanda ada organisasi pemuda-mahasiswa yang menamakan dirinya Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Moh. Hatta. Dengan para anggotanya Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Ahmad Subardjo dan lain-lain. Pada tahun 1930, mereka dikeluarkan dari LIGA (League Against Imperialism), front yang dibentuk tahun 1926. Front ini terbagi dua, yang satu cenderung mendukung komunisme, yang lainnya menentang. Hatta dan Soebardjo duduk dalam Komite Eksekutif bersama-sama Semaun, Pandit Jawaharlal Nehru, Albert Einstein dan lain-lain. Karena dituduh sebagai reformis nasional, maka Hatta dan kawan-kawannya dikeluarkan dari LIGA. Disebabkan pertentangan dari dalam, maka LIGA itu pun bubar karena sikap kaum Komunis. Tak lama kemudian, Bung Karno oleh Landraad Bandung, kena tuduhan pasal 169, bukan pelanggaran pasal 153 KUHP (menghasut haatzaai artikelen) semata-mata seperti diduga rekan-rekan. Pelanggaran pasal 169 menentukan, bahwa barangsiapa turut serta menjadi anggota perkumpulan yang bertujuan menjalankan kejahatan-kejahatan, akan dihukum.

PNI dengan sendirinya dicap sebagai organisasi terlarang. Memang maksudnya Pemerintah Kolonial mematikan PNI (Prof. J.M.J. Schepper—1931). Bung Karno bersama Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata dijatuhi hukuman masing-masing 4 tahun (kemudian dikurangi 2 tahun), 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan. Vonis dijatuhkan pada tanggal 22 Desember 1930. Itulah sebabnya mengapa PNI mengundang suatu konferensi luar biasa pada tanggal 25 April 1931 di Batavia, di gedung Permufakatan Nasional, Gg. Kenari, dipimpin oleh Mr. Sartono dan dihadiri oleh Ir. Anwari, S. Angronsudirdjo, Suwirjo serta utusan-utusan daerah. Konferensi menyetujui pembubaran PNI. Namun keputusan Konferensi Luar Biasa ini banyak yang tidak menyetujui, karena dianggap tunduk kepada Pemerintah Kolonial yang justru bermaksud membunuh PNI. Tidakkah lebih baik bertahan karena tentu lebih baik kalau mati terhormat? Golongan yang pro menjawab, bahwa gerakan nasional ini berdasarkan atas aksi-massa yang datang tak mungkin dijalankan dalam keadaan demikian. Di antara yang tak setuju adalah Sjahrir dan Hatta yang masih di Netherland. Sjahril disuruh pulang, mengorbankan studinya untuk memprakarsai pembentukan PNI-Baru, seperti telah dicita-citakannya sebagai wadah bagi Perhimpunan Indonesia di tanah air. Partai Pendidikan Nasional ini mendasarkan programnya kepada pembibitan kader, berbeda dengan yang lama yang menitikberatkan pada aksi-massa. Hatta begitu selesai studinya, segera juga pulang ke tanah air, lantas diserahi pimpinan. Ia menjabat sebagai Ketua Umum.

Bekas-bekas anggota PNI-Lama berkumpul kembali pada tanggal 26 April 1931, yaitu sehari setelah PNI dibubarkan, untuk membentuk suatu panitia wadah baru. Mereka ialah Mr. Sartono, Angronsudirdjo, Soekemi, dan Manadi. Berdirilah Partai Indonesia (PARTINDO) dengan tujuan: Indonesia merdeka dan berasaskan nasionalisme serta percaya pada diri sendiri (self help). Sayangnya, kedua PNI ini saling cakar. Maklum, bangsa kita masih berada dalam kondisi demikian. Pertumbuhan nasionalisme yang masih bersifat kekanak-kanakan. Emosi masih menjiwai para muda, bukan lagi nalar. Bung Karno yang dibebaskan pada bulan Desember 1931 sangat kecewa melihat perpecahan antara para pejuang. Ia berusaha keras untuk mempersatukan kembali, tetapi mengalami kesulitan.

Pada tanggal 1-3 Januari 1932, Bung Karno memenuhi undangan Dr. Soetomo ke Surabaya untuk menghadiri Kongres Indonesia Raya-nya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia); suatu federasi partai-partai politik yang pembentukannya diprakarsai dan didukung PNI. “Di zaman itu, pergerakan kemerdekaan nasional kita terpecah belah menjadi beberapa golongan yang tak saja berbeda sifat, corak, dan aliran, tetapi sering juga bertentangan satu lawan lainnya. Begitu hebat pertentangan-pertentangan itu, hingga tidak jarang memuncak pertarungan politik sengit,” demikian Mr. Ali Sastroamidjojo dalam memorinya “Tonggak-tonggak di Perjalananku” (hlm. 91).

Sebagai contoh, pertentangan antara Agus Salim lawan Mr. Singgih yang terjadi di Yogyakarta permulaan tahun 1927 di muka umum. Agus Salim memfitnah Mr. R.P. Singgih sebagai antek Jaksa Agung Belanda yang diselundupkan dalam kalangan pergerakan. Pertentangan antara golongan agama lawan nasionalis menjadi hangat. Tragedi itu tak disadari oleh mereka yang sedang diamuk emosi. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno tahun 1926 menulis suatu artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang berseru pentingnya persatuan nasional sebagai syarat mutlak untuk mencapai Indonesia Merdeka. Kemudian pada tahun berikutnya, lahirlah PPPKI yang di sambut gembira oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang dinyatakan dalam Kongres Sarikat Islam di Pekalongan, September 1927. Di prakarsai oleh Bung Karno dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo dari Partai SI, di mufakati untuk mengadakan rapat umum PPPKI di Batavia, tanggal 25 Maret 1928. Pimpinan adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang antara lain memutuskan Perhimpunan Indonesia di Netherland sebagai perisai pos depan di Netherland untuk berpropaganda menentang pasal-pasal 153 bis dan bis 161 KUHP Hindia-Belanda. Sedang di tanah air mengadakan momen aksi untuk menentang pasal-pasal tersebut.

Pada Kongres II di Solo, benih perpecahan dalam tubuh PPPKI telah semakin tampak. Dalam kongres itu, nasionalis kiri diwakili oleh Bung Karno, Mr. Sartono, Ir. Anwari, Gatot Mangkupradja, dan Mr. Ali Sastroamidjojo. Sedangkan nasionalis moderat oleh Dr. Sutomo dari PBI, Husni Thamrin dari Kaum Betawi, R.T. Kusumo Utojo dan Mr. Singgih dari BU, dan Dahlan dari Sumatranen Bond. Golongan Islam diwakili oleh Dr. Sukiman dan Drijowongso. Topik yang menjadi pertentangan adalah istilah “kebangsaan”. Debat sengit terjadi antara golongan radikal (kiri) lawan Islam dan Nasionalis moderat. Tetapi kemudian dapat dicernakan oleh Dr. Sutomo yang berpidato dengan sangat menarik dan moderat.

Dr. Sutomo malah menawari Mr. Ali Sastroamidjojo pindah saja ke Surabaya untuk memimpin surat kabar Suara Umum dan mingguan Suluh dengan gaji f400. Pak Ali mengusulkan nama Berita Indonesia yang bakal terbit 1 Oktober 1930, dan agar dirinya didampingi oleh Ir. Anwari yang disetujui oleh Dr. Sutomo. Entah bagaimana, akhirnya Ali Sastroamidjojo membatalkan niatnya untuk membantu Dr. Sutomo.

Bukan hanya dalam kalangan nasionalis kiri terjangkit perpecahan, melainkan juga dalam barisan Islam. Setelah H.O.S. Tjokroaminoto wafat tahun 1934, PSII pecah. Mereka yang memisahkan diri, mendirikan Partai Islam Indonesia (PARII). Kemudian PII di bawah pimpinan Sukisman Wirjosandjojo. Sedangkan golongan H. Agus Salim, Sangadji, dan Moh. Roem mendirikan Barisan Penyadar. S.M. Kartosuwirjo tetap memakai nama PSII, tetapi memisahkan diri dari golongan Arudji Kartawinata, Abikoesno, dan Wondoamiseno.

Kaum Katholik mendirikan “Pakempalan Politik Katholik Jawi” (PPKD) pada tanggal 22 Februari 1945 di bawah pimpinan I.J. Kasimo. Kemudian nama tersebut disempurnakan menjadi “Perkumpulan Politik Katholik di Jawa” yang berarti membuka pintu bagi masyarakat suku lain. Tahun 1938, PPKD menjadi PPKI.

Golongan Kristen mendirikan “Perserikatan Kaum Kristen” di bawah pimpinan Notosutarso.

Yang terkoordinasi dalam PPPKI adalah PNI, SI, BU, Pasundan, Serikat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesisch, Studie Club Surabaya, Sarikat Madura, Perserikatan Celebes, dan Tirtayasa.

Usaha Bung Karno untuk mempersatukan kaum nasionalis moderat mengalami kegagalan. Akhirnya, ia sendiri memasuki PARTINDO, kemudian diangkat menjadi Ketua Umumnya. PARTINDO maju dengan pesatnya berkat karisma Bung Karno. Akan tetapi Pemerintah Kolonial tentu saja kecut. Pada bulan Juni 1933, dikeluarkanlah larangan bagi pegawai negeri untuk memasuki pergerakan; khususnya PARTINDO. Dan Bung Karno sendiri pada tanggal 1 Agustus 1933 ditangkap atas dasar hak exorbitant Gubernur Jenderal, kemudian diasingkan ke Ende, Flores.

PARTINDO menulis dalam surat kabarnya Persatuan Indonesia, “Selama pena kita masih berpucuk, kita masih tetap akan mendengungkan suara kita dan akan menentang segala hasutan yang ditujukan pada pergerakan kemerdekaan nasional. Kita akan terus mempersatukan Indonesia, baik jiwanya maupun kekuatannya.” Di samping itu, Pendidikan Nasional Indonesia juga diincar. Bung Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Banda.

Kongres PARTINDO di Batavia yang sedianya dilangsungkan tanggal 30 Desember 1934 juga dilarang. PPPKI juga mendapat kesukaran, karena PARTINDO menjadi salah satu anggotanya. Maka pada tanggal 9 Februari 1935 PARTINDO menyatakan diri keluar dari PPPKI. Tekanan-tekanan terus dilancarkan terhadap pergerakan nasional. Bung Karno pada bulan Oktober 1933 dari tempat pengasingannya menyatakan diri keluar dari PARTINDO. Suatu pukulan yang berat. Akhirnya juga PARTINDO pada tanggal 18 November 1936 menyatakan diri bubar.

Suatu wadah baru muncul, yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) pada tanggal 24 Mei 1937 yang asas dan tujuannya sama dengan PARTINDO. Pimpinannya ialah Adnan K. Gani (Ketua), Moh. Yamin, Amir Sjarifudin, Sarimin Mangunsarkoro, dan Njonopranoto. GERINDO melepaskan prinsip nonkoperasi, karena hanya akan merugikan perjuangan. Lagi pula politik radikal toh sudah ditanamkan. GERINDO selain mendasarkan gerakannya atas massa aksi, juga antifasis. Karena waktu itu munculnya Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan Jenderal Tojo di Jepang cukup menggegerkan kalangan Marxis.

Bulan Juli 1935 Stalin mengundang Kongres Komintern VII yang pertama sehingga dibuat ramalan dalam 7 tahun. Kali ini untuk melawan “Nasional Sosialis”-nya Hitler, ia gariskan politik lebih lunak. Kerjasama dengan borjuis dalam united front. Sekjen Komintern Georgi Dimitrov mengatakan, “Pertama harus dilakukan united front untuk melaksanakan united actions di setiap negara di dunia. Jangan menyinggung siapa-siapa, perorangan, ormas atau partai lainnya yang bisa diajak bergolak bersama oleh kelas pekerja melawan fasisme.”

Untuk pertama kali sejak retak dengan Perhimpunan Indonesia tahun 1928, kaum Komunis Indonesia dan Semaun diperkenankan kerjasama dengan kaum borjuis nasional.

Amir Sjarifudin sejak 1935 itu telah diminta oleh Muso untuk masuk PKI secara klandestin (sembunyi-sembunyi). PARTINDO juga meningkatkan perjuangannya dalam politik parlementer. Kalau GERINDO berprinsip antifasis tanpa pandang bulu —termasuk Jepang, PARINDRA berpandangan lain. Ia akan gunakan Jepang untuk mengusir penjajahan Belanda yang sudah karatan bercokol. Watak kolot kolonialisme itu dinyatakan waktu pemerintah Hindia Belanda tetap keras kepala tak memberi angin sedikitpun kepada tuntutan “Indonesia berparlemen.”

“Petisi Sutardjo” yang hanya meminta otonomi bagi Indonesia bersama Curacao dan Suriname dalam “Ikatan Kerajaan Belanda” tetap ditolak (November 1938).

Usul Husni Thamrin untuk menghilangkan kata inlander dan diganti dengan Indonesier, juga ditolak. Atas prakarsa PSII dan PARINDRA, diusulkan pembentukan suatu federasi baru bernama Badan Perantara Partai-partai Politik Indonesia (BAPEPPI) tetapi tak hidup, karena GERINDO dan PNI Baru tidak ikut serta.

Pada bulan Mei tanggal 21 tahun 1939 didirikanlah badan persatuan baru yang disebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dengan asas-asas:
1. Hak menentukan nasib sendiri;
2. Persatuan nasional;
3. Demokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan
4. Persatuan aksi.

Partai ini didirikan dan dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (Islam), Moh. Husni Thamrin (nasionalis), dan Amir Sjarifudin (nasionalis kiri).

Sementara itu pada bulan September 1939 telah meletus Perang Dunia II di Eropa. Walaupun Netherland berdiri netral, namun tak urung digilas NAZI Jerman hanya dalam 6 hari. Gerakan nasionalis kiri lucunya banyak yang bersimpati kepada Netherland dalam menghadapi NAZI. Bukan karena perikemanusiaan, melainkan politis. Tampaknya jiwa Marxis disini lebih berbicara daripada nasionalisme yang menurut nalar situasi lebih memungkinkan untuk mempercepat meraih cita-cita kemerdekaan, sesudah Hindia Belanda lepas dari induknya.

Pada tanggal 25 Desember 1939 di Gg. Kenari Batavia, “Kongres Rakyat Indonesia” berlangsung. Dihadiri oleh 90 organisasi, baik politik maupun sosial-budaya. Keputusan terpenting adalah tuntutan “Indonesia berparlemen” serta memperkuat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu bahasa persatuan Indonesia, bendera kebangsaan Merah Putih, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Tetapi hati Gubernur Jenderal Tjarda Starkenborgh tetap membantu. Februari 1940 akhirnya datang jawaban dari pemerintah Belanda yang ditandatangani oleh P.M. Welter tuntutan ditoIak. Belum matang, katanya. Betul-betul kekolotan jiwa kolonialis.

Tanggal 10 Mei 1940, Netherland bertekuk lutut di bawah telapak kaki NAZI Jerman. Pemerintah dan Ratu Juliana mengasingkan diri ke London. Rakyat Hindia Belanda merana dalam masa pendudukan. Pemerintah Hindia Belanda yang sudah ketakutan, masih juga mengumumkan negara dalam keadaan darurat, dan semua rapat pergerakan dilarang. Maka berhentilah kegiatan pergerakan. Kegiatan dialihkan ke Volksraad, di mana tokoh-tokohnya seperti R.P. Soeroso, Moh. Yamin, Sukardjo Wirjopranoto, Sutardjo Hadikusumo membentuk fraksi baru, gabungan antara GNI (Yamin) dan FRANI (Moh Husni Thamrin). Tujuan tetap: “Indonesia merdeka”.

Pada tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia nekat mengadakan konferensi di Yogyakarta yang dibiarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Konferensi mengambil keputusan mendirikan Majelis Rakyat Indonesia yang mengesampingkan volksraad, maksudnya. Tiba-tiba Jepang membom Pearl Harbour pada 6 Desember 1941. Seluruh Asia, geger. Pemerintah Hindia Belanda dengan KNIL-nya tak berpotensi dapat menahan serbuan dahsyat dari bala tentara Jepang. Februari 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia. Dan pada tanggal 8 Maret 1942, Letjen Ter Poorten bertekuk lutut serta menandatangani penyerahan. Hanya 9 hari setelah Jepang menyerbu. Dan berakhirlah sudah sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia yang lebih dari 350 tahun. Radio Tokyo terus-menerus berkampanye, “Alhamdulillah, Asia Tengah bangun,” yang didahului oleh lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, menggetarkan seluruh jiwa kita, bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dengan spontan bala tentara Jepang disambut di mana-mana dengan kegembiraan meledak serta ucapan-ucapan syukur alhamdulillah. Merah-putih berkibar bebas di mana-mana dan seterusnya ia akan berkibar di angkasa, sepanjang masa.

Pada mulanya bala tentara Jepang menjalankan politik yang cerdik sekali. Seolah-olah kita telah dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Hanya kini kita harus masih mempertahankan diri terhadap kemungkinan serbuan musuh. Para pemimpin kita dijemput dari pengasingan. Bung Karno dan Bung Hatta sejak itu menjadi dwi tunggal yang terus akan memimpin perjuangan bangsa di bawah bayangan tentara pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang lambat-laun menjelma menjadi penindas yang licik dan kejam. Kempetai telah menjadi momok yang sangat menakutkan. Heiho dan Romusha adalah istilah-istilah penindasan para muda waktu itu. Para muda dikerahkan untuk bekerja keras, dibawa ke luar negeri antara lain ke Muangthai dan Burma untuk dipekerjakan pada proyek-proyek kereta api tanpa makan dan cukup dengan pakaian compang-camping. Heiho adalah pembantu prajurit Jepang yang diikutkan berperang di berbagai Medan. Keibodan dan Seinendan untuk gerakan para pemuda. Kemudian PETA adalah pembela tanah air, satu satunya tentara pribumi yang diciptakan Jepang yang kemudian menjadi embrio dari tentara perjuangan kita di kemudian hari.

Terkait: Lahinya PKI | Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar