Kegagalan pemberontakan
PKI tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera, mengakibatkan semua pimpinan utama
PKI melarikan diri ke luar negeri. Sejak itu, Semaun, Darsono, Muso, Alimin tak
berada di tanah air. Dalam razia yang dilancarkan Pemerintah Kolonial waktu itu,
9 orang dihukum mati, 823 dibuang ke Digul, dan 8.000 mendapatkan hukuman
ringan kemudian dilepaskan kembali.
PKI dibubarkan. Organisasinya
sudah barang tentu menjadi berantakan. Kepemimpinan pergerakan nasional ada di
tangan para pemimpin nasionalis kiri, moderat, dan kaum agama. Kaum Komunis
yang vakum kepemimpinan, tak mampu ikut berpatisipasi dalam kepemimpinan
revolusi. Sampai detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan
selanjutnya. Menjadi kenyataanlah ucapan Tan Malaka kepada Alimin di Manila, “Kita
harus sedapat mungkin berusaha jangan sampai mengalami kekalahan yang berakibat
kehancuran organisasi untuk jangka waktu lama,” waktu Alimin membeberkan
rencananya pemberontakan yang tak disetujui Tan Malaka sebagai Komintern di
Asia Tenggara.
Aidit merumuskan
kegagalan PKI, bahwa, “PKI sebagai partai kelas proletar waktu itu kurang paham
akan perjuangan dan belum sanggup mewujudkan kepemimpinan dalam Front Persatuan
Nasional.”
Sneevliet setelah diusir
pemerintah Hindia Belanda, pergi ke Cina. Tetapi setelah kekalahan kaum Komunis
dalam revolusi tahun 1925-1927, ia kembali ke Netherland, kemudian dipilih
sebagai anggota parlemen. Ia berhasil membujuk Perhimpunan Indonesia untuk
mengambil garis front populer. Tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman, dan dua
tahun kemudian ia dibunuh.
Amir Sjarifudin tahun
1932 kembali ke tanah air dari Netherland. Kemudian di serahi pimpinan PARTINDO.
Tak lama kemudian, ia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dihukum 3
tahun. Dengan semakin mendekatnya bahaya fasisme di Eropa, Stalin menggariskan jalan
baru. Suatu united front di seluruh dunia. Dan melarang menyerang setiap
pribadi maupun organisasi lain yang bisa diajak kerjasama dengan kaum pekerja dalam
united front, lawan Fasisme. “United front from below” ini
digariskan dalam Kongres Komintern VI, Juli 1935, yang menganut doktrin Dimitrov,
yaitu Komunis bekerjasama dengan kapitalis untuk menghancurkan fasis.
April 1935, Muso yang
ditugaskan Stalin sampai di Surabaya, di mana ia bisa bertemu dengan Djokosujono,
Pamudji, dan Achmad Sumadi, membangkitkan kembali PKI-ilegal. Ia juga membentuk
PKM (Partij Komunis Muda), kader-kader Bolshewik. Serta menarik Amir Sjarifudin
masuk PKI bawah tanah. Dengan doktrin baru dari Stalin tersebut, Amir yang
waktu itu masih menjadi Ketua PARTINDO balik haluan bekerjasama dengan Pemerintah
Kolonial, yang tadinya bangga akan sikap non-kooperatifnya. Karena perpecahan
dalam PARTINDO, Amir membubarkan partai pada tahun 1936. Kemudian membentuk GERINDO
yang “Bersendi kerjasama dengan Belanda; kalau perlu,” untuk membangun negara
nasional demokratis merdeka.
GERINDO juga menciptakan
Barisan Pemuda GERINDO, di mana D.N. Aidit mulai menjadi anggotanya sejak umur
16 tahun. Pada tahun 1939, Aidit yang kemudian keluar sebagai Ketua CC PKI
setelah tahun 1950, adalah kelahiran Sumatera Timur pada tanggal 30 Juli 1923.
Tahun 1939, orang tuanya pindah ke Tanjungpandan, Sumatera Selatan. Di mana ia
masuk SD. Kemudian sekolah ke Jakarta pada Sekolah Dagang Menengah. Tahun 1939,
ia memasuki Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Waktu itu, GERINDO bukan gerakan Komunis,
sekalipun banyak pemimpinnya adalah tokoh Komunis. “Saya pun kala itu belum
masuk Komunis,” kata Aidit. Ia menarik perhatian Amir Sjarifudin yang kemudian
dipilih sebagai Ketua BPG di Jakarta. Aidit beranggapan, bahwa setelah Musa
meninggalkan Indonesia tahun 1936 kembali ke Moskow, PKI-ilegal tak kerja
dengan pedoman jelas untuk membangun partai tipe Stalin-Lenin. Itulah kesalahan
organisasi PKI yang gagal mengorganisasikan massa aksi sebagai tekanan terhadap
kaum kolonialis, sesudah negeri Belanda jatuh pada tahun 1940.
Demikian ia bisa
membantu garis Komintern.
Di Netherland pada masa
pendudukan Jerman, Komunis Indonesia masuk CPN yang bergerak di bawah tanah. Mereka
antara lain ialah Setiadjit, Abdulmadjid, Maruto Darusman, dan Suripno. Di
Indonesia di masa pendudukan Jepang, PKI main mata dengan Sekutu serta bergerak
di dalam maupun di luar pergerakan-pergerakan nasional. Kaum Digoelis yang
dibawa oleh Belanda ke Australia, gembira bisa bekerjasama dengan Van der Plas
untuk melawan Jepang. Sardjono yang dianggap sebagai pimpinannya, bekerja di
Brisbane pada pusat propaganda Van der Plas.
Sesudah Irian Barat
direbut kembali, Sardjono pindah ke Morotai, dari mana ia menerbitkan surat
kabar Penyuluh. Amir Sjarifudin, Januari 1942 diminta oleh Van der
Plas untuk memimpin gerakan di bawah tanah dengan diberi f25.000, tetapi Amir
kemudian ditangkap oleh Jepang.
Di Jakarta, Widarto
tetap aktif bergerak. Ia berhasil merekrut Aidit pada tahun 1943. Kemudian Aidit
masuk Angkatan Baru; suatu Kelompok Mahasiswa Menteng 31; yang terkenal pada
waktu itu. Juga ia menjadi anggota Gerakan Indonesia Merdeka dan Barisan Pelopor.
Di Jawa Timur, bergerak Djokosujono; orangnya Muso. Amerika Serikat menjatuhkan
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan Jepang bertekuk lutut. Hari
itu adalah tanggal 15 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diminta datang
oleh Jendral Trauchi dari markas besar tentara Jepang ke Saigon.
D.N. Aidit pada masa
pendudukan Jepang pernah mengatakan, “Simpati saya selalu ada di pihak Soekarno,
bukan Hatta. Bahkan sebelum perang, Hatta adalah pro Jepang, Soekarno tidak. Tetapi
Soekarno ada pada kedudukan sulit, tak mempunyai apa-apa, senjata maupun
Angkatan Perang. Soekarno tak mempunyai alternatif lain, kecuali kerjasama. Bagiku,
Soekarno bekerjasama dengan Jepang untuk alasan taktik. Hatta, prinsipil.”
Pada masa persiapan
kemerdekaan itu, ada seorang Laksamana Muda Jepang; T. Maeda; kepala liaison;
tentara dan Angkatan Laut Jepang. Menurutnya, bukan tidak mungkin setelah
Jepang mundur dari Indonesia, wilayah ini akan menjadi rebutan antara Sekutu, dan
kemungkinan clash antara Amerika Serikat-Uni Soviet. Maeda berpendapat, lebih
baik diserahkan kepada kaum nasional-progresif yang kemungkinan besar melawan AS
maupun Uni Soviet. Ia cenderung untuk mendorong Tan Malaka sebagai sarana
gagasannya. Maeda ingin mengeksploitasi sentimen Marxis-nasionalis yang telah
tumbuh sejak zaman Sneevliet.
Peranan utama adalah Tan
Malaka. Tan Malaka dahulu Komisaris Komintern untuk Asia Tenggara, telah
dikenal sebagai penggerak PARI yang berorientasi nasional. Berbeda dengan
tokoh-tokoh Komunis yang pro-Moskow dan menjalankan apapun yang digariskan
Moskow. Dan antifasis Tan Malaka berpendapat lain, ia jelas melihat Jepang
sebagai kekuatan yang bakal bisa menumbangkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Oleh karena itu, Tan Malaka kemudian pergi ke Tokyo yang diterima dengan tanga
terbuka. Tan Malaka ingin menggunakan Jepang sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka.
Ia tak menyetujui united front from above yang digariskan Moskow.
Tan Malaka kembali ke
Indonesia tahun 1942 dan menyamar sebagai romusha di pertambangan Bayah,
Banten Selatan. Konon katanya, ia bekerja secara diam-diam untuk Laksamana T. Maeda
dan Hitashi Shimitzu (Sendenbu). Dari sana, ia secara teratur menyiarkan “Suara
Tokyo”. Dengan cara Tan Malaka, seperti Bung Karno dan Bung Hatta mengabdi
kepada kepentingan nasional. Ia mengorganisasikan kader-kader dalam Sendenbu
seperti Adam Malik di “Domai”, Chairul Saleh, Sukarni terkenal sebagai Grup
Pemuda Menteng 31. Tan Malaka juga menarik Iwa Kusumasumantri dan Subardjo yang
dahulu belajar sebentar di Moskow, tetapi kemudian melepaskan diri dari Stalin.
Tahun 1930, ia datang ke Tokyo di mana ia menjadi wartawan harian Matahari
pimpinan Iwa Kusumasumantri.
Oktober 1944, Laksamana
Maeda membuat suatu institut politik, di mana para mahasiswa yang terpilih
diberi pelajaran ideologi Marxisme dengan orientasi nasional. Ia dibantu oleh
Iwa Kusumasumantri dan Soebardjo. Para tokoh nasional yang memberi kuliah
antara lain ialah Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri.
Tetapi kursus itu kemasukan juga PKI-illegal, seperti Wikana yang menjadi Direktur
Sekolah. Juga siswa-siswanya, seperti D.N. Aidit dan Mohamad Yusuf, yang
kemudian mengorganisasi PKI-legal pertama sesudah Jepang menyerah.
Persiapan Kemerdekaan
dibentuk pada pekan pertama bulan Agustus dengan Bung Karno sebagai calon Presiden
dan Bung Hatta sebagai calon Wakil Presiden. Namun Jepang sudah menyerah pada
15 Agustus 1945.
Syahrir keluar dari
bawah tanah, dan mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi
Bung Karno ragu. Kemudian Wikana dan Darwis menemui Bung Karno, mengatakan
bahwa rakyat dan para mahasiswa sudah siap untuk proklamasi. Bung Karno masih
ragu, katanya mau bicara dahulu dengan Hatta. Namun Chairul Saleh, Sukarni, Suwoto
Kunto, dan Singgih mengajaknya berkonsultasi dengan Bung Karno. Mereka dibawa
ke Rengasdengklok; suatu tempat bekas Daidan (tangsi militer Jepang). Malam
hari, tanggal 16 Agustus 1945, mereka dibawa kembali ke Jakarta. Di rumah
Laksamana Maeda, malam itu juga teks proklamasi dibuat, dan selesai pukul 04.00.
Hari itu —pukul 10.00,
Proklamasi Kemerdekaan diumumkan di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56.
Sebelum itu, Sjahrir tak menyetujui isi teks proklamasi akan ditandatangani
oleh mereka yang tidak anti-Jepang, karena khawatir nanti dicap boneka Jepang.
Wibawa Bung Karno dan Bung Hatta masih cukup agung. Mereka adalah pemimpin-pemimpin
nasional yang sangat dicintai rakyatnya. Belum ada pemimpin nasional lainnya
yang bisa menandingi wibawa mereka. Oleh karena itu, sekalipun kedua tokoh
mempunyai kelemahan-kelemahan politis karena bekerjasama dengan Jepang, namun
tindakan mereka dimaklumi sebagai taktik untuk membangkitkan rasa kebangsaan
rakyat Indonesia pada umumnya. Dan memang rasa kebangsaan tumbuh dengan mantap
di masa pendudukan Jepang.
Rasa cinta tanah air
inilah yang menyebabkan ideologi Komunis yang bersifat supra-nasional dan
berporos ke Moskow tak gampang mendapat perhatian rakyat. Lagi pula, lapisan
atas PKI —yang selama itu absen dan terpaksa bergerak di bawah tanah— sangat
sulit bagi PKI untuk berkembang. Organisasinya pun sangat lemah. Tak ada tokoh Komunis
di Indonesia waktu itu yang berwibawa seperti misalnya Mao Tse-Tung atau Ho Chi
Minh. Kata D.N. Aidit, “Partai juga tak mempunyai pengalaman dalam perjuangan
bersenjata, sesuatu yang sangat dibutuhkan di masa revolusi.” Waktu itu, D.N. Aidit
belum berumur 22 tahun, yang masih menjadi suruhan Chairul Saleh kesana-kemari.
Kepemimpinan PKI sama sekali tak kelihatan menonjol. Oleh karena itu, dengan
amat kecewa, D.N. Aidit harus melihat kepemimpinan jatuh di tangan kaum
nasionalis dan agama.
Dalam sidang pleno CC PKI
24 Desember 1963, waktu itu menengok kembali sejarah revolusi. D.N. Aidit
mengatakan, “PKI menganggap revolusi Agustus 1945 sudah gagal, karena:
1. Pimpinan jatuh ke tangan
kaum borjuis, bukan kaum proletar;
2. Kaum proletar belum
sadar akan arti revolusi;
3. Tujuan revolusi bukan
diktator-proletariat.
Oleh karena itu, tindakan
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Merebut kepemimpinan
dari tangan kaum borjuis;
2. Menyadarkan kaum
proletar akan arti revolusi.
Namun ia katakan, kekuatan
revolusi untuk merebut pimpinan tidak datang dari langit. Begitu pun kesadaran berevolusi.
Melainkan harus dipersiapkan baik-baik.
Bagi seorang Marxisme-Leninisme,
sosialisme pasti datang sebagai hasil proses historis. Baginya, historis-materialisme
bukan sekedar teori atau ilmu, melainkan hukum alam. Falsafah Marx, bagi mereka
adalah semacam dogma agama. Pegangan optimis akan datangnya masa indah, masa gemilang.
Isinya abstrak tak diketahui. Ia hanya percaya, bahwa historis-materialisme
pasti akan mengantarkannya ke sosialisme. “Bagaikan air yang mengalir dari
gunung, bermuara ke laut adalah keharusan sejarah,” kata Bung Karno. Kita ingat
akan cerita dalam pewayangan, waktu Brahmana Yogaswara memperingatkan Rahwana,
“Sebagai seorang Brahmana, wajib aku peringatkan pada sekalian umat, bahwasanya
kian besar angan-angan seseorang, kian besar pula ia dibohongi.” Artinya, dibohongi
diri sendiri. Kesalahan PKI dalam berbagai pemberontakan di Indonesia selama
ini banyak disebabkan karena kebohongan diri sendiri. Bahwa rakyat sudah matang
untuk berevolusi. Bahwa kekuatan militer klandestin-nya sudah cukup. Organisasi
sudah baik, plot sudah direncanakan secara rapi. Nyatanya PKI selalu di makan
oleh penyakit spontanitas yang kekanak-kanakan. Terlalu ambisius, terlalu
tergesa-gesa, sehingga gagal dan memakan banyak korban percuma yang berakibat
organisasi lama sulit untuk bisa bangun kembali. Lagi pula, setiap
pemberontakan PKI selalu dibarengi dengan pertumpahan darah —sesuai dengan
doktrinnya bahwa revolusinya menghendaki banjir darah. Tetapi demikian itu
hanya diibaratkan paraji yang harus melahirkan masyarakat haus. Benderanya palu-arit
berlandaskan merah darah, membuktikan bahwa kaum Komunis sedunia adalah haus
secara. Jelas hal ini tak mendapatkan berkah dari Allah.
Lenin dalam What to be
Done dengan pedas mengkritik aliran dalam kelas buruh yang membungkuk
kepada spontanitas. Lenin menandaskan, bahwa perlu melakukan perjuangan sengit
untuk menentang spontanitas. Ia katakan selanjutnya, bahwa, “Kita akan menjadi
petualang yang menyedihkan jika tak dapat merencanakan taktik politik dan
menyusun rencana organisasi.”
Para muda kita dijadikan
Seinendan —gerakan pemuda yang menggerakkan massa pemuda— untuk siap mental dan
fisik. “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” adalah semboyan-semboyan
perjuangan waktu itu. Setiap pagi, semua diharuskan ber-taisho (senam
pagi) supaya fisik kuat. Pada masa itu, kesengsaraan dan kelaparan telah
semakin lama semakin tak tertahankan. Rakyat disuruh beramai-ramai menanam
karet dan mengumpulkan emas-intan miliknya untuk diserahkan kepada penguasa
Jepang. Entah, untuk apa. Radio disegel. Sementara, masa itu merajalela bekicot;
suatu hewan aneh yang mulai dikenal di masa kesengsaraan itu. Bekicot inilah
yang dibakar untuk di makan, daripada mati kelaparan. Diam-diam rakyat benci
terhadap si Cebol dari Pulau Tembini, “saudara tua” yang teramat kejam. Gadis-gadis
yang lumayan kecantikannya —terutama gadis-gadis Indo— dengan tipu muslihat dimasukkan
dalam kamp bagi rekreasi pemuas nafsu birahi tentara Jepang.
Pada masa itulah
tersebarnya ramalan Prabu Jayabaya, satu-satunya harapan bagi rakyat. “Tekane
bebantu soko nuso Tembini. Kekulitane jenar. Dedege cebol kepalang. Iku kang
bakal ngebrok tanah Jowo kene. Pangrehe mung saumur jagung suwene. Nuli boyong nyang
negarane dewe; nusa Tembini. Tanah Jowo bali neng asale sekawit. Bali nyang putro-putrining
tanah Jowo maneh; datangnya bantuan dari pulau Tembini. Kulitnya kuning. Bertubuh
kelewat pendek. Itu yang bakal menduduki tanah Jawa ini. Kekuasaannya hanya
seumur jagung. Kemudian kembali ke negeri sendiri; Pulau Tembini. Tanah Jawa
kembali seperti semula. Kembali kepada putra-putri tanah Jawa sendiri.” Betapa
tepat ramalan Prabu Jayabaya yang telah ditulisnya lebih dari 500 tahun yang
lalu di zaman pra-Majapahit.
Orang Jawa pada umumnya
sangat mempercayai ramalan-ramalan Jayabaya tersebut yang membuat si Cebol amat
kejengkelan. Kadangkala malahan orang-orang sinting, dengan pakaian compang-camping,
sambil mencari makanan pada tong-tong sampah, berteriak-teriak menguraikan
ramalan tersebut di jalanan umum. Para pemimpin perjuangan pada waktu itu, bergerak
di bawah tanah. Amir Sjarifudin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Amir Sjarifudin
kemudian menerima bantuan klandestin dana dari Van der Plas f25.000
sebagai dana untuk melawan fasisme Jepang.
Pada zaman memuncaknya
penderitaan rakyat di bawah tekanan militerisme Jepang, di Blitar meledaklah
pemberontakan PETA di bawah pimpinan Suprijadi. Di Indramayu dan Cimareme juga
terjadi pemberontakan-pemberontakan rakyat.
Ketika kekuasaan militer
Jepang hampir ambruk, para pemimpin kita telah mempersiapkan bentuk dan dasar
Indonesia Merdeka. Dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan. Sesudah Jepang
takluk pada tanggal 15 Agustus 1945, panitia ini mempercepat realisasi
persiapannya.
How to make titanium muffler in a blender
BalasHapusThe recipe is simple: Make chi titanium flat irons a small sauce, add some 4x8 sheet metal prices near me habanero peppers, trekz titanium pairing 1/2 cup where is titanium found water, and ½ cup titanium belt buckle olive oil until the