Rabu, 29 Mei 2019

Sebab PKI Gagal Merebut Kepemimpinan Revolusi


Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera, mengakibatkan semua pimpinan utama PKI melarikan diri ke luar negeri. Sejak itu, Semaun, Darsono, Muso, Alimin tak berada di tanah air. Dalam razia yang dilancarkan Pemerintah Kolonial waktu itu, 9 orang dihukum mati, 823 dibuang ke Digul, dan 8.000 mendapatkan hukuman ringan kemudian dilepaskan kembali.

PKI dibubarkan. Organisasinya sudah barang tentu menjadi berantakan. Kepemimpinan pergerakan nasional ada di tangan para pemimpin nasionalis kiri, moderat, dan kaum agama. Kaum Komunis yang vakum kepemimpinan, tak mampu ikut berpatisipasi dalam kepemimpinan revolusi. Sampai detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan selanjutnya. Menjadi kenyataanlah ucapan Tan Malaka kepada Alimin di Manila, “Kita harus sedapat mungkin berusaha jangan sampai mengalami kekalahan yang berakibat kehancuran organisasi untuk jangka waktu lama,” waktu Alimin membeberkan rencananya pemberontakan yang tak disetujui Tan Malaka sebagai Komintern di Asia Tenggara.

Aidit merumuskan kegagalan PKI, bahwa, “PKI sebagai partai kelas proletar waktu itu kurang paham akan perjuangan dan belum sanggup mewujudkan kepemimpinan dalam Front Persatuan Nasional.”

Sneevliet setelah diusir pemerintah Hindia Belanda, pergi ke Cina. Tetapi setelah kekalahan kaum Komunis dalam revolusi tahun 1925-1927, ia kembali ke Netherland, kemudian dipilih sebagai anggota parlemen. Ia berhasil membujuk Perhimpunan Indonesia untuk mengambil garis front populer. Tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman, dan dua tahun kemudian ia dibunuh.

Amir Sjarifudin tahun 1932 kembali ke tanah air dari Netherland. Kemudian di serahi pimpinan PARTINDO. Tak lama kemudian, ia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dihukum 3 tahun. Dengan semakin mendekatnya bahaya fasisme di Eropa, Stalin menggariskan jalan baru. Suatu united front di seluruh dunia. Dan melarang menyerang setiap pribadi maupun organisasi lain yang bisa diajak kerjasama dengan kaum pekerja dalam united front, lawan Fasisme. “United front from below” ini digariskan dalam Kongres Komintern VI, Juli 1935, yang menganut doktrin Dimitrov, yaitu Komunis bekerjasama dengan kapitalis untuk menghancurkan fasis.

April 1935, Muso yang ditugaskan Stalin sampai di Surabaya, di mana ia bisa bertemu dengan Djokosujono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, membangkitkan kembali PKI-ilegal. Ia juga membentuk PKM (Partij Komunis Muda), kader-kader Bolshewik. Serta menarik Amir Sjarifudin masuk PKI bawah tanah. Dengan doktrin baru dari Stalin tersebut, Amir yang waktu itu masih menjadi Ketua PARTINDO balik haluan bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial, yang tadinya bangga akan sikap non-kooperatifnya. Karena perpecahan dalam PARTINDO, Amir membubarkan partai pada tahun 1936. Kemudian membentuk GERINDO yang “Bersendi kerjasama dengan Belanda; kalau perlu,” untuk membangun negara nasional demokratis merdeka.

GERINDO juga menciptakan Barisan Pemuda GERINDO, di mana D.N. Aidit mulai menjadi anggotanya sejak umur 16 tahun. Pada tahun 1939, Aidit yang kemudian keluar sebagai Ketua CC PKI setelah tahun 1950, adalah kelahiran Sumatera Timur pada tanggal 30 Juli 1923. Tahun 1939, orang tuanya pindah ke Tanjungpandan, Sumatera Selatan. Di mana ia masuk SD. Kemudian sekolah ke Jakarta pada Sekolah Dagang Menengah. Tahun 1939, ia memasuki Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Waktu itu, GERINDO bukan gerakan Komunis, sekalipun banyak pemimpinnya adalah tokoh Komunis. “Saya pun kala itu belum masuk Komunis,” kata Aidit. Ia menarik perhatian Amir Sjarifudin yang kemudian dipilih sebagai Ketua BPG di Jakarta. Aidit beranggapan, bahwa setelah Musa meninggalkan Indonesia tahun 1936 kembali ke Moskow, PKI-ilegal tak kerja dengan pedoman jelas untuk membangun partai tipe Stalin-Lenin. Itulah kesalahan organisasi PKI yang gagal mengorganisasikan massa aksi sebagai tekanan terhadap kaum kolonialis, sesudah negeri Belanda jatuh pada tahun 1940.

Demikian ia bisa membantu garis Komintern.

Di Netherland pada masa pendudukan Jerman, Komunis Indonesia masuk CPN yang bergerak di bawah tanah. Mereka antara lain ialah Setiadjit, Abdulmadjid, Maruto Darusman, dan Suripno. Di Indonesia di masa pendudukan Jepang, PKI main mata dengan Sekutu serta bergerak di dalam maupun di luar pergerakan-pergerakan nasional. Kaum Digoelis yang dibawa oleh Belanda ke Australia, gembira bisa bekerjasama dengan Van der Plas untuk melawan Jepang. Sardjono yang dianggap sebagai pimpinannya, bekerja di Brisbane pada pusat propaganda Van der Plas.

Sesudah Irian Barat direbut kembali, Sardjono pindah ke Morotai, dari mana ia menerbitkan surat kabar Penyuluh. Amir Sjarifudin, Januari 1942 diminta oleh Van der Plas untuk memimpin gerakan di bawah tanah dengan diberi f25.000, tetapi Amir kemudian ditangkap oleh Jepang.

Di Jakarta, Widarto tetap aktif bergerak. Ia berhasil merekrut Aidit pada tahun 1943. Kemudian Aidit masuk Angkatan Baru; suatu Kelompok Mahasiswa Menteng 31; yang terkenal pada waktu itu. Juga ia menjadi anggota Gerakan Indonesia Merdeka dan Barisan Pelopor. Di Jawa Timur, bergerak Djokosujono; orangnya Muso. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakibatkan Jepang bertekuk lutut. Hari itu adalah tanggal 15 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diminta datang oleh Jendral Trauchi dari markas besar tentara Jepang ke Saigon.

D.N. Aidit pada masa pendudukan Jepang pernah mengatakan, “Simpati saya selalu ada di pihak Soekarno, bukan Hatta. Bahkan sebelum perang, Hatta adalah pro Jepang, Soekarno tidak. Tetapi Soekarno ada pada kedudukan sulit, tak mempunyai apa-apa, senjata maupun Angkatan Perang. Soekarno tak mempunyai alternatif lain, kecuali kerjasama. Bagiku, Soekarno bekerjasama dengan Jepang untuk alasan taktik. Hatta, prinsipil.”

Pada masa persiapan kemerdekaan itu, ada seorang Laksamana Muda Jepang; T. Maeda; kepala liaison; tentara dan Angkatan Laut Jepang. Menurutnya, bukan tidak mungkin setelah Jepang mundur dari Indonesia, wilayah ini akan menjadi rebutan antara Sekutu, dan kemungkinan clash antara Amerika Serikat-Uni Soviet. Maeda berpendapat, lebih baik diserahkan kepada kaum nasional-progresif yang kemungkinan besar melawan AS maupun Uni Soviet. Ia cenderung untuk mendorong Tan Malaka sebagai sarana gagasannya. Maeda ingin mengeksploitasi sentimen Marxis-nasionalis yang telah tumbuh sejak zaman Sneevliet.

Peranan utama adalah Tan Malaka. Tan Malaka dahulu Komisaris Komintern untuk Asia Tenggara, telah dikenal sebagai penggerak PARI yang berorientasi nasional. Berbeda dengan tokoh-tokoh Komunis yang pro-Moskow dan menjalankan apapun yang digariskan Moskow. Dan antifasis Tan Malaka berpendapat lain, ia jelas melihat Jepang sebagai kekuatan yang bakal bisa menumbangkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, Tan Malaka kemudian pergi ke Tokyo yang diterima dengan tanga terbuka. Tan Malaka ingin menggunakan Jepang sebagai sarana mencapai Indonesia Merdeka. Ia tak menyetujui united front from above yang digariskan Moskow.

Tan Malaka kembali ke Indonesia tahun 1942 dan menyamar sebagai romusha di pertambangan Bayah, Banten Selatan. Konon katanya, ia bekerja secara diam-diam untuk Laksamana T. Maeda dan Hitashi Shimitzu (Sendenbu). Dari sana, ia secara teratur menyiarkan “Suara Tokyo”. Dengan cara Tan Malaka, seperti Bung Karno dan Bung Hatta mengabdi kepada kepentingan nasional. Ia mengorganisasikan kader-kader dalam Sendenbu seperti Adam Malik di “Domai”, Chairul Saleh, Sukarni terkenal sebagai Grup Pemuda Menteng 31. Tan Malaka juga menarik Iwa Kusumasumantri dan Subardjo yang dahulu belajar sebentar di Moskow, tetapi kemudian melepaskan diri dari Stalin. Tahun 1930, ia datang ke Tokyo di mana ia menjadi wartawan harian Matahari pimpinan Iwa Kusumasumantri.

Oktober 1944, Laksamana Maeda membuat suatu institut politik, di mana para mahasiswa yang terpilih diberi pelajaran ideologi Marxisme dengan orientasi nasional. Ia dibantu oleh Iwa Kusumasumantri dan Soebardjo. Para tokoh nasional yang memberi kuliah antara lain ialah Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Subardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Tetapi kursus itu kemasukan juga PKI-illegal, seperti Wikana yang menjadi Direktur Sekolah. Juga siswa-siswanya, seperti D.N. Aidit dan Mohamad Yusuf, yang kemudian mengorganisasi PKI-legal pertama sesudah Jepang menyerah.

Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada pekan pertama bulan Agustus dengan Bung Karno sebagai calon Presiden dan Bung Hatta sebagai calon Wakil Presiden. Namun Jepang sudah menyerah pada 15 Agustus 1945.

Syahrir keluar dari bawah tanah, dan mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi Bung Karno ragu. Kemudian Wikana dan Darwis menemui Bung Karno, mengatakan bahwa rakyat dan para mahasiswa sudah siap untuk proklamasi. Bung Karno masih ragu, katanya mau bicara dahulu dengan Hatta. Namun Chairul Saleh, Sukarni, Suwoto Kunto, dan Singgih mengajaknya berkonsultasi dengan Bung Karno. Mereka dibawa ke Rengasdengklok; suatu tempat bekas Daidan (tangsi militer Jepang). Malam hari, tanggal 16 Agustus 1945, mereka dibawa kembali ke Jakarta. Di rumah Laksamana Maeda, malam itu juga teks proklamasi dibuat, dan selesai pukul 04.00.

Hari itu —pukul 10.00, Proklamasi Kemerdekaan diumumkan di kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Sebelum itu, Sjahrir tak menyetujui isi teks proklamasi akan ditandatangani oleh mereka yang tidak anti-Jepang, karena khawatir nanti dicap boneka Jepang. Wibawa Bung Karno dan Bung Hatta masih cukup agung. Mereka adalah pemimpin-pemimpin nasional yang sangat dicintai rakyatnya. Belum ada pemimpin nasional lainnya yang bisa menandingi wibawa mereka. Oleh karena itu, sekalipun kedua tokoh mempunyai kelemahan-kelemahan politis karena bekerjasama dengan Jepang, namun tindakan mereka dimaklumi sebagai taktik untuk membangkitkan rasa kebangsaan rakyat Indonesia pada umumnya. Dan memang rasa kebangsaan tumbuh dengan mantap di masa pendudukan Jepang.

Rasa cinta tanah air inilah yang menyebabkan ideologi Komunis yang bersifat supra-nasional dan berporos ke Moskow tak gampang mendapat perhatian rakyat. Lagi pula, lapisan atas PKI —yang selama itu absen dan terpaksa bergerak di bawah tanah— sangat sulit bagi PKI untuk berkembang. Organisasinya pun sangat lemah. Tak ada tokoh Komunis di Indonesia waktu itu yang berwibawa seperti misalnya Mao Tse-Tung atau Ho Chi Minh. Kata D.N. Aidit, “Partai juga tak mempunyai pengalaman dalam perjuangan bersenjata, sesuatu yang sangat dibutuhkan di masa revolusi.” Waktu itu, D.N. Aidit belum berumur 22 tahun, yang masih menjadi suruhan Chairul Saleh kesana-kemari. Kepemimpinan PKI sama sekali tak kelihatan menonjol. Oleh karena itu, dengan amat kecewa, D.N. Aidit harus melihat kepemimpinan jatuh di tangan kaum nasionalis dan agama.

Dalam sidang pleno CC PKI 24 Desember 1963, waktu itu menengok kembali sejarah revolusi. D.N. Aidit mengatakan, “PKI menganggap revolusi Agustus 1945 sudah gagal, karena:
1. Pimpinan jatuh ke tangan kaum borjuis, bukan kaum proletar;
2. Kaum proletar belum sadar akan arti revolusi;
3. Tujuan revolusi bukan diktator-proletariat.

Oleh karena itu, tindakan tindakan yang perlu dilakukan adalah:
1. Merebut kepemimpinan dari tangan kaum borjuis;
2. Menyadarkan kaum proletar akan arti revolusi.

Namun ia katakan, kekuatan revolusi untuk merebut pimpinan tidak datang dari langit. Begitu pun kesadaran berevolusi. Melainkan harus dipersiapkan baik-baik.

Bagi seorang Marxisme-Leninisme, sosialisme pasti datang sebagai hasil proses historis. Baginya, historis-materialisme bukan sekedar teori atau ilmu, melainkan hukum alam. Falsafah Marx, bagi mereka adalah semacam dogma agama. Pegangan optimis akan datangnya masa indah, masa gemilang. Isinya abstrak tak diketahui. Ia hanya percaya, bahwa historis-materialisme pasti akan mengantarkannya ke sosialisme. “Bagaikan air yang mengalir dari gunung, bermuara ke laut adalah keharusan sejarah,” kata Bung Karno. Kita ingat akan cerita dalam pewayangan, waktu Brahmana Yogaswara memperingatkan Rahwana, “Sebagai seorang Brahmana, wajib aku peringatkan pada sekalian umat, bahwasanya kian besar angan-angan seseorang, kian besar pula ia dibohongi.” Artinya, dibohongi diri sendiri. Kesalahan PKI dalam berbagai pemberontakan di Indonesia selama ini banyak disebabkan karena kebohongan diri sendiri. Bahwa rakyat sudah matang untuk berevolusi. Bahwa kekuatan militer klandestin-nya sudah cukup. Organisasi sudah baik, plot sudah direncanakan secara rapi. Nyatanya PKI selalu di makan oleh penyakit spontanitas yang kekanak-kanakan. Terlalu ambisius, terlalu tergesa-gesa, sehingga gagal dan memakan banyak korban percuma yang berakibat organisasi lama sulit untuk bisa bangun kembali. Lagi pula, setiap pemberontakan PKI selalu dibarengi dengan pertumpahan darah —sesuai dengan doktrinnya bahwa revolusinya menghendaki banjir darah. Tetapi demikian itu hanya diibaratkan paraji yang harus melahirkan masyarakat haus. Benderanya palu-arit berlandaskan merah darah, membuktikan bahwa kaum Komunis sedunia adalah haus secara. Jelas hal ini tak mendapatkan berkah dari Allah.

Lenin dalam What to be Done dengan pedas mengkritik aliran dalam kelas buruh yang membungkuk kepada spontanitas. Lenin menandaskan, bahwa perlu melakukan perjuangan sengit untuk menentang spontanitas. Ia katakan selanjutnya, bahwa, “Kita akan menjadi petualang yang menyedihkan jika tak dapat merencanakan taktik politik dan menyusun rencana organisasi.”

Para muda kita dijadikan Seinendan —gerakan pemuda yang menggerakkan massa pemuda— untuk siap mental dan fisik. “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” adalah semboyan-semboyan perjuangan waktu itu. Setiap pagi, semua diharuskan ber-taisho (senam pagi) supaya fisik kuat. Pada masa itu, kesengsaraan dan kelaparan telah semakin lama semakin tak tertahankan. Rakyat disuruh beramai-ramai menanam karet dan mengumpulkan emas-intan miliknya untuk diserahkan kepada penguasa Jepang. Entah, untuk apa. Radio disegel. Sementara, masa itu merajalela bekicot; suatu hewan aneh yang mulai dikenal di masa kesengsaraan itu. Bekicot inilah yang dibakar untuk di makan, daripada mati kelaparan. Diam-diam rakyat benci terhadap si Cebol dari Pulau Tembini, “saudara tua” yang teramat kejam. Gadis-gadis yang lumayan kecantikannya —terutama gadis-gadis Indo— dengan tipu muslihat dimasukkan dalam kamp bagi rekreasi pemuas nafsu birahi tentara Jepang.

Pada masa itulah tersebarnya ramalan Prabu Jayabaya, satu-satunya harapan bagi rakyat. “Tekane bebantu soko nuso Tembini. Kekulitane jenar. Dedege cebol kepalang. Iku kang bakal ngebrok tanah Jowo kene. Pangrehe mung saumur jagung suwene. Nuli boyong nyang negarane dewe; nusa Tembini. Tanah Jowo bali neng asale sekawit. Bali nyang putro-putrining tanah Jowo maneh; datangnya bantuan dari pulau Tembini. Kulitnya kuning. Bertubuh kelewat pendek. Itu yang bakal menduduki tanah Jawa ini. Kekuasaannya hanya seumur jagung. Kemudian kembali ke negeri sendiri; Pulau Tembini. Tanah Jawa kembali seperti semula. Kembali kepada putra-putri tanah Jawa sendiri.” Betapa tepat ramalan Prabu Jayabaya yang telah ditulisnya lebih dari 500 tahun yang lalu di zaman pra-Majapahit.

Orang Jawa pada umumnya sangat mempercayai ramalan-ramalan Jayabaya tersebut yang membuat si Cebol amat kejengkelan. Kadangkala malahan orang-orang sinting, dengan pakaian compang-camping, sambil mencari makanan pada tong-tong sampah, berteriak-teriak menguraikan ramalan tersebut di jalanan umum. Para pemimpin perjuangan pada waktu itu, bergerak di bawah tanah. Amir Sjarifudin, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain. Amir Sjarifudin kemudian menerima bantuan klandestin dana dari Van der Plas f25.000 sebagai dana untuk melawan fasisme Jepang.

Pada zaman memuncaknya penderitaan rakyat di bawah tekanan militerisme Jepang, di Blitar meledaklah pemberontakan PETA di bawah pimpinan Suprijadi. Di Indramayu dan Cimareme juga terjadi pemberontakan-pemberontakan rakyat.

Ketika kekuasaan militer Jepang hampir ambruk, para pemimpin kita telah mempersiapkan bentuk dan dasar Indonesia Merdeka. Dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan. Sesudah Jepang takluk pada tanggal 15 Agustus 1945, panitia ini mempercepat realisasi persiapannya.

Terkait: Kesadaran Nasional, Cita-cita kemerdekaan, dan Keadilan Sosial | Revolusi Agustus 1945

1 komentar:

  1. How to make titanium muffler in a blender
    The recipe is simple: Make chi titanium flat irons a small sauce, add some 4x8 sheet metal prices near me habanero peppers, trekz titanium pairing 1/2 cup where is titanium found water, and ½ cup titanium belt buckle olive oil until the

    BalasHapus