‘Utsman
hanya akan menunduk hening jika disebut tentang neraka
tapi tangisnya menggugu mengguncang bahu saat “kubur”
diperdengarkan
“andaipun disiksa,” ujarnya, “di Jahannam kita akan
punya banyak kawan”
“adapun di alam barzakh, kesendirian itu saja pasti
sudah sangat mengerikan”
DALAM tradisi Arab,
selain ism, kuniyah, dan laqob, ada
kebiasaan untuk memanggil orang yang disayang dan memiliki tempat khusus di
hati dengan ism tashghir. Secara
bahasa, tashghir artinya mengecilkan.
Dalam istilah bahasa, ia bermakna mengubah bentuk kata untuk suatu maksud
tertentu dengan cara memberikan baris dhommah
di awal huruf, mem-fathah huruf
kedua, dan menambahkan huruf ya’ yang
di-sukun setelahnya.
Pada tsulatsi, yakni kata benda yang tersusun
atas tiga huruf, wazan pola katanya
adalah “Fu’ail”. Pada kata empat huruf atau ruba’i,
wazan pola katanya ialah “Fu’ai-‘il”,
dan untuk yang selebihnya berpola “Fu’ai-‘iil”. Contoh sederhana untuk tsulatsi; Jabal (gunung) menjadi Jubail
(gunung kecil). Untuk yang ruba’i,
ada kata Masjid yang berubah menjadi Musaijid
(masjid kecil). Dalam pola “Fu’ai-‘iil” kita mendapati contoh Mishbaah (lampu) yang berubah menjadi Mushoibiih (lampu kecil).
Ada banyak maksud
dari pembentukan ism tashghir.
Utamanya memang mengecilkan ukuran sebagaimana telah kita perlihatkan dalam
contoh. Tetapi bisa juga digunakan untuk mengabaikan, mengurangi, menunjukkan
kedekatan, mengagungkan, dan sindiran. Dalam konteks panggilan terhadap
seseorang, ia menunjukkan kedekatan hubungan dan ungkapan sayang.
Untuk lelaki
istimewa yang kita bicarakan kali ini, ism-nya
adalah ‘Utsman ibn ‘Affan. Kuniyah-nya
Abu ‘Abdillah. Dia memiliki gelar Dzun
Nuroin wal Hijrotain, pemilik dua cahaya yang berhijrah dua kali, sebagai laqob-nya. Nah, lalu adakah ism tashghir
untuk ‘Utsman? Ya, ada. ‘Utsaim, begitu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sering memanggilnya.
“Beliau seorang
yang rupawan,” kata Ibnu Sa’d dalam ath-Thobaqotul
Kubro tentang ciri-ciri ‘Utsman. “Wajahnya teduh dan lembur, janggutnya
banyak dan halus, perawakannya sedang, tulang persendiannya besar, bahunya
bidang, serta rambutnya lebat. Beliau memiliki bentuk mulut bagus berwarna
kecoklatan. Ada yang mengatakan bahwa pada wajah beliau ada beberapa bekar
cacar.”
‘Utsman dipanggil
‘Utsaim oleh Sang Nabi. Rasa sayang dan kelembutan beliau kepada ‘Utsman begitu
tampak dan terasa. Semua orang yang mengenal kemuliaan akhlaknya, kesucian
batinnya, keringanan jiwanya menginfaqkan harta, dan keagungan pengorbanannya.
Dan makin dalamlah kasih Sang Nabi kepada menantunya ini. Satu hari, ketika
‘Utsman si pemalu menyelubungi wajahnya dengan kain, Rosululloh memandang ke
arahnya dengan sendu dan bersabda kepada para shohabat, “Kabarkan kepadanya
bahwa dia masuk surga disertai dengan fitnah dan pembunuhan yang
menzholiminya.”
‘Utsman seorang
yang sangat mencintai kebersamaan dan shilaturrohim. Bahkan ajaibnya, dari yang
terkutip di awal tulisan, kita tahu bahwa sampai-sampai dia lebih
menkhawatirkan kesendirian dalam kubur dibandingkan kerasnya siksa neraka.
Tentu itu mungkin tersebab bahwa dia sudah diberikan kabar gembira untuk masuk
surga. Tetapi bagaimanapun, ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu ‘Anhu, memang pribadi yang unik.
Sesungguhnya,
takdir para pahlawan besar adalah mendapatkan nikmat yang besar, meraih
keberuntungan besar, memiliki peran besar, juga mendapatkan nama besar dan
penghargaan besar. Di balik itu, mereka juga akan menghadapi masalah besar,
musibah besar, dan kenestapaan besar. Terhubung dengan kepribadiannya yang unik,
semua ujian yang dihadapi ‘Utsman di akhir masa jabatannya sebagai kholifah
sungguh besar sekaligus rumit dan pelik.
Dan bagi
sahabat-sahabat ‘Utsman, tentu saja kadang tak mudah menyikapi itu semua.
***
“Aqidah salaf dalam
menyikapi perselisihan para shohabat adalah tidak memperbincangkannya,” tulis
Muhammad ibn ‘Abdillah al-Ghoban dalam al-Fitaan
fii Qotli ‘Utsman ibn ‘Affan, “Kecuali jika muncul ahli bid’ah yang mencela
dan merendahkan mereka. Maka ketika itu wajib untuk membela mereka dengan
kebenaran dan keadilan.”
Sesungguhnya kita
memang tidak ingin bicara tentang berbagai fitnah yang terjadi di masa ‘Utsman
ibn ‘Affan. Hanya saja pangkal soalnya memang perlu diangkat sebagai sebuah
sudut pandang untuk memahami sikap para shohabat pada masa itu sekedar agar
kita bisa mengambil ibroh dan meneladani kebaikan-kebaikan mereka yang bagai
pelita zaman nan tak pernah redup. Kemuliaan nama mereka di hati kita selalu
terjaga insya Alloh, berkat ridho Alloh yang telah tercurah pada diri-diri
mereka.
Saif ibn ‘Umar
at-Tamimi, yang keterangannya banyak dikutip Imam ath-Thobari dalam Tarikh-nya, menyebut nama ‘Abdulloh ibn
Saba’, si Yahudi yang berpura-pura masuk Islam sebagai pangkal utama berbagai
fitnah. “Dia,” ungkap Imam Abu Bakr al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah yang ditulisnya, “Menyusup ke dalam tubuh kaum
Muslimin seperti dilakukan oleh paulus ke dalam agama Nasrani hingga dia dapat
menyesatkan dan memecah belah mereka menjadi berbagai firqoh.”
Ahli fitnah inilah
yang membesar-besarkan perbedaan pendapat di kalangan para shohabat semisal
antara ‘Utsman dengan Abu Dzar al-Ghiffari tentang kepemilikan harta kekayaan;
antara ‘Utsman dengan ‘Abdulloh ibn Mas’ud tentang sholat ‘qoshor di Mina serta
pemusnahan mushhaf selain yang sesuai tepat dengan mushhaf al-Imam untuk menghindari perselisihan ummat; antara
‘Utsman dengan ‘Ali terkait pengangkatan beberapa pejabat, dan berbagai-bagai
yang selain itu. Kabar ikhtilaf itu
dibawa ke mana-mana disertai bermacam tiupan dengki dan penambahan yang
mengarahkan kebencian masyarakat kepada ‘Utsman Rodhoyallohu ‘Anhu.
Inilah ‘Abdulloh
ibn Saba’, penyebab yang jahat.
Simpul persoalan
yang kedua, sorot Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wal Mulk, adalah kerabat-kerabat ‘Utsman dari kalangan
Bani ‘Umayyah. Nama bermasalah yang paling sering disebut dalam sejarah adalah
Marwan ibn al-Hakam. Marwan, sepupu ‘Utsman yang menjabat sekretaris pribadi
sekaligus penasehatnya ini, bahkan dipersaksikan sendiri oleh Nailah binti
al-Farafishoh, istri ‘Utsman, sebagai pangkal keruwetan. “Bila engkau
terus-menerus mengikuti Marwan,” ujar Nailah sebagaimana dicatat oleh Ibnu
Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah,
“Maka dia akan menjadi sebab kematianmu. Dia sungguh tak berharga di sisi
Alloh. Dia tak memiliki wibawa dan nihil pula kecintaan manusia pada dirinya.”
Para ahli sejarah
mencatat bahwa Nailah bisa saja benar. Kelak, ada surat mengatasnamakan
Kholifah yang dibawa budak ‘Utsman dengan untanya berisi perintah kepada
‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar
ash-Shiddiq yang baru saja diangkat menjadi Gubernur Mesir. Surat itu diduga
ditulis oleh Marwan. Ada kemungkinan lain bahwa surat itu dipalsukan oleh
pembuat fitnah di kalangan para pemberontak sebagaimana mereka pernah
memalsukan surat atas nama ‘Ali, az-Zubair, Tholhah, Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan
‘Aisyah untuk mengobarkan pembangkangan terhadap ‘Utsman. Wallohu a’lam.
Yang jelas, surat
itulah yang makin mengobarkan amarah kaum pemberontak hingga ‘Utsman mereka
bunuh di rumahnya setelah dikepung empatpuluh hari lamanya. Subhanalloh!
Nama lain yang
kadang disebut adalah Walid ibn ‘Uqbah, kerabat ‘Utsman yang diangkat menjadi
Gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Walid berjasa besar dalam
penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Tapi masyarakat umumnya menaruh hormat yang
sangat dalam pada Sa’d, dan mereka segera tak menyukai Walid yang diketahui
beberapa kali meminum khomr. Dia pernah mengimami sholat Shubuh empat roka’at
dan seusai salam bertanya, “Apa kalian mau kutambah lagi?” Syukurlah, ‘Utsman
kemudian menegakkan had atasnya.
Inilah kerabat
‘Utsman lainnya yang diangkat sebagai pejabat dan masyhur namanya; Mu’awiyah
ibn Abi Sufyan (Gubernur Syam Raya), Sa’d ibn al-‘Ash (Gubernur Kufah pengganti
Walid), ‘Amr ibn al-‘Ash (Gubernur Mesir Raya), ‘Abdulloh ibn Amir (Gubernur
Bashroh), serta ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh (Gubernur Maghrib).
Sebagai
perbandingan, di masa ‘Umar, pengawasan terhadap para pemangku tugas begitu
ketat dan nyaris sama sekali tak ada kerabat ‘Umar yang menjadi pejabat.
Agaknya kebijakan ‘Umar itu telah dianggap sebagai kebaikan mutlak oleh
masyarakat sehingga ketika ‘Utsman mengangkat orang-orang yang dipercayainya
dari kalangan Bani ‘Umayyah untuk menjadi gubernur, hal itu terlihat seakan
tercela di mata orang-orang. Meski memang tak sepenuhnya salah, cara dan gaya
hidup mereka memang berbeda dari apa yang berjalan di masa ‘Umar. Itu lagi-lagi
menjadi bahan bakar tambahan pemicu firnah.
Para kerabat ini
adalah penyebab firnah yang bisa saja salah, namun tentu tak sepenuhnya.
Yang ketiga adalah
semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam di masa ‘Utsman. Afrika, kawasan
Maghrib, Andalusia, Ciprus, dan seluruh wilayah kekuasaan Romawi di benua Asia
takluk. Ke utara dan timur, penaklukan mencapai Armenia, Azerbaijan, Thobaristan,
Kirman, Sijistan, dan seluruh Khurosan. Perluasan ini membawa konsekuensi makin
bertimbun dan berlimpahnya kekayaan Baitul Maal. Terkisah bahwa Khumus Afrika saja senilai 5 juta dinar.
“Angin perubahan,”
demikian ditulis Kholid Muhammad Kholid dalam Khulafaa-ur Rosuul, “Dan perkembangannya yang makin menampakkan
kegelapnya dunia bertiup amat derasnya memasuki negara yang mahaluas itu dari
keempat penjuru bumi. Ummat pun sudah terdiri atas berbagai bangsa yang membawa
adat-istiadat dan tatacara hidup yang menggejolak bagai gelombang setinggi
gunung.” Sebagaimana hukum sejarah yang dirumuskan Ibnu Kholdun, keberlimpahan
itu menumpulkan semangat juang ummat secara perlahan dan membuat mereka kurang
peka pada hal-hal kecil yang sedemikian rentan memicu perpecahan.
‘Utsman memang
bukan ‘Umar yang sedemikian garang dalam mengekang nafsu serakah rakyat dan
pegawai-pegawainya. Andaipun ‘Utsman ingin berlaku sama, masihkah itu mungkin
sementara keadaan telah jauh berubah? Maka ‘Utsman memandang kenikmatan hidup
bagi mereka itu tak ada salahnya, selama mereka memperolehnya dari jalan halal,
menunaikan hak zakatnya, dan tak membelanjakannya untuk kemaksiatan. Catatan
terpenting, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman satu hari berkhuthbah dengan
surban dan gamis yang tambalannya ada di tigapuluhdua tempat! Oh, sungguh dia
tetap suci dan meneladankan kezuhudan.
Walhasil, keadaan
makmur yang rawan konflik ini juga menjadi sebab fitnah yang tak terhindarkan,
tapi juga tak bisa disalahkan.
Yang keempat,
adalah bahwa ‘Utsman ibn ‘Affan memang berkarakter lembut hati, menjaga
sebaik-baik shilaturrohim dengan mereka yang karib, dan pemaaf atas kekhilafan
orang. ‘Umar di masanya dulu seakan memegang hidung semua pejabatnya,
mencurigai setiap yang janggal, menyemburnya dengan hardikan keras jika
menyimpang, dan melecutnya dengan cemeti jika kedapatan bersalah. Adapun
‘Utsman, dia penuh prasangka baik, tak suka keributan dan onar, dan memilih
mengorbankan harta―bahkan nanti jiwanya―untuk menyelesaikan masalah agar tak
ada seorang pun yang tersakiti atau dirugikan selain dirinya.
Inilah akhlak
‘Utsman ibn ‘Affan, penyebab terpuji yang sama sekali tak bisa dicela.
***
Dalam dekapan
ukhuwah, dengan kelembutan nurani mereka, ada beberapa pilihan sikap yang
diambil oleh para shohabat terhadap Amirul Mukminin, ‘Utsman ibn ‘Affan.
Sikap pertama
adalah senantiasa memberi masukan terbuka dan tetap menaati ‘Utsman atas segala
perintahnya. Dengan penuh keberanian, atas dasar ijtihadnya mereka menentang
para pejabat ‘Utsman yang dianggap tak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah
Rosululloh, dan jalan hidup dua Syaikhoin;
Abu Bakar serta ‘Umar.
Sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang paling
lurus ucapannya, Abu Dzar al-Ghiffari melakukannya di Syam dengan begitu
istiqomah. Adalah Mu’awiyah, Rodhiyallohu
‘Anhu yang kemudian merasa bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar lebih banyak
madhorotnya bagi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Bagaimana tidak,
pikir Mu’awiyah, jika kemudian ada yang menafsirkan bahwa khuthbah Abu Dzar
membolehkan orang-orang miskin untuk mendatangi rumah orang kaya dan merampas
apa yang dianggap hak kaum papa dari mereka?
“Alloh telah
berfirman dan firman-Nya takkan berubah, hukum-Nya juga takkan berganti,” ujar
Abu Dzar dalam khuthbahnya. “Inilah Dia ‘Azza
wa Jalla mengancamkan di surat at-Taubah ayat tigapuluh empat: ‘Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada
mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.’”
Atas laporan
Mu’awiyah yang risau, ‘Utsman memanggil Abu Dzar agar membersamainya tinggal di
Madinah.
Dan Abu Dzar pun
pindah ke Madinah tanpa mengubah ijtihad dan sikapnya. ‘Utsman terus berusaha
menjinakkan hatinya dengan akhlak dan kedermawanannya. Hingga satu hari, dalam
sebuah pembahasan di depan ‘Utsman ibn ‘Affan, Ka’b al-Ahbar, seorang bekas
rahib Yahudi yang masuk Islam mendebat Abu Dzar. “Orang yang telah berzakat,”
ujar Ka’b, “Telah terbebas dari kewajiban lain atas hartanya.” Abu Dzar Rodhiyallohu ‘Anhu, tersinggung dan marah.
“Hai anak Yahudi!”
hardik Abu Dzar saat itu sebagaimana dikisahkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi dalam
‘Ali Imamul Muttaqin, “Ada apa kau di
sini dan mau apa?” Berkata begitu, tangan Abu Dzar juga melayang ke kepala Ka’b
al-Ahbar. Saking kerasnya hantaman Abu Dzar, Ka’b tersungkur; kepalanya luka
dan berdarah.
Melihat itu,
‘Utsman menangis. “Wahai Abu Dzar, Saudaraku,” tegurnya, “Takutlah engkau
kepada Alloh. Jagalah manusia dari lisan dan tanganmu.”
Abu Dzar pun tak
kalah menyesal. Dia ingat sekali apa yang disabdakan Rosululloh ketika dulu
dihardiknya Bilal sebagai anak budak hitam. “Hai Abu Dzar,” kata Sang Nabi saat
itu, “Sungguh engkau, di dalam dirimu masih terdapat jahiliyah.” Maka dia pun
undur, meminta hukuman kepada ‘Utsman.
“Agaknya engkau
memang tak merasa nyaman bersama kami, hai Abu Dzar?”
“Engkau benar, hai
Amirul Mukminin,” kata Abu Dzar dengan mata berkaca-kaca.
“Apa yang harus
kami lakukan untukmu?”
“Tempatkanlah aku
di manapun engkau suka.”
“Bagaimana jika di
Robdzah, agar engkau dekat dengan orang-orang yang mencintaimu?”
“Aku mendengar dan
taat.”
Maka Abu Dzar pun
menuju Robdzah dan tinggal di sana. ‘Utsman melepasnya dengan kemuliaan,
membekalinya dengan biaya untuk membangun tempat tinggal dan masjid. ‘Utsman
menambahinya harta, serta beberapa perkakas dan hak milik lengkap dengan
pembantunya. Pahit memang dirasa masing-masing. Tetapi, “Seandainya ‘Utsman
memerintahkan aku agar berlaku sebagaimana budak hitam Habasyah,” kata Abu
Dzar, “Aku pasti akan mendengar dan taat. Bahkan jikapun ‘Utsman menyalibku di
atas batang kayu, aku juga pasti menaatinya dan kuanggap hal itu sebagai
kebaikan bagi diriku.”
Inilah Abu Dzar,
sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang
paling lempang kata-katanya. Dalam dekapan ukhuwah, dia berani menyuarakan kebenaran
yang diyakininya, tetapi tetap berlembut nurani untuk mendengar dan taat kepada
‘Utsman, sang Kholifah, sang Ulil Amri.
Bagi kita yang dikaruniai Alloh sikap kritis, mari belajar pada Abu Dzar agar
ia tak berubah menjadi sinis. Sebab banyak orang yang berlaku sinis merasa
dirinya kritis. Padahal keduanya tak sama. Keduanya sungguh berbeda.
Inilah Abu Dzar
al-Ghiffari, Rodhiyallohu ‘Anhu.
Sikap yang sama
agungnya ditunjukkan oleh ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn Yassir. Tersebab
perselisihannya dengan Amirul Mukminin, ‘Abdulloh ibn Mas’ud pernah dihentikan
tunjangannya dari Baitul Maal. ‘Ammar juga pernah disiksa oleh seorang pengawal
kekholifahan hingga sekarat tanpa sepengetahuan ‘Utsman gara-gara ingin
menemuinya untuk menyampaikan masukan.
Mereka mengalami
kenestapaan dan rasa sakit dalam dekapan ukhuwahnya bersama ‘Utsman. Tetapi
ketika para penebar kekejian beraksi, ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn
Yassir adalah pembela Kholifah yang penuh kesetiaan dan cinta.
***
Sikap kedua yang
diambil sebagian shohabat adalah mendengar, taat, dan sejenak menghindarkan
diri dari hiruk-pikuk kehidupan di seputar pemerintahan. Mereka bersabar dan
yakin, mereka bertawakal, dan menyerahkan pada Alloh keadaan yang terjadi.
Mereka optimis dan percaya, syi’ar Islam yang benderang di bawah kekhilafahan
ini milik Alloh, maka biarlah Alloh yang membersihkannya dari segala kemelut
dan kerusakan yang mengancam.
Inilah Sa’d ibn Abi
Waqqosh, Rodhiyallohu ‘Anhu.
Adalah Sa’d
tersentak ketika membaca surat pemecatan ‘Utsman untuknya dari jabatan Gubernur
Kufah. Apalagi pembawa surat itu adalah al-Walid ibn ‘Uqbah yang kemudian akan
menggantikannya. Seingat Sa’d, al-Walid ibn ‘Uqbah inilah orang yang oleh Alloh
disebut sebagai “fasiq” dalam al-Qur’an.
“Hai orang-orang yang
beriman,” demikian firman-Nya dalam surat al-Hujuroot ayat keenam, “Jika datang
kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Sebab turunnya ayat
ini, sebagaimana disepakati oleh para mufassirin tanpa keraguan, adalah kisah
tentang pribadi al-Walid ibn ‘Uqbah.
Setelah
keislamannya dalam Fathul Makkah, suatu hari al-Walid diperintahkan Rosululloh
untuk mengumpulkan dan mengambil zakat dari Bani Mustholiq. Entah karena apa,
sebelum sampai di perkampungan kabilah ini, al-Walid berbalik pulang dan
melapor ke Bani Mustholiq tak sudi membayar zakat dan hampir-hampir
membunuhnya. Mendengar itu, Rosululloh segera menyiapkan pasukan untuk
memerangi Bani Mustholiq. Untunglah, para pembesar kaum itu segera datang
menghadap dan bersaksi bahwa justru mereka menunggu-nunggu utusan Rosululloh
untuk mengambil zakat sementara al-Walid tak pernah sampai ke tempat mereka.
Kini al-Walid ibn
Abi Waqqosh yang mulia, shohabat yang dijaminkan surga, paman kebanggaan
Rosululloh, pemanah yang ayah dan Ibunda Nabi jadi tebusannya, dan lelaki
sholih yang do’anya mustajabah, dipecat dan hendak digantikan oleh seorang yang
“fasiq”?
Tetapi Sa’d menaati
‘Utsman. Dia berkemas. Dipandangnya al-Walid dengan masygul sambil menyindir,
“Entah, kaliankah yang jadi terlalu pintar atau kamilah yang kian hari makin
bodoh?” Dia tak sedih karena dipecat. Dia sedih mengapa harus al-Walid ibn
‘Uqbah yang menempati amanah itu? Bukankah masih banyak shohabat Rosululloh
yang bertaqwa, sholih, dan berkemampuan?
Maka sejak saat itu
Sa’d ibn Abi Waqqosh lebih banyak menghindarkan diri dari tampil di depan umum.
Dia mengembara ke berbagai wilayah untuk mengajarkan Kitabulloh dan Sunnah,
berjihad, serta melatih para prajurit sembali mengisahkan untuk mereka
peperangan-peperangan Rosululloh untuk membina jiwa para muda.
Ketika akhirnya
‘Utsman wafat terzholimi, Sa’d begitu sedih. Dia berdo’a semoga Alloh
mengampuni dan merohmati ‘Utsman. Untuk para pembunuhnya, Sa’d berdo’a, “Ya
Alloh, jadikanlah mereka orang-orang yang menyesal, setelah itu azablah
mereka.”
Sebagian salaf
bersumpah, demikian dicatat Imam al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, bahwa tak satu pun yang terlibat dalam pembunuhan
‘Utsman kecuali mereka meninggal dalam keadaan gila. Ibnu Katsir
menggarisbawahi, bahwa di antara penyebabnya adalah karomah do’a Sa’d ibn Abi
Waqqosh yang terkenal mustajabah.
Sa’d ibn Abi
Waqqosh terus istiqomah dengan sikapnya ini. Ketika ‘Ali ibn Abi Tholib dan
putranya al-Hassan wafat, lalu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan mengambil bai’at untuk
dirinya sebagai raja, Sa’d didatangi oleh keponakannya. “Wahai Paman,” ujar
sang keponakan, “Sesungguhnya di belakangku terhunus seratus ribu pedang.
Mereka semua bersumpah atas nama Alloh bahwa engkaulah, Sa’d ibn Abi Waqqosh,
satu-satunya shohabat Rosululloh terjamin surga dan anggota syuro ‘Umar yang
masih hidup, adalah orang yang paling berhak atas khilafah ini!”
Sa’d tersenyum,
“Duhai putra saudaraku,” jawabnya lembut, “Yang kuinginkan hanyalah sebilah
pedang saja, tak lebih. Yang kukehendaki adalah sebilah pedang yang mampu
menebas tanpa ampun membelah tubuh orang kafir, namun luluh lembut tak berdaya
di hadapan orang Mukmin. Demi Alloh, jangan sampai ada darah insan beriman
tertumpah atas nama diriku.”
Dalam dekapan
ukhuwah, Sa’d ibn Abi Waqqosh telah memilih sikapnya dengan kelembutan nurani.
***
Sikap ketiga dalam
dekapan ukhuwah, adalah senantiasa mendampingi ‘Utsman dan menjadi penasehat
yang tulus hati baginya meski kadang harus menahan kekecewaan yang
bertubi-tubi. Itulah selembut-lembut nurani dan sebaik-baik akhlak terpuji.
Maka inilah dia,
‘Ali ibn Abi Tholib, Rodhiyallohu ‘Anhu.
Satu hari
ditemuinya ‘Utsman. Perbincangan di antara mereka diabadikan oleh Ibnu Katsir
dalam karya agungnya, al-Bidayah wan
Nihayah. Kata-kata ‘Ali sungguh terlihat sebagai ungkapan tulus, demi
kebaikan kekholifahan dan kemashlahatan ummat. Inilah ‘Ali berbagi tentang
segala keluhan yang selama ini dititipkan kepadanya. Lalu apa jawab ‘Utsman?
“Duhai Abal
Hassan,” kata ‘Utsman, “Seandainya engkau berada di tempatku, demi Alloh aku
takkan menyalahkan atau mencelamu, dan aku takkan menjelek-jelekkanmu.”
“Aku tahu,” kata
‘Ali sambil mengangguk, “Demikianlah akhlakmu dihiaskan.”
“Menurutmu,” lanjut
‘Utsman, “Apakah termasuk kemungkaran jika aku menghubungkan shilaturrohim,
menutupi celah, mengisi kekosongan, melindungi orang yang sesat jalan, dan
mengangkat orang seperti yang telah diangkat oleh ‘Umar? Atas nama Alloh, hai
Saudaraku, bukankah engkau tahu bahwa al-Mughiroh ibn Syu’bah dari bani Makhzum
juga menjadi gubernur ‘Umar?”
“Ya,” jawab ‘Ali.
“’Umar tidak
disalahkan atas hal itu, tetapi mengapa orang-orang menyalahkan aku ketika
mengangkat ‘Abdulloh ibn ‘Amir? Sungguh tak banyak kelebihan al-Mughiroh ibn
Syu’bah atasnya.”
“Izinkan aku
menjelaskan perbedaannya, ya ‘Utsman. Adalah ‘Umar, jika mengangkat seorang
pejabat maka dia memegang batang hidungnya dengan kencang. Jika terdengar oleh
‘Umar dia berlaku menyimpang, maka ditariknya hidung itu keras-keras dan
dibentaknya sejadi-jadinya sampai pucat. Adapun engkau, engkau tidak melakukan
itu. Engkau terlalu berlembut hati dan berlapang dada atas penyelewengan yang
mereka lakukan!”
“bagaimana dengan
Mu’awiyah? Bukankah dia juga pejabat ‘Umat? Salahkah jika kini aku
menetapkannya sebagai gubernurku?”
“Bukankah rasa
takut Mu’awiyah kepada ‘Umar lebih besar daripada budak ‘Umar? Adapun kini, dia
memutuskan urusannya sendiri tanpa membicarakannya denganmu dan engkau tak
pernah mencegahnya!”
“Ya,” kata ‘Utsman
sembari menghela nafas panjang, “Engkau benar, hai Abal Hassan. Engkau benar.
Memang demikian.”
***
‘Ali terus menjaga
ketulusan hatinya untuk mendampingi ‘Utsman dan menasehatinya dengan
petuah-petuah berharga. Sayang sekali, ‘Utsman kadang lebih mudah menerima
masukan Marwan ibn al-Hakam daripada pendapat ‘Ali. Ketika Madinah semakin
terasa menyesakkan dada oleh kehadiran rombongan-rombongan pembangkang dari
Mesir, bashroh, dan Kufah, ‘Utsman mengunjungi ‘Ali ibn Abi Tholib dan memohon
bantuan untuk bicara dengan mereka.
“Temuilah mereka,
wahai Amirul Mukminin,” ujar ‘Ali.
“Tidak,” kata
‘Utsman, “Engkau saja. Sesungguhnya aku malu.”
“Dengan apa aku
harus bicara kepada mereka?”
“Katakanlah bahwa
aku akan mengikuti masukan, pendapat, dan petunjukmu.”
Untuk kesekian
kali, ‘Ali menemui para utusan wilayah itu. Sekali lagi diyakinkannya bahwa
Amirul Mukminin adalah orang terbaik yang insya Alloh akan mengambil
langkah-langkah terbaik. Mereka mengajukan tuntutan kepada Kholifah untuk
memecat Marwan, dan mengganti para pejabat yang menyimpang. ‘Ali meminta mereka
pulang dengan keyakinan bahwa ‘Utsman akan mengambil langkah yang diridhoi
Alloh dan orang-orang Mukmin.
Mendengar hasil
pembicaraan ‘Ali dengan para utusan yang membangkang itu, ‘Utsman lega. Dia
berjanji untuk memenuhi tuntutan itu, meski berat.
“Wahai Amirul
Mukminin,” sambut ‘Ali sambl menggandeng tangan ‘Utsman ke masjid, “Perkataanmu
telah didengar dan disaksikan penghuni langit dan bumi. Janjimu untuk mengganti
mereka yang zholim dan sewenang-wenang dengan yang adil lagi amanah telah
tertulis. Kini semua orang menanti perintahmu!”
‘Utsman mengangguk
mantap. Dia menuju mimbar lalu berkhuthbah dengan untaian kata yang sungguh
membesarkan hati para shohabat Rosululloh. Mereka semua menangis. Inilah Dzun Nuroin. Inilah lelaki yang tua dan waro’, yang terdahulu masuk Islam, yang
pemalu, yang dermawan dan berakhlak mulia. ‘Utsman juga tak kuasa menahan air
matanya. Janggutnya basah.
Sayang, begitu
sampai di rumahnya, ‘Utsman telah disambut dengan wajah tak menyenangkan Marwan
ibn al-Hakam dan para pembesar Bani ‘Umayyah. Dengan menyentil hati ‘Utsman
yang lembut dan sensitif, dengan menyebut beberapa hal tak mengenakkan serta
mengancamnya terkait hubungan kekeluargaan di antara mereka, Marwan berhasil
membuat ‘Utsman terpaksa menarik kembali janjinya.
“Apakah tiap kali
ada yang tak menyukai pegawaimu, lalu engkau akan memecatnya?” ujar Marwan
berhujjah, “Demi Alloh ia akan menjadi sunnah yang buruk, hai Amirul Mukminin.
Dan demi Alloh, ini adalah sebuah penghinaan terhadap kedudukan kholifah yang
sedikit-sedikit harus tunduk kepada para pembangkang. Maka aku ataukah engkau
yang akan bicara pada manusia, hai Amirul Mukminin?”
Mata ‘Utsman
berkaca-kaca. Dia menutup muka dengan telapak tangannya. “Sungguh aku malu
kepada Alloh dan orang-orang Mukmin.”
Maka Marwan ibn
al-Hakam keluar dan berkhuthbah. “Ada apa dengan kalian ini?” hardiknya kepada
jama’ah. “Kalian berhimpun-himpun seakan hendak melakukan kejahatan dan
perampasan. Pulanglah kembali ke rumah-rumah kalian. Jika Amirul Mukminin ada
keperluan terhadap kalian, dia pasti akan mengirimkan utusan. Jika tidak, dia
akan diam di rumahnya. Apakah maksud kedatangan kalian adalah untuk mengambil
kekuasaan dari mereka yang telah diangkat secara sah oleh Amirul Mukminin? Demi
Alloh, setiap pembangkangan pasti akan dibalas dengan hal yang tidak
menyenangkan dan tak sempat disesali. Kembalilah kalian!”
Demikianlah semua
orang terperangah dan kembali kecewa. Alangkah sulitnya di hari-hari itu
menjadi ‘Utsman maupun ‘Ali, sebagaimana dituturkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi
dalam karyanya, ‘Ali Imamul Muttaqin.
Berulangkali ‘Ali mendampingi ‘Utsman dalam berurusan baik dengan para pembangkang
maupun dengan Marwan dan para pejabat Bani ‘Umayyah. Rombongan dari Mesir,
Bashroh, dan Kufah akhirnya pulang dengan jaminan ‘Ali dan keputusan ‘Utsman
untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan mereka.
Sayang, beberapa
makar jahat sedang bekerja.
***
“’Utsman bukanlah
musuh Alloh! Demi Alloh, tak ada yang lebih bertaqwa dibanding dia di muka bumi
ini!” teriak ‘Ali kepada para pemberontak yang kembali lagi ke Madinah sambil
menyebut nama ‘Utsman dengan panggilan-panggilan buruk.
Ya, mereka kembali
karena merasa ditipu. Mereka pulang dengan surat perintah ‘Utsman untuk
mengangkat Muhammad ibn Abi Bakar sebagai Gubernur Mesir menggantikan ‘Abdulloh
ibn Sa’d ibn Abi Sarh. Tetapi di perjalanan mereka menemukan sahaya ‘Utsman
menunggangi untanya sambil membawa surat yang berisi perintah ‘Utsman kepada
‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar dan
menyalib semua anggota kafilah yang pulang dari Madinah.
Tanpa mempedulikan
kedudukan dan kehormatan ‘Utsman, mereka menghardiknya di majelis, menyuruhnya
turun dari mimbar, dan mengucapkan ancaman-ancaman keji disertai tuduhan bahwa
‘Utsman berdusta. Dengan sedih, ‘Utsman sampai-sampai harus menyebut berbagai
keutamaan yang telah disumbangkannya kepada islam dan kaum Muslimin untuk menanggapi
mereka.
“Demi Alloh,
‘Utsman tak berdusta!” teriak ‘Ali dengan marah, “Dia itu Dzun Nuroin. Demi Alloh ‘Utsman jujur!”
Tetapi hari-hari
itu Madinah makin kelam. Para pemberontak bahkan semakin lancang. Suatu hari
mereka memukul ‘Utsman yang sedang berkhuthbah hingga pingsan dan dia pun
diusung ke rumah. Sejak hari itu hingga empatpuluh malam lamanya, ‘Utsman
dikurung di dalam kediamannya, terhalang ke masjid, terhalang dari
sahabat-sahabatnya, terhalang dari air dan pemenuhan kebutuhannya.
‘Ali, sahabat
‘Utsman yang tulus dan setia itu, memerintahkan kedua buah hatinya, al-Hassan
dan al-Husain untuk berjaga bersama para putra shohabat yang lain di rumah
‘Utsman. Maka terkumpullah sekitar tujuhratus orang di bawah pimpinan ‘Abdulloh
ibn az-Zubair dan ‘Abdulloh ibn ‘Umar bersiaga membela ‘Utsman.
Kita telah tahu
akhir fitnah ini. Sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rosululloh yang telah
diwasiatkan kepadanya, ‘Utsman tak hendak menumpahkan setitik darah pun. Tapi
dia juga tak hendak melepas pakaian kekholifahan yang telah Alloh kenakan
kepadanya demi memenuhi tuntutan para pemberontak. Diperintahkannya putra-putra
shohabat itu bubar. Al-Hassan ibn ‘Ali yang masih bersikeras berkata, “Demi
Alloh, hai Amirul Mukminin, perintahkanlah kami untuk bertindak!”
“Pulanglah wahai
penghulu pemuda surga,” tukas ‘Utsman lembut sekali, “Setelah ini ayahmu akan
menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik daripada apa yang aku hadapi.
Pulanglah dan dampingi dia. Demi Alloh dia telah berbuat baik.” ‘Utsman telah
bermimpi. Dia melihat Sang Nabi yang sedang bersama Abu Bakar dan ‘Umar
memanggilnya. “Hai ‘Utsman,” sabda beliau, “Engkau akan berbuka bersama kami
hari ini, insya Alloh.”
Itulah hari
terakhir Kholifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu
‘Anhu.
‘Ali sungguh
menyesali kepulangan al-Hassan dan al-Husain di hari terbunuhnya ‘Utsman itu.
Mengapa mereka tak berjaga lebih lama lagi? Tetapi agunglah kalian berdua wahai
para menantu Rosululloh. ‘Ali telah memilih sikap terbaiknya ketika mendampingi
‘Utsman dalam dekapan ukhuwah baik di waktu hidup maupun setelah wafatnya.
Selembut-lembut nurani mengajarkannya untuk menjadi kawan yang paling tulus,
penasehat yang paling jujur, dan sahabat yang paling setia.
Demikianlah dalam
dekapan ukhuwah, seperti Abu Dzar, seperti Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan seperti
‘Ali, kita memilih sikap terindah dengan kelembutan nurani.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar