Senin, 08 Juni 2015

Memilih Sikap Selembut Nurani

‘Utsman hanya akan menunduk hening jika disebut tentang neraka
tapi tangisnya menggugu mengguncang bahu saat “kubur” diperdengarkan
“andaipun disiksa,” ujarnya, “di Jahannam kita akan punya banyak kawan”
“adapun di alam barzakh, kesendirian itu saja pasti sudah sangat mengerikan”



DALAM tradisi Arab, selain ism, kuniyah, dan laqob, ada kebiasaan untuk memanggil orang yang disayang dan memiliki tempat khusus di hati dengan ism tashghir. Secara bahasa, tashghir artinya mengecilkan. Dalam istilah bahasa, ia bermakna mengubah bentuk kata untuk suatu maksud tertentu dengan cara memberikan baris dhommah di awal huruf, mem-fathah huruf kedua, dan menambahkan huruf ya’ yang di-sukun setelahnya.

Pada tsulatsi, yakni kata benda yang tersusun atas tiga huruf, wazan pola katanya adalah “Fu’ail”. Pada kata empat huruf atau ruba’i, wazan pola katanya ialah “Fu’ai-‘il”, dan untuk yang selebihnya berpola “Fu’ai-‘iil”. Contoh sederhana untuk tsulatsi; Jabal (gunung) menjadi Jubail (gunung kecil). Untuk yang ruba’i, ada kata Masjid yang berubah menjadi Musaijid (masjid kecil). Dalam pola “Fu’ai-‘iil” kita mendapati contoh Mishbaah (lampu) yang berubah menjadi Mushoibiih (lampu kecil).

Ada banyak maksud dari pembentukan ism tashghir. Utamanya memang mengecilkan ukuran sebagaimana telah kita perlihatkan dalam contoh. Tetapi bisa juga digunakan untuk mengabaikan, mengurangi, menunjukkan kedekatan, mengagungkan, dan sindiran. Dalam konteks panggilan terhadap seseorang, ia menunjukkan kedekatan hubungan dan ungkapan sayang.

Untuk lelaki istimewa yang kita bicarakan kali ini, ism-nya adalah ‘Utsman ibn ‘Affan. Kuniyah-nya Abu ‘Abdillah. Dia memiliki gelar Dzun Nuroin wal Hijrotain, pemilik dua cahaya yang berhijrah dua kali, sebagai laqob-nya. Nah, lalu adakah ism tashghir untuk ‘Utsman? Ya, ada. ‘Utsaim, begitu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sering memanggilnya.

“Beliau seorang yang rupawan,” kata Ibnu Sa’d dalam ath-Thobaqotul Kubro tentang ciri-ciri ‘Utsman. “Wajahnya teduh dan lembur, janggutnya banyak dan halus, perawakannya sedang, tulang persendiannya besar, bahunya bidang, serta rambutnya lebat. Beliau memiliki bentuk mulut bagus berwarna kecoklatan. Ada yang mengatakan bahwa pada wajah beliau ada beberapa bekar cacar.”

‘Utsman dipanggil ‘Utsaim oleh Sang Nabi. Rasa sayang dan kelembutan beliau kepada ‘Utsman begitu tampak dan terasa. Semua orang yang mengenal kemuliaan akhlaknya, kesucian batinnya, keringanan jiwanya menginfaqkan harta, dan keagungan pengorbanannya. Dan makin dalamlah kasih Sang Nabi kepada menantunya ini. Satu hari, ketika ‘Utsman si pemalu menyelubungi wajahnya dengan kain, Rosululloh memandang ke arahnya dengan sendu dan bersabda kepada para shohabat, “Kabarkan kepadanya bahwa dia masuk surga disertai dengan fitnah dan pembunuhan yang menzholiminya.”

‘Utsman seorang yang sangat mencintai kebersamaan dan shilaturrohim. Bahkan ajaibnya, dari yang terkutip di awal tulisan, kita tahu bahwa sampai-sampai dia lebih menkhawatirkan kesendirian dalam kubur dibandingkan kerasnya siksa neraka. Tentu itu mungkin tersebab bahwa dia sudah diberikan kabar gembira untuk masuk surga. Tetapi bagaimanapun, ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu ‘Anhu, memang pribadi yang unik.

Sesungguhnya, takdir para pahlawan besar adalah mendapatkan nikmat yang besar, meraih keberuntungan besar, memiliki peran besar, juga mendapatkan nama besar dan penghargaan besar. Di balik itu, mereka juga akan menghadapi masalah besar, musibah besar, dan kenestapaan besar. Terhubung dengan kepribadiannya yang unik, semua ujian yang dihadapi ‘Utsman di akhir masa jabatannya sebagai kholifah sungguh besar sekaligus rumit dan pelik.

Dan bagi sahabat-sahabat ‘Utsman, tentu saja kadang tak mudah menyikapi itu semua.

***

“Aqidah salaf dalam menyikapi perselisihan para shohabat adalah tidak memperbincangkannya,” tulis Muhammad ibn ‘Abdillah al-Ghoban dalam al-Fitaan fii Qotli ‘Utsman ibn ‘Affan, “Kecuali jika muncul ahli bid’ah yang mencela dan merendahkan mereka. Maka ketika itu wajib untuk membela mereka dengan kebenaran dan keadilan.”

Sesungguhnya kita memang tidak ingin bicara tentang berbagai fitnah yang terjadi di masa ‘Utsman ibn ‘Affan. Hanya saja pangkal soalnya memang perlu diangkat sebagai sebuah sudut pandang untuk memahami sikap para shohabat pada masa itu sekedar agar kita bisa mengambil ibroh dan meneladani kebaikan-kebaikan mereka yang bagai pelita zaman nan tak pernah redup. Kemuliaan nama mereka di hati kita selalu terjaga insya Alloh, berkat ridho Alloh yang telah tercurah pada diri-diri mereka.

Saif ibn ‘Umar at-Tamimi, yang keterangannya banyak dikutip Imam ath-Thobari dalam Tarikh-nya, menyebut nama ‘Abdulloh ibn Saba’, si Yahudi yang berpura-pura masuk Islam sebagai pangkal utama berbagai fitnah. “Dia,” ungkap Imam Abu Bakr al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah yang ditulisnya, “Menyusup ke dalam tubuh kaum Muslimin seperti dilakukan oleh paulus ke dalam agama Nasrani hingga dia dapat menyesatkan dan memecah belah mereka menjadi berbagai firqoh.”

Ahli fitnah inilah yang membesar-besarkan perbedaan pendapat di kalangan para shohabat semisal antara ‘Utsman dengan Abu Dzar al-Ghiffari tentang kepemilikan harta kekayaan; antara ‘Utsman dengan ‘Abdulloh ibn Mas’ud tentang sholat ‘qoshor di Mina serta pemusnahan mushhaf selain yang sesuai tepat dengan mushhaf al-Imam untuk menghindari perselisihan ummat; antara ‘Utsman dengan ‘Ali terkait pengangkatan beberapa pejabat, dan berbagai-bagai yang selain itu. Kabar ikhtilaf itu dibawa ke mana-mana disertai bermacam tiupan dengki dan penambahan yang mengarahkan kebencian masyarakat kepada ‘Utsman Rodhoyallohu ‘Anhu.

Inilah ‘Abdulloh ibn Saba’, penyebab yang jahat.

Simpul persoalan yang kedua, sorot Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wal Mulk, adalah kerabat-kerabat ‘Utsman dari kalangan Bani ‘Umayyah. Nama bermasalah yang paling sering disebut dalam sejarah adalah Marwan ibn al-Hakam. Marwan, sepupu ‘Utsman yang menjabat sekretaris pribadi sekaligus penasehatnya ini, bahkan dipersaksikan sendiri oleh Nailah binti al-Farafishoh, istri ‘Utsman, sebagai pangkal keruwetan. “Bila engkau terus-menerus mengikuti Marwan,” ujar Nailah sebagaimana dicatat oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah, “Maka dia akan menjadi sebab kematianmu. Dia sungguh tak berharga di sisi Alloh. Dia tak memiliki wibawa dan nihil pula kecintaan manusia pada dirinya.”

Para ahli sejarah mencatat bahwa Nailah bisa saja benar. Kelak, ada surat mengatasnamakan Kholifah yang dibawa budak ‘Utsman dengan untanya berisi perintah kepada ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq yang baru saja diangkat menjadi Gubernur Mesir. Surat itu diduga ditulis oleh Marwan. Ada kemungkinan lain bahwa surat itu dipalsukan oleh pembuat fitnah di kalangan para pemberontak sebagaimana mereka pernah memalsukan surat atas nama ‘Ali, az-Zubair, Tholhah, Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan ‘Aisyah untuk mengobarkan pembangkangan terhadap ‘Utsman. Wallohu a’lam.

Yang jelas, surat itulah yang makin mengobarkan amarah kaum pemberontak hingga ‘Utsman mereka bunuh di rumahnya setelah dikepung empatpuluh hari lamanya. Subhanalloh!

Nama lain yang kadang disebut adalah Walid ibn ‘Uqbah, kerabat ‘Utsman yang diangkat menjadi Gubernur Kufah menggantikan Sa’d ibn Abi Waqqosh. Walid berjasa besar dalam penaklukan Armenia dan Azerbaijan. Tapi masyarakat umumnya menaruh hormat yang sangat dalam pada Sa’d, dan mereka segera tak menyukai Walid yang diketahui beberapa kali meminum khomr. Dia pernah mengimami sholat Shubuh empat roka’at dan seusai salam bertanya, “Apa kalian mau kutambah lagi?” Syukurlah, ‘Utsman kemudian menegakkan had atasnya.

Inilah kerabat ‘Utsman lainnya yang diangkat sebagai pejabat dan masyhur namanya; Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (Gubernur Syam Raya), Sa’d ibn al-‘Ash (Gubernur Kufah pengganti Walid), ‘Amr ibn al-‘Ash (Gubernur Mesir Raya), ‘Abdulloh ibn Amir (Gubernur Bashroh), serta ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh (Gubernur Maghrib).

Sebagai perbandingan, di masa ‘Umar, pengawasan terhadap para pemangku tugas begitu ketat dan nyaris sama sekali tak ada kerabat ‘Umar yang menjadi pejabat. Agaknya kebijakan ‘Umar itu telah dianggap sebagai kebaikan mutlak oleh masyarakat sehingga ketika ‘Utsman mengangkat orang-orang yang dipercayainya dari kalangan Bani ‘Umayyah untuk menjadi gubernur, hal itu terlihat seakan tercela di mata orang-orang. Meski memang tak sepenuhnya salah, cara dan gaya hidup mereka memang berbeda dari apa yang berjalan di masa ‘Umar. Itu lagi-lagi menjadi bahan bakar tambahan pemicu firnah.

Para kerabat ini adalah penyebab firnah yang bisa saja salah, namun tentu tak sepenuhnya.

Yang ketiga adalah semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam di masa ‘Utsman. Afrika, kawasan Maghrib, Andalusia, Ciprus, dan seluruh wilayah kekuasaan Romawi di benua Asia takluk. Ke utara dan timur, penaklukan mencapai Armenia, Azerbaijan, Thobaristan, Kirman, Sijistan, dan seluruh Khurosan. Perluasan ini membawa konsekuensi makin bertimbun dan berlimpahnya kekayaan Baitul Maal. Terkisah bahwa Khumus Afrika saja senilai 5 juta dinar.

“Angin perubahan,” demikian ditulis Kholid Muhammad Kholid dalam Khulafaa-ur Rosuul, “Dan perkembangannya yang makin menampakkan kegelapnya dunia bertiup amat derasnya memasuki negara yang mahaluas itu dari keempat penjuru bumi. Ummat pun sudah terdiri atas berbagai bangsa yang membawa adat-istiadat dan tatacara hidup yang menggejolak bagai gelombang setinggi gunung.” Sebagaimana hukum sejarah yang dirumuskan Ibnu Kholdun, keberlimpahan itu menumpulkan semangat juang ummat secara perlahan dan membuat mereka kurang peka pada hal-hal kecil yang sedemikian rentan memicu perpecahan.

‘Utsman memang bukan ‘Umar yang sedemikian garang dalam mengekang nafsu serakah rakyat dan pegawai-pegawainya. Andaipun ‘Utsman ingin berlaku sama, masihkah itu mungkin sementara keadaan telah jauh berubah? Maka ‘Utsman memandang kenikmatan hidup bagi mereka itu tak ada salahnya, selama mereka memperolehnya dari jalan halal, menunaikan hak zakatnya, dan tak membelanjakannya untuk kemaksiatan. Catatan terpenting, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman satu hari berkhuthbah dengan surban dan gamis yang tambalannya ada di tigapuluhdua tempat! Oh, sungguh dia tetap suci dan meneladankan kezuhudan.

Walhasil, keadaan makmur yang rawan konflik ini juga menjadi sebab fitnah yang tak terhindarkan, tapi juga tak bisa disalahkan.

Yang keempat, adalah bahwa ‘Utsman ibn ‘Affan memang berkarakter lembut hati, menjaga sebaik-baik shilaturrohim dengan mereka yang karib, dan pemaaf atas kekhilafan orang. ‘Umar di masanya dulu seakan memegang hidung semua pejabatnya, mencurigai setiap yang janggal, menyemburnya dengan hardikan keras jika menyimpang, dan melecutnya dengan cemeti jika kedapatan bersalah. Adapun ‘Utsman, dia penuh prasangka baik, tak suka keributan dan onar, dan memilih mengorbankan harta―bahkan nanti jiwanya―untuk menyelesaikan masalah agar tak ada seorang pun yang tersakiti atau dirugikan selain dirinya.

Inilah akhlak ‘Utsman ibn ‘Affan, penyebab terpuji yang sama sekali tak bisa dicela.

***

Dalam dekapan ukhuwah, dengan kelembutan nurani mereka, ada beberapa pilihan sikap yang diambil oleh para shohabat terhadap Amirul Mukminin, ‘Utsman ibn ‘Affan.

Sikap pertama adalah senantiasa memberi masukan terbuka dan tetap menaati ‘Utsman atas segala perintahnya. Dengan penuh keberanian, atas dasar ijtihadnya mereka menentang para pejabat ‘Utsman yang dianggap tak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rosululloh, dan jalan hidup dua Syaikhoin; Abu Bakar serta ‘Umar.

Sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang paling lurus ucapannya, Abu Dzar al-Ghiffari melakukannya di Syam dengan begitu istiqomah. Adalah Mu’awiyah, Rodhiyallohu ‘Anhu yang kemudian merasa bahwa apa yang dilakukan Abu Dzar lebih banyak madhorotnya bagi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Bagaimana tidak, pikir Mu’awiyah, jika kemudian ada yang menafsirkan bahwa khuthbah Abu Dzar membolehkan orang-orang miskin untuk mendatangi rumah orang kaya dan merampas apa yang dianggap hak kaum papa dari mereka?

“Alloh telah berfirman dan firman-Nya takkan berubah, hukum-Nya juga takkan berganti,” ujar Abu Dzar dalam khuthbahnya. “Inilah Dia ‘Azza wa Jalla mengancamkan di surat at-Taubah ayat tigapuluh empat: ‘Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.’

Atas laporan Mu’awiyah yang risau, ‘Utsman memanggil Abu Dzar agar membersamainya tinggal di Madinah.

Dan Abu Dzar pun pindah ke Madinah tanpa mengubah ijtihad dan sikapnya. ‘Utsman terus berusaha menjinakkan hatinya dengan akhlak dan kedermawanannya. Hingga satu hari, dalam sebuah pembahasan di depan ‘Utsman ibn ‘Affan, Ka’b al-Ahbar, seorang bekas rahib Yahudi yang masuk Islam mendebat Abu Dzar. “Orang yang telah berzakat,” ujar Ka’b, “Telah terbebas dari kewajiban lain atas hartanya.” Abu Dzar Rodhiyallohu ‘Anhu, tersinggung dan marah.

“Hai anak Yahudi!” hardik Abu Dzar saat itu sebagaimana dikisahkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi dalam ‘Ali Imamul Muttaqin, “Ada apa kau di sini dan mau apa?” Berkata begitu, tangan Abu Dzar juga melayang ke kepala Ka’b al-Ahbar. Saking kerasnya hantaman Abu Dzar, Ka’b tersungkur; kepalanya luka dan berdarah.

Melihat itu, ‘Utsman menangis. “Wahai Abu Dzar, Saudaraku,” tegurnya, “Takutlah engkau kepada Alloh. Jagalah manusia dari lisan dan tanganmu.”

Abu Dzar pun tak kalah menyesal. Dia ingat sekali apa yang disabdakan Rosululloh ketika dulu dihardiknya Bilal sebagai anak budak hitam. “Hai Abu Dzar,” kata Sang Nabi saat itu, “Sungguh engkau, di dalam dirimu masih terdapat jahiliyah.” Maka dia pun undur, meminta hukuman kepada ‘Utsman.

“Agaknya engkau memang tak merasa nyaman bersama kami, hai Abu Dzar?”

“Engkau benar, hai Amirul Mukminin,” kata Abu Dzar dengan mata berkaca-kaca.

“Apa yang harus kami lakukan untukmu?”

“Tempatkanlah aku di manapun engkau suka.”

“Bagaimana jika di Robdzah, agar engkau dekat dengan orang-orang yang mencintaimu?”

“Aku mendengar dan taat.”

Maka Abu Dzar pun menuju Robdzah dan tinggal di sana. ‘Utsman melepasnya dengan kemuliaan, membekalinya dengan biaya untuk membangun tempat tinggal dan masjid. ‘Utsman menambahinya harta, serta beberapa perkakas dan hak milik lengkap dengan pembantunya. Pahit memang dirasa masing-masing. Tetapi, “Seandainya ‘Utsman memerintahkan aku agar berlaku sebagaimana budak hitam Habasyah,” kata Abu Dzar, “Aku pasti akan mendengar dan taat. Bahkan jikapun ‘Utsman menyalibku di atas batang kayu, aku juga pasti menaatinya dan kuanggap hal itu sebagai kebaikan bagi diriku.”

Inilah Abu Dzar, sang Ashdaqu Lahjatan, lelaki yang paling lempang kata-katanya. Dalam dekapan ukhuwah, dia berani menyuarakan kebenaran yang diyakininya, tetapi tetap berlembut nurani untuk mendengar dan taat kepada ‘Utsman, sang Kholifah, sang Ulil Amri. Bagi kita yang dikaruniai Alloh sikap kritis, mari belajar pada Abu Dzar agar ia tak berubah menjadi sinis. Sebab banyak orang yang berlaku sinis merasa dirinya kritis. Padahal keduanya tak sama. Keduanya sungguh berbeda.

Inilah Abu Dzar al-Ghiffari, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Sikap yang sama agungnya ditunjukkan oleh ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn Yassir. Tersebab perselisihannya dengan Amirul Mukminin, ‘Abdulloh ibn Mas’ud pernah dihentikan tunjangannya dari Baitul Maal. ‘Ammar juga pernah disiksa oleh seorang pengawal kekholifahan hingga sekarat tanpa sepengetahuan ‘Utsman gara-gara ingin menemuinya untuk menyampaikan masukan.

Mereka mengalami kenestapaan dan rasa sakit dalam dekapan ukhuwahnya bersama ‘Utsman. Tetapi ketika para penebar kekejian beraksi, ‘Abdulloh ibn Mas’ud dan ‘Ammar ibn Yassir adalah pembela Kholifah yang penuh kesetiaan dan cinta.

***

Sikap kedua yang diambil sebagian shohabat adalah mendengar, taat, dan sejenak menghindarkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan di seputar pemerintahan. Mereka bersabar dan yakin, mereka bertawakal, dan menyerahkan pada Alloh keadaan yang terjadi. Mereka optimis dan percaya, syi’ar Islam yang benderang di bawah kekhilafahan ini milik Alloh, maka biarlah Alloh yang membersihkannya dari segala kemelut dan kerusakan yang mengancam.

Inilah Sa’d ibn Abi Waqqosh, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Adalah Sa’d tersentak ketika membaca surat pemecatan ‘Utsman untuknya dari jabatan Gubernur Kufah. Apalagi pembawa surat itu adalah al-Walid ibn ‘Uqbah yang kemudian akan menggantikannya. Seingat Sa’d, al-Walid ibn ‘Uqbah inilah orang yang oleh Alloh disebut sebagai “fasiq” dalam al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman,” demikian firman-Nya dalam surat al-Hujuroot ayat keenam, “Jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana disepakati oleh para mufassirin tanpa keraguan, adalah kisah tentang pribadi al-Walid ibn ‘Uqbah.

Setelah keislamannya dalam Fathul Makkah, suatu hari al-Walid diperintahkan Rosululloh untuk mengumpulkan dan mengambil zakat dari Bani Mustholiq. Entah karena apa, sebelum sampai di perkampungan kabilah ini, al-Walid berbalik pulang dan melapor ke Bani Mustholiq tak sudi membayar zakat dan hampir-hampir membunuhnya. Mendengar itu, Rosululloh segera menyiapkan pasukan untuk memerangi Bani Mustholiq. Untunglah, para pembesar kaum itu segera datang menghadap dan bersaksi bahwa justru mereka menunggu-nunggu utusan Rosululloh untuk mengambil zakat sementara al-Walid tak pernah sampai ke tempat mereka.

Kini al-Walid ibn Abi Waqqosh yang mulia, shohabat yang dijaminkan surga, paman kebanggaan Rosululloh, pemanah yang ayah dan Ibunda Nabi jadi tebusannya, dan lelaki sholih yang do’anya mustajabah, dipecat dan hendak digantikan oleh seorang yang “fasiq”?

Tetapi Sa’d menaati ‘Utsman. Dia berkemas. Dipandangnya al-Walid dengan masygul sambil menyindir, “Entah, kaliankah yang jadi terlalu pintar atau kamilah yang kian hari makin bodoh?” Dia tak sedih karena dipecat. Dia sedih mengapa harus al-Walid ibn ‘Uqbah yang menempati amanah itu? Bukankah masih banyak shohabat Rosululloh yang bertaqwa, sholih, dan berkemampuan?

Maka sejak saat itu Sa’d ibn Abi Waqqosh lebih banyak menghindarkan diri dari tampil di depan umum. Dia mengembara ke berbagai wilayah untuk mengajarkan Kitabulloh dan Sunnah, berjihad, serta melatih para prajurit sembali mengisahkan untuk mereka peperangan-peperangan Rosululloh untuk membina jiwa para muda.

Ketika akhirnya ‘Utsman wafat terzholimi, Sa’d begitu sedih. Dia berdo’a semoga Alloh mengampuni dan merohmati ‘Utsman. Untuk para pembunuhnya, Sa’d berdo’a, “Ya Alloh, jadikanlah mereka orang-orang yang menyesal, setelah itu azablah mereka.”

Sebagian salaf bersumpah, demikian dicatat Imam al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, bahwa tak satu pun yang terlibat dalam pembunuhan ‘Utsman kecuali mereka meninggal dalam keadaan gila. Ibnu Katsir menggarisbawahi, bahwa di antara penyebabnya adalah karomah do’a Sa’d ibn Abi Waqqosh yang terkenal mustajabah.

Sa’d ibn Abi Waqqosh terus istiqomah dengan sikapnya ini. Ketika ‘Ali ibn Abi Tholib dan putranya al-Hassan wafat, lalu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan mengambil bai’at untuk dirinya sebagai raja, Sa’d didatangi oleh keponakannya. “Wahai Paman,” ujar sang keponakan, “Sesungguhnya di belakangku terhunus seratus ribu pedang. Mereka semua bersumpah atas nama Alloh bahwa engkaulah, Sa’d ibn Abi Waqqosh, satu-satunya shohabat Rosululloh terjamin surga dan anggota syuro ‘Umar yang masih hidup, adalah orang yang paling berhak atas khilafah ini!”

Sa’d tersenyum, “Duhai putra saudaraku,” jawabnya lembut, “Yang kuinginkan hanyalah sebilah pedang saja, tak lebih. Yang kukehendaki adalah sebilah pedang yang mampu menebas tanpa ampun membelah tubuh orang kafir, namun luluh lembut tak berdaya di hadapan orang Mukmin. Demi Alloh, jangan sampai ada darah insan beriman tertumpah atas nama diriku.”

Dalam dekapan ukhuwah, Sa’d ibn Abi Waqqosh telah memilih sikapnya dengan kelembutan nurani.

***

Sikap ketiga dalam dekapan ukhuwah, adalah senantiasa mendampingi ‘Utsman dan menjadi penasehat yang tulus hati baginya meski kadang harus menahan kekecewaan yang bertubi-tubi. Itulah selembut-lembut nurani dan sebaik-baik akhlak terpuji.

Maka inilah dia, ‘Ali ibn Abi Tholib, Rodhiyallohu ‘Anhu.

Satu hari ditemuinya ‘Utsman. Perbincangan di antara mereka diabadikan oleh Ibnu Katsir dalam karya agungnya, al-Bidayah wan Nihayah. Kata-kata ‘Ali sungguh terlihat sebagai ungkapan tulus, demi kebaikan kekholifahan dan kemashlahatan ummat. Inilah ‘Ali berbagi tentang segala keluhan yang selama ini dititipkan kepadanya. Lalu apa jawab ‘Utsman?

“Duhai Abal Hassan,” kata ‘Utsman, “Seandainya engkau berada di tempatku, demi Alloh aku takkan menyalahkan atau mencelamu, dan aku takkan menjelek-jelekkanmu.”

“Aku tahu,” kata ‘Ali sambil mengangguk, “Demikianlah akhlakmu dihiaskan.”

“Menurutmu,” lanjut ‘Utsman, “Apakah termasuk kemungkaran jika aku menghubungkan shilaturrohim, menutupi celah, mengisi kekosongan, melindungi orang yang sesat jalan, dan mengangkat orang seperti yang telah diangkat oleh ‘Umar? Atas nama Alloh, hai Saudaraku, bukankah engkau tahu bahwa al-Mughiroh ibn Syu’bah dari bani Makhzum juga menjadi gubernur ‘Umar?”

“Ya,” jawab ‘Ali.

“’Umar tidak disalahkan atas hal itu, tetapi mengapa orang-orang menyalahkan aku ketika mengangkat ‘Abdulloh ibn ‘Amir? Sungguh tak banyak kelebihan al-Mughiroh ibn Syu’bah atasnya.”

“Izinkan aku menjelaskan perbedaannya, ya ‘Utsman. Adalah ‘Umar, jika mengangkat seorang pejabat maka dia memegang batang hidungnya dengan kencang. Jika terdengar oleh ‘Umar dia berlaku menyimpang, maka ditariknya hidung itu keras-keras dan dibentaknya sejadi-jadinya sampai pucat. Adapun engkau, engkau tidak melakukan itu. Engkau terlalu berlembut hati dan berlapang dada atas penyelewengan yang mereka lakukan!”

“bagaimana dengan Mu’awiyah? Bukankah dia juga pejabat ‘Umat? Salahkah jika kini aku menetapkannya sebagai gubernurku?”

“Bukankah rasa takut Mu’awiyah kepada ‘Umar lebih besar daripada budak ‘Umar? Adapun kini, dia memutuskan urusannya sendiri tanpa membicarakannya denganmu dan engkau tak pernah mencegahnya!”

“Ya,” kata ‘Utsman sembari menghela nafas panjang, “Engkau benar, hai Abal Hassan. Engkau benar. Memang demikian.”

***

‘Ali terus menjaga ketulusan hatinya untuk mendampingi ‘Utsman dan menasehatinya dengan petuah-petuah berharga. Sayang sekali, ‘Utsman kadang lebih mudah menerima masukan Marwan ibn al-Hakam daripada pendapat ‘Ali. Ketika Madinah semakin terasa menyesakkan dada oleh kehadiran rombongan-rombongan pembangkang dari Mesir, bashroh, dan Kufah, ‘Utsman mengunjungi ‘Ali ibn Abi Tholib dan memohon bantuan untuk bicara dengan mereka.

“Temuilah mereka, wahai Amirul Mukminin,” ujar ‘Ali.

“Tidak,” kata ‘Utsman, “Engkau saja. Sesungguhnya aku malu.”

“Dengan apa aku harus bicara kepada mereka?”

“Katakanlah bahwa aku akan mengikuti masukan, pendapat, dan petunjukmu.”

Untuk kesekian kali, ‘Ali menemui para utusan wilayah itu. Sekali lagi diyakinkannya bahwa Amirul Mukminin adalah orang terbaik yang insya Alloh akan mengambil langkah-langkah terbaik. Mereka mengajukan tuntutan kepada Kholifah untuk memecat Marwan, dan mengganti para pejabat yang menyimpang. ‘Ali meminta mereka pulang dengan keyakinan bahwa ‘Utsman akan mengambil langkah yang diridhoi Alloh dan orang-orang Mukmin.

Mendengar hasil pembicaraan ‘Ali dengan para utusan yang membangkang itu, ‘Utsman lega. Dia berjanji untuk memenuhi tuntutan itu, meski berat.

“Wahai Amirul Mukminin,” sambut ‘Ali sambl menggandeng tangan ‘Utsman ke masjid, “Perkataanmu telah didengar dan disaksikan penghuni langit dan bumi. Janjimu untuk mengganti mereka yang zholim dan sewenang-wenang dengan yang adil lagi amanah telah tertulis. Kini semua orang menanti perintahmu!”

‘Utsman mengangguk mantap. Dia menuju mimbar lalu berkhuthbah dengan untaian kata yang sungguh membesarkan hati para shohabat Rosululloh. Mereka semua menangis. Inilah Dzun Nuroin. Inilah lelaki yang tua dan waro’, yang terdahulu masuk Islam, yang pemalu, yang dermawan dan berakhlak mulia. ‘Utsman juga tak kuasa menahan air matanya. Janggutnya basah.

Sayang, begitu sampai di rumahnya, ‘Utsman telah disambut dengan wajah tak menyenangkan Marwan ibn al-Hakam dan para pembesar Bani ‘Umayyah. Dengan menyentil hati ‘Utsman yang lembut dan sensitif, dengan menyebut beberapa hal tak mengenakkan serta mengancamnya terkait hubungan kekeluargaan di antara mereka, Marwan berhasil membuat ‘Utsman terpaksa menarik kembali janjinya.

“Apakah tiap kali ada yang tak menyukai pegawaimu, lalu engkau akan memecatnya?” ujar Marwan berhujjah, “Demi Alloh ia akan menjadi sunnah yang buruk, hai Amirul Mukminin. Dan demi Alloh, ini adalah sebuah penghinaan terhadap kedudukan kholifah yang sedikit-sedikit harus tunduk kepada para pembangkang. Maka aku ataukah engkau yang akan bicara pada manusia, hai Amirul Mukminin?”

Mata ‘Utsman berkaca-kaca. Dia menutup muka dengan telapak tangannya. “Sungguh aku malu kepada Alloh dan orang-orang Mukmin.”

Maka Marwan ibn al-Hakam keluar dan berkhuthbah. “Ada apa dengan kalian ini?” hardiknya kepada jama’ah. “Kalian berhimpun-himpun seakan hendak melakukan kejahatan dan perampasan. Pulanglah kembali ke rumah-rumah kalian. Jika Amirul Mukminin ada keperluan terhadap kalian, dia pasti akan mengirimkan utusan. Jika tidak, dia akan diam di rumahnya. Apakah maksud kedatangan kalian adalah untuk mengambil kekuasaan dari mereka yang telah diangkat secara sah oleh Amirul Mukminin? Demi Alloh, setiap pembangkangan pasti akan dibalas dengan hal yang tidak menyenangkan dan tak sempat disesali. Kembalilah kalian!”

Demikianlah semua orang terperangah dan kembali kecewa. Alangkah sulitnya di hari-hari itu menjadi ‘Utsman maupun ‘Ali, sebagaimana dituturkan ‘Abdurrohman asy-Syarqowi dalam karyanya, ‘Ali Imamul Muttaqin. Berulangkali ‘Ali mendampingi ‘Utsman dalam berurusan baik dengan para pembangkang maupun dengan Marwan dan para pejabat Bani ‘Umayyah. Rombongan dari Mesir, Bashroh, dan Kufah akhirnya pulang dengan jaminan ‘Ali dan keputusan ‘Utsman untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan mereka.

Sayang, beberapa makar jahat sedang bekerja.

***

“’Utsman bukanlah musuh Alloh! Demi Alloh, tak ada yang lebih bertaqwa dibanding dia di muka bumi ini!” teriak ‘Ali kepada para pemberontak yang kembali lagi ke Madinah sambil menyebut nama ‘Utsman dengan panggilan-panggilan buruk.

Ya, mereka kembali karena merasa ditipu. Mereka pulang dengan surat perintah ‘Utsman untuk mengangkat Muhammad ibn Abi Bakar sebagai Gubernur Mesir menggantikan ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh. Tetapi di perjalanan mereka menemukan sahaya ‘Utsman menunggangi untanya sambil membawa surat yang berisi perintah ‘Utsman kepada ‘Abdulloh ibn Sa’d ibn Abi Sarh untuk membunuh Muhammad ibn Abi Bakar dan menyalib semua anggota kafilah yang pulang dari Madinah.

Tanpa mempedulikan kedudukan dan kehormatan ‘Utsman, mereka menghardiknya di majelis, menyuruhnya turun dari mimbar, dan mengucapkan ancaman-ancaman keji disertai tuduhan bahwa ‘Utsman berdusta. Dengan sedih, ‘Utsman sampai-sampai harus menyebut berbagai keutamaan yang telah disumbangkannya kepada islam dan kaum Muslimin untuk menanggapi mereka.

“Demi Alloh, ‘Utsman tak berdusta!” teriak ‘Ali dengan marah, “Dia itu Dzun Nuroin. Demi Alloh ‘Utsman jujur!”

Tetapi hari-hari itu Madinah makin kelam. Para pemberontak bahkan semakin lancang. Suatu hari mereka memukul ‘Utsman yang sedang berkhuthbah hingga pingsan dan dia pun diusung ke rumah. Sejak hari itu hingga empatpuluh malam lamanya, ‘Utsman dikurung di dalam kediamannya, terhalang ke masjid, terhalang dari sahabat-sahabatnya, terhalang dari air dan pemenuhan kebutuhannya.

‘Ali, sahabat ‘Utsman yang tulus dan setia itu, memerintahkan kedua buah hatinya, al-Hassan dan al-Husain untuk berjaga bersama para putra shohabat yang lain di rumah ‘Utsman. Maka terkumpullah sekitar tujuhratus orang di bawah pimpinan ‘Abdulloh ibn az-Zubair dan ‘Abdulloh ibn ‘Umar bersiaga membela ‘Utsman.

Kita telah tahu akhir fitnah ini. Sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rosululloh yang telah diwasiatkan kepadanya, ‘Utsman tak hendak menumpahkan setitik darah pun. Tapi dia juga tak hendak melepas pakaian kekholifahan yang telah Alloh kenakan kepadanya demi memenuhi tuntutan para pemberontak. Diperintahkannya putra-putra shohabat itu bubar. Al-Hassan ibn ‘Ali yang masih bersikeras berkata, “Demi Alloh, hai Amirul Mukminin, perintahkanlah kami untuk bertindak!”

“Pulanglah wahai penghulu pemuda surga,” tukas ‘Utsman lembut sekali, “Setelah ini ayahmu akan menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik daripada apa yang aku hadapi. Pulanglah dan dampingi dia. Demi Alloh dia telah berbuat baik.” ‘Utsman telah bermimpi. Dia melihat Sang Nabi yang sedang bersama Abu Bakar dan ‘Umar memanggilnya. “Hai ‘Utsman,” sabda beliau, “Engkau akan berbuka bersama kami hari ini, insya Alloh.”
Itulah hari terakhir Kholifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Rodhiyallohu ‘Anhu.

‘Ali sungguh menyesali kepulangan al-Hassan dan al-Husain di hari terbunuhnya ‘Utsman itu. Mengapa mereka tak berjaga lebih lama lagi? Tetapi agunglah kalian berdua wahai para menantu Rosululloh. ‘Ali telah memilih sikap terbaiknya ketika mendampingi ‘Utsman dalam dekapan ukhuwah baik di waktu hidup maupun setelah wafatnya. Selembut-lembut nurani mengajarkannya untuk menjadi kawan yang paling tulus, penasehat yang paling jujur, dan sahabat yang paling setia.

Demikianlah dalam dekapan ukhuwah, seperti Abu Dzar, seperti Sa’d ibn Abi Waqqosh, dan seperti ‘Ali, kita memilih sikap terindah dengan kelembutan nurani.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar