Kurang dikenalnya nama 'Abdurrohman bin Shokhr ad-Dausi merupakan contoh sederhana tentang betapa julukan ketika begitu kuat melekat pada diri seseorang, bahkan dapat menyebabkan manusia tak lagi akrab dengan nama aslinya. Itu pun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa nama asli Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu bukanlah 'Abdurrohman bin Shokhr ad-Dausi, melainkan ‘Abdulloh bin Amin.
Inilah yang kita dapati dari agama ini. Kita mengenal nama Abu Bakar Ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu, tetapi banyak yang tidak mengenal nama aslinya. Meskipun tidak sedikit juga yang kita kenal nama dan sekaligus julukannya. ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu memiliki julukan Al-Faruq, ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu –menantu kesayangan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam—bergelar Abu Turob. Dan masih banyak lagi deretan nama sekaligus gelar yang dapat kita paparkan.
Jika kita pelajari agama ini, kita akan dapati bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama yang buruk dengan nama yang memiliki nama yang baik. Nama memang bukan julukan, tetapi ia melekat pada diri seseorang, menjadi do’a baginya dan seolah menjadi gelaran (label) baginya. Maka, jangan asal-asalan memberi nama anak. Jika salah memberi nama, jangan segan-segan untuk menggantinya dengan nama yang baik.
Berbeda dengan julukan yang baik, sejauh ini saya tidak mendapati petunjuk yang shorih (terang, gamblang) dan nash yang shohih tentang memberi julukan (label) yang buruk kepada anak. Kita mendapati gelaran yang amat buruk dalam Al-Qur’an, gelaran yang Alloh Ta’ala berikan kepada seorang pendurhaka dengan kedurhakaan luar biasa. Tetapi ini hanya berlaku untuk orang yang luar biasa keburukannya. Itu pun orang dewasa. Bukan anak-anak.
Saya berusaha menggali dan bertanya kepada orang yang memiliki kapasitas keilmuan tentang tafsir dan tidak mendapati bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam mendidik anak. Artinya, julukan buruk yang kita temukan dalam Al-Qur’an tidak dapat menjadi hujjah bolehnya kita memberi julukan buruk kepada anak, terlebih anak-anak yang masih belum mencapai masa tamyiz.
Wallohu a’lam bish-showab.
Mengapa kita perlu memeriksa dulu di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memahami petunjuk dari nash tersebut secara tepat? Ada beberapa alasan. Pertama, sebaik-baik perkataan adalah kalimat Alloh ‘Azza wa Jalla, yakni kitabulloh Al-Qur’anul Kariim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ini perkara pertama yang harus kita yakini sekaligus kita pegangi dengan sungguh-sungguh. Kedua, jika kita memang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah sebagai pedoman, maka semestinya apa pun yang kita akan ambil kita periksa dulu adakah ia bertentangan dengan keduanya ataukah tidak. Jadi, bukan mengambil dulu pendapat yang bersesuaian dengan keinginan kita, lalu mencari-carikan dan bila perlu mengepas-ngepaskan dengan “dalil” yang ada. Ketiga, apa yang disebut sebagai ilmiah-empiris saat ini, kadang tidak memerlukan waktu lama untuk melihat bantahannya disebabkan apa yang disangka sebagai ilmiah tersebut, ternyata bertentangan dengan hasil penelitian di kemudian hari.
Berkenaan dengan mendidik anak, terutama di usia kanak-kanak, mari kita ingat hadits yang diriwayatkan dari Abu Hafsh, yakni ‘Umar bin Abu Salamah rodhiyallohu ‘anhu, anak tiri Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ia menuturkan:
Semasa kecil, ketika aku berada dalam pangkuan Rosululloh, aku sering berganti-ganti tangan dalam memegangi mangkuk. Melihat itu, beliau menegurku, “Hai Anak, bacalah basmalah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat denganmu.” Semenjak itu, aku selalu demikian ketika makan. (Muttafaqun ‘Alaih).
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari hadits ini? Teguran langsung ketika anak melakukan hal-hal yang tidak bersesuaian dengan adab seorang muslim. Perhatikan, teguran semacam ini dilakukan terhadap hal-hal yang berkait dengan adab. Bukan hukum.
Ada tiga hal yang patut kita catat dalam hadits tersebut. Pertama, teguran disampaikan secara langsung dan segera. Teguran disampaikan ketika anak melakukan perbuatan tersebut. Tidak menunggu waktu berlalu agak lama, apalagi setelah lama sekali. Kedua, mengawali teguran dengan menggunakan panggilan sayang yang akrab (ya ghulaam). Ketiga, langsung menunjukkan tindakan apa yang patut. Seakan tak mengoreksi kesalahan, tetapi dengan menunjukkan apa yang seharusnya, kekeliruan yang dilakukan anak dengan sendirinya terkoreksi.
Wallohu a’lam bish-showab. Semoga Alloh Ta’ala baguskan anak-anak kita hingga Yaumil-Qiyamah.
Adapun terhadap kesalahan yang bersangkut-paut dengan hukum halal-haram, dalam hal ini terkait makanan, maka kita dapati tuntunan lebih tegas. Meski makanan tersebut sebenarnya kita ganti dengan makanan serupa, tetapi untuk tujuan pendidikan justru harus kita tunjukkan secara tegas bahwa memakan harta yang haram benar-benar tercela. Inilah proses meluruskan kesalahan yang member kesan yang sangat mendalam. Ada perkataan yang menyentak, ada tindakan tegas yang sangat dramatis, dan ada teguran yang bersifat memperingatkan secara keras.
Harap dicatat! Tindakan seperti ini berlaku untuk anak-anak yang masih kecil.
Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, ia menuturkan: Hasan bin ‘Ali rodhiyallohu ‘anhuma pernah mengambil sebutir kurma sedekah (zakat) dan memakannya. Melihat itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kakh…kakh…! Buang kurma itu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita tidak boleh makan sedekah?” (HR. Bukhori & Muslim).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi maupun Imam Ahmad rohimahumulloh. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad kita dapati bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kurma tersebut dari mulut cucunya. Jadi, bukan sekedar perkataan. Seseorang berkata, “Apa masalahnya, ya Rosulalloh, jika anak ini memakan kurma tersebut?”
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak halal memakan harta sedekah.” (HR. Ahmad).
Nah. Apakah pelajaran yang dapat kita petik dari hadits ini? Kita tak boleh memberi label buruk kepada anak atas perbuatan yang buruk. Tetapi ini bukan berarti kita patut berdiam diri. Bahkan kita melihat contoh dan sekaligus tuntunan betapa kadang kita bahkan harus bersikap sangat tegas. Ini terutama menyangkut halal haram, berkait dengan masalah hukum.
Dalam hadits lain, sebagaimana dapat kita temukan dalam Riyadhush Sholihin, ada teguran yang lebih keras lagi. Ini terjadi ketika anak-anak yang sudah memasuki usia remaja. Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma yang menegur mereka dengan perkataan sangat keras; mencela perbuatan tersebut (catat: perbuatan, bukan orangnya) sebagai terlaknat.
Dari Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ia pernah melewati beberapa anak muda Quroisy sedang memasang seekor burung untuk dijadikan sasaran memanah. Tetapi masing-masing di antara mereka tidak ada yang tepat bidikannya. Begitu melihat Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma, mereka berpencar. Ibnu ‘Umar lalu berkata, “Siapa yang melakukan ini? Alloh telah mengutuk orang yang berbuat begini. Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengutuk orang yang menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran.” (Muttafaqun ‘alaih).
Apa yang dapat kita catat dari hadits ini terkait pembicaraan kita tentang melabeli anak? Kita memang tidak mendapati contoh yang jelas, apalagi perintah yang kuat untuk mencela serta memberi julukan yang buruk kepada anak. Tetapi kita mendapati tuntunan sunnah bahwa terhadap perbuatan yang perlu diluruskan, ada saat ketika kita harus sangat tegas dan bahkan menyatakan celaan yang sangat tajam. Teguran keras itu terhadap perbuatan. Bukan memberi julukan terlaknat kepada anak.
Hal yang dapat kita catat. Ada perbedaan cara memberi teguran terhadap anak yang melakukan tindak tak sesuai tata-krama dengan tindakan yang berkaitan dengan masalah hukum. Ini terutama berkenaan dengan halal-haram, meskipun terhadap anak yang belum memahami bahwa makanan tersebut haram. Dalam hal ini, zatnya (kurma) halal, tetapi makanan tersebut diharamkan bagi keluarga Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam dikarenakan harta zakat. Berbeda pula sikap yang harus kita ambil ketika anak melakukan perbuatan melanggar hukum yang lebih berat terkait keselamatan nyawa, meskipun nyawa hewan. Ini merupakan perbuatan zholim. Dan kezholiman lebih mendesak untuk dihentikan dengan segera.
Ini semua merupakan catatan betapa ada saat harus lembut, ada pula saat harus tegas, bahkan ada saat harus menyertainya dengan tindakan dramatis. Kurma itu dapat diganti. Tapi untuk tujuan pendidikan, bahkan yang harus kita lakukan bukan mengganti. Tapi mengeluarkan paksa.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari as-sunnah ash-shohihah. Inilah sebaik-baik petunjuk bagi orang beriman, termasuk dalam mengasuh anak.
Wallohu a’lam bish-showab.
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
@kupinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar