Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Harus ada yang kita ubah. Kalau kita mengingat nasihat Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu tentang anak-anak kita, tentang betapa mereka lahir untuk zaman yang akan datang dan bukan zaman saat kita menepuk dada hari ini, terasa betul bahwa kita harus membangun visi hidup mereka. Harus kita siapkan pendidikan mereka dengan pendidikan yang menghidupkan jiwa, menguatkan tekad, membangkitkan hasrat untuk berbuat baik, dan menempa sikap mental yang unggul untuk menentukan wajah masa depan mereka.
Kita takkan pernah cukup jika hanya mencerdaskan otak mereka. Apalagi jika kita hanya mengisi kepalanya dengan pengetahuan, informasi yang bertumpuk, atau data yang tak berguna (data smog, istilah David Shenk). Padahal, sebagian besar yang disajikan oleh stasiun televisi kita adalah kotoran data (data smog) dan bukannya informasi yang bermanfaat.
Pengorbanan para ibu yang harus mengandung selama sembilan bulan disertai dengan beban berat sejak awal kehamilan—mulai dari mual, muntah-muntah, punggung sakit, dan seterusnya—hingga saat melahirkan, harus kita tebus dengan pendidikan yang sebaik-baiknya. Ini agar setiap anak dapat menjadi pembuka pintu surga yang tinggi. Tak sedikit waktu yang kita habiskan untuk mengantarkan seorang anak agar tampak lucu—sekadar tampak lucu saja!—dan menjadi penghapus penat bagi jiwa yang lelah.
Sesudah pengorbanan selama sembilan bulan, anak-anak itu lahir dalam keadaan yang masih memerlukan tenaga, kesabaran, kasih sayang, dan juga kesehatan. Tidur kita yang kurang, istirahat yang tak mencukupi, kesehatan yang kadang ikut terganggu, dan waktu-waktu produktif kita yang tergerogoti, takkan pernah cukup untuk menghargai karunia Allah ’Azza wa Jalla yang bernama anak ini.
Maka, anak-anak yang terlahir itu harus kita antarkan menuju masa depan untuk memberi bobot kepada bumi dengan kalimat lâ ilâha illallâh. Kalau memang harus sakit, biarlah hari ini kita sakit. Asalkan mereka dapat kita antar ke gerbang masa depan sebagai hamba Allah yang banyak bersujud kepada-Nya. Apa pun yang ada di tangannya, kepada Allah ia abdikan. Kalau ia menggenggam dunia beserta segala isinya, maka di hatinya ada Allah. Ia menjadikan shalatnya, ibadah dan perbuatannya, hidup dan matinya untuk Allah Tuhan Seru Sekalian Alam.
Itulah sebabnya, anak saya yang kedua saya beri nama Muhammad Husain As-Sajjad. Semoga kelak Allah perjalankan dia sebagai ahli sujud (as-sajjâd) yang menyujudkan keningnya, menyujudkan dirinya, menyujudkan pikirannya, menyujudkan hatinya, menyujudkan hidupnya, menyujudkan kariernya, dan menyujudkan harta bendanya kepada Allah ’Azza wa Jalla. Semoga dengan demikian, anak-anak itu dapat menjadi hadiah Allah di muka bumi yang membawa dua kebaikan—kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Itu pula sebabnya, anak saya yang ketiga saya beri nama Muhammad Hibatillah Hasanin.
Bagi saya, memberi nama anak adalah urusan pendidikan anak yang paling awal. Saya letakkan cita-cita pada nama mereka. Sedapat mungkin dalam namanya ada tokoh yang dapat dia contoh kebaikan dan kemuliaannya. Anak pertama saya, sejak dalam kandungan sudah saya nazarkan bernama Fathimatuz Zahra jika yang lahir perempuan, karena berharap kelak dia bisa berada dalam barisan Fathimah Az-Zahra, putri Nabi Shallalâhu ’alaihi wa Sallam, ketika hari perhitungan tiba.
Saya berharap dengan sungguh-sungguh agar dia memiliki kecerdasan, kedermawanan, sikap zuhud, dan kesediaan memperjuangkan agama ini sepenuh hati sekuat tenaga. Semoga dengan itu, dia dan adik-adiknya dapat menjadi penolong agama Allah ’Azza wa Jalla; menolong dengan segala yang dimilikinya. Kalau tangannya menggenggam harta, maka ringan hatinya untuk berinfak karena Allah. Kalau dia memiliki kecerdasan yang menakjubkan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, atau apa pun yang baik, dia akan gunakan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Sesungguhnya menolong agama Allah itu tidak sama dengan berceramah ke sana-kemari tentang agama. Tidak setiap yang berdiri di mimbar untuk berbicara tentang kebenaran Dîn Al-Islâm yang haqq adalah penolong agama Allah Ta’âlâ. Boleh jadi ada yang berbicara tentang agama, tetapi yang ia cari adalah dunia atau nama besar. Bukankah Allah Ta’âlâ sudah mengingatkan, Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu (Muhammad) dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal dia adalah penantang yang paling keras (Q.s. Al-Baqarah [2]: 204).
Keinginan untuk mengantarkan anak-anak agar menjadi manusia sukses, beruntung, dan menjadikan kesuksesannya untuk menolong agama Allah itulah yang menggerakkan kami—bapak ibunya—memberi nama anak yang keempat Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Semoga pula mereka bisa belajar dari tokoh-tokoh besar agama ini yang kami ambil namanya untuk dia.
Ketika anak kelima lahir pada pertengahan bulan Ramadhan, saya harus berdiskusi cukup lama untuk namanya. Ada sejumlah nama yang telah saya persiapkan. Dan visi yang terkandung dalam nama menjadi pertimbangan yang lebih besar bobotnya daripada bagaimana nama itu terdengar indah di telinga. Ketika istri bermaksud memasukkan kata Ramadhan, kami perlu berdiskusi agar kata tersebut tak sekadar menjadi penanda. Semoga kelak dia mensyukuri nama Muhammad Navies Ramadhan yang kami berikan kepadanya, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberi manfaat bagi umat manusia di muka bumi karena Allah.
Tetapi…
Nama yang baik saja tidak cukup. Nama yang memuat cita-cita besar hanyalah permulaan. Harus ada bekal yang kita berikan kepada setiap anak-anak kita agar kuat jiwanya, lembut hatinya, keras kemauannya, tangguh mentalnya, dan bersemangat hidupnya. Harus kita asah pikirannya, kita sentuh perasaaanya, dan kita kuatkan jiwanya.
Sekadar cerdas saja tidak cukup jika kita ingin mempersiapkan anak-anak itu mampu mengemban amanah pada zamannya. Sekadar cerdas saja tidak cukup jika kita ingin mereka mampu menggenggam dunia di tangannya, dan memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah ’Azza wa Jalla. Sungguh, anak-anak itu lahir untuk zaman yang berbeda dengan zaman kita.
Maka, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak-anak itu menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur mereka, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan, dan kasih sayang.
Betapa banyak orangtua yang merasa telah memberi bekal terbaik dengan memasukkan anak-anak di sekolah unggulan. Padahal, yang sesungguhnya terjadi, anak-anak itu sedang dilemahkan jiwanya karena tak pernah menghadapi tantangan, dukungan, dorongan, dan apresiasi yang seimbang. Ibarat ayam, mereka menjadi ayam potong yang mudah patah oleh angin berembus.
Sungguh, inilah yang banyak merisaukan saya belakangan ini. Itu sebabnya tulisan-tulisan saya dalam buku ini kadang terasa mengentak dan penuh kecamuk, kadang tenang dan mengalir. Kadang saya menangis saat menulis karena mengingat masa depan anak-anak itu dan mengingat betapa saya selaku orangtua lebih sering berlaku zalim daripada adil terhadap anak. Saya khawatir, mereka menyesal punya bapak seperti saya (Maafkan bapakmu, Nak…).
Tulisan-tulisan dalam buku ini sebagiannya saya persiapkan agar kelak kita tidak menyesal menjadi orangtua, baik karena salah niat maupun salah tingkah.
Waktu dan tenaga sudah banyak kita habiskan, maka kita harus mengarahkan pendidikan bagi anak-anak kita agar kita bisa petik hasilnya di akhirat nanti.
Agar anak-anak itu kelak mampu memberi warna bagi zamannya dan bukan diwarnai, mereka harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan kukuh. Mereka harus memiliki kekuatan penggerak dalam diri mereka untuk berbuat dan melakukan yang terbaik.
Kita persiapkan mereka untuk menjadi pemimpin dunia. Bukan pemimpi yang sibuk berpanjang angan-angan, insya Allah.
Selebihnya, semoga kita bisa saling mengingatkan. Sudah banyak hari mereka—anak-anak kita—yang terlewat begitu saja tanpa kita maknai. Semoga Allah mengampuni kezaliman kita, saat kita membiarkan anak-anak itu tidak memaknai waktu yang Allah berikan kepada mereka. Semoga pula kita mampu berbenah dan mengasah ilmu. Sungguh semakin jauh perjalanan, semakin terasa betapa sedikitnya ilmu yang saya miliki untuk mengasuh dan membesarkan anak. Saya tidak tahu dengan keadaan Anda. Sekiranya Anda memiliki kelebihan ilmu, ingin rasanya saya menimba ilmu dari Anda.
Itu saja. Salam saya untuk Anda sekeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar