Minggu, 27 September 2015

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Alloh jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Alloh, niscaya Alloh baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Alloh yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Alloh, Kau salah rancang dan keliru cetak!”

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Alloh”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Alloh lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”
Alloh yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Alloh yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Alloh yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Alloh yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Alloh yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”
Alloh yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Alloh dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Alloh bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Alloh lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Alloh menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.
***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath-Thobroni, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar-Rohman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.

Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Alloh, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Alloh, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Alloh, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.
***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Alloh yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Alloh mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya, wahai Robbana!”

Dia mengingatkan kita pada sabda Rosululloh. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al-Ghozali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Alloh akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Alloh akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Alloh akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Alloh yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
***

Ada dua cara Alloh mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imron, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.

Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imron untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al-Quds, pengurai Taurot yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Alloh yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.

“Maka Robbnya menerima nadzar keluarga ‘Imron dengan penerimaan yang baik. Alloh tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Alloh jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrob, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Alloh.” Sesungguhnya Alloh mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS. Ali ‘Imron [3]: 37)

Betapa jua, Alloh yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Isroil, Ahbar, dan para Rohib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Alloh mengamanahkan Maryam pada Zakaria.

Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrob Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Alloh. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Robbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Alloh bagi gadis suci ini.

Tapi setiap insan diuji Alloh dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Alloh memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.

Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.

Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrobnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”

“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam [20]: 23)

Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Alloh,” lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”

Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Alloh itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini,” seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Isroil yang sebagiannya suka usil.

“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”

Alloh Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Robbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [20]: 24-25)

Yang pernah bertamu pada Alloh dan menjenguk Rosululloh, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al-Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.

Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.

Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Alloh harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthob pun lepas dari tangkainya.

Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrob dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Alloh. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan mengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.

Alloh menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugerahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.

Dinukil dari buku Lapis-lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah
http://salimafillah.com/cicak-di-dinding-dan-keyakinan-utuh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar