Larangan Berserupa
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa dalam Islam terdapat hukum yang melarang umat Islam untuk berserupa (tasyabbuh). Umumnya, tasyabbuh dikaitkan dengan larangan bagi umat Islam untuk berserupa dengan orang-orang kafir dalam hal simbol-simbol khas mereka; seperti memakai topi khas natal, kostum khas biksu, terlibat dalam perayaan hari-hari besar agama-agama lain, dan semacamnya. Diharamkannya tasyabbuh dalam hal ini sudah jelas, meski belakangan selalu diperdebatkan gara-gara munculnya syubhah libroliyyah (pemikiran sesat liberalisme).
Tapi di samping itu, sebetulnya dalam hukum Islam juga ada larangan untuk berserupa dengan para ulama, meski tentu antara haramnya tasyabbuh dengan orang kafir dan haramnya tasyabbuh dengan ulama ada perbedaan yang tajam dalam hal raison d’être-nya. Larangan berserupa dengan ulama lebih disebabkan agar orang awam tidak tertipu, sehingga mereka meminta fatwa kepada orang yang tidak mempunyai kapasitas yang semestinya dimiliki seorang ulama.
Oleh sebab itu, dalam sebagian kitab ada larangan bagi umat Islam untuk memakai serban hijau. Konon karena pada masa lampau serban itu adalah khas para zuriyah Rosululloh. Jika orang yang bukan habib memakai serban itu, maka dikhawatirkan orang awam memperlakukannya bak seorang habib, dalam hal penghormatan dan lain sebagainya, termasuk yang fatal jika sampai “habib palsu” atau “habib oplosan” itu sampai dimintai fatwa oleh masyarakat awam, padahal ia bukan ahlinya.
Tentu saja, larangan tasyabbuh dengan ulama atau habaib seperti dicontohkan di atas area dan durasi waktunya terbatas. Artinya, larangan memakai serban hijau agar tak dikira habib itu mungkin hanya berlaku di sebagian masyarakat wilayah Arab, yang memang secara wajah dan perawakan sulit dibedakan mana yang habib dan mana yang bukan. Karenanya jika ada orang Indonesia yang wajah dan perawakannya sama sekali tak ada kemiripan dengan habaib, maka meskipun ia memakai serban hijau berlapis tujuh tak ada masalah, karena tak akan ada orang yang terkecoh lalu mengira ia habib. Malah ia termasuk orang yang masih beruntung jika tak ada yang meneriakinya “snewen”, hehe...
Begitu pula halnya dengan durasi waktu larangan berserupa dengan ulama; artinya jika misalnya pakaian yang pada awalnya menjadi ciri khas ulama itu kini sudah menjadi kiblat fashion yang juga dipakai oleh hampir seluruh orang awam, maka hukum larangan berserupa dengan kostum ulama dalam hal ini sudah tidak berlaku lagi. Semisal di Arab, di mana jubah dan serban menjadi pakaian keseharian setiap orang, baik ulama maupun bukan. Jika sudah demikian, maka larangan berserupa dengan ulama sudah beralih pada segmen yang lebih khas lagi, seperti berpidato, membuka pengajian, dan berfatwa.
Tren Ngustadz
Yang penulis maksud dengan “ngustadz” di sini adalah orang yang sejatinya tak memenuhi kapasitas sebagai seorang ustadz, ustadzah, kyai, atau ibu nyai, tapi karena sejumlah dorongan dan tuntutan ia menjadi ustadz atau ustadzah instan yang dipopulerkan, yang selanjutnya masyarakat mengira jika ia adalah orang yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam. Jadi, secara sederhana orang tipe ini bisa kita sebut sok ustadz.
Nah, menurut hemat penulis, tren ngustadz yang merebak belakangan ini tentunya tidak jauh dari ketentuan hukum di atas. Yakni diharamkan bagi siapa saja untuk ngustadz (sok menjadi ustadz), karena dapat menyebabkan orang awam mengira dia ustadz sungguhan, lalu meminta fatwa kepadanya mengenai hukum-hukum Islam, padahal ia tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai ajaran agama Islam yang sangat luas.
Di sini perlu segera dicatat, bahwa tren ngustadz ini tidak saja tertentu kepada mereka yang kita jumpai di hampir semua stasiun televisi, tapi orang-orang yang ngustadz juga bisa kita identifikasi keberadaannya di berbagai lini kehidupan masyarakat, mulai di dunia nyata hingga di dunia maya, mulai dari pelosok desa hingga di pusat-pusat kota, mulai dari mushala kampung hingga masjid-masjid jami’.
Namun demikian, tren ngustadz yang kita saksikan di layar kaca tampaknya lebih mudah kita tarik ke dalam tulisan ini sebagai sampel, karena memang kepada ‘ustadz’ atau ‘ustadzah’ itulah masyarakat kita lebih sering mengaji, ketimbang kepada ustadz/ustadzah di tempat lain. Maka pada sebagian mereka, betapa sering kita jumpai fatwa-fatwa serampangan yang dilontarkan begitu saja, karena masyarakat dipersilakan “curhat” secara live.
Dalam hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat secara langsung tentunya sangat sulit, karena kadang mereka mempertanyakan fenomena yang benar-benar baru yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu. Untuk menjawab pertanyaan semacam ini dibutuhkan kemampuan istinbâtul-ahkâm (menggali hukum dari sumber-sumbernya, atau dengan cara mengkiaskan peristiwa baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan peristiwa lama yang sudah ada ketetapan hukumnya).
Nah, untuk menjawab kepastian hukum bagi kasus-kasus yang benar-benar baru itu, jangankan orang yang ngustadz, ustadz sungguhan yang benar-benar top sekalipun masih perlu berpikir beberapa lama, bahkan berhari-hari, untuk nenemukan kepastian hukumnya. Karena ustadz sungguhan yang sudah memiliki ilmu untuk istinbâtul-ahkâm itu masih perlu memastikan secara cermat dalil mana yang pas untuk menjawab pertanyaan itu, atau apakah ‘illah pada kasus baru yang ditanyakan hukumnya itu sudah sama persis dengan ‘illah pada kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya.
Bahkan untuk kemampuan istinbâtul-ahkâm itu, jangankan seorang ustadz sungguhan, seorang mujtahid sekalipun tidak akan terburu-buru untuk menjawab kasus-kasus baru yang dilontarkan kepada mereka. Itulah sebabnya al-Haitsam bin Jamil berkata: “Aku menyaksikan Malik bin Anas (Imam Malik, pendiri mazhab Maliki) ditanya 48 permasalahan, tapi beliau menjawab 32 pertanyaan darinya dengan jawaban ‘tidak tahu’.” Artinya, saat itu Imam Malik masih perlu berpikir panjang dalam rangka istinbâtul-ahkâm.
Lebih dari itu, 'Abdurrohman bin Abi Laila berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshor, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya saja yang menjawabnya.” Bahkan konon suatu ketika al-Imam Hasan al-Bashri, pemuka ulama Tabiin di Bashroh, pernah berang dan berujar: “Dahulu Abu Bakar dan 'Umar masih perlu mengumpulkan para sahabat untuk menjawab suatu persoalan, sedangkan orang di hari ini malah menjawab pertanyaan dari atas keledainya!”
Selanjutnya, kini mari kita bertanya, pernahkah kita dapati seorang ‘ustadz’ di televisi yang ketika ditanya mengatakan “tidak tahu”? Dari sisi ini saja sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa fenomena ngustadz itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, dan sebetulnya dari sanalah kebingungan umat bermula. Sayyidina 'Ali bin Abi Tholib mengatakan: “Andai orang yang tidak tahu apa-apa itu diam saja, tentu perselisihan di dalam umat tidak perlu terjadi.”
@AchyatAhmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar