Selasa, 18 Juli 2017

Indonesia dari Kacamata Asing

Di dalam Kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur (baca: Indonesia), yang berlangsung sampai dengan paruh pertama abad ke-20, terekam begitu banyak dokumentasi baik yang berasal dari arsip VOC maupun arsip Kementerian Tanah Jajahan. Jumlah arsip tersebut bahkan tidak dapat ditandingi oleh arsip aparat pemerintahan kolonial yang mana pun. Di antara dokumen-dokumen itu, terdapat dokumen-dokumen yang bersifat pribadi seperti surat, buku harian (dagboek), kisah perjalanan (reisverhalen), dan catatan harian para awak kapal (scheepjournalen). Di samping itu, tak terhitung jumlah karya sastra yang berkisah atau mendapatkan inspirasi dari masa pendudukan itu berupa roman, novel, sandiwara, dan puisi. Semua merupakan aset sastra Hindia-Belanda.
Secara substansial, dalam sebagian besar karya-karya tersebut, baik yang berupa dokumen pribadi maupun karya sastra terjalin benang merah yang hampir sama. Keduanya cenderung menaruh ego Eropa sebagai subjek dan memandang “pihak lain” (the others), penduduk pribumi sebagai objek. Posisi itu sekaligus menempatkan Belanda sebagai poros dan “pihak lain” sebagai periferi. Akibatnya, dunia di luar Belanda, secara stereotip dilukiskan sebagai suatu wilayah yang penuh dengan keindahan yang berbahaya, hutan belantara penuh dengan monster dan ular, laut tanpa dasar serta daerah yang dihuni oleh para kafir yang tidak bisa dipercaya.
Bagi pengalaman kolektif Belanda, khususnya oleh para pemuda, pemilikan tanah jajahan dapat membangkitkan citra diri yang mistis. Pemilikan tanah jajahan menunjukkan bahwa pemuda Belanda berorientasi mondial dengan jiwa pelaut, dan berbakat menjadi penguasa. Potensi ini didukung oleh watak dasar mereka yang religius, bisa dipercaya, dan patriotis, menjadikan mereka pengaruh samudra dan pengelana di tanah jajahan yang tangguh. Oleh sebab itu, tidak aneh jika keberhasilan penjajahan mereka pahami sebagai sesuatu yang sudah semestinya dan merupakan bukti karunia Tuhan.
Prasangka semacam itu menumbuhkan keyakinan bahwa kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur merupakan kewajiban moral. Kepulauan Hindia diyakini sebagai negara yang dihadiahkan oleh Tuhan dan sejarah sebagai wilayah Belanda. Kepulauan yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang menurut orang-orang Belanda masih terbelakang itu tidak akan dapat berkembang tanpa pemerintahan Belanda yang kuat dan beradab.
Studi ketimuran -orientalisme- yang lahir dan mencapai kematangannya melalui imperialisme Eropa telah menempatkan Barat sebagai ego yang menjadi subjek dan menganggap non-Barat sebagai the others yang menjadi objek. Orientalisme bertolak dari pandangan ego Eropa sebagai subjek pengkaji terhadap the others. Dan, dalam posisinya sebagai subjek pengkaji, muncullah kompleks superioritas dalam diri ego Eropa. Di luar itu, akibat posisinya sebagai objek yang dikaji, terjadi pula pemarjinalan terhadap diri the others, non-Eropa.
Melalui imperialisme yang pada abad ke-19 kemudian dikemas sebagai mission civilisatrice (misi pemberadaban), Eropa menjarah tanah jajahan dan memperlakukan manusia-manusia terjajah sebagai sosok yang seolah layak dicampakkan dan “dibinatangkan”. Imperialisme melihat tubuh terjajah sebagai objek kepuasan dan ejekan. Si terjajah diberi peran wadag, liar, instingtif, dan kasar sehingga terbuka bagi penguasaan dan dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan.
Dalih penjajahan untuk melakukan misi pemberadaban juga menyebabkan negara terjajah harus dianggap tidak memiliki kebudayaan, ilmu pengetahuan, peradaban, dan sejarah. Bahkan, sejarah negara terjajah dianggap baru dimulai bersamaan dengan datangnya masa penjajahan. Bangsa penjajah beranggapan bahwa merekalah yang akan membawa negara terjajah dari kegelapan menuju cahaya dan dari tiada menuju ada.
Keberhasilan imperialis Eropa yang melesat hingga melampaui batas geografisnya menyebabkan kesadaran Eropa tidak pernah membicarakan sumber-sumber peradaban Eropa yang mendahului sumber Yunani. Hal ini dikarenakan negara-negara penyumbang peradaban itu adalah negara-negara terjajah yang dengan sendirinya tidak pantas menjadi sumber kesadaran dan peradaban negara penjajah. Sedangkan penyebab lain disembunyikannya sumber-sumber tersebut adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa.
Clive Day, Guru Besar sejarah ekonomi di Yale University yang menyatakan bahwa orang Jawa dibanding dengan orang Sumatera atau luar Jawa lainnya secara tradisional memang kalah pintar dan kurang semangatnya dalam berdagang, ia menulis antara lain:
“Now, the characteristic of the native of the tropics, that is of prime importance when he is regarded in his relations to the outside civilized and commercial world, is the smallness of his wants. If we can believe the traditional descriptions of tropical life, he may pick breakfast, dinner, and supper from a tree that grows wild in his backyard, he may clothe himself with leaves stripped from another tree, and build his house by a day’s labor on another… Nature is so beautiful that he relies almost entirely upon her, and the educating influence of labor is lost to him. The characteristic proverb of hot countries is to the effect that it is better to sleep than to wake, that it is better to lie down than to sit up, that is better to be seated than to stand, that it is better to rest than to work, and that death is better than all.”
Tulisan tersebut tidak berhenti, melainkan juga menjadi sumber disertasi doktor Boeke dan Mohr. Orang Indonesia tetap ketinggalan dan bodoh tidak lain karena alamnya yang tropis, terisolasi di pulai masing-masing, dan karena tidak mempunyai kemampuan teknologi, berarti tidak berani melaut, atau takut dengan laut yang mengelilingi pulaunya.
Akan tetapi, di antara segala ilustrasi tentang ketertinggalan itu, kenyataan sejarah yang lain justru menyeruak ke permukaan. Di bidang ekonomi, para pedagang Jawa, Sumatera, dan orang dari pulau-pulau lain ternyata meninggalkan jejak-jejak yang sangat aktif. Jacob Cornelis van Leur menyatakan bahwa ketika Vasco da Gama sampai di perairan Asia, yang ditemukannya adalah lalu lintas perdagangan di laut yang sangat ramai dengan diatur oleh institusi-institusi pemerintah yang tingkat perkembangannya sama dengan di Eropa. Intensitas perdagangannya sama atau malahan melebihi Eropa Selatan. Van der Kroef menambahkan, bahwa: A supposed superiority of the Western trading companies over the Oriental, including the Indonesians, is out of question.
Tesis Leur kemudian memicu tampilnya para peneliti-peneliti Indonesia yang baru untuk memperbaiki, mengkritik, dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru, yang pada dasarnya setuju dengan tesis Leur. Meilink-Roelofz, dalam Asian Trade and European Influence ingin mengetahui siapa yang paling dominan: orang-orang Indonesia, Portugis atau Belanda. Dan, ia pun tiba pada kesimpulan bahwa pertemuan Eropa dan Indonesia adalah pertemuan antara dua peradaban yang setara, bukan antara Eropa yang lebih maju dengan Indonesia yang terbelakang.
Selain itu, ada pula kisah yang diuraikan oleh Ludovico di Vaerthema, orang Italia yang bersama temannya orang Persia tiba di Indonesia pada tahun 1503-1508. Ia dan beberapa teman-teman lainnya menyewa kapal Indonesia untuk berlayar dari Kalimantan ke pulau Jawa dengan sewa kapal 100 Ducat. Pada masa itu ternyata kapten kapal Indonesia sudah menggunakan kompas dan peta yang ditandai dengan garis-garis pelayaran seperti peta-peta di Eropa. Bahkan, teknologi perkapalan di Indonesia telah dikenal sejak milenium pertama dengan dibangunnya kapal-kapal yang cukup besar dengan dua tiang layar serta kaal yang dilengkapi cadik (outrigger) di kiri-kanannya. Kapal jenis ini adalah karya orang Nusantara yang kemudian tersebar hingga Afrika Timur. Kapal tersebut kemungkinan satu jenis kapal yang sama dengan yang terukir di relief pada Candi Borobudur.
Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, namun hingga abad VII, kecil sekali peran kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Jungjung Cina lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai. Tentang hal ini, Oliver W. Wolters mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan Cina -juga antara Cina dan India Selatan serta Persia- pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa Cina hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I Tsing, pengelana dari Cina yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di “Laut Selatan”. Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di “Jalur Sutra” melalui laut -meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary- sangat bergantung pada peranan pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan berbicara lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Pada bukunya, Prof. Soedjoko menulis: Aspects of Indonesian Archeology. Ancient Indonesian Technology ship building and fire arms production around the sixteenth Century (1981). Nampaknya ia risau dengan penulisan sejarah Indonesia yang Neerlandosentris, yang mengabaikan fakta-fakta dan capaian-capaian bangsa Indonesia yang datang dari sumber-sumber informasi (juga dari Barat) yang tidak menguntungkan pencitraan Barat sebagai superior. Selain itu, kebanyakan sejarawan Indonesia juga justru lebih sibuk dengan sejarah raja-raja, imperium yang datang dan pergi, tanpa sama sekali menengok sejarah budaya materi yang dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan teknologi bangsa Indonesia di masa lalu, terutama pada abad XVI.
Selain tentang teknologi maritim yang sudah dikuasai oleh orang Indonesia, Soedjoko juga menulis tentang teknologi pembuatan senjata api, meriam maupun senapan. Mengenai senjata api, tulisan dari Barbosa menyebutkan tentang kemampuan orang Jawa ketika ia tinggal di Asia Tenggara (1500-1517), The Javanese are great masters in casting artillery. They make here spingarde (one-pounders), muskets, and fire-works, and in every place are considered excellents in casting artillery, and in the knowledge of discharging it.
Tidak hanya orang Jawa saja yang mempunyai keahlian pengecoran logam untuk meriam atau pembuatan senapan (Arquebuss), Vaerthema, orang Italia yang pernah ke Sumatera antara tahun 1503 dan 1508 mencatat kemampuan orang setempat dalam membuat mesiu. Marsden (Marsden, 1811) menyebut bahwa: In the country of Menangkabau they have from the earliest times, manufactures arms for their own use and to supply the Northern inhabitats… ets.
Kemampuan yang sama berkenaan dengan senjata api juga tampak pada orang-orang Aceh, yang berkali-kali menyerang Portugis di Malaka dan mengganggu pelayarannya, serta orang-orang di Ternate yang rajanya dikawal oleh 3000 tentara dan 1000 diantaranya bersenjata api. Sementara tulisan Soedjoko cukup sampai di sini, demi untuk menjelaskan bahwa ketika Portugis, Belanda, dll yang datang ke Indonesia, orang-orang Indonesia bukanlah sekelompok petani yang tak berdaya dan dengan gampang bisa dihabisi seperti yang terjadi di Amerika Selatan pada rakyat Inca yang ditumpas oleh Pisaro dan Cortes di tahun 1500. Orang Indonesia pada masa itu merupakan sebuah entitas suku-suku bangsa yang sudah mampu menandingi keunggulan persenjataan Barat.
Sejarah membuktikan, Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk mengukuhkan kekuasaannya yang baru terlaksana pada tahun 1905. Sedangkan untuk menaklukkan Afrika, yang luasnya beberapa kali Indonesia imperialis Eropa hanya memerlukan waktu 100 tahun; dan sampai tahun 1859 Inggris baru bisa “mengamankan” seluruh India (sebelum terbagi). Selain itu, kemenangan Eropa atas negara-negara lain di dunia juga lebih bertumpu pada penggunaan kekerasan, dan bukan karena keunggulan nilai-nilai dari budayanya. Mereka memetik kejayaan sebab menemukan sistem organisasi militer, disiplin logistik, teknologi persenjataan, kekuatan maritim, juga ilmu kedokteran yang lebih baik. Barat dapat merebut kekuasaan juga bukan dengan ajaran-ajaran agamanya (hanya sedikit pribumi yang mengganti agamanya), bukan pula dikarenakan adatnya yang lebih tinggi, melainkan dengan “paksaan yang terorganisir” (Organisierter Gewalt). Kebanyakan orang Barat lupa akan sebab-sebab ini, tetapi orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya (Huntington). “Mission Sacre” yang pada awalnya menjadi motivasi telah tersapu oleh berlimpahnya harta dari negeri jajahan. Dan, campaign Perang Salib tentunya juga surut ketika terjadi konkurensi negara-negara di Eropa ke Asia yang pada akhirnya meruntuhkan hegemoni Portugis dan Spanyol.
Akan tetapi, sebuah ironi justru dikenalkan kepada anak-anak didik di Indonesia berkenaan dengan pewacanaan dirinya sebagai sebuah bangsa. Hikayat tentang nenek moyangnya yang pernah menguasai navigasi pelayaran, teknologi perkapalan, administrasi niaga internasional, teknik tata kota, seni arsitektur, pengecoran logam, dan pembuatan senjata api sejak jauh sebelum kedatangan orang Eropa, justru tidak diterangkan dalam literatur-literatur sekolah. Padahal, fakta-fakta sejarah tersebut adalah romantisme yang amat berpengaruh dalam membangun rasa percaya diri di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kepercayaan diri yang bahkan secara luar biasa dilaporkan oleh seorang Portugis bernama Diego de Couto, bahwa orang Jawa misalnya, ketika lewat di jalan dan melihat ada orang bangsa lain sedang berdiri pada onggokan tanah atau tempat lain yang lebih tinggi dari tanah di mana ia berjalan, ia bisa membunuh orang itu jika tidak segera turun dari tempatnya. Atau, perihal ketakutan atas rangkaian kapal layar yang cemerlang milik para pelaut Bugis, dan telah begitu menggentarkan pelaut Eropa yang mula-mula datang sehingga mereka kembali ke tanah airnya untuk memperingatkan anak-anaknya, “bersikaplah yang baik, atau orang Bugis akan menangkapmu.”

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar