Di dalam
Kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur (baca: Indonesia), yang
berlangsung sampai dengan paruh pertama abad ke-20, terekam begitu banyak
dokumentasi baik yang berasal dari arsip VOC maupun arsip Kementerian Tanah
Jajahan. Jumlah arsip tersebut bahkan tidak dapat ditandingi oleh arsip aparat
pemerintahan kolonial yang mana pun. Di antara dokumen-dokumen itu, terdapat
dokumen-dokumen yang bersifat pribadi seperti surat, buku harian (dagboek), kisah perjalanan (reisverhalen), dan catatan harian para
awak kapal (scheepjournalen). Di
samping itu, tak terhitung jumlah karya sastra yang berkisah atau mendapatkan
inspirasi dari masa pendudukan itu berupa roman, novel, sandiwara, dan puisi.
Semua merupakan aset sastra Hindia-Belanda.
Secara
substansial, dalam sebagian besar karya-karya tersebut, baik yang berupa
dokumen pribadi maupun karya sastra terjalin benang merah yang hampir sama.
Keduanya cenderung menaruh ego Eropa sebagai subjek dan memandang “pihak lain” (the others), penduduk pribumi sebagai
objek. Posisi itu sekaligus menempatkan Belanda sebagai poros dan “pihak lain”
sebagai periferi. Akibatnya, dunia di luar Belanda, secara stereotip dilukiskan
sebagai suatu wilayah yang penuh dengan keindahan yang berbahaya, hutan
belantara penuh dengan monster dan ular, laut tanpa dasar serta daerah yang
dihuni oleh para kafir yang tidak bisa dipercaya.
Bagi
pengalaman kolektif Belanda, khususnya oleh para pemuda, pemilikan tanah
jajahan dapat membangkitkan citra diri yang mistis. Pemilikan tanah jajahan
menunjukkan bahwa pemuda Belanda berorientasi mondial dengan jiwa pelaut, dan
berbakat menjadi penguasa. Potensi ini didukung oleh watak dasar mereka yang
religius, bisa dipercaya, dan patriotis, menjadikan mereka pengaruh samudra dan
pengelana di tanah jajahan yang tangguh. Oleh sebab itu, tidak aneh jika
keberhasilan penjajahan mereka pahami sebagai sesuatu yang sudah semestinya dan
merupakan bukti karunia Tuhan.
Prasangka
semacam itu menumbuhkan keyakinan bahwa kolonisasi Belanda terhadap wilayah Hindia-Timur
merupakan kewajiban moral. Kepulauan Hindia diyakini sebagai negara yang
dihadiahkan oleh Tuhan dan sejarah sebagai wilayah Belanda. Kepulauan yang
didiami oleh berbagai suku bangsa yang menurut orang-orang Belanda masih
terbelakang itu tidak akan dapat berkembang tanpa pemerintahan Belanda yang
kuat dan beradab.
Studi
ketimuran -orientalisme- yang lahir dan mencapai kematangannya melalui
imperialisme Eropa telah menempatkan Barat sebagai ego yang menjadi subjek dan
menganggap non-Barat sebagai the others
yang menjadi objek. Orientalisme bertolak dari pandangan ego Eropa sebagai
subjek pengkaji terhadap the others.
Dan, dalam posisinya sebagai subjek pengkaji, muncullah kompleks superioritas
dalam diri ego Eropa. Di luar itu, akibat posisinya sebagai objek yang dikaji,
terjadi pula pemarjinalan terhadap diri the
others, non-Eropa.
Melalui
imperialisme yang pada abad ke-19 kemudian dikemas sebagai mission civilisatrice (misi pemberadaban), Eropa menjarah tanah
jajahan dan memperlakukan manusia-manusia terjajah sebagai sosok yang seolah
layak dicampakkan dan “dibinatangkan”. Imperialisme melihat tubuh terjajah
sebagai objek kepuasan dan ejekan. Si terjajah diberi peran wadag, liar,
instingtif, dan kasar sehingga terbuka bagi penguasaan dan dapat dipergunakan
untuk berbagai kepentingan.
Dalih
penjajahan untuk melakukan misi pemberadaban juga menyebabkan negara terjajah
harus dianggap tidak memiliki kebudayaan, ilmu pengetahuan, peradaban, dan
sejarah. Bahkan, sejarah negara terjajah dianggap baru dimulai bersamaan dengan
datangnya masa penjajahan. Bangsa penjajah beranggapan bahwa merekalah yang
akan membawa negara terjajah dari kegelapan menuju cahaya dan dari tiada menuju
ada.
Keberhasilan
imperialis Eropa yang melesat hingga melampaui batas geografisnya menyebabkan
kesadaran Eropa tidak pernah membicarakan sumber-sumber peradaban Eropa yang
mendahului sumber Yunani. Hal ini dikarenakan negara-negara penyumbang
peradaban itu adalah negara-negara terjajah yang dengan sendirinya tidak pantas
menjadi sumber kesadaran dan peradaban negara penjajah. Sedangkan penyebab lain
disembunyikannya sumber-sumber tersebut adalah rasialisme yang terpendam dalam
kesadaran Eropa.
Clive
Day, Guru Besar sejarah ekonomi di Yale University yang menyatakan bahwa orang
Jawa dibanding dengan orang Sumatera atau luar Jawa lainnya secara tradisional
memang kalah pintar dan kurang semangatnya dalam berdagang, ia menulis antara
lain:
“Now, the characteristic of the native of the tropics,
that is of prime importance when he is regarded in his relations to the outside
civilized and commercial world, is the smallness of his wants. If we can
believe the traditional descriptions of tropical life, he may pick breakfast,
dinner, and supper from a tree that grows wild in his backyard, he may clothe
himself with leaves stripped from another tree, and build his house by a day’s
labor on another… Nature is so beautiful that he relies almost entirely upon
her, and the educating influence of labor is lost to him. The characteristic
proverb of hot countries is to the effect that it is better to sleep than to
wake, that it is better to lie down than to sit up, that is better to be seated
than to stand, that it is better to rest than to work, and that death is better
than all.”
Tulisan
tersebut tidak berhenti, melainkan juga menjadi sumber disertasi doktor Boeke
dan Mohr. Orang Indonesia tetap ketinggalan dan bodoh tidak lain karena alamnya
yang tropis, terisolasi di pulai masing-masing, dan karena tidak mempunyai
kemampuan teknologi, berarti tidak berani melaut, atau takut dengan laut yang
mengelilingi pulaunya.
Akan
tetapi, di antara segala ilustrasi tentang ketertinggalan itu, kenyataan
sejarah yang lain justru menyeruak ke permukaan. Di bidang ekonomi, para
pedagang Jawa, Sumatera, dan orang dari pulau-pulau lain ternyata meninggalkan
jejak-jejak yang sangat aktif. Jacob Cornelis van Leur menyatakan bahwa ketika
Vasco da Gama sampai di perairan Asia, yang ditemukannya adalah lalu lintas
perdagangan di laut yang sangat ramai dengan diatur oleh institusi-institusi
pemerintah yang tingkat perkembangannya sama dengan di Eropa. Intensitas
perdagangannya sama atau malahan melebihi Eropa Selatan. Van der Kroef
menambahkan, bahwa: A supposed
superiority of the Western trading companies over the Oriental, including the
Indonesians, is out of question.
Tesis
Leur kemudian memicu tampilnya para peneliti-peneliti Indonesia yang baru untuk
memperbaiki, mengkritik, dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru, yang pada
dasarnya setuju dengan tesis Leur. Meilink-Roelofz, dalam Asian Trade and European
Influence ingin mengetahui siapa yang paling dominan: orang-orang
Indonesia, Portugis atau Belanda. Dan, ia pun tiba pada kesimpulan bahwa
pertemuan Eropa dan Indonesia adalah pertemuan antara dua peradaban yang
setara, bukan antara Eropa yang lebih maju dengan Indonesia yang terbelakang.
Selain
itu, ada pula kisah yang diuraikan oleh Ludovico di Vaerthema, orang Italia
yang bersama temannya orang Persia tiba di Indonesia pada tahun 1503-1508. Ia
dan beberapa teman-teman lainnya menyewa kapal Indonesia untuk berlayar dari
Kalimantan ke pulau Jawa dengan sewa kapal 100 Ducat. Pada masa itu ternyata
kapten kapal Indonesia sudah menggunakan kompas dan peta yang ditandai dengan
garis-garis pelayaran seperti peta-peta di Eropa. Bahkan, teknologi perkapalan
di Indonesia telah dikenal sejak milenium pertama dengan dibangunnya
kapal-kapal yang cukup besar dengan dua tiang layar serta kaal yang dilengkapi
cadik (outrigger) di kiri-kanannya.
Kapal jenis ini adalah karya orang Nusantara yang kemudian tersebar hingga
Afrika Timur. Kapal tersebut kemungkinan satu jenis kapal yang sama dengan yang
terukir di relief pada Candi Borobudur.
Meskipun
sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang Cina sudah mengembangkan beragam
jenis kapal dalam berbagai ukuran, namun hingga abad VII, kecil sekali peran
kapal Cina dalam pelayaran laut lepas. Jungjung Cina lebih banyak melayani
angkutan sungai dan pantai. Tentang hal ini, Oliver W. Wolters mencatat bahwa
dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan Cina -juga antara Cina dan India Selatan serta Persia- pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa Cina
hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I Tsing,
pengelana dari Cina yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal
Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam
catatan perjalanan keagamaan I Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan
Nalanda disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu
menguasai lalu lintas pelayaran di “Laut Selatan”. Dengan kata lain, arus
perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di “Jalur Sutra”
melalui laut -meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary- sangat bergantung pada peranan pelaut-pelaut
Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan berbicara lebih jauh lagi, bahwa pada awal
milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat
dalam perdagangan di Mediterania.
Pada
bukunya, Prof. Soedjoko menulis: Aspects
of Indonesian Archeology. Ancient Indonesian Technology ship building and fire
arms production around the sixteenth Century (1981). Nampaknya ia risau
dengan penulisan sejarah Indonesia yang Neerlandosentris, yang mengabaikan
fakta-fakta dan capaian-capaian bangsa Indonesia yang datang dari sumber-sumber
informasi (juga dari Barat) yang tidak menguntungkan pencitraan Barat sebagai
superior. Selain itu, kebanyakan sejarawan Indonesia juga justru lebih sibuk
dengan sejarah raja-raja, imperium yang datang dan pergi, tanpa sama sekali
menengok sejarah budaya materi yang dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan
teknologi bangsa Indonesia di masa lalu, terutama pada abad XVI.
Selain
tentang teknologi maritim yang sudah dikuasai oleh orang Indonesia, Soedjoko
juga menulis tentang teknologi pembuatan senjata api, meriam maupun senapan.
Mengenai senjata api, tulisan dari Barbosa menyebutkan tentang kemampuan orang
Jawa ketika ia tinggal di Asia Tenggara (1500-1517), The Javanese are great masters in casting artillery. They make here
spingarde (one-pounders), muskets, and fire-works, and in every place are
considered excellents in casting artillery, and in the knowledge of discharging
it.
Tidak
hanya orang Jawa saja yang mempunyai keahlian pengecoran logam untuk meriam
atau pembuatan senapan (Arquebuss), Vaerthema, orang Italia yang pernah ke
Sumatera antara tahun 1503 dan 1508 mencatat kemampuan orang setempat dalam
membuat mesiu. Marsden (Marsden, 1811) menyebut bahwa: In the country of Menangkabau they have from the earliest times,
manufactures arms for their own use and to supply the Northern inhabitats… ets.
Kemampuan
yang sama berkenaan dengan senjata api juga tampak pada orang-orang Aceh, yang
berkali-kali menyerang Portugis di Malaka dan mengganggu pelayarannya, serta
orang-orang di Ternate yang rajanya dikawal oleh 3000 tentara dan 1000
diantaranya bersenjata api. Sementara tulisan Soedjoko cukup sampai di sini,
demi untuk menjelaskan bahwa ketika Portugis, Belanda, dll yang datang ke
Indonesia, orang-orang Indonesia bukanlah sekelompok petani yang tak berdaya
dan dengan gampang bisa dihabisi seperti yang terjadi di Amerika Selatan pada
rakyat Inca yang ditumpas oleh Pisaro dan Cortes di tahun 1500. Orang Indonesia
pada masa itu merupakan sebuah entitas suku-suku bangsa yang sudah mampu
menandingi keunggulan persenjataan Barat.
Sejarah
membuktikan, Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk mengukuhkan
kekuasaannya yang baru terlaksana pada tahun 1905. Sedangkan untuk menaklukkan
Afrika, yang luasnya beberapa kali Indonesia imperialis Eropa hanya memerlukan
waktu 100 tahun; dan sampai tahun 1859 Inggris baru bisa “mengamankan” seluruh
India (sebelum terbagi). Selain itu, kemenangan Eropa atas negara-negara lain
di dunia juga lebih bertumpu pada penggunaan kekerasan, dan bukan karena
keunggulan nilai-nilai dari budayanya. Mereka memetik kejayaan sebab menemukan
sistem organisasi militer, disiplin logistik, teknologi persenjataan, kekuatan
maritim, juga ilmu kedokteran yang lebih baik. Barat dapat merebut kekuasaan
juga bukan dengan ajaran-ajaran agamanya (hanya sedikit pribumi yang mengganti
agamanya), bukan pula dikarenakan adatnya yang lebih tinggi, melainkan dengan
“paksaan yang terorganisir” (Organisierter
Gewalt). Kebanyakan orang Barat lupa akan sebab-sebab ini, tetapi
orang-orang non-Barat tidak pernah melupakannya (Huntington). “Mission Sacre” yang pada awalnya menjadi
motivasi telah tersapu oleh berlimpahnya harta dari negeri jajahan. Dan, campaign Perang Salib tentunya juga
surut ketika terjadi konkurensi negara-negara di Eropa ke Asia yang pada
akhirnya meruntuhkan hegemoni Portugis dan Spanyol.
Akan
tetapi, sebuah ironi justru dikenalkan kepada anak-anak didik di Indonesia
berkenaan dengan pewacanaan dirinya sebagai sebuah bangsa. Hikayat tentang
nenek moyangnya yang pernah menguasai navigasi pelayaran, teknologi perkapalan,
administrasi niaga internasional, teknik tata kota, seni arsitektur, pengecoran
logam, dan pembuatan senjata api sejak jauh sebelum kedatangan orang Eropa,
justru tidak diterangkan dalam literatur-literatur sekolah. Padahal,
fakta-fakta sejarah tersebut adalah romantisme yang amat berpengaruh dalam
membangun rasa percaya diri di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kepercayaan
diri yang bahkan secara luar biasa dilaporkan oleh seorang Portugis bernama
Diego de Couto, bahwa orang Jawa misalnya, ketika lewat di jalan dan melihat
ada orang bangsa lain sedang berdiri pada onggokan tanah atau tempat lain yang
lebih tinggi dari tanah di mana ia berjalan, ia bisa membunuh orang itu jika
tidak segera turun dari tempatnya. Atau, perihal ketakutan atas rangkaian kapal
layar yang cemerlang milik para pelaut Bugis, dan telah begitu menggentarkan
pelaut Eropa yang mula-mula datang sehingga mereka kembali ke tanah airnya
untuk memperingatkan anak-anaknya, “bersikaplah yang baik, atau orang Bugis
akan menangkapmu.”
Kredit: Kronik Peralihan Nusantara
Selanjutnya: Kejayaan Nusantara (Era Hindu-Buddha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar