Selasa, 18 Juli 2017

Kejayaan Nusantara (Era Hindu-Buddha)

Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia telah menginformasikan bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, didorong oleh pertumbuhan dan perkembangan emporium-emporium besar di ujung Barat dan ujung Timur benua Asia. Di ujung Barat, terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) dan Bani Abbasiyah (750-870 Masehi), dan ujung Timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi). Akan tetapi, di antara dua titik imperium besar tersebut, peranan Sriwijaya sebagai sebuah otoritas yang menguasai Selat Malaka di abad ke-7-11 Masehi tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Otoritas ini adalah kerajaan maritim yang menitikberatkan pada pengembangan pelayaran serta perdagangan sehingga memiliki peranan yang jauh lebih strategis terhadap rute perdagangan yang beralih dari jalan darat ke laut. Bermodalkan kekayaan alam serta letak kekuasaannya yang strategis, pada masanya Sriwijaya berkembang sebagai “toko serba” ada (emporium) yang mengendalikan keluar-masuknya pasokan berbagai komoditi unggulan dari Barat dan Timur.
Dalam salah satu kronik Cina yang diterjemahkan J. Takakusu (A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I Tsing beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi (mula-mula disebut-nya Che-li-fo-tsi) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung (960-1279) dan Yuan (1279-1368), juga Ming (1368-1644), untuk merujuk ke sebuah kerajaan di “Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni Sriwijaya.
Dalam pengelanaannya (671-695) mencari “pohon pencerahan” hingga ke India, I Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim, perdagangan, dan penyebaran agama (Buddha). Kebesaran penguasa “Laut Selatan” ini bukan sekadar imbas dari runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga berkat politik bertetangga yang baik dan didukung oleh adanya armada laut yang besar. Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) menyebutkan sebagai kepiawaian Sriwijaya membentuk aliansi yang kuat. Di mana untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang sangat strategis Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.
Mengutip O.W. Wolters, Dick-Read menambahkan,
“... dari ibukotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya Sriwijaya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”
Bahkan, menjelang akhir masa kejayaannya setelah diserang oleh Chola pun, kronik Cina dari Dinasti Yuan dan Ming masih mengakui eksistensi Sriwijaya sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di “Laut Selatan”. “Pelabuhannya memakai rantai besi. Ibukotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” demikian antara lain laporan Chau Ju Kua –pengelana laut lainnya dari Cina− tentang Sriwijaya pada 1225 Masehi.
Wilayah kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut Jawa. Sebagai penguasa laut Nusantara –oleh sebagian peneliti− Sriwijaya diyakini pula telah berhasil menanamkan pengaruhnya hingga ke Madagaskar. Gabriel Ferrand dalam L’Empire Sumatranais Criwijaya bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang datang dari Sriwijaya. Sebab, kata Ferrand, “Hanya Sriwijaya yang memiliki pengetahuan kelautan yang handal untuk dapat mencapai Madagaskar.”
Sebagai tinjauan atas adanya informasi-informasi tersebut, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa Sriwijaya dengan kapal-kapalnya telah memainkan peran signifikan dalam “perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang dipakai –baik sebagai kekuatan ‘militer’ maupun berniaga− mampu mengangkut barang 450-650 ton. Bahkan −dalam perkembangan berikutnya− dengan panjang kapal mencapai 60 meter, daya angkutnya pun bertambah hingga 1000 ton.
Sriwijaya tampil menjadi kekuatan ekonomi yang besar dengan mengekspor antara lain timah, emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kamper, di mana pedagang-pedagang dari Arab dan India menjualnya ke pasaran Eropa. Rempah-rempah tersebut dibeli dari Tanjung Pura, Banggai di pantai Timur Sulawesi, serta Maluku dan Timor. Kala itu, tingkat peradaban di Cina (pada dinasti-dinasti T’ang, Sung, dan Ming) dan dunia Islam (antara abad 8 sampai 12 tahun, Bysanz dari abad 8 sampai 11), mempunyai tingkat kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan peradaban Kristen yang baru memulai bentuknya di abad ke-8 dan ke-9.
Sriwijaya di tahun 671 bahkan juga menjadi pusat pendidikan teologi yang penting. I Tsing yang belajar di Sriwijaya mengoleksi begitu banyak transkripsi, sampai-sampai ia harus pulang ke Cina guna mengambil kertas dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk menyelesaikan transkripsi-nya. Ia membawa pulang lebih dari 4000 teks Buddhisme yang berbeda ke Cina. I Tsing menganjurkan kepada calon-calon mahasiswa Cina bila ingin masuk universitas di India agar mempersiapkan dirinya lebih dulu di Universitas Sriwijaya selama 2 tahun. Universitas di Sriwijaya tercatat masih berdiri sampai tahun 1023. Salah satu guru besar yang mempunyai reputasi internasional kala itu adalah Dharmakirti.
Dari hal-hal tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa Sriwijaya pernah pula tercatat sebagai pusat pengembangan ilmu di Asia. Dan di balik semua itu −meminjam ungkapan Denys Lombard, terdapat masyarakat heterogen yang mendukungnya. Mereka itu adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, petualang, bahkan para lanun alias perompak sekali pun. Mereka inilah, kata Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya, “... yang merentangkan jaringan-jaringan tua yang menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini.”
Selain Sriwijaya, di Sumatera ada pula kerajaan Hindu besar, yakni Melayu, yang kira-kira berpusat di daerah Jambi. Sementara itu, di Jawa ada kerajaan Taruma yang berpusat di Jawa Barat dan keberadaannya mungkin lebih tua dari kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah. Walaupun tidak ada prasasti yang ditinggalkan, tetapi Taruma telah meninggalkan jejak-jejak keturunan kerajaan Mulawarman di daerah Kutai, Kalimantan. Selain itu, di Jawa Tengah −di dataran tinggi Dieng (1800 mdpl)− terdapat situs keagamaan yang sangat mungkin telah ada sebelum pengaruh Hindu datang dari Jawa. Di lokasi tersebut −sejak abad ke-7, juga telah berdiri kompleks candi-candi Shivaisme. Prasasti dari tahun 732 itu menyebutkan bahwa raja dinasti Sanjaya adalah pemeluk Shivaisme dan disebut sebagai Dinasti Mataram Kuno.
Kerajaan-kerajaan besar dari periode Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa juga meninggalkan monumen-monumen tingkat dunia, antara lain Borobudur, sebuah bangunan Buddhisme yang kolosal dan sarat dengan nilai. Bangunan candi terbesar ini tidak ada di negeri asal Buddhisme, India, di mana terdapat tak kurang dari 400 patung dan 1400 relief yang menggambarkan perjalanan spiritual Buddha Gautama yang menghiasi candi ini.
Setelah tahun 900 M, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa mulai beralih antara ke Timur dan Barat pulau Jawa. Di wilayah Jawa Timur, mereka tetap mengklaim sebagai penerus dinasti Mataram Kuno. Dan, pada kisaran tahun 900 M, terjadi pula pemecahan antara Mataram dan Sriwijaya, di mana Wangsa Syailendra tetap memerintah Sriwijaya dan menjadikan negara ini pusat perdagangan dan pendidikan, bahkan melebarkan sayap dengan partisipasinya terhadap universitas Buddhis di Nalandra, India (850-860 M).
Setelah surutnya Wangsa Syailendra yang membangun Sriwijaya di Sumatera, dinasti-dinasti di Jawa Timur ganti menjalani masa keemasannya dan mampu mencapai tataran budaya yang tinggal di berbagai bidang. Banyak karya sastra telah ditulis dari dinasti ke dinasti. Seni bangunan dan tempa logam juga mencapai mutu yang sangat tinggi. Dan seperti halnya Sriwijaya, kehidupan ekonomi Jawa pun berkembang hingga menyeberangi batas-batas kepulauan. Sistem pemerin-tahan Jawa pada masa itu telah sedemikian tertata.
Sejarah Majapahit di Jawa Timur dapat dibaca relatif lebih lengkap karena secara tidak sengaja ditemukan kitab Nagarakretagama saat berlangsung penyerangan Puri Cakra-negara oleh Belanda di Bali. Dalam penyerangan itu, raja dibunuh, puri dibakar, dan hartanya dijarah. Dan, salah satu benda yang berhasil dirampas oleh Belanda adalah sebuah naskah kuno dari tahun 1365, yakni kitab Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca. Kitab ini berisi kisah kebesaran Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Untuk menjalankan pemerintahannya, Majapahit telah melengkapi diri dengan prinsip-prinsip kebijakan berkenaan dengan bidang-bidang etika, pendidikan filsafat, dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh rakyatnya yang terdiri dari berbagai kalangan dan suku bangsa. Di bidang hukum dan perundang-undangan, Majapahit memiliki kitab yang disebut Kutara Manawa-dharmasastra. Di dalam kitab tersebut terdapat 19 macam masalah (bab) yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilanbelas permasalahan atau bab tersebut adalah astadusta (delapan dusta). Istilah astadusta diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa; (2) menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh; dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh. Sedangkan permasalahan lainnya adalah: kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian), sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai, utang-piutang, titipan, tukon (mahar/mas kawin), perkawinan, paradara (mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya (perusakan) dan daparusya (penyiksa-an fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.
Kitab perundang-undangan yang dipergunakan di Majapahit dalam abad 14-15 Masehi tersebut pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen (1885), kemudian diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-undangan Madjapahit) yang diterbitkan tahun 1967.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribhuwana Tungga Dewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu, agama Siwa dan Buddha ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan setidaknya hingga akhir tahun 1447. Di masa awal berdirinya Majapahit –di bawah Raden Wijaya (Kertarajasa), pejabat resmi keagamaan dipegang oleh dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharma-dyaksa ring Kasogatan, kemudian ada lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Namun demikian, di antara keberadaan dua arus keagamaan yang besar tersebut, berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwasanya agama Islam juga telah sejak lama bermukim di Majapahit. Salah satu buktinya adalah Situs Kuno Makam Troloyo di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Makam-makam Islam di situs Troloyo memiliki angka tahun yang beragam, mulai dari tahun 1369 (abad 14 Masehi) hingga tahun 1611 (abad 17 Masehi).
Pada nisan-nisan makam di petilasan Troloyo terdapat tulisan Arab sehingga keadaannya pun mirip dengan prasasti. Tulisan-tulisan Arab tersebut mengambil lafal dari bacaan doa, kalimah thayibah, dan petikan ayat-ayat Al Qur’an dengan bentuk huruf sedikit kaku. Isinya pun bukan tentang data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih bersifat dakwah, antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais −seorang peneliti dari Perancis yang mengikutinya, menyebutkan angka tahun pada nisan berkisar pada abad 14 hingga 16. Nisan-nisan itu pun membuktikan, pada masa pemerintahan Hindu-Buddha berkuasa di Majapahit, orang-orang Islam telah banyak yang bermukim di sekitar ibukota.

Kredit: Kronik Peralihan Nusantara

Sebelumnya: Indonesia dari Kacamata Asing
Selanjutnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar