Sumber-sumber
tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa,
Arab, India, dan Persia telah menginformasikan bahwa tumbuh dan berkembangnya
pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok
sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, didorong oleh pertumbuhan dan
perkembangan emporium-emporium besar di ujung Barat dan ujung Timur benua Asia. Di ujung Barat, terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah
(660-749 Masehi) dan Bani Abbasiyah (750-870 Masehi), dan ujung Timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang
(618-907 Masehi). Akan tetapi, di antara dua titik imperium besar tersebut,
peranan Sriwijaya sebagai sebuah otoritas yang menguasai Selat Malaka di abad
ke-7-11 Masehi tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Otoritas ini adalah
kerajaan maritim yang menitikberatkan pada pengembangan pelayaran serta
perdagangan sehingga memiliki peranan yang jauh lebih strategis terhadap rute
perdagangan yang beralih dari jalan darat ke laut. Bermodalkan kekayaan alam
serta letak kekuasaannya yang strategis, pada masanya Sriwijaya berkembang
sebagai “toko serba” ada (emporium) yang mengendalikan keluar-masuknya pasokan
berbagai komoditi unggulan dari Barat dan Timur.
Dalam salah
satu kronik Cina yang diterjemahkan J. Takakusu (A Record of the Buddhist Religion
as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I Tsing
beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi
(mula-mula disebut-nya Che-li-fo-tsi)
sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung (960-1279) dan
Yuan (1279-1368), juga Ming (1368-1644), untuk merujuk ke sebuah kerajaan di
“Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la
(Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni
Sriwijaya.
Dalam
pengelanaannya (671-695) mencari “pohon pencerahan” hingga ke India, I Tsing
mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim,
perdagangan, dan penyebaran agama (Buddha). Kebesaran penguasa “Laut Selatan”
ini bukan sekadar imbas dari runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga
berkat politik bertetangga yang baik dan didukung oleh adanya armada laut yang
besar. Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban
Nusantara di Afrika, 2008) menyebutkan sebagai kepiawaian Sriwijaya
membentuk aliansi yang kuat. Di mana untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang
sangat strategis Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang
terorganisasi dengan baik.
Mengutip
O.W. Wolters, Dick-Read menambahkan,
“... dari ibukotanya Palembang di tepi Sungai Musi,
tampaknya Sriwijaya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari
para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah
mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”
Bahkan,
menjelang akhir masa kejayaannya setelah diserang oleh Chola pun, kronik Cina
dari Dinasti Yuan dan Ming masih mengakui eksistensi Sriwijaya sebagai penguasa
lalu lintas perdagangan di “Laut Selatan”. “Pelabuhannya memakai rantai besi.
Ibukotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar
kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” demikian antara
lain laporan Chau Ju Kua –pengelana laut lainnya dari Cina− tentang Sriwijaya
pada 1225 Masehi.
Wilayah
kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di
Selat Malaka dan Laut Jawa. Sebagai penguasa laut Nusantara –oleh sebagian
peneliti− Sriwijaya diyakini pula telah berhasil menanamkan pengaruhnya hingga
ke Madagaskar. Gabriel Ferrand dalam L’Empire Sumatranais Criwijaya
bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang
datang dari Sriwijaya. Sebab, kata Ferrand, “Hanya Sriwijaya yang memiliki
pengetahuan kelautan yang handal untuk dapat mencapai Madagaskar.”
Sebagai
tinjauan atas adanya informasi-informasi tersebut, setidak-tidaknya dapat
dipahami bahwa Sriwijaya dengan kapal-kapalnya telah memainkan peran signifikan
dalam “perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang
dipakai –baik sebagai kekuatan ‘militer’ maupun berniaga− mampu mengangkut
barang 450-650 ton. Bahkan −dalam perkembangan berikutnya− dengan panjang kapal
mencapai 60 meter, daya angkutnya pun bertambah hingga 1000 ton.
Sriwijaya
tampil menjadi kekuatan ekonomi yang besar dengan mengekspor antara lain timah,
emas, gading, rempah-rempah, kayu berharga, dan kamper, di mana
pedagang-pedagang dari Arab dan India menjualnya ke pasaran Eropa.
Rempah-rempah tersebut dibeli dari Tanjung Pura, Banggai di pantai Timur
Sulawesi, serta Maluku dan Timor. Kala itu, tingkat peradaban di Cina (pada
dinasti-dinasti T’ang, Sung, dan Ming) dan dunia Islam (antara abad 8 sampai 12
tahun, Bysanz dari abad 8 sampai 11), mempunyai tingkat kualitas yang lebih
tinggi dibanding dengan peradaban Kristen yang baru memulai bentuknya di abad
ke-8 dan ke-9.
Sriwijaya di
tahun 671 bahkan juga menjadi pusat pendidikan teologi yang penting. I Tsing
yang belajar di Sriwijaya mengoleksi begitu banyak transkripsi, sampai-sampai
ia harus pulang ke Cina guna mengambil kertas dan kembali lagi ke Sriwijaya
untuk menyelesaikan transkripsi-nya. Ia membawa pulang lebih dari 4000 teks
Buddhisme yang berbeda ke Cina. I Tsing menganjurkan kepada calon-calon
mahasiswa Cina bila ingin masuk universitas di India agar mempersiapkan dirinya
lebih dulu di Universitas Sriwijaya selama 2 tahun. Universitas di Sriwijaya
tercatat masih berdiri sampai tahun 1023. Salah satu guru besar yang mempunyai
reputasi internasional kala itu adalah Dharmakirti.
Dari hal-hal
tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa Sriwijaya pernah pula tercatat
sebagai pusat pengembangan ilmu di Asia. Dan di balik semua itu −meminjam
ungkapan Denys Lombard, terdapat masyarakat heterogen yang mendukungnya. Mereka
itu adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, petualang, bahkan para
lanun alias perompak sekali pun. Mereka inilah, kata Lombard dalam Nusa
Jawa; Silang Budaya, “... yang merentangkan jaringan-jaringan tua yang
menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini.”
Selain
Sriwijaya, di Sumatera ada pula kerajaan Hindu besar, yakni Melayu, yang
kira-kira berpusat di daerah Jambi. Sementara itu, di Jawa ada kerajaan Taruma
yang berpusat di Jawa Barat dan keberadaannya mungkin lebih tua dari kerajaan
Sanjaya di Jawa Tengah. Walaupun tidak ada prasasti yang ditinggalkan, tetapi
Taruma telah meninggalkan jejak-jejak keturunan kerajaan Mulawarman di daerah
Kutai, Kalimantan. Selain itu, di Jawa Tengah −di dataran tinggi Dieng (1800
mdpl)− terdapat situs keagamaan yang sangat mungkin telah ada sebelum pengaruh
Hindu datang dari Jawa. Di lokasi tersebut −sejak abad ke-7, juga telah berdiri
kompleks candi-candi Shivaisme. Prasasti dari tahun 732 itu menyebutkan bahwa
raja dinasti Sanjaya adalah pemeluk Shivaisme dan disebut sebagai Dinasti
Mataram Kuno.
Kerajaan-kerajaan
besar dari periode Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa juga meninggalkan
monumen-monumen tingkat dunia, antara lain Borobudur, sebuah bangunan Buddhisme
yang kolosal dan sarat dengan nilai. Bangunan candi terbesar ini tidak ada di
negeri asal Buddhisme, India, di mana terdapat tak kurang dari 400 patung dan
1400 relief yang menggambarkan perjalanan spiritual Buddha Gautama yang
menghiasi candi ini.
Setelah
tahun 900 M, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa mulai beralih antara ke
Timur dan Barat pulau Jawa. Di wilayah Jawa Timur, mereka tetap mengklaim
sebagai penerus dinasti Mataram Kuno. Dan, pada kisaran tahun 900 M, terjadi
pula pemecahan antara Mataram dan Sriwijaya, di mana Wangsa Syailendra tetap
memerintah Sriwijaya dan menjadikan negara ini pusat perdagangan dan
pendidikan, bahkan melebarkan sayap dengan partisipasinya terhadap universitas
Buddhis di Nalandra, India (850-860 M).
Setelah
surutnya Wangsa Syailendra yang membangun Sriwijaya di Sumatera,
dinasti-dinasti di Jawa Timur ganti menjalani masa keemasannya dan mampu
mencapai tataran budaya yang tinggal di berbagai bidang. Banyak karya sastra
telah ditulis dari dinasti ke dinasti. Seni bangunan dan tempa logam juga
mencapai mutu yang sangat tinggi. Dan seperti halnya Sriwijaya, kehidupan
ekonomi Jawa pun berkembang hingga menyeberangi batas-batas kepulauan. Sistem
pemerin-tahan Jawa pada masa itu telah sedemikian tertata.
Sejarah
Majapahit di Jawa Timur dapat dibaca relatif lebih lengkap karena secara tidak
sengaja ditemukan kitab Nagarakretagama saat berlangsung penyerangan Puri
Cakra-negara oleh Belanda di Bali. Dalam penyerangan itu, raja dibunuh, puri
dibakar, dan hartanya dijarah. Dan, salah satu benda yang berhasil dirampas
oleh Belanda adalah sebuah naskah kuno dari tahun 1365, yakni kitab
Negarakrtagama karangan Mpu Prapanca. Kitab ini berisi kisah kebesaran
Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Untuk
menjalankan pemerintahannya, Majapahit telah melengkapi diri dengan
prinsip-prinsip kebijakan berkenaan dengan bidang-bidang etika, pendidikan
filsafat, dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh
rakyatnya yang terdiri dari berbagai kalangan dan suku bangsa. Di bidang hukum
dan perundang-undangan, Majapahit memiliki kitab yang disebut Kutara
Manawa-dharmasastra. Di dalam kitab tersebut terdapat 19 macam masalah (bab)
yang terbagi dalam 275 pasal. Salah satu di antara kesembilanbelas permasalahan
atau bab tersebut adalah astadusta
(delapan dusta). Istilah astadusta
diartikan sebagai delapan macam kejahatan yang harus dihukum berat. Kedelapan
tindak kejahatan yang termasuk dalam golongan astadusta tersebut adalah: (1) membunuh orang yang tidak berdosa;
(2) menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa; (3) melukai orang yang tidak
berdosa; (4) makan bersama dengan seorang pembunuh; (5) mengikuti jejak
pembunuh; (6) bersahabat dengan pembunuh; (7) memberi tempat kepada pembunuh;
dan (8) memberi pertolongan kepada pembunuh. Sedangkan permasalahan lainnya
adalah: kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, masalah budak, astacorah (delapan pencurian), sahasa (pemaksaan), jual-beli-gadai,
utang-piutang, titipan, tukon
(mahar/mas kawin), perkawinan, paradara
(mengganggu isteri orang lain), warisan, parusya
(perusakan) dan daparusya (penyiksa-an
fisik), kelalaian, perkelahian, tanah, dan fitnah.
Kitab
perundang-undangan yang dipergunakan di Majapahit dalam abad 14-15 Masehi
tersebut pernah dijadikan disertasi oleh J.C.G. Jonker dengan judul Een
Oud-Javaansche Wetboek vergeleken met Indische bronnen (1885), kemudian
diterjemahkan dan disusun berdasarkan kelompok isi oleh Slamet Muljana (Perundang-undangan
Madjapahit) yang diterbitkan tahun 1967.
Berdasarkan
sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran
Siwasiddhanta, kecuali Tribhuwana Tungga Dewi (ibunda Hayam Wuruk) yang
beragama Buddha Mahayana. Walau begitu, agama Siwa dan Buddha ditetapkan
sebagai agama resmi kerajaan setidaknya hingga akhir tahun 1447. Di masa awal
berdirinya Majapahit –di bawah Raden Wijaya (Kertarajasa), pejabat resmi
keagamaan dipegang oleh dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharma-dyaksa ring Kasogatan, kemudian
ada lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Namun
demikian, di antara keberadaan dua arus keagamaan yang besar tersebut, berbagai
temuan arkeologi menunjukkan bahwasanya agama Islam juga telah sejak lama
bermukim di Majapahit. Salah satu buktinya adalah Situs Kuno Makam Troloyo di
Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Makam-makam Islam di situs Troloyo
memiliki angka tahun yang beragam, mulai dari tahun 1369 (abad 14 Masehi)
hingga tahun 1611 (abad 17 Masehi).
Pada
nisan-nisan makam di petilasan Troloyo terdapat tulisan Arab sehingga
keadaannya pun mirip dengan prasasti. Tulisan-tulisan Arab tersebut mengambil
lafal dari bacaan doa, kalimah thayibah,
dan petikan ayat-ayat Al Qur’an dengan bentuk huruf sedikit kaku. Isinya pun
bukan tentang data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan
lebih bersifat dakwah, antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth
adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo
dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais −seorang peneliti dari Perancis
yang mengikutinya, menyebutkan angka tahun pada nisan berkisar pada abad 14
hingga 16. Nisan-nisan itu pun membuktikan, pada masa pemerintahan Hindu-Buddha
berkuasa di Majapahit, orang-orang Islam telah banyak yang bermukim di sekitar
ibukota.
Kredit: Kronik Peralihan Nusantara
Sebelumnya: Indonesia dari Kacamata Asing
Selanjutnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Sebelumnya: Indonesia dari Kacamata Asing
Selanjutnya: Kebangunan Bangsa-bangsa di Eropa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar