Kamis, 26 Oktober 2017

Tugas Inti Pimpinan PKI

Pada tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) tampak berkembang pesat. Dari sebuah partai kecil dengan latar-belakang yang diragukan iktikad baiknya karena berperanan dalam Pemberontakan Madiun pada tahun 1948, ia tumbuh menjadi sebuah partai massa yang hebat. Pengaruhnya dapat dirasakan di setiap lapangan kehidupan sosial politik. Wakil-wakil partai itu duduk di Kabinet, dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di samping ke dalam bidang politik, jalur partai pun merembes ke bidang ekonomi, pendidikan, kesenian, dan kesusasteraan.

Semua itu dicapai berkat pimpinan licik dari D.N. Aidit, yang menjadi ketua partai pada tahun 1951. Bukan melalui cara bersekongkol, sembunyi-sembunyi, atau bergerak di bawah tanah, melainkan jalan parlemenlah yang dipilih Aidit untuk meraih kekuasaan. Faktor tunggal terpenting yang menyebabkan Aidit mencapai sukses, adalah persahabatannya dengan Presiden Soekarno, yang diperkokoh selama masa Demokrasi Terpimpin. Dengan pengaruh karismatiknya yang luar biasa terhadap seluruh bangsa, Presiden Soekarno memberikan perlindungan kepada PKI dalam menghadapi musuh-musuhnya.[1]

Siapakah gerangan musuh-musuh PKI itu? Berdasarkan alasan ideologi yang nyata, maka golongan-golongan agama dianggap lawan PKI yang utama. Namun PKI memandang Angkatan Darat sebagai musuhnya yang terpenting, bukan hanya karena Angkatan Darat merupakan ancaman fisik bagi partai, akan tetapi juga disebabkan alasan-alasan ideologi. Pendapat yang hidup dalam tubuh Angkatan Darat menganggap paham komunisme bertentangan dengan ideologi negara, yaitu Pancasila. Komunisme melambangkan pertentangan kelas dan penumbangan setiap tata-hidup yang non-komunis. Pancasila melambangkan kegotongroyongan serta toleransi. Dan salah satu dari lima sila Pancasila, adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, sedangkan Komunisme melambangkan atheisme.

Pikiran yang selalu menghantui PKI di bawah pimpinan Aidit, adalah bagaimana menghindari tindakan penumpasan oleh musuh-musuh mereka yang bersenjata. Mereka merasa, bahwa mereka belum cukup jauh menyusup ke dalam kalangan-kalangan teratas dari Angkatan Darat. Di bawah payung perlindungan Presiden Soekarno, mereka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sudah barang tentu mereka menginginkan, agar perlindungan Presiden itu dapat berlangsung selama mungkin, supaya mereka mendapat waktu cukup untuk membenahi kekuatan bersenjata mereka. Walaupun demikian, mereka tahu bahwa pada suatu ketika, akan datang saatnya kehilangan perlindungan Presiden Soekarno. Oleh karena itu, mereka harus bersiap-siap menghadapi masa Pasca-Soekarno. Tugas-pokok pimpinan PKI di masa pra-G-30S, sebagai nama yang dikenal orang selanjutnya untuk menyebut percobaan kup (coupt), terdiri dari suatu usaha dengan tiga tujuan:

1.  Memperbaiki pengaruh dan kekuasaan mereka di Angkatan Bersenjata;
2.  Bersiap-siap menghadapi saat-saat Presiden Soekarno tidak berkuasa lagi;
3.  Meneruskan usaha menyebarkan pengaruh mereka di semua sektor masyarakat Indonesia.

Mengenai tugas yang pertama, pihak PKI sudah cukup puas dengan hanya melakukan kasak-kusuknya di Angakatan Udara, karena Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dhani cenderung bersimpati kepada PKI. Di mata PKI, Angkatan Laut[2] tidak dianggap sebagai suatu kesatuan yang penting, sedangkan Kepolisian mengalami perpecahan dalam tubuhnya sendiri. Dan karena itu, tidak dapat diharapkan berfungsi efektif pada saat-saat darurat. Alhasil, hanya Angkatan Darat saja yang betul-betul memusingkan pimpinan PKI.

Dari hasil pemilihan umum tahun 1955, ketika para anggota Angkatan Bersenjata memberikan suara berdasarkan hak pemilihan tersendiri, PKI mendapat kesimpulan, bahwa pengaruh mereka di jajaran berpangkat rendah cukup besar. Namun korps perwira yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, tidak bersikap simpatik pada partai tersebut. Oleh karena itu, PKI tentu berpikir, bahwa mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk mengganti pimpinan Angkatan Darat dengan tokoh-tokoh yang lebih memperlihatkan simpati terhadap mereka. Tentu tidak masuk akal, untuk mengharap agar seorang simpatisan PKI akan menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, jika Presiden Soekarno sudah tidak berkuasa lagi. Akan tetapi seorang Soekarnois[3] kiranya cukup memenuhi harapan Partai. Yang diperlukan PKI ketika itu, ialah waktu untuk mengembangkan kekuatannya secara pelan-pelan sesuai dengan siasat Aidit.

Tugas kedua dari pimpinan PKI berkaitan erat dengan tugasnya yang pertama. Bersiap-siap menghadapi situasi, pada saat Presiden Soekarno sudah tiada lagi, berarti berjaga-jaga untuk mencegah kemungkinan Partai ditaklukkan oleh kekuatan musuh, dalam hal ini adalah Angkatan darat. Kalau dapat dipastikan, bahwa politik NASAKOM Soekarno tidak akan dijalankan terus sesudah Presiden tidak berkuasa lagi, PKI tidak akan lagi melanjutkan cara damai guna meraih kekuasaan dan terpaksa mengubah strateginya.
________________________________________

[1]  Ada berbagai artikel dan buku tentang PKI selama masa 1959-1965. Dapat disebutkan beberapa diantara karangan yang paling penting:
− Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History, New York 1963; lihat bab 23 dan 24 dan Epiloque, hal. 257-306;
− Donald Hindley, “President Sukarno and the Communists: The Politics of Domestication”, American Political Science Review, December 1962;
− Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia: 1951-1963, Berkeley and Los Angeles, 1964; lihat bab XXII, hal. 275-304.
− Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia, Vancouver-Canada, 1965; lihat bagian III, hal. 227-304.
− Guy J. Pauker, “Current Communist Tactics in Indonesia”, Asian Survey, May 1961, 26-34;
− Guy J. Pauker, Communist Prospects in Indonesia, RAND Memorandum, November 1964; juga dalam:
− Robert A. Scalapino (ed), The Communits Revolution in Asia: Tactic, Goals, and Achievements, New York, 1965.

[2]  Angkatan Laut adalah sebuah kesatuan kecil, jika dibandingkan dengan Angkatan Darat atau Kepolisian; AL ketika itu baru saja mengalami pergolakan serius yang dilakukan para perwira muda. Dan sebagai suatu kesatuan fungsional, AL tidak pernah memainkan peran politik yang penting.


[3]  Yang dimaksud dengan “Soekarnois” adalah pengikut setia ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom, yaitu kerjasama di lingkungan pemerintah antara unsur-unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis.

Sumber: Nugroho Notosusanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar