Belakangan ini jarang dijumpai sekelompok bocah
memainkan permainan tradisional. Permainan tradisional tak lagi mendapatkan
tempat, tergeser oleh permainan modern yang berasas pada teknologi, tak
memerlukan ruang terbuka bebas, dan tak membutuhkan banyak olah tubuh.
Sebagai bangsa yang memiliki kekayaaan budaya yang adi
luhung, sangat disayangkan bila kekayaan itu hilang. Munculnya komunitas yang
menggiatkan kembali permainan tradisonal adalah secercah harapan membangkitkan
rasa Indonesia. Salah satu permainan yang mencitrakan keaslian Indonesia
adalah Jamuran.
Masih merasa asing dengan dolanan tradisional jamuran?
Jamuran dikreasikan oleh seorang ahli pendidik yang
berjiwa demokratis yaitu Sunan Giri (salah satu Wali Songo). Beliau mendidik dengan
jalan membuat melalui bermacam-macam permainan, salah satunya Jamuran.
Permainan ‘jamuran’ biasanya dimainkan pada
malam-malam terang bulan, oleh anak-anak perempuan usia sekolah dasar;
adakalanya anak-anak laki-laki juga ikut bermain. Jumlah anak untuk memainkan
permainan ini, kira-kira 10 orang atau lebih. Karena banyaknya anak yang ikut
bermain, terlebih lagi karena permainan ini dijalankan dengan banyak
berlari-larian, maka diperlukan halaman yang cukup luas untuk memainkannya.
Orang Jawa menyebutnya Plataran.
Permainannya sangat sederhana. Anak-anak berdiri
membentuk lingkaran dan berpegangan tangan. Besar kecil lingkaran tergantung
kepada banyak sedikitnya anak-anak yang bermain. Jika jumlah anak yang bermain
banyak, lingkaran itu besar, sebaliknya kalau anak-anak yang bermain sedikit,
lingkaran kecil. Seorang anak berdiri di tengah-tengah lingkaran itu.
Permainan ‘jamuran’ dimulai dengan anak-anak berdiri
membentuk lingkaran bernyanyi:
Jamuran, yo ge gethok,
Jamur opo, yo ge gethok,
Jamur payung,
ngrembuyung koyo lembayung
Siro badhe
jamur opo?”
begitu kira-kira syairnya.
Tiba pada kalimat ‘siro badhe jamur opo?’, si anak
yang berada di tengah lingkaran lantas berteriak menyebut sebuah gerakan
pura-pura yang wajib kami perbuat. Anak-anak lain yang semula bergandengan
tangan membentuk lingkaran, kontan berhamburan. Untuk menirukan seperti apa
yang di ucapkan si anak yang kalah tadi. Misal seperti ini...
‘jamur montor!’
Ketika di ucapkan ‘jamur montor!’, anak-anak yang
berhamburan untuk berubah menjadi berbagai kendaraan beroda. Ada yang menjadi
mobil polisi. Ada yang menjadi dokar. Ada yang menjadi sepeda motor. Ada yang
menjadi kereta. Masing-masing kami bergumam menirukan suara tiap-tiapnya
sembari berjalan mondar-mandir. Hingga terdengar lagi sebuah suara.
‘jamur patung!’
Lantas anak-anak bergegas menjadi patung. Diam tak
bergerak. Tidak boleh tersenyum. Tidak boleh tertawa. Meski digoda. Meski
diajak berbicara.
Bagi anak yang tertawa, tersenyum, atau yang bergerak
akan terkena hukuman yaitu ia harus menggantikan posisi anak yang kalah tadi.
Bila sudah ada yang terkena, kami lantas bermain lagi
dari mula. Bila sudah ada terhukum, kami yang terbebas bisa lega tersenyum.
Yang kena hukuman, masuk ke dalam lingkaran. Yang
lainnya, bergandengan tangan melingkar dan mulai menembang. Jamuran... jamuran... yo ge ge thok...
Tiba pada kalimat ‘siro badhe jamur opo?’ (intinya
permainan dimulai seperti awal tadi).
‘jamur monyet!’
Anak-anak segera melepas tautan tangan. Semua
berhamburan. Macam-macam gerakannya. Ada yang dengan segera memanjat pohon. Ada
yang hanya menggaruk-garuk kepala. Ada yang sesekali meloncat-loncat. Ada yang
seketika duduk dan berpura-pura seperti sedang mencari kutu pada kepala
temannya.
Anak-anak pun banyak yang tertawa terpingkal
karenanya.
‘jamur let uwong!’
Anak yang membentuk lingkaran bubar lalu mencari
pasangan untuk diajak bergandengan. Yang tidak mendapat pasangan, harus ‘jadi’
atau mendapat hukuman berdiri di tengah lingkaran.
‘jamur kendil borot!’
Anak-anak mencari tempat yang agak tersembunyi untuk
buang hajat kecil, karena kendilnya borot (pancinya bocor). Kendil
yang tidak bocor dianggap tidak berguna. Walhasil anak yang tidak buang hajat
kecil dianggap sebagai kendil tidak bocor dan harus ‘jadi’. Kadang, pada jamur kendil
borot dijumpai sedikit kecurangan karena membawa air dalam plastik dan
hanya berpura-pura buang hajat kecil. Atau ‘sedikit’ bohong dengan mengaku
sudah buang hajat kecil saat anak yang ‘jadi’ sedang memeriksa kebocoran anak
lain. Pemeriksaan Kendil borot hanya dilakukan dengan melihat
bekas air.
‘jamur gagak!’
Anak-anak berlari sambil merentangkan tangan,
menirukan kepakan sayap burung gagak sambil menirukan bunyinya gaok
gaok. Tugas anak yang ‘jadi’ adalah menangkap ‘burung gagak’. Dan kawanan
burung gagak harus menghindarinya agar jangan mendapat hukuman. Cara
menghindari pengejaran mudah saja yaitu dengan berjongkok sebagai pengibaratan
burung yang sedang hinggap. Jika mendapati anak jongkok, maka pengejaran
dihentikan. Atau jika mau, menunggu agar anak yang berjongkok itu lari lagi
lalu dikejar. Jika ada anak yang tertangkap ketika masih berlari, maka
berlakulah hukuman.
‘jamur parut!’
Anak-anak yang membentuk lingkaran bubar menjauhi anak
yang berada di tengah. Mereka mencari tempat untuk berdiri dengan berpegangan
tangan pada sebatang pohon tiang, atau bersandar pada tembok lalu menggantung
sebelah kakinya. Telapak kaki harus nampak agar mudah digelitik.
Anak yang tadi berdiri di tengah lalu menghampiri
salah seorang anak yang menggantungkan kakinya sebelah, lalu menggelitik
telapak kakinya yang digantung. Anak yang digaruk harus menahan diri agar jangan
sampai tertawa, agar tidak mendapat hukuman.
Untuk memancing agar anak yang digaruk tertawa, anak
yang menggaruk boleh menggodanya dengan memperlihatkan gerak-gerik yang lucu
atau menggodanya dengan kata-kata yang jenaka. Jika cara-cara demikian tidak dapat
membuat anak itu tertawa, maka ia menghampiri anak-anak yang lain dan
diperlakukan demikian pula. Jika anak lain tetap tidak tertawa maka hukuman
tetap pada dirinya, mengulangi berdiri di tengah-tengah lingkaran.
Demikian permainan itu dilangsungkan dan diulang-ulang
berkali-kali dari permulaan, dan setiap kali disebutkan nama jamur yang
berlainan oleh anak yang ‘jadi’.
Sederhana, riang, murah, dan mendidik. Keunggulan yang
diusung karena permainan ini memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk
membeberkan kekayaan fantasi dan rasa humor dengan menyebutkan beraneka macam
jamur yang kadang-kadang ‘ajaib’.
Jamuran tergolong unik. Satu hal yang mungkin tidak terlintas
saat permainan sederhana ini dikreasikan yakni mendorong anak untuk
bisa mengembangkan kecerdasan majemuk, yakni ketrampilan gerak, kepekaan,
dan kemampuan berekspresi dengan irama, kemampuan memahami dan mengendalikan
diri sendiri serta kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan.
Lewat dolanan jamuran kita bisa
melihat sebentuk kekayaaan budaya Indonesia yang bukan hanya sebagai media
hiburan, namun sebagai penghargaan atas tradisi yang merupakan ‘akar’
atau cikal bakal beradaban dan tentu saja tidak dimiliki oleh bangsa
lain. Karena terus terang, hanya Indonesia yang memiliki dolanan tradisional
yang beragam, salah satunya: Jamuran.
Yuk, bermain jamuran. Indonesia punya!
Padang-padang bulan, ayo gage ‘dho dolanan, dolanane
naning latar, ngalap padang gilar-gilar, nundung begog hangatikar (Terang-terang
bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil manfaat dari terang
benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar