Minggu, 01 September 2013

Jangan Tertipu pada Zhohir Kemuliaan

Merujuk ukuran kebaikan pada arahan Alloh dan jalan hidup Rosul-Nya adalah keinsyafan mulia yang kadang menyesakkan dada. Seperti yang dilakukan ‘Umar ibn Al-Khoththob ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau-kemilau memenuhi Madinah.

Semua mengucap selamat dan doa-doa indah atas keberhasilannya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Alloh, memakmurkan Muslimin. Tetapi di pojok sana, Sang Kholifah menangis tersedu-sedu. Di hamparan intan, emas, dan segala benda mewah, air matanya tumpah.

“Mengapa kau menangis, hai Amirul Mukminin?” tanya seorang sahabat, “bukankah Alloh telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”

Maka ‘Umar mendongak dengan mata memerah dan pipi basah, “Dusta! Demi Alloh, ini dusta! Demi Alloh, bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan,” ujarnya menunjuk tumpukan berlian dan emas kencana, “mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakr; juga tidak di zaman Rosululloh? Maka demi Alloh, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”

Sungguh pandangan jernih, harta berlimpah itu bukan kebaikan. SEBAB jika ia KEBAIKAN, harusnya terjadi pada ORANG TERBAIK. Sedang sabda Nabi adalah benar, “Sebaik-baik kurun adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.” Maka adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran orang-orang terbaik; soal rezeki, ibadah, dan dakwah?

Indah direnungkan sejenak, keluarga, pekerjaan, jabatan, kekayaan, kemasyhuran kita; apakah ia baik di sisi para teladan? Sungguh kurun terbaik bakda Nabi; senada ‘Umar; panglima penakluk Persia yang melimpahi Madinah dengan harta berpendapat sama. Sa’d ibn Abi Waqqosh namanya; sang singa yang menyembunyikan kukunya; menitik air matanya ketika memasuki Balairung Kisra.

Melihat megah pilar anggun mahligai, gemerlap singgasana, dan mahkota berjejal permata; Sa’d lirih melantun firman-Nya (Surat Ad-Dukhoon ayat 25-29). Betapa banyak taman-taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Juga kebun-kebun bertanaman dan tempat indah nan mulia (ayat 25-26). Dan kesenangan yang mereka berlezat menikmatinya. Demikianlah, Kami wariskan semua itu pada kaum yang lain (ayat 27-78). Maka langit dan bumi tak menangisi mereka; dan tiadalah mereka diberi tangguh (ayat 29). Deras air mata Sa’d mentilawah Surah Ad-Dukhoon.

Begitulah, kebaikan harus kita tanyakan pada para insan terbaik, seperti Abu Bakr yang menangis kala sahabat lain gembira. Surah An-Nashr; dibaca oleh umumnya sahabat sebagai tibanya kemenangan, jayanya agama Alloh, gempitanya insan berislam. Tetapi tidak bagi Abu Bakr, ia malah berduka mendalam; selesainya tugas Rosul, wafatnya beliau, terputusnya wahyu, dan dimulainya kemunduran. Maka selalu ada pesan tersembunyi yang mengoyak batin di tiap hal yang pada zhohirnya dipandang manusia sebagai kejayaan.

Bahkan bagi sang Nabi, seperti terpampang dalam ayat yang baru kita sebut: Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Alloh. Betapa manisnya, betapa indahnya, betapa mulianya. Telah tiba waktu memetik buah dari perjuangan yang getir dan pilu; dari dakwah beliau yang berkuah keringat, darah, dan air mata. Tetapi kalimat berikutnya menyentak kesadaran; halus dan tajam, “Maka bertasbihlah memuji Robbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.”

Maka pesan rangkaian rericau ini sederhana; mari tak tertipu pada zhohir kemuliaan dengan selalu bertasbih dan beristighfar.


Sumber: Menyimak Kicau Merajut Makna; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar