Merujuk ukuran
kebaikan pada arahan Alloh dan jalan hidup Rosul-Nya adalah keinsyafan mulia
yang kadang menyesakkan dada. Seperti yang dilakukan ‘Umar ibn Al-Khoththob
ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau-kemilau memenuhi
Madinah.
Semua mengucap
selamat dan doa-doa indah atas keberhasilannya menggelorakan jihad, meninggikan
kalimat Alloh, memakmurkan Muslimin. Tetapi di pojok sana, Sang Kholifah menangis
tersedu-sedu. Di hamparan intan, emas, dan segala benda mewah, air matanya
tumpah.
“Mengapa kau
menangis, hai Amirul Mukminin?” tanya seorang sahabat, “bukankah Alloh telah
bukakan keberkahan langit dan bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”
Maka ‘Umar mendongak
dengan mata memerah dan pipi basah, “Dusta! Demi Alloh, ini dusta! Demi Alloh,
bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan,” ujarnya menunjuk tumpukan berlian
dan emas kencana, “mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakr; juga tidak di
zaman Rosululloh? Maka demi Alloh, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”
Sungguh pandangan
jernih, harta berlimpah itu bukan kebaikan. SEBAB jika ia KEBAIKAN, harusnya
terjadi pada ORANG TERBAIK. Sedang sabda Nabi adalah benar, “Sebaik-baik kurun
adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.” Maka
adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran
orang-orang terbaik; soal rezeki, ibadah, dan dakwah?
Indah direnungkan
sejenak, keluarga, pekerjaan, jabatan, kekayaan, kemasyhuran kita; apakah ia
baik di sisi para teladan? Sungguh kurun terbaik bakda Nabi; senada ‘Umar;
panglima penakluk Persia yang melimpahi Madinah dengan harta berpendapat sama.
Sa’d ibn Abi Waqqosh namanya; sang singa yang menyembunyikan kukunya; menitik
air matanya ketika memasuki Balairung Kisra.
Melihat megah pilar
anggun mahligai, gemerlap singgasana, dan mahkota berjejal permata; Sa’d lirih
melantun firman-Nya (Surat Ad-Dukhoon ayat 25-29). Betapa banyak taman-taman dan
mata air yang mereka tinggalkan. Juga kebun-kebun bertanaman dan tempat indah
nan mulia (ayat 25-26). Dan kesenangan yang mereka berlezat menikmatinya.
Demikianlah, Kami wariskan semua itu pada kaum yang lain (ayat 27-78). Maka langit
dan bumi tak menangisi mereka; dan tiadalah mereka diberi tangguh (ayat 29).
Deras air mata Sa’d mentilawah Surah Ad-Dukhoon.
Begitulah, kebaikan
harus kita tanyakan pada para insan terbaik, seperti Abu Bakr yang menangis
kala sahabat lain gembira. Surah An-Nashr; dibaca oleh umumnya sahabat sebagai
tibanya kemenangan, jayanya agama Alloh, gempitanya insan berislam. Tetapi
tidak bagi Abu Bakr, ia malah berduka mendalam; selesainya tugas Rosul,
wafatnya beliau, terputusnya wahyu, dan dimulainya kemunduran. Maka selalu ada
pesan tersembunyi yang mengoyak batin di tiap hal yang pada zhohirnya dipandang
manusia sebagai kejayaan.
Bahkan bagi sang
Nabi, seperti terpampang dalam ayat yang baru kita sebut: Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Alloh.
Betapa manisnya, betapa indahnya, betapa mulianya. Telah tiba waktu memetik
buah dari perjuangan yang getir dan pilu; dari dakwah beliau yang berkuah
keringat, darah, dan air mata. Tetapi kalimat berikutnya menyentak kesadaran;
halus dan tajam, “Maka bertasbihlah memuji Robbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.”
Maka pesan rangkaian
rericau ini sederhana; mari tak tertipu pada zhohir kemuliaan dengan selalu
bertasbih dan beristighfar.
Sumber: Menyimak Kicau Merajut Makna; Salim A.
Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar