Jumat, 08 Agustus 2014

Praktik Konseling


I. Pendahuluan

Idealnya praktik konseling diselenggarakan oleh petugas berwenang yang dididik dan dipersiapkann untuk menjadi konselor, seorang profesional dalam bidang jasa layanan konseling. Dengan demikian, layanan yang diberikan memang khas, unik, dan berbeda dengan profesi lainnya, meski dalam lapangan yang sama yaitu lapangan pendidikan (Borsolun & Holcon. 2004). Seperti halnya dokter, perawat, bidang, laborant, masing-masing pekerjaannya berbeda secara khas dan saling mengakui dan saling menghormati meski sama-sama berada dalam bidang kesehatan. Demikian pun harapannya, guru, pustakawan, laborant, psikolog, konselor, menampilkan kekhasan pekerjaannya masing-masing meski bersama-sama dalam bidang pekerjaan yang sama.

Jujur saja kita akui, bahwa dalam menjalankan program-program pendidikan khususnya dalam proses belajar-pembelajaran, antar profesional yang ada di dalamnya kurang saling mengakui dan menghormati (Mathew, R. 1998). Terbiasa kita lihat di sekolah-sekolah di sekitar kita, guru merangkap sebagai pustakawan, juga sebagai administrator, juga sebagai pengelola koperasi, dan masih banyak lagi pekerjaan-pekerjaan profesional lain yang dikerjakan guru. Sebaliknya juga
banyak
pihak-pihak lain yang menganggap bahwa profesi guru adalah profesi serba siapa”. Siapa saja boleh menjadi guru asal mampu berdiri dan berbicara di depan kelas.

Apalagi pekerjaan Guru GC/Guru BP/Guru BK/ Konselor di sekolah, sampai sekarang masih banyak yang menganggap sebagai profesi ada-tiada”; ada ya tidak apa-apa, tidak ada ya tidak apa-apa. Layanan konseling masih dianggap sebagai layanan sampingan dalam proses belajar-pembelajaran, sehingga dapat dilakukan siapapun, bahkan tidak dilakukan juga tidak apa-apa. Benarkah demikian?

II. Ciri-ciri Praktik Konseling

Betulkah bahwa bahwa praktik konseling berbeda dengan praktik pembelajaran atau praktik pendidikan? Berikut ini merupakan ciri-ciri praktik konseling (Sciacra. 2004, Cormier & Cormier. 1985):
  1. Prosesnya melibatkan dua orang (konseling individul) atau lebih (kelompok). Konseling individual lebih banyak muncul daripada konseling kelompok;
  2. Interaksi dalam proses konseling bersifat teraputik, yaitu pengubahan sikap dan perilaku;
  3. Berlangsungnya Proses konseling tidak harus dalam kelas dan tidak harus dalam jam belajar;
  4. Layanan konseling tidak memerlukan adanya setting kelas;
  5. Teknologi (teknik, metode, dan pendekatan) konseling berbeda dengan teknologi pembelajaran;
  6. Sasaran layanan konseling utamanya adalah bidang efeksi;
  7. Metode utamanya adalah wawancara mendalam (depth interview).

Dengan ciri-ciri tersebut di atas, jelaslah bahwa proses konseling memang berbeda secara hakiki dengan proses pembelajaran. Meskipun konseling mungkin dapat dintegralkan dengan proses belajar-pembelajaran, tapi tetap saja praktik konseling tidak sama dengan praktik pembelajaran. Apalagi kalau dilihat dari tahap-tahap konseling yang meliputi:
·  Tahap I      : Menjalin Rapport (Relasi awal yang baik dan kondusif untuk konseling);
·  Tahap II     : Kontrak kasus, menyepakati apa-apa yang akan dilakukan atau diubah;
·  Tahap III    : Eksplorasi data, memotivasi klien untuk menyatakan diri;
·  Tahap IV   : Diagnosis, menentukan kekuatan dan kelemahan klien;
·  Tahap V    : Prognosis, menyusun rencana perlakuan;
·  Tahap VI   : Treatment, melaksanakan terapi dan aktualisasi keputusan;
·  Tahap VII  : Evaluasi dan tindak lanjut.

Dengan kemajuan teknologi, konseling dapat disederhanakan dalam prosesnya, misalnya dengan e-counseling seperti sudah banyak dilakukan di negeri maju dan juga mungkin secara sederhana sudah dilakukan di negeri kita tercinta ini, tetapi tetap saja sasaran dan tahapannya sulit untuk disederhanakan. Seandainya dapat, maka konseling akan kehilangan hakekatnya.

III. Keterampilan Dasar Konseling

Seperti halnya dalam proses pembelajaran, proses konseling juga akan berlangsung efektif kalau ditunjang dengan keterampilan dasar konseling. Proses konseling akan terasa membosankan dan mungkin menakutkan, yang berakibat kliennya mengalami defisit motif dan perasaan yang berujung pada drop-out. Guru BK/Konselor dituntut benar-benar menguasai keterampilan dasar konseling, agar kehadirannya dalam proses konseling benar-benar diharapkan oleh klien, dan yang lebih penting proses konseling dapat berlangsung efektif.

Keterampilan dasar konseling yang dimaksud terdiri atas (Carkhuf. 1987):
1.  Keterampilan Rapport, yaitu keterampilan dalam membuka relasi teraputik. Kekeliruan dalam mengawali relasi akan berakibat klien menaruh prasangka buruk. Kesan pertama begitu menggoda, kesan selanjutnya terserah Anda, itu kata iklan, seperti juga dalam konseling, begitu pertemuan pertama berhasil, maka pertemuan selanjutnya akan begitu mudah dilakukan. Pertemuan awal ini diawali dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti: salam, apa kabar, bertanya kesehatan, acara, apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
2.  Keterampilan menetapkan kontrak. Kontrak yang tidak jelas akan menimbulkan manipulasi dan defisit aset. Konselor dan klien seharusnya benar-benar menyadari dengan cermat apa-apa yang akan dilakukan dalam pengubahan dan membangun perilaku. Tidak ada konseling yang sekali pakai dapat menyelesaikan semua-semua permasalahan. Kontrak disusun bersama konselor dan klien, mengacu kepada kebutuhan, kemampuan, dan masa depan klien, jelas, praktis dan prospektif.
3.  Keterampilan Attending, yaitu keterampilan tampil sebagai pribadi yang utuh dan memberikan perhatian penuh kepada klien sebagai pribadi sebagaimana adanya, agar klien dapat mengembangkan diri, mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya dengan bebas. Keterampilan attending direfleksikan dalam perilaku konselor, berupa: a) posisi dan jarak duduk, (b) posisi badan, isyarat gerak tubuh (body language), ekspresi wajah, wilayah pandangan, komunikasi verbal – non verbal, dan respon-respon yang ditampilkan, (c) kontak mata, serta (d) keterampilan mendengarkan.
4.  Keterampilan mengundang pembicaraan terbuka, yaitu keterampilan mendorong klien untuk berbicara bebas tentang apa yang dirasakan tanpa ada kecurigaan kepada konselor. Keterampilan ini akan mengundang klien untuk menyampaikan konsep-konsep pikiran dan perasaannya. Pertanyaan: “apa”, “bagaimana”, “dapatkah” akan memberikan jawaban yang banyak mengandung informasi daripada bertanya: “mengapa”, atau pertanyaan yang hanya menyediakan jawaban “ya” atau “tidak”.
5.  Keterampilan Healing, keterampilan dalam meyakinkan klien bahwa dirinya mampu mengatasi masalah yang dihadapi
6.  Keterapilan Restructuring, yaitu keterampilan untuk menyusun kembali pernyataan-pernyataan klien yang dianggap kurang fokus.
7.  Keterampilan Paraphrase, adalah keterampilan untuk meringkas pernyataan-pernyataan klien yang terlalu panjang dan berbelit
8.  Keterampilan Konfrontasi, merupakan keterampilan untuk memeriksa kembali pernyataan klien yang dianggap berlawanan, misalnya antara pernyataan dengan volume bicara, atau pernyataan dengan ekspresi, misalnya menyatakan benci dengan mimik gembira, atau menyatakan marah dengan volume suara yang lembut.

Keterampilan-keterampilan tersebut dapat disaksikan dalam tayangan berikut. Perhatikan benar-benar, bagaimana keterampilan-keterampilan tersebut diaplikasikan dalam sebuah praktik konseling utuh.

Selamat menyaksikan dan selamat berpraktik
























Bahan Rujukan:
Carkhuff, Robert, R.(1985). The Art of Helping. Mossachussett – USA. Human Resource Development Press
Dupont-Joshua, Aisha.(2003). Working Inter-Culturally in Counselling Setting. Taylor & Francis Group. Hove And New York. Brunner-Routledge
Erikson. (1968). Terapi Kognitif Perilaku (Dalam: Atkinson, Rita, L. 1999. Pengantar Psikologi: Alih Bahasa: Nurdjannah Taufiq). Jakarta. Erlangga










































Lampiran

Contoh Dialog

Suatu hari seorang Guru Wali Kelas (GWK) yang sedang berada di Ruang Guru menerima seorang siswa (S).
S         : Selamat siang, bu
GWK  :  (Agak sedikit terkejut)Selamat siang.(sambil memandangi siswa dihadapannya yang tampak lusuh, matanya merah, rambutnya agak awut-awutan, pandangannya cenderung membuang muka, pakaian tidak rapih). “Mas, ada apa sih? Kamu kok tidak rapi gitu. Belum mandi, ya? Hayo rapihkan pakaianmu! Nih sisir! Sisir rambutmu! Kamu nggak malu banyak Bapak – ibu Guru di sini?
S         :  (Pandangannya semakin tertunduk, dengan tampak terpaksa ia mematuhi perintah Wali Kelas). Bu... Saya mau matur (bilang)...
GWK  :  (Sambil tampak acuh kepada tamunya ini, karena sibuk menata Buku Raport yang beru dikerjakannya). Hayo, maturo (bilang saja). Mau minta ijin pulang lagi?”
S         :  “Tidak, bu. (sambil menarik wajahnya ke dalam, tangannya semacam ngapu rancang tapi memutar-mutar ibu jarinya. Sementara kedua kakinya saling digesek-gesekan). Hasil ujian Biologi saya jelek, bu? Padahal saya sudah belajar mati-matian, bu.
GWK  :  (Dengan suara agak nyaring) “Lah wong kamu belajarnya sambil mainan Play Station, mana bisa masuk pelajarannya? Iya, kan? Trus kamu mau minta ujian ulangan, gitu?” (kemudian mendongak-dongakkan kepala kekiri, kekanan seperti mencari sesuatu) Ehh, Pak Amri. Ini muridmu bisa ujian ulangan gak, ya?”
S         :  (Seperti was-was. Wajahnya masih tertekuk). Tapi, bu...
GWS  :  “Tapi opo meneh (apa lagi)?” (Sambil tetap mengemasi pekerjaan di atas meja).
S         :  “Eee... (Tampak ragu). “Sebenarnya saya kurang menyukai pelajaran Biologi, bu. (suaranya agak melemah, takut didengar orang lain; padahal guru-guru di sekitarnya juga sudah dengar).
GWS  :  “Oo alaah... Nggak suka pelajarannya kok maunya pinter, naak... nak...” (masih tetap tampak sibuk). “Sudah, sana bilang sendiri ke pak Amri.(Kemudian menyeru kepada Guru bersangkutan). Pak Amri, tolong ditangani anak ini...”

Minggu, 20 Juli 2014
STKIP SB Pokjar Cisaat 2014

Drs. Endang Sutisna, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar