I. Pendahuluan
Idealnya praktik konseling diselenggarakan oleh petugas
berwenang yang dididik dan dipersiapkann untuk menjadi konselor, seorang
profesional dalam bidang jasa layanan konseling. Dengan demikian, layanan yang diberikan memang khas, unik, dan berbeda dengan profesi lainnya, meski dalam lapangan
yang sama yaitu lapangan pendidikan (Borsolun & Holcon. 2004). Seperti
halnya dokter, perawat, bidang, laborant, masing-masing pekerjaannya berbeda
secara khas dan saling mengakui dan saling menghormati meski sama-sama berada
dalam bidang kesehatan. Demikian pun
harapannya, guru, pustakawan, laborant, psikolog, konselor, menampilkan
kekhasan pekerjaannya masing-masing meski bersama-sama dalam bidang pekerjaan
yang sama.
Jujur saja kita akui, bahwa dalam menjalankan
program-program pendidikan khususnya dalam proses belajar-pembelajaran, antar
profesional yang ada di dalamnya kurang saling mengakui dan menghormati
(Mathew, R. 1998). Terbiasa kita lihat di sekolah-sekolah di sekitar kita, guru
merangkap sebagai pustakawan, juga sebagai administrator, juga sebagai
pengelola koperasi, dan masih banyak lagi pekerjaan-pekerjaan profesional lain
yang dikerjakan guru. Sebaliknya juga
banyak pihak-pihak lain yang menganggap bahwa profesi guru adalah profesi “serba siapa”. Siapa saja boleh menjadi guru asal mampu berdiri dan berbicara di depan kelas.
banyak pihak-pihak lain yang menganggap bahwa profesi guru adalah profesi “serba siapa”. Siapa saja boleh menjadi guru asal mampu berdiri dan berbicara di depan kelas.
Apalagi pekerjaan Guru GC/Guru BP/Guru BK/ Konselor di
sekolah, sampai sekarang masih banyak yang menganggap sebagai profesi “ada-tiada”; ada ya tidak apa-apa, tidak ada ya tidak
apa-apa. Layanan konseling masih dianggap sebagai layanan sampingan dalam
proses belajar-pembelajaran, sehingga dapat dilakukan siapapun, bahkan tidak
dilakukan juga tidak apa-apa. Benarkah demikian?
II. Ciri-ciri Praktik Konseling
Betulkah bahwa bahwa praktik konseling berbeda dengan praktik
pembelajaran atau praktik pendidikan? Berikut ini merupakan ciri-ciri praktik
konseling (Sciacra. 2004, Cormier & Cormier. 1985):
- Prosesnya
melibatkan dua orang (konseling individul) atau lebih (kelompok).
Konseling individual lebih banyak muncul daripada konseling kelompok;
- Interaksi
dalam proses konseling bersifat teraputik, yaitu pengubahan sikap dan
perilaku;
- Berlangsungnya
Proses konseling tidak harus dalam kelas dan tidak harus dalam jam belajar;
- Layanan
konseling tidak memerlukan adanya setting kelas;
- Teknologi
(teknik, metode, dan pendekatan) konseling berbeda dengan teknologi
pembelajaran;
- Sasaran
layanan konseling utamanya adalah bidang efeksi;
- Metode
utamanya adalah wawancara mendalam (depth
interview).
Dengan ciri-ciri tersebut di atas, jelaslah bahwa proses
konseling memang berbeda secara hakiki dengan proses pembelajaran. Meskipun
konseling mungkin dapat dintegralkan dengan proses belajar-pembelajaran, tapi
tetap saja praktik konseling tidak sama dengan praktik pembelajaran. Apalagi
kalau dilihat dari tahap-tahap konseling yang meliputi:
· Tahap I : Menjalin
Rapport (Relasi awal yang baik dan
kondusif untuk konseling);
· Tahap II : Kontrak
kasus, menyepakati apa-apa yang akan dilakukan atau diubah;
· Tahap III : Eksplorasi
data, memotivasi klien untuk menyatakan diri;
· Tahap IV : Diagnosis,
menentukan kekuatan dan kelemahan klien;
· Tahap V : Prognosis,
menyusun rencana perlakuan;
· Tahap VI : Treatment, melaksanakan terapi dan aktualisasi keputusan;
· Tahap VII : Evaluasi
dan tindak lanjut.
Dengan kemajuan teknologi, konseling dapat disederhanakan
dalam prosesnya, misalnya dengan e-counseling seperti sudah banyak dilakukan di
negeri maju dan juga mungkin secara sederhana sudah dilakukan di negeri kita tercinta ini, tetapi tetap saja sasaran dan
tahapannya sulit untuk disederhanakan. Seandainya dapat, maka konseling akan
kehilangan hakekatnya.
III. Keterampilan Dasar Konseling
Seperti halnya dalam proses pembelajaran, proses konseling
juga akan berlangsung efektif kalau
ditunjang dengan keterampilan dasar konseling. Proses konseling akan terasa
membosankan dan mungkin menakutkan, yang berakibat kliennya mengalami defisit motif dan perasaan yang berujung pada
drop-out. Guru BK/Konselor dituntut benar-benar menguasai keterampilan dasar
konseling, agar kehadirannya dalam proses konseling benar-benar diharapkan oleh
klien, dan yang lebih penting proses konseling dapat berlangsung efektif.
Keterampilan dasar konseling yang dimaksud terdiri atas
(Carkhuf. 1987):
1.
Keterampilan
Rapport, yaitu keterampilan dalam
membuka relasi teraputik. Kekeliruan dalam mengawali relasi akan berakibat
klien menaruh prasangka buruk. Kesan pertama begitu menggoda, kesan selanjutnya
terserah Anda, itu kata iklan, seperti juga dalam konseling, begitu
pertemuan pertama berhasil, maka pertemuan selanjutnya akan begitu mudah
dilakukan. Pertemuan awal ini diawali dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ringan seperti: salam, apa kabar, bertanya kesehatan, acara, apa, mengapa,
bagaimana, dan seterusnya.
2.
Keterampilan
menetapkan kontrak. Kontrak yang tidak jelas akan menimbulkan manipulasi dan defisit aset. Konselor dan klien seharusnya benar-benar
menyadari dengan cermat apa-apa yang akan dilakukan dalam pengubahan dan
membangun perilaku. Tidak ada konseling yang sekali pakai dapat menyelesaikan
semua-semua permasalahan. Kontrak disusun bersama konselor dan klien, mengacu kepada kebutuhan, kemampuan, dan masa depan klien, jelas, praktis dan prospektif.
3.
Keterampilan
Attending, yaitu keterampilan tampil
sebagai pribadi yang utuh dan memberikan perhatian penuh kepada klien sebagai
pribadi sebagaimana adanya, agar klien dapat mengembangkan diri,
mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya dengan bebas. Keterampilan attending direfleksikan dalam perilaku
konselor, berupa: a) posisi dan jarak duduk, (b) posisi badan, isyarat gerak
tubuh (body language), ekspresi
wajah, wilayah pandangan, komunikasi verbal – non verbal, dan respon-respon
yang ditampilkan, (c) kontak mata, serta (d) keterampilan mendengarkan.
4.
Keterampilan
mengundang pembicaraan terbuka, yaitu keterampilan mendorong klien untuk
berbicara bebas tentang apa yang dirasakan tanpa ada kecurigaan kepada
konselor. Keterampilan ini akan mengundang klien untuk menyampaikan konsep-konsep pikiran dan perasaannya. Pertanyaan: “apa”, “bagaimana”, “dapatkah” akan memberikan jawaban yang banyak mengandung informasi daripada
bertanya: “mengapa”, atau pertanyaan yang hanya menyediakan jawaban “ya” atau “tidak”.
5.
Keterampilan
Healing, keterampilan dalam
meyakinkan klien bahwa dirinya mampu mengatasi masalah yang dihadapi
6.
Keterapilan
Restructuring, yaitu keterampilan
untuk menyusun kembali pernyataan-pernyataan klien yang dianggap kurang fokus.
7.
Keterampilan
Paraphrase, adalah keterampilan untuk
meringkas pernyataan-pernyataan klien yang terlalu panjang dan berbelit
8.
Keterampilan
Konfrontasi, merupakan keterampilan untuk memeriksa kembali pernyataan klien yang dianggap berlawanan, misalnya antara pernyataan
dengan volume bicara, atau pernyataan dengan ekspresi, misalnya menyatakan
benci dengan mimik gembira, atau menyatakan marah dengan volume suara yang
lembut.
Keterampilan-keterampilan tersebut dapat disaksikan dalam
tayangan berikut. Perhatikan benar-benar, bagaimana keterampilan-keterampilan
tersebut diaplikasikan dalam sebuah praktik konseling utuh.
Selamat menyaksikan dan selamat berpraktik
Bahan Rujukan:
Carkhuff,
Robert, R.(1985). The Art of Helping. Mossachussett – USA. Human Resource
Development Press
Dupont-Joshua,
Aisha.(2003). Working Inter-Culturally in Counselling Setting. Taylor &
Francis Group. Hove And New York. Brunner-Routledge
Erikson.
(1968). Terapi Kognitif Perilaku (Dalam: Atkinson, Rita, L. 1999. Pengantar
Psikologi: Alih Bahasa: Nurdjannah Taufiq). Jakarta. Erlangga
Lampiran
Contoh Dialog
Suatu hari seorang Guru Wali Kelas (GWK) yang sedang berada
di Ruang Guru menerima seorang siswa (S).
S : “Selamat
siang, bu”
GWK : (Agak sedikit terkejut) “Selamat
siang.” (sambil memandangi siswa dihadapannya yang tampak lusuh,
matanya merah, rambutnya agak awut-awutan, pandangannya cenderung membuang
muka, pakaian tidak rapih). “Mas,
ada apa sih? Kamu kok tidak rapi gitu. Belum
mandi, ya? Hayo rapihkan pakaianmu! Nih sisir!
Sisir rambutmu!
Kamu nggak malu banyak Bapak – ibu Guru di sini?”
S : (Pandangannya
semakin tertunduk, dengan tampak terpaksa ia mematuhi perintah Wali Kelas). “Bu... Saya mau matur (bilang)...”
GWK : (Sambil tampak acuh kepada tamunya ini, karena sibuk menata
Buku Raport yang beru dikerjakannya). “Hayo, maturo (bilang saja). Mau minta ijin pulang lagi?”
S : “Tidak, bu.” (sambil menarik wajahnya ke dalam, tangannya semacam ngapu
rancang tapi memutar-mutar ibu jarinya. Sementara kedua kakinya saling
digesek-gesekan). “Hasil ujian Biologi saya jelek, bu? Padahal saya sudah belajar mati-matian, bu.”
GWK : (Dengan suara agak nyaring) “Lah
wong kamu belajarnya sambil mainan Play Station, mana bisa masuk pelajarannya? Iya, kan? Trus kamu mau minta ujian ulangan, gitu?” (kemudian mendongak-dongakkan kepala kekiri, kekanan seperti
mencari sesuatu) “Ehh, Pak Amri. Ini muridmu bisa ujian ulangan gak, ya?”
S : (Seperti
was-was. Wajahnya masih tertekuk). “Tapi, bu...”
GWS : “Tapi opo meneh (apa lagi)?” (Sambil tetap mengemasi pekerjaan di atas meja).
S : “Eee...” (Tampak ragu). “Sebenarnya
saya kurang menyukai pelajaran Biologi, bu.” (suaranya agak melemah, takut didengar orang lain; padahal
guru-guru di sekitarnya juga sudah dengar).
GWS : “Oo alaah... Nggak suka pelajarannya kok maunya pinter, naak...
nak...” (masih tetap
tampak sibuk). “Sudah, sana
bilang sendiri ke pak Amri.” (Kemudian menyeru kepada Guru bersangkutan). “Pak Amri, tolong ditangani anak ini...”
Minggu, 20 Juli 2014
STKIP SB Pokjar Cisaat 2014
Drs. Endang Sutisna, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar